Showing posts with label moluccas. Show all posts
Showing posts with label moluccas. Show all posts

Wednesday, April 1, 2009

catatan perjalanan

Finally, I finished it !  

Setelah tertunda selama hampir tiga tahun akhirnya selesai juga.  Hu-uh, senangnya.  Catatan perjalanan terpanjang yang pernah irma buat.  118 halaman, yeahh !

....... so now it's high time to treat myself for this achievement ......

 

 

 

Tuesday, November 20, 2007

Nggak ada jalan rusak di Ambon, kecuali …

 

… waktu kita menuju kolam air panas Hatuasa dia desa Tulehu.  Itulah satu-satunya jalan rusak yang kita temui selama enam hari ngelencer di Ambon.  Dari jalan raya beraspal mulus di dekat Terminal Tulehu kita berbelok memasuki jalan tanah.  Untung saat itu lagi kering.  Ongen bilang, kalau habis hujan jalan itu seperti kubangan sapi.  Eh, emang sapi suka berkubang ??  Mungkin lebih tepatnya kubangan kerbau kali ya.

 

Cukup lama kita terguncang-guncang di dalam mobil selama menyusuri jalan tanah itu.  Lama bukan karena jauh.  Tapi karena jalannya ancur banget jadi mobil nggak bisa ngebut.  Lagi asik-asiknya menikmati ‘buaian’ dalam mobil, tiba-tiba mobil berhenti.  Wah, ada apa nih ?

 

Ternyata ada kali di hadapan kita.  Nggak ada jembatan.  Mobil kita harus masuk air untuk menyeberang.  Tapi saat itu kita nggak bisa nyeberang karena lagi ada mobil angkutan umum tersangkut batu-batu tepat di tengah-tengah kali.  Rodanya berputar di tempat tanpa hasil.  Slip.

 

Seseorang mengambil sebatang kayu.  Lalu diselipkan di antara bagian bawah mobil dengan batu kali.  Oh rupanya dijadikan pengungkit.  Mobil masih tetap terperosok.  Seorang anak berdiri di ujung kayu sebagai pemberat.  Tapi kurang berat.  Ibunya yang merupakan penjaga warung di tepi kali diminta turut naik ke atas kayu dan berdiri goyang badan di sana.  ‘Ayo Mama, Mama kan lebih berat,’ kenek angkot memberi semangat.

 

Akhirnya mobil itu lepas dari bebatuan dan menderu ke tepi seberang.  irma yang sedari tadi menonton dari pinggir kali melompat-lompat dan bertepuk tangan melihat keberhasilan itu.  Sementara orang-orang di sana biasa saja.  Rupanya udah sering kejadian mobil nyangkut di tengah kali gitu.

 

Berikutnya giliran mobil kita melintas.  Pak Adhi memberikan instruksi kepada Ongen, ‘Kamu gas kenceng-kenceng dari awal ya.’  Tapi Ongen bilang dia udah biasa nyeberang kali seperti itu dengan mobil.  Di kampungnya di Pulau Seram sana lebih banyak lagi kali.  Malah lebih lebar dan dalam.  ‘Kalau ini sih kecil,’ katanya. 

 

Betul yang Ongen bilang.  Mobil berhasil diseberangkannya dengan mulus.  irma, Wahyudi, dan Mas Fahmi yang udah duluan nyeberang dengan berjalan kaki kembali naik ke atas mobil dan melanjutkan perjalanan.  Nggak berapa lama kita sampai di tempat wisata kolam air panas Hatuasa.  Bersamaan dengan Ela, Lenny, Dianty, Bing, Arini, dan Pak Abidin yang jalan kaki dari seberang kali.  Mereka tercengang melihat kita berhasil nyeberang dengan mobil.  Rupanya tadi mereka tidak sabar menunggu angkot yang terperosok itu.  Jadi mereka nyeberang dengan berjalan kaki lalu lanjut jalan lagi hingga ke kolam air panas.  Kasihan deh, hehehe.

 

Ongen balik lagi ke kali untuk mengambil mobil Ela.  Sementara kita masuk ke kolam air panas.  Ada tiga kolam di sana.  Kolamnya kecil-kecil, tapi ramai orang duduk berendam di dalamnya.  Terlihat uap mengepul dari permukaan air.  Temperatur air bervariasi dari 50 oC hingga 80 oC.  Kita bisa memilih lokasi berendam sesuai dengan daya tahan tubuh terhadap air panas.  Mau yang panas, atau hanya hangat.  Konon katanya air panas tersebut bisa menyembuhkan penyakit kulit dan rematik.

 

Kita nggak berendam tapi cuma nyemplungin kaki sebatas lutut.  Hmm, enak banget.  Apalagi sambil jalan-jalan menginjak-injak batu kali.  Rasanya seperti dipijat.  Lumayan buat ngobatin pegel di kaki setelah seharian jalan mulu. 

 

Kolam air panas ini dikembangkan secara swadaya oleh penduduk sekitar sana sejak tahun 1996, memanfaatkan sumber air panas dari Gunung Salahutu, gunung tertinggi di Pulau Ambon.  Ada fasilitas ruang ganti dan kamar mandi yang sederhana banget.  Juga beberapa penjual makanan dan minuman.  Duh andaikan Pemda serius mengembangkan obyek wisata ini, tentu makin ramai orang berkunjung ke sana.  Tapi perbaiki dulu jalan menuju kolam air panas Hatuasa tersebut.  Kalau harus ngelewatin jalan tanah kubangan kerbau dan berjuang nyeberang kali tanpa jembatan, kan orang juga jadi males ke sana.

 

Selain jalan menuju kolam air panas ini, nggak ada lagi kita melewati jalan rusak.  Hingga ke Pantai Hunimua di Liang sana jalannya muluuuss banget.  Diaspal rapi dan nggak ada lubang apalagi galian bongkar pasang kayak di Jakarta.  Nggak heran Pak Adhi komentar, ‘Ngapain ya orang-orang sini pada ke Jakarta ?  Di sini apa-apa semua ada.  Infrastruktur menunjang.  Jalannya bagus gini.’

 

Yah, mungkin mereka ke Jakarta nyari macet.  Macet parah banget yang sampai berjam-jam.  Itu kan tipikalnya Jakarta yang nggak ada di Ambon, hehehehe.

 

Sunday, November 18, 2007

Mengejar sunset ke Latuhalat

 

Ada satu tempat yang sering Ela rekomendasikan untuk memotret sunset di Pulau Ambon.  Latuhalat.  Di sana ada satu gugusan batu hitam bekas letusan gunung api.  Selepas gugusan tersebut langsung terbentang Laut Banda yang dalam banget.  Konon katanya itu perairan terdalam di Indonesia (atau di seluruh dunia ya ??)

