Ontbijt di Stadhuisplein
irma agustina
Ontbijt itu artinya sarapan. Stadhuisplein itu Lapangan Balai Kota. Ini adalah PTD yang ketiga puluh yang diadakan oleh Sahabat Museum. Acaranya, ya itu sarapan di (bekas) lapangan Balai Kota trus berkunjung ke Museum Fatahilah, Museum Wayang dan Museum Keramik. Awalnya nggak terlalu berminat ikutan PTD ini. Abisnya ketiga tempat itu sudah pernah dikunjungi semua. Tapi seperti kata Ela, mumpung rame-rame gini jadi kita bisa foto-foto, kenapa nggak ikut aja. Ingat pengalaman tahun lalu ada kejadian nggak enak sama petugas museum karena kita nggak boleh masuk bawa tas kamera. Ok kalau memang kita nggak boleh foto koleksi museum, ya nggak pa-pa. Tapi penitipan barang di tempat petugas museum itu nggak ada jaminan keamanannya jadi kita urung masuk museum. Malah kita merasa dongkol dalam hati karena sikap petugas yang kurang simpatik L
Jadi di sinilah irma minggu pagi ini. Jalan melintas Taman Fatahilah yang dulunya disebut Stadhuisplein. Di kejauhan tampak Ela, Tety dan Nani sedang berunding di bawah pohon. Kayak trio Kwik Kwek Kwak aja. Paman Donald mana yang akan kalian jahili haa ?? Oh kiranya mereka mau berfoto dengan bis surat di depan Kantor Pos. Aih kalian ini memang ‘bis surat freak’. Tiap kali lihat bis surat maunya foto bareng. Masih kurang puas rupanya foto dengan bis surat di Bandung dan Yogya. Tapi karena ada mobil parkir depan bis surat itu jadinya mereka batal berfoto di sana. ‘Tadi yang punya mobil nanya ke gue apa perlu mobilnya dimundurin tapi gue bilang gue udah ngambek,’ kata Tety. Ngambek, atau ngambek ??
Kantor Pos Jakarta Taman Fatahilah yang kali ini jadi tempat kumpul PTD masih sepi waktu irma sampai di sana. Ya baru jam 7, sedangkan peserta diminta berkumpul jam 7.30. Di halaman kantor pos tampak spanduk Batmus sedang dipasang. Ninta dan Cindi pun masih beres-beres di loket pendaftaran. Karena panitia belum siap untuk daftar ulang peserta jadi irma langsung masuk ke dalam Kantor Pos. Di sana ada Dwi yang lagi siapin jar isi teh dan kopi. Aduh ni’ anak, minggu lalu jaga warung di Rengasdengklok lalu sekarang jualan teh dan kopi ?? ‘Waktu di Cepu kan dia dagang wedang jahe,’ bilang Wahyudi. Hahaha Dwi, kamu memang nggak bisa jauh-jauh deh dari jualan atau jaga dagangan J
Loket daftar ulang mulai dibuka. Irma dan beberapa orang peserta yang sudah datang sejak tadi tertib mengantri. Ceklik ! Mama Oen foto irma lagi ngantri. Hei, yang abis berlibur. Gimana Bali ?? ‘Huuu sebel. Kurang lama. Papa Oen banyak kerjaan sih,’ Mama Oen meleletkan lidah. Naaa ya Papa Oen, jangan kerja mulu. Ada yang protes nih, hihihihi J
‘No 111 dan 112,’ kata irma kepada Ninta di balik loket. Ninta tulis name tag irma dan Wahyudi lalu Cindi kasih kupon dan daftar acara hari ini. Abis gitu irma balik lagi ke dalam kantor pos untuk nukar kupon dengan Nasi Ulam Cipta Rasa Misjaya. Tukar kuponnya ke Dwi. Halah ni anak ternyata abis gelar wedang teh dan kopi sekarang dia gelar nasi ulam ! ‘Laku dagangannya Mbak ?’ tanya irma. ‘Oh iya. Laris manis. Aku dapat dolar, dapat rupiah,’ Dwi tunjukkan kupon warna-warni di tangannya. Ada Euro juga nggak ??
Abis dapat kotak styrofoam isi nasi ulam irma cari tempat duduk yang enak. Lagi jalan melintas ruangan gitu irma lihat Bu Wisda yang lagi duduk di pintu (Bu … kata orang tua duduk di pintu itu pamali !!). Jadi ingat Bu Wisda kan ulang tahun tanggal 4 Mei kemarin. Irma balik lagi dan menyalami Bu Wisda, ‘Bu, selamat ulang tahun ya …’ Bu Wisda kayaknya terkejut disalami seperti itu tapi kemudian pintanya, ‘Sun dong !’ Oh ok. Mmmuah, sun pipi kiri. Mmmuah, sun pipi kanan. Abis gitu muah muah muah muah muah yang lain pada ikutan cium pipi Bu Wisda J
Awalnya cuma irma yang duduk di tengah ruangan. Tapi kemudian datang Pak Leo, Ela, Tety, Nani, Deni, Charlie dan tentunya Wahyudi. Juga Ririn, peserta yang baru kali ini ikutan PTD. Ririn tau PTD ini dari milis Cosmo. Kita sama-sama menyantap nasi ulam. Irma dapat limpahan dendeng dari Ela dan Tety. Tadinya Tety mau kasih dendengnya ke Wahyudi. ‘Wah nggak mau. Lu tuh kebiasaan lempar tanggung jawab ke gue. Gue nggak berbuat juga,’ Wahyudi nggerundel. Berbuat apa Di ? Hahaha
Lagi makan nasi ulam gitu Adep dan Irvan Karta berkeliling, memeriksa cara peserta makan. ‘Coba kita lihat cara makan yang di sini,’ Adep ajak Irvan perhatikan kelompok irma cs. ‘Ternyata 90% makan dengan cara yang salah !’ kata Irvan. Lho memang seharusnya gimana ? Kita kan makan pakai sendok dan udah cuci tangan sebelumnya.
