Hari ke – 2, Sabtu 19 Agustus 2006
Pagi-pagi Ela dan Tety datang ke kamar 621 sambil gotong-gotong tripod. ‘Di sini ada sunrise nggak ?’ tanya mereka. Lho, bukannya kamar kalian menghadap danau ? Kan tadi malam kalian yang dapat kamar lake-view puas banget ngeledekin kita yang dapat kamar parkiran-view. ‘Iya, tapi matahari terbitnya nggak di sana,’ kata Ela. Sementara Tety langsung ngeloyor ke teras dan melihat-lihat keluar.
Ternyata pemandangan di parkiran nggak menarik. Ela dan Tety lalu ajak irma ke kamar mereka. Irma berteriak pamitan sama Galuh yang lagi di kamar mandi. Via sms Irma kasih tau Wahyudi untuk nyusul ke kamarnya Ela dan Tety.
Geeee … asik banget memandangi Danau Toba di pagi itu. Emang agak berawan sih. Tapi itu nggak mengurangi keindahannya. Irma coba memotret Danau Toba dengan awan di atasnya. ‘Wah, bentar lagi irma bakal gabung pake DSLR juga nih !’ celetuk Ela melihat irma pake kamera agak serius. Biasanya kan irma pake kamera digital pocket biasa. Haha Ela, ini kan kameranya Wahyudi yang lama. Daripada nganggur mending kameranya irma pake. Kalau beralih ke DSLR sih, kayaknya irma nggak minat deh. Ribet ah ! Mending irma yang difoto aja, seperti pagi itu irma jadi model buat difoto Ela dan Wahyudi J
Di teras sebelah ada Jenny berselimut scarf merah. Tumben Jenny kok nggak motret ? ‘Sialan, gue lagi terlibat perjanjian setan jadi kali ini gue nggak bawa kamera !’ teriaknya. Kenapa Jen, kamera lu lagi digadai ya ?? Kasihaaan deh Jenny, sementara kita asik foto-foto dia cuma berdiri aja memandangi danau. ‘Tapi ini kan kampung gue, jadi gue bisa datang kapan aja gue mau,’ kemudian Jenny berkata untuk menghibur diri. Iya sih. Tapi kan, kalau rame-rame gini jarang …
Bosan motret dari teras kamarnya Ela, irma, Wahyudi dan Tety lalu turun ke bukit kecil di samping hotel. Di sana ketemu Bu Wisda dan Pak Amran yang lagi berjalan kembali ke hotel. Nah betul kan kata irma, pasangan di pondok mungil di atas bukit yang tadi kita lihat dari teras tuh Bu Wisda dan Pak Amran. Tapi Wahyudi nggak percaya. Dia kira yang pake kaos Plesiran Tempo Doeloe warna merah lengan panjang itu Mbak Ade.
Dari atas bukit kecil kita bisa melihat danau dan pohon-pohon Cemara di sekitarnya yang berwarna hijau atau coklat kemerahan. Pemandangannya yang indah membuat kita merasa kecil dan tak berarti. Wahyudi berdiri termangu di tiang pondok pandang. Melamun ya Di ?? Irma sempat potret Wahyudi yang lagi bengong gitu. Abis itu gantian Wahyudi potret irma berlatarbelakangkan Toba Nauli. Irma nya nauli juga nggak ??? Hihihihihi J (nauli = cantik, bahasa Batak)
Puas foto-foto irma lalu mengeksplorasi bukit kecil itu. Ketemu papan putih bertuliskan, ‘Horseback riding Rp 10.000/round. Call Reception.’ Kirain cuma di Brastagi aja bisa naik kuda. Ternyata di Parapat ini juga ada penyewaan kuda. Mana kudanya ? Mau dong naik kuda. Tapi pegangin ya, irma taunya cuma duduk manis aja di atas kuda. Seperti dulu waktu kecil tiap hari Minggu naik kuda keliling ITB J
Wahyudi panggil irma ngajak balik ke hotel. Tety udah nggak kelihatan. Jadi cuma kita berdua yang kembali ke hotel. Jalan melintas restoran, ternyata di sana udah banyak teman-teman kita yang lagi sarapan. Abis ngambil tas dari kamar masing-masing kita lalu gabung dengan yang lain. ‘Jalan ke pasar mana Ir ?’ sapa Niken yang lagi sarapan sama mama nya. Niken yang udah beberapa kali ikutan PTD hapal kebiasaan irma dan Wahyudi yang suka ngelencer cari pasar pagi-pagi. Wah di sini pasarnya jauh. Jadi kita el-el aja di sekitar hotel. (el-el = LL = luntang-lantung).