 

Untuk menuju gugusan batu hitam tersebut kita harus jalan lumayan jauh dari ujung jalan tempat mobil parkir.  Melewati pohon-pohon (kebanyakan pohon kelapa), nurunin tebing lumayan curam, baru kemudian sampai di gugusan.  Tahun kemarin waktu ke sana kita lewatin tebing itu.  Pas balik baru tau ternyata bisa jalan memutar nyusurin tepi pantai.  Tapi musti hati-hati karena banyak batu karang.  Mana gelap lagi. 

 

Oktober kemarin kita ke sana lagi.  Langit mulai memerah saat kita di jalan menuju Latuhalat.  Kalau nggak cepetan, keburu hilang sunsetnya.  Ela dan Ongen ngebut menyupir.  Tapi di jalan kita nemuin pemandangan unik : anak-anak bergelantungan di atas pohon di tepi pantai, bergantian mereka terjun ke laut.  Semburat cahaya matahari menjelang tenggelam membentuk siluet anak-anak itu.  Kita pun berhenti untuk memotret mereka.  Sementara Ela di mobil satu lagi terus melaju ke Latuhalat.  Rombongan terpisah jadi dua.

 

‘Bang, abang foto beta e’ !’ seru anak-anak itu melihat kita berdiri di atas tembok pembatas jalan dengan kamera di tangan.  Pak Adhi, Mas Fahmi, dan Wahyudi melompat turun.  Mereka mencari tempat yang bagus untuk memotret lebih dekat.  irma nggak berani ikutan.  Lompat turunnya sih nggak masalah.  Tapi nanti gimana naiknya ?  Jadi irma duduk di tembok pembatas jalan aja, melihat anak-anak itu di atas pohon.  Sesekali ada yang terjun ke air.  Tapi kebanyakan mereka duduk-duduk saja.  Kakinya tergantung menjuntai.

 

Puas memotret mereka, kita lanjut ke Latuhalat.  Langit sudah mulai gelap saat kita sampai di sana.  Argh, headlamp irma ketinggalan di koper di hotel !  Sedangkan lampu senter kecil di dalam tas udah habis baterenya L  Jadi irma berjalan meraba-raba dalam gelap.  Ongen yang jalan di depan irma dan Wahyudi berusaha membantu nunjukin jalan.  Ia dipinjami lampu senter kecil oleh Mas Fahmi.  Sementara Pak Adhi dan Mas Fahmi udah jalan duluan.  Mereka berdua pakai headlamp di atas dahi masing-masing.  Kata Pak Adhi, ‘Ini yang namanya well-prepared.’  Maksudnya selalu bawa senter dengan batere penuh.

 

Langit merah mulai menghilang saat kita sampai di gugusan batu hitam.  Nggak sempat foto sunset lagi.  Tapi tadi kita puas banget foto sunset dengan anak-anak bergelantungan di pohon sebagai latar depannya.  Lagipula tahun lalu irma udah foto sunset di Latuhalat (meski abis gitu fotonya hilang karena nggak sengaja kehapus L).  Apalagi kemudian Ela kasih foto sunset di Latuhalat yang bagus banget.  Foto sunset berlatardepankan kapal dengan orang-orang di atasnya.  Saat kapal itu melintas, mereka berseru dan melambaikan tangan kepada kita, ‘Hoiiiii ……… difotoooo !!’  Kita pun balas melambai dan teriak, ‘Daaaaghhhh ………… !’

 

Sama seperti tahun lalu, saat kita di gugusan batu itu pun ada kapal melintas.  Kata Ongen itu kapal penangkap ikan cakalang.  Memang biasanya jam-jam segitu nelayan pergi melaut untuk menangkapnya.  Tapi kali ini kita nggak sempat memotretnya.  Langit udah terlalu gelap.  Kita lalu kembali ke mobil dan menuju Kota Ambon untuk makan malam.  Laperrr.

 

 

Benteng Amsterdam

 

 

 

 

Terletak di desa Hila, tahun lalu waktu irma ke benteng ini, atapnya bolong karena sedang direnovasi.  Oktober kemarin datang lagi, atapnya sudah terpasang rapi.  Warna merahnya kinclong banget.  Kontras dengan laut biru di belakang benteng.  Itu bukan atap asli.  Yang masih asli peninggalan Belanda dalam benteng ini adalah lantai batunya, tembok semen, dan kayu-kayu penopang beserta tangga menuju lantai atas.  Juga teras kayu di lantai dua.  Makanya waktu tahun lalu menjelajahi seluruh pelosok benteng Amsterdam hingga ke lantai paling atas tepat di bawah atap, bapak penjaga temani kita dan kasih tunjuk area-area mana yang aman untuk dipijak.  Batu dan semen tentu aman.  Tapi ia tidak merekomendasikan kita untuk berdiri di teras kayu.  ‘Teras itu jangan dipijak, kayunya sudah lapuk,’ begitu ia bilang.  Makanya waktu kemarin lihat Bing, Dianty, Lenny, dan Arini ramai-ramai mejeng di teras itu, irma khawatir teras itu ambruk.  Mana kemudian Mas Fahmi ikutan berdiri di sana lagi.

 

Sama seperti tahun lalu, bapak penjaga minta kita untuk mengisi buku tamu.  Senang sekali di buku tamu itu masih ada tulisan kita waktu ke sana di bulan Desember 2006.  Di buku itu pun masih terselip fotokopian gambar Benteng Amsterdam menurut Francois Valentijn dalam buku ‘Beschrijving van Amboina’ (Tulisan tentang Ambon).  Gambar inilah yang jadi acuan renovasi benteng.  Bagaimana dengan meriam, biasanya kan di benteng ada meriam.  ‘Dulu waktu saya masih kecil masih ada meriamnya, sekitar sepuluh.  Saya ingat itu.  Lalu meriam-meriamnya dibawa ke Ambon,’ cerita bapak penjaga.  Ke Ambon, apa disimpan di Benteng Victoria, yang sekarang jadi markas militer ?  ‘Bukan.  Bukan.  Yang di Benteng Victoria itu memang benar meriam Benteng Victoria,’ ujarnya kemudian.  Lalu beliau mengajak kita ke dalam kantor di sebelah benteng.  Di sana kita bisa lihat foto-foto renovasi benteng di tahun 1970an.