‘Perlu diketahui bahwa nasi ulam yang dimakan itu adalah jenis nasi ulam basah,’ Irvan berkata. ‘Cara makannya adalah, disiram dengan kuah – kuahnya yang di plastik. itu bukan teh manis lho ya - dicampur dengan sambal kacang, lalu diaduk-aduk. Setelah itu baru dimakan.’ Haaa … gitu tho ?? ‘Ah sama aja, nanti di dalam perut juga kecampur-campur, keaduk-aduk,’ ujar Wahyudi. Ngg… sebenarnya cita rasanya tuh di nasi ulam nya atau di cara makannya sih ??
Selesai makan Wahyudi ambil kopi untuknya dan teh tawar untuk irma. Makasih J Tiba-tiba seorang bapak menyenggol bahu Wahyudi jadi kopinya tumpah membasahi kamera. ‘Tissue, tissue, tissue,’ kita langsung ambil tissue dari masing-masing tas dan bantu Wahyudi menyelamatkan kameranya. Setelah mengeringkan kamera Wahyudi lalu ke luar, cari ruang yang lebih lega untuk memeriksa kameranya. Sementara itu irma mengepel tumpahan kopi di lantai dengan tissue bekas ngeringin kamera tadi. ‘Mbak, mbak, coba yang sebelah sini,’ Tety menunjuk lantai di depannya. ‘Abis situ yang sebelah sini ya,’ pinta Nani. Haiyah nasiiibb … pagi-pagi gini udah jadi bedinde L
Abis ngepel irma jalan-jalan ke luar sebentar. Masih ada peserta yang baru datang dan daftar ulang. Panitia pun baru sarapan, duduk lesehan di teras kantor pos. Ela sama Wahyudi udah kabur ke Taman Fatahilah, memotret gerobak tukang ketoprak yang ada karikatur Direktur PLN. Charlie malah ngajak ‘membelot’ ikutan anak-anak FotografiNet yang lagi punya acara di Museum Fatahilah, sambil nunggu acaranya Batmus digelar.
Irma balik lagi ke dalam kantor pos. Ada pemutaran film tentang Jakarta di tahun 1941. Kali ini Adep bawa film berwarna. Biasanya film dokumenter yang diputar kan warnanya cuma hitam-putih. Film diawali dengan gambar Istana Merdeka. Adep bercerita istana ini dibangun tahun 1796 lalu dibeli Belanda pada tahun 1821 dan dijadikan Hotel Gubernur Jendral, tempat Gubernur Jendral menginap. Kediaman resmi Gubernur Jendral saat itu adalah di Istana Bogor. Sejak Indonesia merdeka istana ini digunakan sebagai istana negara. Di tahun 1949 saat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB), rakyat berkumpul di depan istana dan berteriak, ‘Merdeka ! Merdeka !’ Sejak itu istana negara disebut Istana Merdeka.
Film lanjut lagi, menunjukkan Gedung Pancasila tempat Bung Karno mencetuskan Pancasila di 1 Juni 1945. Kemudian Gedung Harmoni yang dirubuhkan tahun 1985 L Dan Hotel Des Indes yang sekarang udah nggak ada, dihancurkan tahun 1971 untuk dibuat jadi Pertokoan Duta Merlin. Hotel Des Indes pernah berganti nama menjadi Hotel Duta Indonesia tapi kalah ngetop dengan Hotel Indonesia. ‘Tentang Hotel Des Indes ini nanti akan saya bahas pada lain kesempatan. Saya mendapatkan buku ‘Lima Puluh Tahun Hotel Des Indes’ yang terbit tahun 1948. Lengkap dengan gambar-gambar kamarnya,’ Adep nunjukkan sebuah buku tua. Ok ditunggu ya Dep.
Selanjutnya film bercerita tentang suasana Jakarta di tahun 1941. Ada noni-noni jalan-jalan di Pasar Baru. Lucu pakaiannya. Pake rok mengembang sebatas lutut. Itu rok dikasih kanji kali ya, jadi mengembangnya bagus gitu. Pakai scarf menutupi kepala dan kacamata, seorang noni duduk di mobil tanpa atap warna merah. Duduknya di belakang dong, kan ada yang nyupirin di depan. Waktu itu jalan-jalan dengan mobil terbuka seperti itu mungkin masih enak ya. Jalan belum serame sekarang. Mobil masih sedikit. Masih ada trem. Trem listrik mulai ada di Jakarta di awal abad ke 20. Sebelumnya menggunakan trem uap sejak tahun 1877. Trem yang pertama kali digunakan adalah trem kuda di tahun 1869.
Lihat film itu jadi kangen, kapan ya Jakarta bisa seperti itu lagi ? Pepohonan banyak, jalan lengang dan yang utama, banyak orang pake sepeda. Geee… asiknya bersepeda di masa itu. Nggak khawatir kesamber motor seperti irma berangkat kerja sekarang L
Selesai Adep bercerita tentang Jakarta tahun 1941, gantian Pak Andy Alexander bercerita tentang masa VOC berkuasa di Batavia. Pak Andy seorang pecinta sejarah yang punya koleksi gambar-gambar Batavia kuno. Ada gambar pakaian orang Belanda yang ribet dan penuh renda-renda. Meskipun di Indonesia mereka tetap berpakaian selayaknya mereka di Eropa. Terang aja banyak yang nggak bertahan hidup karena pakaiannya nggak sesuai dengan iklim tropis. ‘Jadi mati gaya ya,’ kata Adep. Mati gaya atau korban mode ??
Pak Andy tunjukkan gambar JP Coen, satu-satunya Gubernur Jendral yang diserang Kerajaan Mataram. Pak Andy juga kasih lihat gambar dan peta perang antara VOC dengan Mataram di tahun 1628-1629. Wah, ternyata medan pertempurannya di sekitar Mangga Dua.