Siap makan trus kita kumpul di lobby. Seorang pengrajin ulos sedang menenun kain. Dari tangga Tety asik motret pengrajin itu bekerja. ‘Kamu wartawan ya, dari tadi foto dia terus,’ kata seorang bapak yang rupanya dari tadi merhatiin Tety. Hahaha, irma dan Tety jadi ketawa. Tety nggak nanggepin bapak itu, dia teruuuuss aja motret sang pengrajin. Akhirnya bapak itu pergi. Sebel kali dia, nggak difoto Tety. Hihihi
Irma juga motret pengrajin ulos itu. Tapi karena dia bergerak-gerak mulu jadi hasil foto irma nggak gitu bagus. Akhirnya irma nyerah dan pindah ke tempat lain. Di papan pengumuman lobby ada selebaran tentang wisata agro dan info harga panen. Kailan Rp 12.000/kg, Sawi Hijau Rp 4.000/kg, Timun Rp 4.000/kg, Cabai merah Rp 10.000/kg, Daun Prey Rp 15.000/kg. Eh, Daun Prey ini Daun Bawang ya, yang biasa buat bikin sop ?? Foto ini aja ah. Selesai motret irma baru sadar ternyata Manager Hotel perhatiin irma foto ‘Info Panen Harga Komoditi Agrowisata’ itu. Heran kali dia, ngapain selebaran itu difoto. Ih, jadi malu deh. Apalagi Roni Baskoro trus kasih tunjuk foto irma lagi motret selebaran sampai nungging-nungging. Uh, maluuuu … L
Panitia ajak kita foto bareng di tepi kolam renang. Kolam renangnya tuh di lantai dasar. Sementara lobby di lantai 4. Jadi kebayang kan berapa jauh kita harus nurunin tangga ? Dan abis itu naik tangga lagi kembali ke lobby buat naik bis. Hek hek hek, capek L Tapi dasar emang Batmus pada demen difoto, nggak ada yang ngeluh meski harus turun-naik segitu banyak anak tangga. Kecuali Lina yang karena lagi hamil 5 bulan dia nggak ikutan ke kolam renang. Abis foto-foto di pinggir kolam renang, beberapa Batmus susaaah banget disuruh berger(ak) naik. Masih pada asik foto-foto, termasuk bing! yang berpose seru difoto Endah sampai diledekin foto model Hongkong, hahaha.
Di dalam bis Ninta kasih tau kemungkinan nanti kita harus jalan lumayan jauh menuju tempat naik ferry di pelabuhan Ajibata. Karena hari itu lagi hari pasar jadi jalan menuju ke sana ditutup. Tapi ternyata kita nggak perlu jalan kaki karena justru ferry nya yang pindah ke pelabuhan di depan tanah lapang. Jadi bis nya parkir di sana dan kita jalan sedikit ke dermaga menunggu ferry.
Melihat Batmus bergerombol di dermaga, beberapa anak laki-laki terjun ke danau. Sambil berenang-renang mereka minta kita melempar coin ke danau. Nanti mereka akan menyelam untuk mengambilnya. ‘Ayo mas ! Mas Yudi ! Lempar uang logam !’ seru seorang dari mereka. Awas juga matanya bisa membaca name tag yang dikenakan Wahyudi. ‘Nah gitu dong, namaku dipanggil,’ Wahyudi melempar coin ke danau. Wuaaah ternyata ngelemparnya kejauhan.
Nggak berapa lama datang KM Toba Star yang akan kita naiki. Di atasnya sudah ada Deedee, Galuh dan Bu Wisda yang dadah-dadah sama kita di dermaga. Satu per satu Batmus naik ke atas ferry dibantu Bang Hardi. Para gerombolan fotografer gadungan – Ela, Tety, Deedee, Alice, Wahyudi, Tia, … siapa lagi ya ? Pokoknya banyak deh ! – berebut duduk tepat di buritan kapal, tepat di depan juru mudi. Maksudnya biar puas mereka memotret Danau Toba dalam perjalanan ke Pulau Samosir.
Irma nggak tertarik gabung dengan mereka duduk di buritan. Abisnya di situ pasti guncangannya keras banget. Irma takut kecebur. Jadi irma langsung naik ke atas dan duduk di kursi-kursi wisata yang disediakan. Perlahan-lahan ferry bergerak meninggalkan pelabuhan. Tujuan pertama kita di pagi ini adalah Batu Gantung.