 

Sayang sekali kita tidak ketemu nara sumber yang bisa banyak bercerita tentang Benteng Amsterdam ini.  Selain nunjukin fotokopian tadi, bapak penjaga hanya bilang bahwa benteng ini dulu dibangun oleh Portugis pada tahun 1512 kemudian diambil alih oleh Belanda pada abad ke-17.  Tapi pada booklet ‘Ambon Island’ dari Kantor Pariwisata Propinsi Maluku, dikatakan bahwa benteng ini merupakan benteng kedua yang dibangun oleh Belanda, setelah benteng Kasteel Van Verre di dekat Seith hancur.  Benteng Amsterdam didirikan pada masa perdagangan rempah-rempah di awal abad ke – 17, setelah VOC – Vereenigde Oost Indische Compagnie – dibentuk oleh Heeren Zeventien di Belanda.  G.E. Rumphius pernah tinggal di benteng ini, menulis buku-buku tentang flora dan fauna Ambon. 

 

Georg Everhard Rumphius adalah seorang naturalis dan ahli sejarah dari Jerman (1627 – 1702).  Selain menulis tentang flora dan fauna Ambon, ia juga menulis tentang gempa dan tsunami yang melanda Maluku dalam bukunya yang berjudul ‘ Waerachtigh Verhael Van de Schrickelijcke Aerdbevinge’.  Gempa dan tsunami itu terjadi pada tanggal 17 Februari 1674, mengakibatkan kerusakan parah desa-desa di pesisir utara Pulau Ambon dan bagian selatan Pulau Seram.  Buku-buku karya G.E. Rumphius bisa kita lihat di Perpustakaan Rumphius yang dikelola oleh Andreas Petrus Cornelius Sol MSC di komplek Pastoran Paroki Santo Franciscus Xaverius, Ambon.

 

Memasuki benteng, di dekat pintu masuk kita akan menemui prasasti dengan lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.  Prasasti tersebut bertuliskan :

 

BENTENG AMSTERDAM

Mulai Dibangun Oleh :  GERARD DEMMER Pada Tahun 1642

Kemudian diperluas dan diperbesar oleh : ARNOLD De VLAMING Van OUDS HOORN

Pada Tahun 1649 hingga Tahun 1656

Dipugar Kembali Oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Kantor Wilayah Propinsi Maluku, mulai bulan Juli Tahun 1991 hingga bulan Maret Tahun 1994

Ambon, 16 Pebruari 1997

Kepala Bidang Permuseuman

 

Jadi sudah beberapa kali benteng ini direnovasi.  Tapi tidak banyak yang bisa kita lihat di dalamnya, selain satu bilik kecil di lantai dasar, jendela-jendela dan teras di lantai dua, tangga kayu ke lantai atas, dan kayu-kayu penopang.  Tangga dan kayu-kayunya berwarna merah, mengingatkan irma akan Menara Syahbandar di dekat Museum Bahari, di Kota, Jakarta.  Hebat ya, udah ratusan tahun umurnya tapi kayu itu masih kokoh menahan bobot kita yang menginjaknya.

 

Karena tahun lalu udah puas menjelajahi bagian dalam benteng hingga ke lantai paling atas, kemarin irma hanya jalan-jalan di pelatarannya saja.  Malas rasanya menghirup aroma lembab di dalam benteng.  Lebih enak duduk-duduk di tembok yang langsung berbatasan dengan laut, melihat ke laut dan pantai.  Anak-anak itu di pantai ngapain ya, berdiri membungkuk-bungkuk begitu.  Apakah mereka sedang mencari ikan yang terperangkap di antara batu karang ?

 

 

Halua dan Sageru

 

‘… ini namanya teh halua …’

 

 

Hah, apa ??!  Kahlua ??!  irma langsung melepas gelas di tangan.  Wadugh, minuman beralkohol nih.  Nggak berani minum.  Tapi gimana, tadi udah sempat minum beberapa teguk L

 

Oh, ternyata halua.  Wueheheheheheheee …… mungkin karena capek abis jalan seharian jadi telinganya salah dengar (atau mungkin juga emang agak-agak budeg ya, hahahahaha).  Teh halua terbuat dari campuran jahe, gula merah, sereh, dan kenari.  Rasanya enak banget.  irma sampai minum bergelas-gelas.  Begitu tau minuman itu nggak mengandung alkohol, irma ambil teh halua jatahnya Wahyudi.  Wahyudi nggak pengen minum, dia asik menikmati ikan bakar.  Abis gelas kedua, irma ditawari tambah teh halua lagi.  Jelas irma nggak nolak.

 

Pak Reymon – putra Pak Des Alwi – bilang, teh halua bakalan lebih enak kalau ditambah vodka.  Oh nggak deh, makasih.  irma nggak mau minum minuman beralkohol.  Bukan cuma karena alkohol merusak tubuh terutama lever, tapi karena irma nggak mau sholat irma nggak diterima.  Umm … sholat yang sekarang aja belum tau diterima atau nggak, masa’ mau tambah dosa ???

 

Ngomong-ngomong tentang alkohol, ada satu minuman beralkohol khas Ambon.  Namanya ‘Sageru’.  ‘Mungkin itu seperti Saguer ya,’ Dianty bilang.  Saguer adalah minuman khas Minahasa, berupa palm wine atau anggur dari sawit dengan kandungan alkohol sekitar 15%.  Saguer yang difermentasikan lebih lanjut akan menjadi minuman ‘Cap Tikus’ yang terkenal itu.  Berapa kandungan alkoholnya ?  Yang jelas lebih dari kandungan alkohol dalam Saguer.

 

Kata Pak Reymon lagi, efek dari Sageru adalah mengantuk.  Tubuh akan terasa berat.  Jadi ingat waktu kita ke Soya Atas, irma lihat ada seseorang dibopong dua orang dan diikuti seekor anjing.    ‘Itu orang sedang mabuk,’ kata Ongen, driver yang temani kita keliling Ambon.  Oh irma kira orang itu lagi sakit.  Mungkin orang itu mabuk Sageru.

 

Gara-gara ngomongin Sageru, beberapa orang teman kita jadi penasaran pengen nyobain.  Apalagi berikutnya dikasih tau racikan-racikan apa yang bikin Sageru makin terasa enak.  Enak ??  Ngggg ......... kalau kalian mau nyicip, irma nggak ikut-ikutan ah !

