… dikutip dari milis B2W Indonesia, postingan tanggal 31 December 2006 oleh Taufiq Hidayat …
Dari "Velocipede" hingga "Pit"
Bicara tentang sepeda kerap membuat kita berpikir tentang asal-usul nama yang diberikan oleh bangsa yang mengklaim sebagai penemunya. Jerman boleh bangga memiliki Baron Karl Drais, dengan draissienne- nya, tetapi kosakata Perancis velocipede-lah yang lebih populer untuk menyebut leluhur sepeda modern.
Columbia Encyclopedia menyebutkan bahwa kereta angin ini telah dikenal sejak awal abad ke-18. Dan, selama bertahun-tahun velocipede menjadi satu-satunya istilah yang merujuk pada hasil rancang bangun kendaraan beroda dua yang digerakkan tenaga manusia, dengan variannya yang beroda tiga dan empat.
Usut punya usut, velocipede berhubungan erat dengan dua kata dalam bahasa Latin, velox atau turunannya veloc- (cepat, laju) dan pes atau pedis (kaki). Dua kata ini cukup klop dengan tujuan sepeda, membantu penunggangnya bergerak lebih cepat menggunakan pedal yang digerakkan kaki.
Zaman berganti, dan Perancis tetap memakai kata velo untuk sepeda hingga sekarang. Bangsa Inggris lebih suka menyebutnya bicycle, merujuk pada struktur kata tricycle yang digunakan untuk menamai velocipede beroda tiga. Kata ini diadopsi habis oleh bangsa jiran yang menyebutnya sebagai "basikal".
Konon, velocipede dibawa bangsa Portugis masuk Nusantara, dan dengan kreativitas hasil kolaborasi indera dengar dan ucap, lahirlah kata sepeda. Ketepatan asal-usulnya tentu menjadi otoritas pakar etimologi, tetapi tak bisa dimungkiri sepeda sangat populer sehingga beberapa suku bangsa memiliki cara sendiri untuk menyebutnya.
Orang Sunda memilih kata sapedah. Sebagian suku di Aceh menyebutnya keutangen atau keutanging, yang ternyata berasal dari pengucapan singkat kata keureta angen, atau kereta angin. Bahasa Jawa punya nama yang jauh lebih singkat: pit. Mudah diduga mereka mendapatkannya dari kata bahasa Belanda, fiets, yang artinya, ya sama, sepeda.
Cepat populer
Sepeda tak hanya menarik karena asal-usul namanya saja. Alat transportasi ini cepat populer dan mudah diterima pada masanya karena mampu mengakomodasi pengendara yang mengenakan rok, gaun, kain, atau sarung, meski kini penanda "jenis kelamin" sepeda tak lagi terlalu signifikan.
Selebaran bulanan Hiruk Pikuk, yang ditukangi sejumlah mahasiswa Yogyakarta pertengahan 1990-an, dalam edisi tentang sepeda menulis penanda kelamin primer ditentukan oleh "gelagar penghubung sistem rangka batang pada sadel dan setang". Adapun penanda sekundernya adalah, tentu saja, bangun fisik penunggangnya.
Karena itu, masyarakat Jawa mengenal istilah sepeda cowok, pit lanang, untuk sepeda dengan gelagar mendekati horizontal yang memaksa penggunanya memakai celana pendek atau panjang. Sebagai pasangannya ada pit wedhok, yang batang penghubungnya terpasang miring untuk menciptakan ruang gerak kayuh yang lebih leluasa.
Terlepas jenis kelamin sepedanya, pada umumnya orang memulai kegiatan bersepeda dengan cara yang sama. Duduk di sadel, tangan mencengkeram setang, satu kaki menjejak tanah, kaki lainnya di atas pedal, pedal dikayuh ke depan, dan sepeda pun melaju. Pada proses berhenti, penunggang menekan rem, dan satu kaki diturunkan untuk menjaga keseimbangan.
note : foto merupakan poster saat pameran di Departemen Perindustrian tahun 2007
kalau orang jawa bilang: asepe (asepnya) tidak ada = sepeda - karena gak pakai bahan bakar ... hehehehe....
ReplyDeleteyg jelas dari dulu
ReplyDelete