Udah jam sembilan. Museum-museum pasti udah pada buka ya. Panitia memberitahukan kita untuk bersiap-siap pelesir. Sebelumnya dibagi-bagi kelompok dan group leadernya yang disebut Kapiten. Tapi kapiten ini tidak punya pedang panjang. Ingat kan lagu waktu taman kanak-kanak dulu ? Aku seorang kapiten, mempunyai pedang panjang. Kalau berjalan prok prok prok. Aku seorang kapiten … J
Kapiten Batmus dilengkapi dengan bendera kelompok dan contekan tentang tempat-tempat yang akan dikunjungi. Kapiten Ria yang memegang bendera putih mengajak peserta nomor 91 – 120 untuk berkumpul di luar, di depan board Xposé. ‘Eh bentar ya, halo-halo nya ketinggalan,’ Kapiten Ria menitipkan benderanya kepada Wahyudi. Sementara Kapiten Ria mengambil megaphone, Wahyudi baca fotokopian tentang Museum Fatahilah, Museum Wayang dan Museum Keramik yang diperolehnya dari Perpustakaan LIPI kemarin. Sebenarnya tujuan ke perpustakaan buat cari referensi metoda test. Tapi efek sampingnya malah dapat buku tentang gedung-gedung tua di Jakarta J
Kapiten Ria menggiring tiga puluh orang peserta ke Museum Fatahilah. Nama resmi museum ini adalah Museum Sejarah Jakarta. Tapi masyarakat umum lebih suka menyebutnya Museum Fatahilah. Museum ini menempati bangunan bekas Balai Kota VOC yang disebut Stadhuis. Dibangun pada 23 Januari 1707 oleh Gubernur Jendral Joan van Hoorn dan selesai pada 10 Juli 1710 di masa pemerintahan Gubernur Jendral Abraham van Riebeeck. Prasasti kayu bertuliskan pembangunan dan penyelesaian gedung ini bisa kita lihat di dalam museum saat kita menuju halaman belakang.
Di masa pendudukan Jepang, gedung ini digunakan sebagai markas militer. Setelah Indonesia merdeka digunakan sebagai kantor KODIM. Kemudian di tahun 1972 gedung ini direnovasi untuk persiapan peresmiannya sebagai museum. Walikota Ali Sadikin meresmikan museum ini pada tanggal 30 Maret 1974.
Kita disambut oleh seorang pemandu. Beliau mengajak kita berkumpul di hadapan lukisan besar karya S. Soedjojono tentang pengepungan Benteng Batavia oleh pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Bahurekso di tahun 1629. Bapak pemandu menjelaskan sejarah singkat bangunan museum ini dan cerita lukisan tersebut. ‘Next room please,’ bapak pemandu mengajak kita pindah ke ruang sebelah. Bapak ini selalu mengucapkan kata-kata itu jadi irma sebut aja beliau ‘Bapak Next Room’ , abisnya irma lupa nggak nyatet nama beliau yang sebenarnya. Hehehe, maaf ya J
Di ruang sebelah Bapak Next Room menunjukkan Meriam Cirebon, alat musik Tanjidor, miniatur Klenteng Cilincing, mimbar mesjid Jami dan miniatur gereja Belanda. Gereja Belanda ini sudah tidak ada lagi. Di tempat bekas berdirinya sekarang ada Museum Wayang. Sekilas bangunan gereja ini seperti mesjid.
Kita nyeberang ke sayap gedung yang lain. Melihat replika prasasti Tugu, Ciaruteun, Batu Tulis dan Padrao. Prasasti ini menunjukkan kaitan sejarah Jakarta dengan Kerajaan Sunda dan Portugis. Di sudut ruangan ada perlengkapan dapur dan pakaian Baduy. Ada dua jenis Baduy. Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam berpakaian putih-putih. Kehidupan mereka sangat tradisional. Perlengkapan elektronik dan listrik tidak boleh masuk ke dalam kampungnya, termasuk kamera (nggak bisa difoto dong L). Baduy Luar berpakaian hitam-hitam. Mereka lebih terbuka terhadap perubahan teknologi dan kehidupan, meskipun tetap ada batasan-batasan yang harus mereka patuhi. Baik Baduy Dalam dan Baduy Luar sangat menjunjung tinggi keseimbangan alam. Agama mereka Sunda Wiwitan, semacam animisme yang memuja nenek moyang.
Bapak Next Room mengajak kita ke lantai atas. Dari jendela yang menghadap ke Stadhuisplein, dulu hakim Belanda menyaksikan penggantungan terhukum. Prosesi penggantungan ditandai dengan tiga kali suara lonceng. Lagi lihat keluar membayangkan prosesi itu, irma lihat Mama Oen dan Papa Oen di depan museum berjalan pulang. Dadah, dadah, irma dan Wahyudi melambaikan tangan.
Lalu kita pindah ke ruang hakim melaksanakan rapat untuk memutuskan hukuman dan perkara. Sebelumnya Bapak Next Room menerangkan lukisan dinding karya J.J. de Nijs tahun 1660 bercerita tentang Raja Sulaiman memutuskan perkara antara dua orang ibu yang memperebutkan seorang anak. Di dalam ruang rapat hakim ada meja besar dikelilingi kursi-kursi bersandaran tinggi dan lemari arsip besar. Di dinding tergantung pedang pancung dan tempatnya. ‘Ini pedang asli,’ Bapak Next Room membuka pintu tempat pedang. ‘Is it haunted ?’ tanya seorang peserta. Tapi Bapak Next Room salah tanggap dengan pertanyaan itu. Ia malah menerangkan hal lain. Hmm… yang nanya itu siapa ya ? Kalau lihat dari nama dan wajahnya sih, sepertinya dia ASLI orang Indonesia. Tapi irma perhatikan selama PTD ini dia selalu berbicara dalam bahasa Inggris.
Dari ruang rapat yang besar itu Bapak Next Room bawa kita ke ruang keramik. Irma belum pernah ke ruangan ini nih, jadi irma sangka itu ruang pamer baru. Di sana ada piring keramik Cina ukuran besar bertuliskan ayat-ayat suci Al Qur’an. ‘Keampuhan piring ini adalah jika diletakkan nasi di atasnya maka nasi itu tidak akan basi selama satu minggu. Ini karena kekuatan ayat-ayat yang tertulis di sana,’ cerita Bapak Next Room. Wah, berarti nggak perlu pake magic jar dong ya ??