 

……… teringat-ingat pesan Mama ……… (kata lagunya Oppie)

 

 

 

 

Friday, November 16, 2007

Makan enak di Moluccas

 

Bisa dibilang Maluku tuh surga untuk penggemar seafood.  Gimana ya, segala jenis budidaya hasil laut ada di sana.  Waktu makan di RM Tantui Seafood irma lihat berbagai jenis ikan yang hidup di perairan Maluku.  Kebanyakan dari mereka baru kali itu irma lihat.  Selama ini kan yang irma temui di meja makan adalah ikan kembung, tuna, kakap, tongkol, dan yang paling sering ikan sarden.  Di rumah makan tersebut irma bisa lihat gambar ikan tatihu, tuna sirip kuning, kerapu sunu, sikuda, bobara, kawalinga, dan garopa atau kerapu bebek yang sisiknya totol-totol kayak pake baju polkadot. 

 

Seminggu di Ambon - dan Banda Naira – hampir tiap hari kita makan ikan bakar.  Nggak masalah buat irma karena irma memang penggemar ikan.  Kayaknya kampanye ‘Mari makan ikan !’ dari Departemen Kelautan dan Perikanan sukses banget pengaruhnya sama irma.  Kalau disuruh milih antara hidangan daging sapi, ayam, dan ikan, pasti irma pilih ikan.  Meski dulu pernah nggak berani makan ikan laut karena tiap kali makan seafood badan langsung gatal-gatal.  Setelah banyak baca dan cari info, ternyata pemicu alerginya adalah ikan laut yang tidak segar.  Jadi kalau makan seafood di dekat sumbernya seperti Ambon gini ya, ya nggak usah khawatirlah.  Kan pasti masih segar tuh ikannya.  Kalaupun ternyata alerginya kambuh juga, ya minum Incidal aja, hehehehe.

 

Biar nggak bosan tiap hari kita makan di tempat yang beda dan jenis ikan yang beda juga.  Hari pertama di RM New Ratu Gurih kita pesan ikan sikuda.  Besoknya di RM Tantui Seafood kita makan ikan garopa.  Lalu besoknya lagi di RM Dede’s kita pilih ikan bubara.  Karena pelayan di sana merekomendasikan ikan lema – dia bilang ikan itu banyak yang pesan – kita makan itu juga.  Dan ternyata memang enak !  Kesimpulannya cuma ada dua rasa dari makanan yang kita santap tiap hari.  Enak dan enak bangetttt.

 

Makan ikan bakar kalau nggak pake sambal, pasti kurang sedap ya.  Di Ambon ada macam-macam sambal yang disediakan kalau kita pesan ikan bakar.  Ada sambal kacang campur terasi dan kecap, sambal dabu-dabu, dan colo-colo yang suegeerrrr banget.  Pertama kali nyicip sambal colo-colo irma langsung bilang, ‘Wah, sambal ini cocok banget buat ngilangin kantuk !’ 

 

Selain makan ikan kita juga makan hasil laut lainnya seperti cumi dan udang.  Biasanya kita minta cuminya dibakar atau goreng tepung.  Sedangkan udang dimasak pake cabe.  Untuk sayurnya kita selalu pesan tumis bunga pepaya.  Sejak pertama kali nyicip sayur ini irma dan Bing langsung terpikat.  Enak banget sih.  Tiap kali makan kita selalu pesan sayur tumis bunga pepaya.  Dan tiap kali pesan selalu kita berdua rebutan.  ‘Hei, jangan diabisin dong !’ atau ‘Udah tumis bunga pepayanya taruh sini aja ya deket gw,’ gitu irma atau Bing bilang.

 

Tiap hari makan enak tapi makan paling dahsyat yang kita alami adalah waktu di Banda Naira.  Siang kita makan nasi kuning khas Banda yang enaaaaakkkk banget.  Malamnya dihidangkan ikan bakar cakalang, ikan selir, tuna, sup ikan, dulang-dulang (salad khas Banda), terong bumbu kenari, plus sambal bekasang yang juga dibuat dari ikan.  Jangan tanya rasanya kayak apa karena ungkapan ‘Enak bangeeeeetttttt !!!!’ , ‘Nikmat’ , ‘Lezat’ , nggak bisa lagi menggambarkan rasa semua makanan itu.  Benar-benar surga !

 

Usai makan kita disuguhi minuman teh halua.  Terbuat dari campuran jahe, gula merah, sereh, dan kenari.  Rasanya hangat tapi nggak sepanas bandrek.  Pas banget buat irma.  Karena justru irma kurang suka bandrek dan wedang jahe.  Untuk irma, kedua minuman itu terlalu pedas.  Enak banget minum teh halua sambil duduk di tepi laut, dengar suara ombak.  Udah capek jalan seharian, lihat pemandangan, makan kenyang, benar-benar berasa puas.  Pantas Pak Adhi merasa perlu ia menghisap cerutu.  Tapi begitu dia keluarin cerutu irma langsung hengkang dari sana.  Huahh, irma paling nggak suka asap hasil bakar tembakau entah itu rokok atau pun cerutu !

 

 

 

 

 

Thursday, November 15, 2007

Makan Papeda

 ‘Jauh-jauh ke Ambon kalau nggak makan papeda ya namanya belum ke Ambon !’

 

 

Sejak hari pertama kita sampai di Ambon Mas Fahmi udah ngebeeeett banget pengen makan papeda.  Ini makanan khas daerah penghasil sagu.  Setau irma, selain di Maluku papeda juga ada di Sulawesi dan Papua. 

 

Kalau lihat bentuknya, kok kayaknya nggak menarik ya ??  Mengingatkan kita akan lem di kantor pos, hahaha.  Kita ketawa-ketawa ngeliatnya.  Tapi Ongen – driver yang temani kita keliling Ambon – ketawa lebih keras lagi karena lihat kita makan papeda dengan …… nasi !

 

Sebenarnya, teman makan papeda itu sama gulai ikan …… ikan apa ya ?  Kayaknya kakap deh.  Abis besar ikannya.  Gulai ikan itu mengingatkan irma akan gulai kepala ikan, makanan khas Melayu yang ngetop banget.  Tapi kalau gulai kepala ikan terasa banget bumbu dan rempah-rempahnya, gulai ikan teman makan papeda ini rasanya kecut-kecut segar.  Pas banget dimakan saat capek abis jalan seharian.

 

Perlu trik tersendiri untuk mengambil papeda.  Rupanya pakai dua garpu yang saling berputar.  Mas Fahmi trampil banget ngambilnya.  ‘Gw pernah lihat di TV caranya,’ dia bilang gitu.  Ooh, pantas.