Bang Hardi meminta abang tukang kapal untuk bercerita tentang hikayat Batu Gantung. Ternyata cerita abang tukang kapal ini perlu diterjemahkan oleh Bang Hardi. Sebenarnya dia bercerita dalam bahasa Indonesia. Tapi karena logat Batak nya yang kental kali, jadi kita terbengong-bengong mendengarnya. Tadinya kita kira dia ngomong bahasa Batak. Hah, ternyata bahasa Indonesia juga ! Bahasa Indonesia versi Samosir rupanya.
Alkisah di suatu masa di zaman dulu ada seorang putri nan cantik. Hehe, kalau di dalam cerita selalu dibilangnya putri tuh cantik ya. Putri ini punya seekor anjing bernama Poppi (ini kata abang tukang kapal lho ! ). Sang putri akan dinikahkan dengan seorang lelaki pilihan orang tuanya. Tapi karena sang putri telah memiliki tambatan hati, ia menolak untuk dinikahkan. Oleh karena itu ia terjun ke Danau Toba. Anjingnya yang setia turut terjun pula. Pada saat terjun itu ia dan anjingnya berubah menjadi batu dan tergantung di atas tebing di tepi Danau Toba.
Ada beberapa versi mengenai hikayat Batu Gantung ini. Ada yang bilang putri terjun ke danau karena kecewa setelah mengetahui pria yang dinikahinya – yang dijodohkan oleh orang tuanya itu – ternyata seorang lelaki yang cacat mental. Ada juga yang bilang ia terjun karena patah hati. Yah namanya juga hikayat, susah membuktikan kebenarannya. Oh iya, katanya nih Batu Gantung ini nggak boleh ditunjuk. Ups, irma terlanjur menunjuk batu itu waktu kasih tau Niken. Gimana ya ??
Lagi bahas cerita Batu Gantung itu Adep naik dari lantai bawah sambil ketawa-ketawa, ‘Di bawah ada Batu Ganteng tuh ! Wahyudi lagi beku ! Kedinginan dia, hahaha.’ Brrrrr … angin emang kenceng banget. Deedee bilang ia serasa jadi eskimo. Tapi biarpun lagi jadi eskimo gitu, Deedee tetap bergaya waktu irma foto dia dengan cappuchonnya.
Wahyudi naik ke lantai atas. Nggak pake jaket Di ? ‘Nggak usah, nggak apa-apa kok,’ Wahyudi bilang gitu. Udah deh, nggak usah sok kuat gitu. Pake jaket aja. Ntar kalau masuk angin gimana ? Nggak lucu banget kalau ntar malam harus kerikan. Niken ketawa ngikik-ngikik ngebayangin nanti malam para peserta duduk melingkar saling mengerik punggung. Akhirnya Wahyudi mau juga pake jaket. Abis itu dia gabung lagi dengan para fotografer gadungan di geladak. ‘Irma nggak ikut ke bawah, foto-foto ?’ tanya Pak Amran. Nggak ah, irma pengen di sini aja. Menikmati suasana. Lagipula irma nggak pandai memotret. Lebih baik irma merekam keindahan Danau Toba ini dalam ingatan irma daripada mengabadikannya dengan kamera.
‘Nikmati iramanya ya,’ Pak Amran duduk di samping irma. He eh, iya ya. Irama kapal bergerak naik turun dibuai ombak. Irma berkhayal anak Batak bernyanyi lantunkan lagu keindahan kampung halamannya. … O Tano Batak, sai naeng hu tatap …
Kapal jalan melambat membuyarkan lamunan irma. Rupanya kita udah sampai di Ambarita. Irma, Niken dan mamanya Niken perhatikan burung-burung Bangau warna putih terbang rendah di atas permukaan air. Waktu kapal berlabuh, wah ternyata dermaganya sedang direnovasi ! Jadi untuk mencapai daratan kita harus meniti jembatan dari pokok kayu. Hiii … ngeri juga kalau salah melangkah. Bisa-bisa kecemplung masuk danau L
Begitu turun kita dihampiri banyak pedagang. Panitia mengingatkan kita untuk terus berjalan, jangan tergiur untuk mampir lihat-lihat barang dagangan. Nanti ada waktunya untuk belanja-belinji. Tapi biarpun udah diingatkan begitu tetap aja ada yang mampir, pilih-pilih barang, lalu beli deh. Dasar cewek ! Nggak bisa lihat orang jualan. Lihat orang gelar dagangan langsung aja pada belok.