‘Mari kita ke penjara bawah tanah,’ Bapak Next Room mengajak kita turun lewat tangga yang berbeda saat kita naik. Sampailah kita ke ruangan dengan bak mandi kuno. Di sebelahnya ada pintu terbuka ke bawah. Ada air tergenang di dalamnya. Itulah ruang penjara bawah tanah perempuan yang pernah dipakai oleh istri Gubernur Jendral yang ketahuan berselingkuh dengan seorang serdadu. Serdadunya dihukum mati sedangkan istri Gubernur dihukum cambuk dan dipenjara sampai meninggal. Bak mandi tadi adalah bak mandinya. Tidak tau apakah bak mandi itu diletakkan di dalam penjara yang tingginya cuma 110 cm dengan udara terbatas, atau di luar seperti posisi sekarang.
Abis lihat penjara bawah tanah perempuan kita ke luar melihat penjara bawah tanah laki-laki. Penjara ini sempit, langit-langit rendah, dan ventilasi udara yang buruk. Di dalam penjara ini ada bola-bola besi yang dulu diikatkan ke kaki-kaki tahanan agar mereka tidak melarikan diri. Kondisi tahanan di penjara ini sangat menyedihkan. Banyak yang meninggal sebelum mereka diadili untuk memperoleh hukuman yang sebenarnya.
Lalu kita melihat Si Jagur. Meriam Portugis ini dibawa oleh Belanda dari Melaka. Di atasnya tertulis dalam bahasa Latin, ‘Ex me ipsa renata sum’ yang berarti aku lahir dari diriku sendiri. Meriam ini dibuat dari 16 meriam kecil yang dilebur. Di bagian belakang meriam ini ada simbol tangan yang berarti persetubuhan. Tapi kalau versi Portugis itu artinya keberuntungan. Karena simbol itu sering orang memberinya sesajen dan berdoa mengharapkan keturunan. Katanya nih dulu pernah ada seorang ibu berdoa di sana memohon anaknya segera dapat keturunan. Tapi ternyata yang kemudian hamil adalah anaknya yang masih gadis. Wah meleset
Terakhir di halaman belakang Bapak Next Room menunjukkan patung Hermes, dewa pejalan kaki. Patung ini dulu dipasang di jembatan Harmoni. Kemudian dipindah di sini. Yang dipasang di Harmoni sekarang adalah replikanya. Sebenarnya patung ini berwarna emas. Tapi untuk menghindari pencurian - karena disangka terbuat dari emas - patung ini kemudian direkonstruksi menjadi hitam.
Dari halaman belakang kita pindah ke halaman depan. Bapak Next Room menunjukkan penjara air. Dulu ke dalam penjara ini dimasukkan para tahanan. Mereka direndam air sebatas dada dan ditemani lintah. Hiiii … ngebayanginnya aja irma udah ngeri. Sadis bener zaman dulu ya L
‘Sampai di sini berakhirlah kunjungan kakak-kakak sekalian di Museum Sejarah Jakarta,’ Bapak Next Room mengakhiri perjumpaannya dengan kita, ‘Di sini ada empat museum ; Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Museum Keramik dan Museum Bahari. Kunjungilah keempat museum tersebut.’ Iya Pak, sekarang kami akan ke Museum Wayang. Terima kasih atas panduannya ya.
Kita nyebrang ke Museum Wayang. Di sana kita disambut oleh Pak Prastowo. Sekilas Pak Prastowo bercerita sejarah gedung museum ini. Dulu di tempat gedung ini berdiri dibangun Kruiskerk atau Gereja Belanda lama (1632 – 1732). Gereja ini dihancurkan karena tidak bisa dimasuki oleh organ baru yang didatangkan dari Belanda. Kemudian dibangun Gereja Belanda baru (1736 – 1808). Gereja ini hancur karena gempa bumi. Replikanya ada di Museum Fatahilah.
Selain sebagai gereja, lahan itu juga digunakan sebagai tempat pemakaman. Sebanyak 18 orang Gubernur Jendral dimakamkan di sini. Salah satunya adalah JP Coen yang meninggal di tahun 1634. Nama orang-orang yang dimakamkan di sini dapat kita lihat di taman di tengah-tengah Museum Wayang. Tapi makamnya sendiri sudah tidak ada. Sebagian dipindahkan ke Museum Taman Prasasti di Tanah Abang.
Museum Wayang diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin pada tanggal 13 Agustus 1975. Koleksinya terdiri dari topeng, wayang, boneka dan perlengkapan pagelaran wayang. Karena pada saat kita sampai di sana masih ada kelompok lain yang berkeliling di lantai atas, maka kita berkeliling museum melawan arah. Seharusnya kan arah pengunjung itu naik ke lantai atas, menyusuri gedung sampai belakang dan turun ke lantai dasar. Nah arah kita malah dibalik.
Kita menyusuri gedung lantai dasar hingga ke belakang. Melewati wayang beber yang terbuat dari kain dan bercerita tentang Kerajaan Kediri. Wayang ini dibuat dalam gulungan. Biasanya satu gulungan terdiri dari dua adegan. Cara mementaskannya ialah dengan membuka gulungan sebagian. Dalang akan bercerita menerangkan satu adegan. Selesai itu gambar adegan tadi digulung dan dibuka gambar adegan satu lagi. ‘Mungkin sekarang udah nggak ada lagi yang mainkan wayang beber ini,’ kata Pak Prastowo.