 

Karena licin irma nggak perlu mengunyah untuk makan papeda.  Tinggal disruput aja.  Sluuurrrpppp ………… dan kuah gulai pun bercipratan !  Hahaha.  Kata Ongen, papeda itu bagus untuk tenggorokan.  ‘Biasanya orang-orang yang mau manggung (nyanyi) malam, paginya mereka makan papeda yang udah diinapkan dari malam sebelumnya.  Dibungkus pakai daun pisang, papedanya jadi seperti kue lapis,’ papar Ongen.  Ngomong-ngomong tentang nyanyi, setelah makan Ongen menghibur kita dengan suaranya.  Diiringi organ tunggal ia bernyanyi ‘Sio Mama’ , lagu Ambon yang ngetop banget dan banyak yang suka.  …… sambil Mama bakar sagu, Mama manyanyi buju-buju ……

 

Tapi waktu di mobil dalam perjalanan pulang lagunya diplesetin jadi, ‘……… sambil Mama bakar sagu, Mama tabakar deng sagu-sagu ………’  Huahahahahahaha, Ongen kamu nakal ya !

 

 

 

 

 

 

KM Bukit Siguntang

 

 

 

'Arghh gilaaa ........... kapalnya gede baaanget ya !’

 

Seruan Bing membangunkan irma.  duh, pusing nih.  Baru tidur jam dua belas malam.  Setelah Ela dan Dianty masuk kamar mereka, irma nggak langsung tidur.  irma masih duduk di depan kamar, mengingat-ingat kejadian yang kita alami sejak datang ke Ambon lima hari sebelumnya.  Biasalah, untuk bahan tulisan.

 

Terhuyung-huyung irma berjalan keluar kamar.  Tepat di hadapan irma KM Bukit Siguntang sedang berlabuh di pelabuhan sebelah hotel.  Hujan turun lumayan deras.  Tapi itu tidak mengendurkan aktifitas orang naik-turun ke atas kapal dan bongkar muat barang.  Cahaya lampu membiaskan titik hujan.  Indah sebenarnya.  Tapi irma lagi dalam kondisi nggak bisa menikmatinya.  Ya baru tidur satu jam gimana irma nggak kleyengan ??!

 

Lenny sang Ibu Komandan memerintahkan kita untuk segera siap-siap naik ke atas kapal.  ‘Lebih baik kita menunggu di atas kapal daripada nanti terburu-buru naik,’ ujarnya.  Mungkin dia agak cemas.  Barusan terdengar pengumuman bahwa kapal akan berlayar satu jam lagi. 

 

Woi, sabar Len.  Tiket kita masih dipegang Pak Umar.  Semalam waktu kasihkan tiket ke Ela, Pak Umar tanya apakah kita mau urus sendiri kunci kamar di atas kapal nanti atau dibantuin Pak Umar.  Ya jelas kita pilih yang terakhir.  Baik irma maupun Ela belum pernah naik kapal penumpang.

 

Setengah jam menjelang keberangkatan.  Pak Umar datang membawa tiga anak kunci.  Kita lalu ngekor di belakangnya, naik ke atas kapal.  Agak susah naiknya.  Kenapa sih anak tangganya harus cembung begitu ?  Kan pijakannya jadi nggak berasa pasti gitu.  Mana masih hujan lagi.  Untung kita nggak banyak bawa barang.  Masing-masing cuma bawa satu ransel.

 

Kita dapat kamar di dek 6.  Kamar pertama untuk Ela, Lenny, Dianty, dan Bing.  Abis gitu kita pindah ke koridor lain.  Berikutnya kamar untuk Arini, irma, Wahyudi, dan Mas Fahmi.  Abis naruh tas di kamar irma mengikuti Pak Umar mengantar Pak Adhi ke kamarnya di koridor yang lain lagi.  ‘Kenapa sih kok saya dipisahin terus ?’ protes Pak Adhi.  Lho, bukannya dapat perlakukan eksklusif ?  Di hotel Mutiara di Ambon dan hotel Maulana di Banda Naira juga kan Pak Adhi dapat satu kamar sendiri.

 

Beres urusan kamar kita Pak Umar pamitan.  Makasih ya.  irma lalu kembali ke kamar yang pertama.  Ngajakin Bing ke kamar irma, biar dia tau.  Jadi kalau ada apa-apa kita bisa saling mengunjungi.  irma juga nunjukin kamar Pak Adhi ke Bing.

 

Abis gitu irma balik ke kamar.  ‘irma tidur di mana ? Atas, bawah ?’ tanya Wahyudi.  Arini udah pilih tempat di atas.  Mas Fahmi jelaslah di bawah.  Ngg ... baiknya gimana ya ?  ‘irma kan suka terantuk-antuk kalau jalan.  Kalau gitu di bawah aja ya,’ kata Wahyudi.  Ah tapi kalau di bawah irma males kena hilir mudik orang jalan.  Jadi irma pilih di atas.  Tepatnya di atas tempat tidurnya Mas Fahmi.  Dengan demikian berarti Wahyudi tidur di tempat tidur di bawah Arini.

 

irma langsung tidur.  Terbangun karena dengar pengumuman waktu Subuh dan ajakan sholat Subuh berjamaah di mushola di dek 7.  Ah irma sholat di kamar aja ah.  Selesai sholat irma tidur lagi.  Terbangun karena Mas Fahmi masuk.  Rupanya tadi ia sholat di mushola.

 

‘Mau lihat sunrise ?’ tanya Mas Fahmi.  Mau !  Mau !  Mas Fahmi mengajak irma dan Wahyudi ke geladak.  Wuih, untung ada Mas Fahmi yang udah biasa naik kapal.  Bingung nih nyari jalannya.  Masa kita di dek 6 mau ke dek 7 harus turun dulu ke dek 5, terus keluar, dua kali naik tangga, baru deh nyampe di luar dek 7 !

 

Kita berdiri di buritan.  Matahari baru mulai muncul.  Ternyata di udara yang bersih tanpa polusi gitu matahari malah nggak kelihatan jelas.  ‘Kalau di Jakarta, kamu justru bisa melihat matahari berbentuk bulat sempurna,’ papar Mas Fahmi.  ‘Itu akibat partikel polusi di udara.’  Oh gitu.

 

Mas Fahmi mengajak ke haluan.  Wuih, di sini anginnya kenceng banget !  Ya iya lah, kita kan di kapal bagian depan.  Nggak banyak orang di sini.  Kita berdiri di bagian tepi biar nggak kena angin terlalu keras.