Kita jalan sampai ketemu bangunan semacam monumen. Di depan monumen ada tembok batu dan pintu gerbang. Ada papan hijau dengan tulisan putih. ‘Welcome to stone chair in Siallagan Ambarita’ , gitu bunyi tulisannya. Sambil menunggu peserta lain yang masih nyangkut di tempat belanja, irma berfoto di bawah papan hijau itu.
Setelah lengkap semua peserta, kita lalu masuk ke dalam pemukiman di balik tembok batu. Sederet rumah Batak menyambut kedatangan kita. Seorang pemandu setempat bernama Bang Zoran mempersilakan kita untuk duduk berkumpul di tempat yang telah disediakan. Irma perhatikan perkampungan itu tertata baik dan kebersihannya pun terpelihara.
Ninta menyerahkan megaphone kepada Bang Zoran tapi Bang Zoran bilang dia nggak perlu bicara pake megaphone. Suara dia lantang dan keras. Peserta yang duduk di bangku paling belakang sekalipun dapat mendengarkan suaranya dengan jelas. Emang tipikal orang Batak kan begitu, lantang bersuara.
‘Inilah Huta Siallagan,’ Bang Zoran memulai penjelasan. Huta itu artinya kampung atau desa. Siallagan, nama marga. Jadi Huta Siallagan adalah kampung orang Batak marga Siallagan. Huta ini dibangun oleh Raja Hendrik Siallagan pada abad ke 17. Huta memiliki pintu masuk yang terpisah dari pintu keluar. Kita harus masuk lewat pintu masuk, dan keluar lewat pintu keluar. Nggak boleh masuk lewat pintu keluar, atau sebaliknya keluar lewat pintu masuk. Ciri khas lain dari huta adalah di tengah-tengah huta terdapat pohon Hari Hara yang disebut juga pohon hari ketujuh.
Di Huta Siallagan ini kita bisa melihat rumah adat Batak. Rumah adat Batak yang asli terbuat dari kayu dan tanpa paku. Untuk menyatukan bagian-bagian rumah digunakan pasak. Dulu atap rumah terbuat dari ijuk. Tapi sekarang sudah diganti dengan atap seng.
Rumah adat Batak berbentuk perahu. Ini karena dulunya nenek moyang orang Batak tinggal di atas perahu. Atap rumah bagian belakang lebih tinggi daripada bagian depan. Arti filosofinya adalah generasi berikut harus lebih bagus daripada generasi sebelumnya.
Bagian atas rumah adat Batak digunakan sebagai lumbung. Bagian tengah sebagai tempat tinggal, dihuni oleh 2 – 3 keluarga. Bagian bawah atau kolong rumah untuk tempat hewan peliharaan, kerbau, kambing atau babi.
Untuk masuk ke dalam rumah adat Batak kita harus menggunakan tangga. Ada dua jenis tangga. Tangga dari depan rumah, menunjukkan rumah itu untuk para lelaki lajang. Tangga dari bawah rumah, artinya itu rumah untuk perempuan. Di bagian depan rumah ini kita bisa melihat ornamen buah dada perempuan sebanyak 4 pasang atau 8 buah.
Ornamen buah dada ini melambangkan kesuburan. Katanya nih, dalam mencari istri lelaki Batak mencari perempuan dengan buah dada yang besar. Diharapkan dari perempuan ini mereka mendapatkan banyak anak sesuai dengan prinsip orang Batak, ‘ Maranak sampulu pitu, marboru sampulu onom‘ , yang artinya ‘Beranak laki-laki tujuh belas, beranak perempuan enam belas.’ Banyak banget ya. Pantas keluarga Batak umumnya keluarga besar.
Kita duduk di depan rumah Raja Siallagan yang bertuliskan ‘Raja Siallagan Ompu Batu Ginjang Ruma Bolon’. Beda rumah raja dengan rumah lainnya adalah rumah ini memiliki teras dan ada tanduk kerbau di atas pintu masuk.
Di antara tempat kita duduk dengan rumah raja ada seperangkat meja dan kursi batu tempat bermusyawarah untuk menentukan hari baik, dan juga tempat peradilan. Jika seorang penjahat tertangkap, ia akan dipasung dalam penjara di bawah teras rumah raja. Bila masa pengadilannya tiba ia akan dikeluarkan dari penjara dan disuruh duduk di kursi pesakitan. Kursi ini bentuknya paling kecil dan sederhana dibandingkan kursi-kursi yang lain. Raja, dukun, dan para penasehat duduk di tempat yang telah ditentukan. Rakyat lain memperhatikan dari tempat kita duduk menyimak penjelasan Bang Zoran.