Sampailah kita di taman di tengah-tengah museum. Di sini kita bisa duduk-duduk membaca nama-nama orang Belanda yang pernah dimakamkan di sini. Dari situ kita masuk ke ruangan berisi koleksi topeng. Ada topeng Bali, Cirebon, Yogya, Solo dan Jawa Timur. Di ujung ruangan sebelum naik tangga kita bisa lihat boneka tangan film Si Unyil. ‘Hompimpah, Unyil kucing !’ Wahyudi mengenang masa kecil saat film Si Unyil tak pernah terlewatkan. Hahaha, masih ingat aja J
Kita naik ke lantai atas. Ketemu dengan boneka tangan Punch & Judy dari Inggris, boneka Guignol dari Prancis, wayang boneka India dan Thailand. Biasanya di sebelah ruang pamer boneka ini dipakai untuk ruang pagelaran. Tapi karena gedung museum sedang direnovasi jadi ruang pagelaran pindah ke bagian dalam museum. ‘Maaf ya, jalannya jadi sempit. Sekarang lagi ada pagelaran. Kalau ada yang mau nonton, silakan,’ kata Pak Prastowo. Setiap minggu kedua Museum Wayang mengadakan pagelaran wayang. Saat kita di sana sedang dipentaskan wayang golek oleh dalang Ki Wiwit Widyasana dengan lakon Rahwana Gugur dalam bahasa Sunda. Tau kan kalau wayang golek itu berasal dari Jawa Barat ??
Di lantai atas kita bisa melihat berbagai jenis wayang. Ada wayang golek lenong Betawi, wayang golek cepak, wayang kulit. Salah satu wayang kulit yang dipajang bernama Yudoyono. Wah, irma baru tau Yudoyono itu nama wayang. Irma lalu memanggil Wahyudi, tunjukkan wayang itu. ‘Haaa… wayang Pak SBY nih,’ komentar Wahyudi. Hahaha iya kali ya J
Di sini juga kita bisa lihat boneka Sigale-Gale yang dimainkan saat pesta kematian di Samosir, Danau Toba. Juga miniatur perlengkapan ruwatan. Ruwatan adalah upacara adat Jawa untuk menjauhkan manusia dari sial. Pada upacara ruwatan dalang menggelar wayang dengan cerita atau lakon tertentu.
Selain wayang, di museum ini juga ada perlengkapan pagelaran wayang seperti gamelan dari Jawa Timur yang digunakan mengiring pagelaran wayang klithik. Juga ada material dan peralatan untuk membuat wayang kulit. Ada talenan, alat-alat tatah, tanduk kerbau untuk cempurit (tangkai wayang) dan bahan pelekat warna wayang yang disebut ancur keripik. ‘Tapi kalau sekarang sih umumnya pakai lem fox,’ tutur Pak Prastowo. Pak Prastowo juga menerangkan nama-nama ornamen wayang kulit seperti makutha, sumping dan lain-lain (pokoknya banyak deh !)
Di ujung ruangan – tepatnya di pintu masuk ruang pamer – terdapat wayang revolusi. Wayang ini dibuat oleh Raden Mas Sayid pada tahun 1950 atas pesanan Wereldmuseum Rotterdam. Setelah 40 tahun disimpan di sana, koleksi yang terdiri dari 160 wayang ini dihibahkan ke Museum Wayang sejak Agustus 2005. Wayang ini bercerita tentang tokoh-tokoh sejarah kemerdekaan Indonesia antara lain Bung Karno dan Bung Hatta. Sayang sekali Museum Wayang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk memajang koleksi ini. ‘Kalau di sana fasilitas museum nya kan bagus sekali,’ kata Pak Prastowo seolah menyesali.
Kunjungan kita ke Museum Wayang sudah selesai. Sekarang kita ke Museum Keramik. Lagi jalan melintas Taman Fatahilah, Deedee mencegat kita. ‘Kita foto keluarga dulu ya,’ katanya. Jadi kita berhenti sejenak, berpose di depan Stadhuis dekat air mancur. Kapiten Ria cerita kalau air mancur itu bisa kita lihat lagi sejak renovasi tahun 1972, saat gedung bekas Stadhuis dipersiapkan menjadi museum.
‘Wah, tim trafik nya mana ya ?’ Kapiten Ria menoleh kiri-kanan mencari panitia yang bertugas mengamankan jalan. Di bawah pohon seorang panitia cowok yang tadi bantu kita nyebrang ke Museum Wayang sedang calling-callingan pake HT. Akhirnya kita dibantu nyebrang oleh Korina yang cantik. Makasih ya.
Museum Keramik diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin pada tanggal 20 Agustus 1976. Dulunya gedung ini digunakan untuk Lembaga Pengadilan Belanda atau Raad van Justitie sejak 21 Januari 1870. Pada masa pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan Indonesia dijadikan asrama militer. Tahun 1967 dipakai sebagai kantor Walikota Jakarta Barat. Lalu digunakan untuk kantor Dinas Museum dan Sejarah DKI sampai tahun 1975. Abis gitu baru dijadikan museum.
Sebagaimana layaknya lembaga pengadilan dulu, gedung ini dilengkapi dengan pilar-pilar tinggi. ‘Kemarin-kemarin pilar itu berwarna coklat. Katanya karena dipakai shooting. Syukurlah mereka dapat segera mengembalikan warna asli. Kalau mau lihat pilar coklat itu bisa lihat di kamera saya,’ cerita Kapiten Ria. Shooting apaan ya, sampai gedungnya harus berubah warna gitu ??
Di sini kita disambut oleh pemandunya (halah, lupa lagi nggak nyatet namanya L). Rupanya kita adalah rombongan terakhir yang ke sini. Mas-mas pemandu tadi menerangkan secara singkat sejarah gedung ini, lalu mengajak berkeliling. Sayang sekali museum ini juga sedang direnovasi, jadi sebagian ruangannya tidak bisa kita masuki dan koleksi seni rupanya juga tidak bisa kita lihat.
Pertama-tama kita diajak melihat ruang pengadilan. Ruang itu sekarang lengang. ‘Anda mau diadili ?’ tanya Kapiten Ria. Nggak bu, makasih. Saya anak baik-baik kok …
Dari ruang pengadilan kita masuk ke ruangan koleksi keramik luar negri. Tapi irma tidak terlalu memperhatikan keramiknya karena selain irma nggak terlalu tertarik dengan keramik juga karena irma lebih tertarik perhatikan motif teralisnya yang kembang-kembang. Lucu. Manis. Cantik. Kalau punya rumah nanti irma mau pasang teralis seperti itu di jendelanya. ‘Nanti malah nggak bisa keluar lho,’ goda Wahyudi. Lho keluar rumah kan lewat pintu, bukan lewat jendela ??