 

irma berharap ada Lumba-Lumba berenang melompat-lompat di samping kapal.  Mama bilang Lumba-Lumba sering begitu.  Tapi kali itu nggak ada Lumba-Lumba mengiringi kita.  Kita malah sering melihat ikan terbang muncul dari dalam air.  Terbang sebentar di permukaan, lalu masuk kembali ke dalam air.  ‘Itu ikan Indosiar,’ kata Mas Fahmi.  Hahaha, gara-gara jadi simbol satu TV swasta, orang malah jadi lupa nama asli ikan terbang.

 

Mas Fahmi kembali ke kamar.  irma dan Wahyudi masih menikmati sunrise.  Eh, ada pelangi !  Meski cuma sepotong – bagian kakinya aja – tapi jelas ia terlihat.  Senang sekali irma melihatnya.  Geee .......... perjalanan ke Ambon kali ini irma banyak dapat pemandangan indah.  Lihat ikan paus menyemburkan air di Pantai Kota, lihat sekawanan Lumba-Lumba berenang melompat-lompat di Banda, dan kini irma melihat pelangi J

 

Abis itu kita kembali ke kamar.  Mas Fahmi tidur.  Demikian juga Arini.  irma mandi.  Tadi irma sempat tanya ke Mas Fahmi, betul nggak sih kalau di kapal tuh air tuk mandi dijatah hanya ada pada jam-jam tertentu ?  Mas Fahmi bilang kalau dulu zamannya KM Tampomas emang begitu.  Kalau sekarang sih, air terus ada.

 

Selesai mandi irma nggeletak di tempat tidur.  Wahyudi di tempat tidur bawah asik baca.  Sekitar jam tujuh diumumkan para penumpang kelas 1 dan 2 untuk ke kantin buat sarapan.  Wah, pas banget nih.  Udah kelaparan dari tadi.  irma lalu mengajak Wahyudi, Arini dan Mas Fahmi siap-siap sarapan.

 

‘Nggak boleh pake sandal lho,’ Mas Fahmi melirik Arini yang pakai sandal jepit.  Haa, beneran nih ?  irma juga panik.  irma nggak pake sandal jepit, tapi irma pakai sandal gunung.  Kalau kayak gitu boleh nggak masuk ke kantin dan sarapan ?

 

‘Aku nggak tau.  Kita coba aja,’ santai Mas Fahmi menjawab.  Akhirnya biar terlihat agak rapi irma pakai kaus kaki.  Deg-degan juga waktu masuk kantin.  Khawatir nggak dikasih masuk.  Kan nggak lucu kalau nanti kita ‘diusir’ hanya karena pakai sandal !

 

Ternyata nggak apa-apa !  irma menghela napas lega.  ‘Tadi diumuminnya cuma berpakaian rapi, nggak ada perintah harus pake sepatu,’ Wahyudi bilang.  Yah untung sekarang nggak apa-apa.  Tapi kan nggak tau nanti-nanti gimana.  Betul juga ajarannya Papa, lebih baik kita selalu tampil rapi.  Biar orang pun segan sama kita.

 

Pelayan mengangsurkan tempat nasi.  Kita dipersilakan mengambil sendiri porsi nasi yang diinginkan.  Seorang pelayan lain menuangkan teh atau kopi.  Setelah itu mereka pergi meninggalkan kita di meja makan.  irma dan Arini terbengong-bengong.  Haa, udah nih, cuma segitu aja ?  Lauknya cuma empat butir telur balado yang di meja itu ??

 

‘I’ve told you,’ Mas Fahmi mulai menyendokkan nasi ke dalam mulut.  Hoaa ...... kirain ada lauk lain.  irma berharap ada sup panas.  Ternyata ... hiks L

 

Selesai makan kita kembali ke kamar.  irma lanjut tidur.  Terbangun karena ada pengumuman bahwa kapal telah memasuki Teluk Ambon.  Diperkirakan kita akan berlabuh di Pelabuhan Yos Sudarso jam 11 siang.  Nggak berapa lama pintu kamar kita diketok.  Ternyata Ela, Bing, Lenny dan Dianty datang berkunjung.  Sejak masuk kamar mereka tiduuuur terus.  Jadi mereka melewatkan sarapan.  Haha, untung deh nggak ikut sarapan.  Daripada sakit hati !

 

Berempat mereka naik ke geladak.  Wahyudi turut dengan mereka.  Mas Fahmi abis makan tadi nemenin Pak Adhi keliling-keliling kapal.  irma dan Arini tinggal di kamar.  Tidur lagi.  Kemudian terbangun karena ada pengumuman satu jam lagi kita akan berlabuh.  Para penumpang kelas 1 dan 2 diminta untuk mengembalikan kunci kamar.  irma bergegas telpon Wahyudi, kasih tau yang lain untuk kembali ke kamar.  Begitu memasuki Teluk Ambon tadi handphone kita langsung pada aktif.  Udah dapat sinyal.

 

Ealah, ternyata mereka pada makan bakso di dek 5 !  Tadinya irma dan Arini mau nyusul ke sana.  Tapi kita malah kesasar-sasar.  Ya udah, irma telpon Wahyudi aja.  Kasih tau dia kalau kita nunggu di kamar.  Nggak berapa lama Wahyudi datang.  Juga Mas Fahmi.

 

Beneran, jam 11 kita berlabuh.  ‘Perhatian, kapal siap sandar kanan,’ terdengar pengumuman itu.  ‘Kapal memang selalu sandar kanan.  Nggak ada tangganya dia di kiri,’ papar Mas Fahmi.  Oh gitu ya.  Pantas tahun lalu waktu melihat KM Bukit Siguntang ini akan berlabuh di pelabuhan Banda Naira, ia harus berputar dulu.  Rupanya karena sandar kanan itu ya.

 

Seorang kuli mengetuk kamar kita, tawarkan jasa.  Nggak usah.  Bawaan kita nggak banyak kok.  Kita bisa angkut sendiri.  Sesuai kesepakatan kita bersembilan ketemu di dekat pintu dek 5.  Lalu bersama-sama turun dari kapal.  Di luar langit terang benderang.  Horeee ...... hari cerah !  Tapi kayaknya males banget hari ini tuk jalan-jalan.  Pengen segera ke hotel, check-in, lalu lanjut tidur.

 

 

 

 

Semalam di Naira

 

ir, kayaknya asik juga ya semalam di Banda Naira ...’

 

Itu yang Ela bilang waktu kita mau terbang ke Banda Naira.  Gara-gara Merpati pesawatnya rusak dan pesawat lainnya dipakai untuk rute lain, keberangkatan kita ke Banda Naira tertunda sampai dua kali.  Jelas kecewa.  Tapi mau gimana lagi.  Lebih baik kesempatan yang cuma semalam itu digunakan sebaik-baiknya.

