Hari itu Kamis tanggal 24 Desember 2009. Satu hari menjelang Natal. irma sampai rumah Mama menjelang jam satu siang. Ketika itu Mama sedang berbaring di kamarnya. Mama bilang tadi ketika memperhatikan anak-anak memanjat pohon kelapa di halaman tiba-tiba saja Mama merasa pusing. Jadi Mama masuk ke dalam rumah dan beristirahat.
Perkiraan irma Mama pusing karena belum makan siang. Jadi irma mengajak beliau makan bersama. Sama seperti irma, Mama pun lebih suka makan kalau ada yang nemenin. Nggak tau kenapa, beda aja rasanya dengan makan sendirian. Meski makanan yang disantap biasa-biasa aja.
”Eh, irma pesan taksi dulu ya.”
Jam empat sore nanti irma akan kembali ke Cibubur pake travel. Karena Bu Isna lagi ke Jakarta jadi irma pesan taksi untuk mengantar irma ke shuttle point di BTC.
Saat menutup telpon irma lihat tangan kanan Mama bergetar hebat. Tangan Mama memang sering gemetar tapi baru kali itu irma lihat sekeras itu.
”Ma, kenapa Ma ?”
Mama tidak menjawab. irma perhatikan lebih seksama, mata Mama terbelalak ke atas, mulut bawahnya miring ke kiri. Sungguh, itu adalah pemandangan paling mengerikan yang pernah irma lihat.
”Allahu Akbar !”
irma pun meloncat mendekati Mama. Badan Mama yang semula bersandar ke lemari di belakang kursinya kini merosot ke kanan. irma segera memeluknya. Badan Mama lunglai jatuh ke dada irma. Mama tak sadarkan diri. Terdengar napasnya seperti orang mendengkur. Keras sekali. Keringat dingin mengucur di kening Mama.
Tangan gemetar, mulut mencong, napas mendengkur, irma tau semua itu adalah gejala awal serangan stroke. Sambil memeluk Mama irma terus memanggil-manggil namanya.
”Ma, Mama, Mama. Tahan Ma. Kuat Ma. Mama masih sama irma kan ?”
Mama tidak menjawab. Hrrrkk ... hrrrkk ... dengkuran napasnya makin keras.
Saat itu yang terlintas di benak irma adalah, jangan-jangan ini adalah saat-saat terakhir Mama. Sambil menyeret badan Mama berusaha membawanya ke kamar, irma pun terus mengucapkan nama Allah.
”Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.”
Tapi irma nggak kuat membawa Mama ke kamar. Padahal berat badan Mama cuma setengah berat irma. Akhirnya irma membaringkan Mama di lantai. Meluruskan badannya, lalu menyangga kepalanya dengan lengan kiri irma. Tangan kanan irma mengusap-usap kening Mama. irma menunduk, berbisik di telinganya.
”Allah. Allah. Allah. Allahu Akbar.”
Jika seandainya itu adalah saat-saat terakhir Mama, maka irma ingin kata terakhir yang Mama ucapkan adalah nama Sang Khalik. Semoga Mama bisa mengikuti irma mengucapkannya.
Entah berapa kali nama Allah irma sebut hingga akhirnya irma dengar Mama berkata, ”Astaghfirullah.”
Alhamdulillah. Mama siuman. Dan bukan sekedar siuman karena berikutnya beliau berkata, ”Mama di lantai ya ? Di depan kulkas ?”
Alhamdulillah. Mama masih mengenali tempatnya berada. Stroke itu tidak sampai merusak ingatannya. irma pun memeluk Mama dan menangis.
Sungguh, kali itulah irma merasakan kelegaan yang teramat sangat.
***
Dan kemudian irma menghabiskan sisa hari itu dan malamnya di rumah sakit, menemani Mama berbaring dengan tensi terus meninggi. Memandangi infus menetes pelllaaaannn sekali. Di luar langit berselaput awan. Hujan turun merintik. Alangkah sunyinya Bandung.
It’s really, really, really, a silent night.