‘Mari kita ke atas, melihat keramik sumbangan Pak Adam Malik,’ ajak mas pemandu. Keramik itu berupa piring dan mangkuk seladon. Seladon itu nama jenis keramik. Disebut juga keramik retak seribu. Retak itu bukan berarti keramiknya cacat. Tapi itu adalah efek dari pembakaran temperatur tinggi. Keramik seladon pemberian Pak Adam Malik ini berwarna hijau telur asin.
Abis keliling-keliling lantai atas kita turun lewat tangga pilin. Sejak PTD Keliling Djakarta 14 Agustus 2005 lalu irma nggak pernah berhasil memotret tangga itu dengan bagus. Sekarang juga begitu. Hasil gambarnya nggak pernah bagus. Selalu blur. Pake kamera Wahyudi yang lebih canggih pun hasilnya sama. ‘Ada apa-apanya kali di situ,’ Wahyudi bilang. Atau mungkin memang kitanya yang nggak bisa pake kameranya kali ya L
Sampai di lantai bawah, kita jalan ke belakang gedung. Melewati tempat workshop keramik. Beberapa peserta mencoba pakai alat pemutar yang digunakan untuk bikin keramik. Itu lho, seperti yang ada di film Ghost. Ingat kan, adegan Demi Moore dengan Patrick Swayze itu ??
Rupanya kita akan mengitari bagian dalam gedung. Abis dari workshop itu kita lewat poster-poster bercerita tentang Raden Saleh, seorang pelukis Indonesia yang termakhsyur sampai Eropa. Di Museum Fatahilah tadi kita melihat replika lukisan Raden Saleh mengenai penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang. Lukisan yang asli ada Istana Merdeka. Lukisan itu dibuat selama 6 tahun ! Selesai pada tahun 1857, setelah Raden Saleh kembali dari pengelanaannya di Eropa pertama kali.
Raden Saleh adalah seorang penyayang binatang. Beliau pencetus kebun binatang pertama di Indonesia, yang dibuat di istananya di Cikini yang sekarang jadi Rumah Sakit PGI. Sewaktu di Jerman beliau membuat sampul majalah bergambar seorang pria yang mengobati kaki singa yang terluka. Singa itu meletakkan kakinya yang luka di pangkuan sang pria dengan damai. Siapa nama pria itu ya ? Lukisan itu dibuat berdasarkan cerita di Alkitab.
Balik lagi ke ruang depan – tapi kini sisi gedung yang lain – melewati sederetan ruangan yang sedang direnovasi. Bau cat yang menyengat buat irma bersin-bersin. Karena mencatat tentang Raden Saleh tadi irma jadi tertinggal teman-teman yang lain. Sampai di depan Wahyudi sudah menunggu. Ke mana yang lain ? Oh rupanya naik ke lantai atas melihat koleksi keramik lokal. ‘Yang tadi di sebelah sana itu keramik interlokal ya ?’ tanya irma. ‘Bukan. Itu keramik SLJJ,’ jawab Wahyudi makin asal. SLJJ itu singkatan dari Sambungan Langsung Jarak Jauh, salah satu fasilitas telpon yang disediakan PT Telkom.
Keramik sudah ada sejak zaman dulu, misalnya pada masa Majapahit. Fungsi keramik untuk beribadah (peripih, tempat dupa, tempat abu), peralatan rumah tangga (piring, wajan, panci), atau perhiasan (manik-manik). Keramik dari periode dan tempat tertentu mempunyai ciri khas masing-masing.
Di lantai atas kita bisa melihat berbagai keramik dari penjuru Indonesia. Komunitas etnis Cina di Singkawang, Kalimantan membuat keramik Cina motif kuno. Salah satu keramiknya berfungsi untuk menyimpan abu jenazah. Penghasil keramik Cina lainnya adalah daerah Dinoyo di Malang. Lamongan di Jawa Timur juga mempunyai daerah penghasil keramik yang dikembangkan oleh Zaenal Mahmud, dari gerabah tradisional sederhana menjadi bentuk yang lebih menarik seperti sekarang. Probolinggo menghasilkan keramik modern yang minim ornamen.
Keramik dari desa Tembayat, Klaten memiliki ciri khas permukaan lebih tipis dan halus karena tekstur tanah yang digunakan. Berbeda dengan daerah lain yang membuat keramik saat usai panen, penduduk desa Tembayat membuat keramik sepanjang tahun karena lahan mereka tandus sehingga kurang sesuai untuk bercocok tanam.
Kasongan adalah daerah penghasil keramik di Yogya. Awalnya desain keramik di sana sangat sederhana hingga seorang perupa terkenal bernama Sapto Hudoyo turut mengembangkan desainnya sehingga keramik Kasongan menjadi terkenal seperti sekarang.
Keberadaan institusi seni rupa di Yogya dan Bandung memacu perkembangan keramik modern di kedua daerah itu. Demikian juga dengan Jakarta. Bagaimana dengan Bali ? Pada tahun 1974, Tn. Kay It melakukan eksperimen di Tabanan, Bali Selatan membuat boneka-boneka dan patung binatang dari keramik. Lucu keramiknya.
Masih ada satu keramik lagi yang cukup terkenal yaitu keramik Klampok. Ada dua tempat penghasil keramik Klampok. Pertama adalah Banjarnegara yang memiliki ciri keramik warna merah tua hasil pembakaran tungku bersuhu 1000 oC dengan arah panas dari atas ke bawah. Yang kedua adalah Tegal yang terkenal dengan teko teh yang selalu dihiasi logam kuningan. Keramik ini menggunakan tanah liat kemerah-merahan.