 

Lupakan melihat sunrise dari atas Gunung Api, lupakan snorkling, diving, acara jalan-jalan kita kemarin difokuskan untuk menangkap momen fotografi sebanyak-banyaknya.  Maklum, di rombongan kita banyak fotografer.  Dan banyak banci foto juga.  Nggak ada satu pun yang nggak bawa kamera.

 

Alhamdullilah penerbangan Ambon – Banda Naira berlangsung lancar dan tepat waktu.  Jam setengah tujuh kita bertolak dari Bandar Udara Pattimura dengan pesawat Cassa.  Saat check-in kita sempat ketawa-ketawa karena di setiap boarding pass tertulis nama penumpang ‘9770’.  Jadi ada kembar sembilan bernama ‘9770’.  Hehehehe.

 

Itu baru mengenai boarding pass.  Saat melihat jam di bandara kita ketawa lagi.  Jam di counter check-in menunjukkan waktu 4.41.  Jam menuju ruang tunggu keberangkatan menunjukkan 21.41.  Nggak ada yang benar karena waktu sesungguhnya adalah pukul 5.41.  ‘Gue nggak ngerti kenapa itu jam waktu Makassar dipasang di sini,’ Lenny geleng-geleng kepala lihat jam di counter check-in.  Huehehehe, kalau yang di situ menunjukkan waktu Indonesia bagian Tengah, yang menuju ruang keberangkatan mungkin waktu GMT ya ??  (GMT =  Greenwich Mean Time, acuan waktu internasional)

 

Ada sepuluh orang penumpang dan 3 orang crew penerbangan.  Sembilan dari sepuluh penumpang adalah rombongan kita.  Selama penerbangan mereka pada tidur.  Ya gimana nggak ngantuk, jam setengah empat tadi kita udah harus bangun untuk berangkat ke bandara.  Cuma Mas Fahmi yang tetap terjaga selama penerbangan.  Ia terus memperhatikan GPS.  ‘Catat ya ir, kecepatan kita 325 km/h, ketinggian 2266 m dpl,’ katanya kepada irma.

 

Beruntung banget irma duduk di sisi sebelah kanan jadi bisa lihat Gunung Api saat kita mendekati Banda Naira.  Hujan turun saat kita mendarat.  Cepat sekali awan menutupi langit.  Pantas penerbangan ke Banda Naira dibatasi tidak boleh lebih dari jam 10 pagi.

 

Kita dijemput Pak Umar.  Dari sana kita ke hotel Maulana.  Ketemu lagi dengan Pak Dede dan Bu Siti.  Hei, Bu Siti sedang mengandung anak pertama !  Sudah lumayan besar kandungannya.  Lagi hamil gitu, Bu Siti masih tetap berenang nggak ya ??  Waktu SMA dulu Bu Siti menang lomba berenang dari Naira ke Gunung Api.  Nggak heran badannya atletis begitu.

 

Sarapan.  Abis gitu kita naik boat ke Pulau Sjahrir.  Di sana duduk-duduk makan nasi kuning menikmati suasana pantai.  Sempat lihat kawanan Lumba-Lumba berenang melompat-lompat.  Lalu kita ke Pulau Banda Besar.  Melihat peternakan mutiara, perkebunan pala, mendaki 350 anak tangga, ke Benteng Hollandia, rumah perkenier, dan perigi keramat.  Makam Nona Lantzius tidak kita kunjungi.  irma pikir teman-teman tidak terlalu tertarik untuk melihatnya.  Hujan sempat turun saat kita Banda Besar.  Cuaca saat itu memang mudah berubah-ubah.  Sebentar hujan, sebentar kemudian panas.  Sebentar baju kita basah kehujanan, nggak berapa lama kemudian kering lagi kena panas.  Pas banget nih dengan satu lagu dangdut, ‘... baaaju satu, keriiiing di badaaaan ...’

 

Setelah itu kita berperahu mengelilingi Gunung Api.  Melewati Pulau Karaka, gugusan Batu Angus, dan masuk ke dalam gua kelelawar.  Hoa, nggak mau lagi irma masuk ke sana ! 

 

Jam setengah empat kita berlabuh di dermaga hotel Maulana.  irma bergegas mandi.  Dekil banget baju dan badan kena air hujan, kecipratan lumpur, belum lagi keringat menempel.  Jam empat kita udah harus siap-siap untuk keliling Banda Naira.

 

Pertama kita ke Rumah Budaya Banda Naira.  Melihat benda-benda peninggalan Belanda ; lonceng perk, timbangan pala, baju senam kuno, uang logam VOC, pecahan keramik yang ditemukan di Banda, senjata kuno, perlengkapan tari cakalele, miniatur kora-kora.  Ada banyak lukisan di museum ini ; lukisan gubernur jenderal VOC, lukisan pembantaian 44 orang kaya Banda (syereeeemmm !!!), dan suasana Banda dulu.  Sama seperti tahun lalu, ibu penjaga museum memutar piringan hitam dengan gramophone kuno.

 

Lalu kita ke Rumah Sjahrir di sebelah Rumah Budaya.  Belanda mengasingkan Sjahrir dan Bung Hatta ke Banda Naira tahun 1936.  Sebelumnya mereka diasingkan ke Boven Digul, Papua.  Sebelum itu, mereka ditahan di penjara Cipinang, Jakarta.  Sebelumnya lagi, di penjara Sukamiskin, Bandung.

 

Sjahrir dan Hatta diasingkan di Banda Naira hingga tahun 1942.  Selama di sana mereka mengajar anak-anak Banda.  Saat itu cuma ada satu sekolah Belanda di Banda Naira, dan tidak semua anak-anak Banda boleh bersekolah di sana.  Sekolah Hatta dan Sjahrir ini diadakan di Rumah Hatta yang terletak di sebelah penjara.

 

Dari Rumah Sjahrir kita ke Rumah Hatta.  Kita melewati rumah Captain Christopher Cole, seorang kapten angkatan laut Inggris yang menaklukkan Benteng Belgica dan pulau Naira dari Belanda pada tanggal 10 Agustus 1810.  Sayang sekali, rumah ini kondisinya mulai rusak tak terurus.  Apakah pihak kedutaan Inggris nggak berkunjung ke sini ya ??  Biasanya kan kedutaan tuh perhatian banget sama peninggalan-peninggalan sejarahnya.  Seperti kedutaan Belanda yang tetap mengelola pemakaman Belanda dan kedutaan Australia yang memelihara Ambon War Cemetery.