Lho, kok tinggal irma sendiri di lantai atas. Yang lain pada ke mana ? irma turun pun tidak menemui peserta lain. Jalan ke depan museum, seorang petugas memberi tanda bahwa yang lain telah berjalan balik ke kantor pos. irma melambaikan tangan tanda terima kasih lalu menyusul ke kantor pos. Di halaman kantor pos ketemu Adep yang lagi keluarkan layar projector dari dalam mobil. ‘TV di dalam garis-garis ! Untung gue modal layar sendiri,’ katanya ngos-ngosan ngangkut layar ke lantai atas Xposé.
Ternyata udah ngos-ngosan gitu layarnya malah nggak dipake. Adhit punya ide cemerlang untuk memakai dinding putih sebagai pengganti layar. Malah jadi lebih bagus tampilan filmnya. Kali ini Adep pasang film dokumenter tentang zaman pendudukan Jepang. Ditunjukkan anak-anak sekolah harus membungkuk memberi hormat kepada bendera Jepang sebelum masuk gedung sekolah. Bahkan yang naik sepeda pun harus turun dari sepedanya. Bendera Jepang itu hanya sekedar simbol. Penghormatan mereka sebenarnya ditujukan kepada Kaisar Jepang yang disebut juga Tenno Heika.
Anak-anak sekolah itu bernyanyi-nyanyi dalam bahasa Jepang dengan penuh semangat. ‘Pendidikan Jepang sangat bagus menuju kejayaan Asia Raya,’ Adep menerangkan isi lagu itu. Wah, Adep juga fasih bahasa Jepang ya ?? Oh bukan. Kan teks lagu nya juga ditulis dalam bahasa Belanda. Itu yang Adep baca.
Sambil mengibar-kibarkan bendera mereka bernyanyi. Juga sambil gerak badan seperti senam. Jadi ingat waktu kerja di pabrik dulu setiap pagi harus taiso sebelum bekerja. Taiso itu semacam senam pagi diiringi musik. Kalau yang udah pernah kerja sama orang Jepang pasti tau deh.
Selesai film itu Irvan Karta kasih tau kalau dia masih punya paket perangko seri Piala Dunia 2006 buat dibagi-bagi. Tadi pagi dua paket udah dikasih ke Ririn yang bisa menjawab pertanyaan Irvan tentang warna mobil noni-noni yang dipake di Pasar Baru dalam film Jakarta tahun 1941. ‘Siapa mau ?’ Irvan mengacungkan paket perangko itu. ‘Syaratnya harus bisa menirukan gerakan senam tadi.’ Hehehehe nggak deng. Untuk membagi paket perangko berikutnya Irvan mencari peserta yang paling rajin ikutan PTD.
‘Siapa yang pernah ikutan PTD lebih dari 20 kali ?’ Irvan berseru. Nggak ada yang ngacung. Ada yang menjawab : Adep. ‘Selain Adep,’ sanggah Irvan. Oh ok, kalau bukan Adep berarti Deedee, Bu Wisda, Ninta … hahaha sebut aja nama-nama panitia yang selama ini bantu Adep tiap kali ngadain PTD J
‘Lima belas kali ?’ Masih nggak ada yang ngacung. ‘Lima kali ?’ Mulai banyak yang ngacung. Termasuk irma dan Wahyudi. ‘Enam kali ? Tujuh kali ? Delapan kali ?’ Kiranya tinggal tangan irma dan Wahyudi yang masih di atas. ‘Delapan kali ?’ Irvan menunjuk irma. Irma mengangguk. ‘Ayo maju !’
‘Kenapa sih bisa-bisanya ketularan virus sampai ikutan PTD delapan kali ?’ tanya Irvan waktu irma udah berdiri di depan bersamanya. Kenapa ya ? Mungkin karena virus Batmus itu menyenangkan J Lagipula kan irma memang suka jalan-jalan.
Irma diminta menyebutkan kedelapan PTD yang pernah irma ikuti. Haaa… dipelototin Irvan gitu irma malah grogi jadi susah mengingat PTD mana aja yang irma ikuti. Akhirnya irma mengingat-ingat berdasarkan tulisan yang irma buat tiap kali pulang dari acara Batmus, entah itu PTD ataupun Pintong. Seingat irma udah ada sepuluh tulisan irma tentang acara Batmus.
Ambarawa, Onrust, Surabaya, Makassar, Cepu, Waterlooplein, Kalijati, istana … apalagi ya ? irma berusaha meningat. ‘PTD yang ini ikutan nggak ?’ jari Irvan udah sampai ke bilangan tujuh. Ah iya, ini kan PTD juga ya J Setelah dinyatakan sah oleh Adep akhirnya irma dapat empat paket perangko seri Piala Dunia 2006. Selain perangko di dalam paket itu juga ada jadwal pertandingan. ‘Silakan diberikan kepada yang berkepentingan,’ kata Irvan. Berhubung irma bukan penggemar bola jadi paket perangko itu irma berikan kepada Wahyudi dan Pak Leo.
Balik lagi ke tempat duduk semula, irma baca daftar PTD yang udah diadain Batmus sejak bulan Mei 2003. Wah ternyata irma udah ikutan 12 PTD ! Sejak PTD Semarang – Ambarawa di bulan Mei 2005, cuma satu PTD yang terlewat yaitu PTD Tandjong Priok di akhir Januari 2006. Waktu itu irma ikut Ela cs jalan-jalan ke Yogya. Elaaa …….. kapan nih kita pintong (sendiri) ke Tanjung Priok, buat ganti PTD yang terlewat itu ??