 

Sampai di Rumah Hatta.  Tante Emy – penjaga Rumah Hatta yang irma temui tahun lalu – sedang ke Ambon.  Jadi Pak Umar yang membukakan rumah itu untuk kita.  Rumah tersebut dipugar pada tahun 1980 – 1983 mengikuti bentuk aslinya.  Ada foto-foto Bung Hatta dan istrinya saat berkunjung ke Banda Naira untuk memulai pemugaran.  Ternyata saat itu yang tinggal cuma tembok depannya saja.  Usai pemuugaran Rumah Hatta diresmikan Dirjen Kebudayaan dan Pendidikan pada tanggal 20 Oktober 1985.

 

Ela menemukan kursi yang enak untuk duduk bermalas-malasan di teras belakang Rumah Hatta.  Sementara teman-teman lain berpura-pura menjadi murid-murid Bung Hatta, duduk belajar di meja-meja kelas.  Hahaha, jadi ingat tahun lalu.  Waktu irma pura-pura jadi ibu guru dan Ela, Wahyudi dan Adep jadi muridnya.  Ibu guru yang tidak sukses.  Masa’ dua orang muridnya asik main dan seorang lagi tidur saat guru sedang mengajar ??

 

Kemudian kita ke rumah dr. Tjipto.  Dokter Tjipto Mangunkusumo diasingkan ke Banda Naira dari tahun 1928 hinggal 1940.  Sayang sekali, saat kita ke sana kemarin penjaganya sedang ke Ambon.  Lagi-lagi ke Ambon !  Kenapa ya para penjaga rumah sejarah itu pada ke Ambon ??  Padahal di dalam rumah itu kita bisa melihat-lihat peninggalan dr. Tjipto.  Hmm, yah tapi nggak sebagus yang di Rumah Sjahrir sih, apalagi yang di Rumah Hatta.  Koleksi Rumah Hatta tuh, rapiiii sekali.  Terawat.  Rumahnya pun terang dan bersih.  Sementara bagian dalam rumah dr. Tjipto itu gelap dan suram.

 

Selanjutnya kita ke Istana Mini.  Melihat tulisan seorang tawanan Prancis di kaca sebelum ia bunuh diri, cekungan di dinding yang nggak pernah bisa ditambal, patung Willem III, dan berfoto ala kabinet presiden di anak tangga depan istana.  Huehehehehe ...... kabinet apaan yang tampang anggotanya pada jahil gini ??

 

Trus kita ke Monumen Perigi Rante.  Di sini tertulis nama-nama tokoh perjuangan yang pernah diasingkan ke Banda.  Ternyata bukan cuma Bung Hatta, Sjahrir, dan dr. Tjipto.  Masih banyak lainnya.  Pada prasasti tertulis juga nama-nama Orang Kaya Banda yang dibunuh JP Coen di tahun 1621, beserta kepergian rakyat Banda yang tersisa.  Ada yang melarikan diri ke Pulau Kei, ada yang ke Pulau Banda Eli.

 

Setelah itu kita ke Gereja Tua.  Abis gitu mengejar sunset ke Benteng Belgica.  Malamnya kita makan enak di hotel Maulana.  Enak buangetttt dan berlimpah.  Dianty sampai komentar, ‘Tiga hari saja kita begini terus, bisa jadi hippo kita.  Kerjaannya nanti hanya berendam di air dan naik ke permukaan untuk makan !’  Hahahaha, Dianty bisa aja bikin perumpamaan J

 

‘Gimana, enak makanannya ?’ seseorang bertanya kepada kita seusai makan.  Ternyata itu putra Pak Des Alwi.  Kalau nggak salah namanya Pak Reymon.  Ramah sekali dia ngobrol dengan kita.  Nanya siang tadi kita ke mana aja.  Waktu tau kita ke Banda Besar, ia bertanya, ‘Kalian ke kuburan sejengkal ?’

 

Haa, kuburan sejengkal ?  Apaan tuh ?  Baru kali ini irma dengar.  Ternyata itu kuburan peninggalan orang Belanda.  Konon, katanya kita bisa tanya kepada kuburan itu apakah keinginan kita bisa terkabul.  Tapi ingat, pertanyaannya harus yang jawabannya ‘Ya’ atau ‘Tidak’.  Kalau nggak gitu, gimana ?  ‘Mungkin kuburannya akan berasap.  Pusing dia,’ celetuk Dianty.  Hahahahahahaha ............. kita ketawa makin keras.

 

Puas duduk dan mengobrol kita jalan ke souvenir shop dekat pelabuhan.  Di sana irma beli t-shirt bergambar serdadu kompeni.  Wahyudi beli buku tentang Banda.  Sedangkan Dianty beli botol kuno terbuat dari tembikar.  Pemilik toko bilang, botol itu ia dapatkan dari orang-orang yang menyelam dan menemukannya di laut.  Banyak botol sejenis itu berserakan di dasar laut.  ‘Ini kan botol anggur.  Setelah minum, orang-orang Belanda itu buang botol ini ke laut begitu saja,’ cerita pemilik toko. 

 

Balik ke hotel.  Lewat depan pelabuhan.  Ramai suasana di sana.  Orang-orang mulai menggelar dagangan.  Selalu begitu tiap kali menjelang kapal datang.  Wahyudi bilang, kehidupan di Naira baru terasa saat kedatangan kapal.  Nggak ada kapal datang, nggak kelihatan orang banyak berkeliaran.

 

Nggak terasa udah lebih dari jam sepuluh.  Yang lain pada masuk kamar.  Tidur.  Jam dua dini hari nanti kita harus siap-siap naik KM Bukit Siguntang untuk balik ke Ambon.  irma, Ela, dan Dianty "Ibu Kasir" masih ngumpul untuk bereskan pembayaran hotel dengan Pak Dede.  Waks, irma sempat meloncat kaget di kantor Pak Dede saat tau ada tikus kecil di dekat kaki irma !  Ela yang tadinya mau memperingatkan irma juga turut terkejut.

 

Beres urusan bayar-bayar, kita balik ke kamar di lantai 2.  Yang lain udah pada tepar.  Bertiga kita duduk mengobrol di depan kamar.  Ngomongin pengalaman kita hari itu.  Padat banget.  Betul yang Ela bilang, meski hanya semalam di Banda Naira namun begitu berkesan J

 

'...... tapi sayang, hanya semalam.  berat rasa perpisahan ......'