Acara lanjut lagi dengan ‘Poeter Film Noesantara’ , yaitu film lama tentang Indonesia zaman dulu. Film dokumenter hitam-putih ini menunjukkan kehidupan di tiap-tiap pulau besar di Indonesia. Jawa, Sumatra, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Molukken (Maluku) dan Bali. Sebelum film diputar Adep mengingatkan bahwa rakyat Indonesia di masa itu berpakaian sangat sederhana, seperti di Bali perempuannya tidak mengenakan penutup dada. ‘Nah kita mulai memasuki Bali jadi kategori filmnya sekarang adalah Bimbingan Orangtua. Jadi untuk yang bawa anak-anak, tolong ya,’ canda Adep saat film bercerita tentang kehidupan di Bali. Hahaha Adep bisa aja J
Ternyata filmnya panjang dan sepertinya peserta udah pada capek. Jadi film tadi diganti dengan film kartun Jepang sambil menunggu pengumuman doorprize. Film kartun Jepang ini sama dengan yang diputar di Kalijati minggu lalu. Sementara Adep ‘nge-DJ’ di panggung, pihak Xposé Pool – Bar – Lounge sedikit bercerita tentang tempat hiburan itu.
Xposé itu ternyata berasal dari kata ‘Eks Kantor Pos’. Fasilitasnya selain tempat makan dan minum juga buat main billiard. Xposé dimaksudkan sebagai tempat hiburan di Kota. Tempat hiburan ini baru dibuka seminggu yang lalu jadi wajar kalau beberapa fasilitasnya belum optimum. Tapi tempatnya asik tuh. Boleh juga nih kapan-kapan pintong ke sana.
Sekarang waktunya pengumuman doorprize. Hadiahnya satu buah handphone ! Potongan voucher diaduk-aduk. Voucher ini tadi digunakan untuk menukar welcome drink waktu kita baru datang ke Xposé. Selain dapat welcome drink kita juga bisa main billiard selama 2 jam. Pak Leo kok nggak main ? Kan dikau best player of the hall, hehehehe …
Dan pemenangnya adalah … ‘No 00219 !’ Irvan bacakan potongan voucher yang terundi. Siapa itu ya ? Senyum-senyum Bu Wisda maju membawa potongan vouchernya. Halah, ternyata itu nomor voucher Bu Wisda ! Irvan sampai jatuh terduduk karena tertawa. Hahaha, kok bisa ya, pas gitu yang dapat Bu Wisda J
Deedee maju dan berbisik-bisik dengan Bu Wisda. Lalu katanya, ‘Berhubung Ibu Wisda adalah bendahara dari Yayasan Sahabat Museum, jadi undiannya akan diulangi lagi.’ ‘Ah panitianya curang !’ Bu Wisda kembali ke tempat duduknya. ‘Maaf ya Bu, nanti kita beliin handphone deh,’ Deedee bilang. Naaa tu’ Bu, ada yang mau beliin handphone tuh …
Potongan voucher diaduk lagi. ‘No 00057 !’ seru Irvan. Maju seorang kakak-kakak. Di depan ia memperkenalkan diri namanya Dwi. Ternyata baru kali ini ia ikutan PTD. Wah rezekinya bagus ya. Baru sekali ikutan langsung dapat doorprize. Setelah potongan vouchernya diperiksa oleh Irvan dan dinyatakan sah, hadiah pun diberikan. Atas permintaan peserta lain Dwi membuka hadiahnya lalu menunjukkan handphone yang diperolehnya. Selamat ya J
‘Ya teman-teman dengan berakhirnya acara ini maka berakhir sudah PTD Ontbijt di Stadhuisplein hari ini,’ Deedee menutup PTD. ‘Atas nama panitia kami mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa di PTD-PTD dan pintong-pingtong berikutnya.’ Iya Deedee, sampai ketemu lagi. Akhir bulan ini jadi kan PTD ke Cirebon dan sekitarnya ??
irma dan Wahyudi berjalan ke luar Xposé. Segerombolan Batmus masih asik foto-foto. Bahkan Bu Wisda pun turut berfoto. Aduh ibu yang satu ini. Usia sih kepala 6, tapi semangatnya nggak kalah sama kita-kita yang masih muda J Ela turut mengabadikan pose ‘Nenek lincah’ itu dengan kamera barunya. Kamera Lomo. Kamera yang katanya salah bikin. Tapi malah jadi unik. ‘Itu kamera atau hair dryer ?’ Wahyudi bingung lihat bentuk kamera Lomo yang berbeda dengan kamera umumnya. ‘Awas lho, gue tembak,’ Ela menodongkan kamera Lomo nya. Bentuk kamera itu seperti pistol.
‘Ma, masih aktif aja ?’ tanya Endang saat irma perhatikan gerombolan banci foto itu. Aktif apaan ? ‘Ini, ikutan jalan-jalan begini,’ maksud Endang. Oh itu. Hmmm … gimana ya ? Abis irma emang suka jalan-jalan sih. Apalagi ke tempat-tempat yang belum pernah irma kunjungi. Kalau tempatnya udah pernah, yaa… mungkin irma pikir-pikir dulu untuk ikutan. Tapi seperti yang sekarang ini nih, biarpun udah pernah ternyata kan asik-asik aja. Endang dan Olive ketawa dengar jawaban irma.
Di jalan pulang dari Stadhuisplein irma mikir lagi pertanyaan Endang tadi. Kenapa juga harus bosan ikutan PTD ? Kan seru gitu loh. Apalagi tiap kali ikutan irma selalu dapat bahan buat bikin tulisan. Seperti yang sekarang ini nih. Jadi kalau tadi pagi waktu salaman Pak Amran bilang, ‘Kayaknya yang sekarang ini irma nggak akan nulis.’ Yeee … ternyata perkiraan Pak Amran salah tuh. Untung nggak pake taruhan. Kalo pake kan Pak Amran kalah telak ! hihihihihihi … J
Jakarta, 9 Mei 2006
Ternyata jalan-jalan ke Kota itu tidak pernah membosankan ya J
Referensi :
- ‘Historical Sites of Jakarta’ , 6th edition, A. Heuken SJ, Cipta Loka Caraka, 2000
- ‘Petunjuk Museum’ , Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta – Dinas Museum dan Pemugaran, 2001
- Nara sumber selama PTD : pemandu di Museum Fatahilah, Museum Wayang (Pak Prastowo), dan Museum Keramik, Kapiten Ria, Juragan Batmus (Adep)
No comments:
Post a Comment