Pada pengadilan akan didengarkan kesaksian dan dipaparkan bukti-bukti kesalahan seorang pesakitan. Jika ternyata terbukti ia bersalah, maka akan dijatuhi hukuman. Pembunuh, pemerkosa, pengkhianat, dan penjahat perang akan dijatuhi hukuman pancung. Sedangkan kejahatan kecil seperti mencuri hanya dijatuhi hukuman menjadi budak.
Untuk mencari hari baik – manitiari, istilahnya dalam bahasa Batak – baik untuk pelaksanaan upacara adat ataupun hari pemancungan penjahat, dukun menggunakan kalender Batak yang disebut ‘Porhalaan’. Kalender Batak terdiri dari 12 bulan. Setiap bulan terdiri dari 30 hari. Dukun juga memiliki buku ‘Pustaha Laklak’ berisi mantra-mantra dan tatacara adat istiadat Batak. Mungkin semacam Primbon kalau di Pulau Jawa. Buku Pustaha Laklak dibuat dari kulit kayu. Ditulis dalam bahasa Batak, dengan tulisan Batak pula.
‘Apakah Bapak, Ibu, pernah melihat rumah adat Batak dari dekat ?’ tanya Bang Zoran. Sebagian besar Batmus menggeleng. Bang Zoran mengajak kita melihat-lihat bagian dalam salah satu rumah adat di Huta Siallagan. Kita masuk lewat kolong. Nah ketahuan kan, berarti rumah yang kita masuki itu rumah untuk perempuan. Di tengah rumah ada dapur beserta tungkunya. Ada perlengkapan memasak terbuat dari tembikar. Di dalam rumah bagian depan – agak tinggi, seperti balkon – ada seperangkat gondang. Alat musik pukul khas Batak. Bentuknya seperti kendang Sunda di Jawa Barat.
Puas melihat-lihat rumah adat Batak, kita pindah ke pekarangan di samping rumah raja. Di sana terdapat meja batu dengan permukaan miring. Itulah tempat pelaksanaan hukum pancung. Bang Zoran mempersilakan kita duduk di tempat yang disediakan untuk mendengarkan ia bercerita tentang eksekusi hukum pancung. Bukan hanya bercerita, Bang Zoran juga memperagakan eksekusi itu. Dibantu seorang temannya yang berperan sebagai terhukum. Bang Zoran sendiri bertindak sebagai algojo.
Bila telah tiba harinya pelaksanaan hukuman, terhukum pancung akan dibawa ke tempat eksekusi ini. Ia ditelanjangi. Tidak boleh sehelai kain pun menutupi tubuhnya karena dikhawatirkan ia menyembunyikan senjata atau aji-ajian di tubuhnya. (Ih, risih deh L Kan eksekusi ini ditonton juga oleh penghuni kampung lainnya ! ).
Mata terhukum ditutup sehelai kain. Lalu ia dibaringkan di atas meja batu. Posisi kepala lebih tinggi daripada kaki. Dari atas ke bawah, badannya disayat-sayat dengan pisau belati. Hiiii … kebayang sakitnya ! Tapi jika terhukum ini memiliki kesaktian, ia tidak akan merasa sakit. Dukun akan menangkal kesaktiannya. Kesaktian terhukum dapat ditangkal dengan darah anjing hitam atau air susu ibu.
Jika kesaktian terhukum telah hilang, dayang-dayang kerajaan yang cantik-cantik akan memerciki tubuh terhukum yang telah disayat-sayat dengan jeruk nipis. Huaahhh … makin perih aja lukanya itu ! Karena kesaktiannya udah nggak ada lagi, terhukum akan merasa kesakitan dan menjerit-jerit. Semakin keras jeritannya, semakin keras pula rakyat yang menonton eksekusi berteriak, ‘Horas ! Horas ! Horas !’
Dari meja batu miring, terhukum ditelungkupkan di tempat pemancungan. Lehernya ditusuk belati. Darah yang mengalir dari luka bekas tusukan akan ditampung. Darah ini kemudian diberikan kepada raja dan para pemuka masyarakat untuk diminum.
Barulah kepala terhukum dipancung dengan pedang panjang nan tipis, diiringi teriakan ‘Horas ! Horas ! Horas !’ dari seluruh penonton. Sekali tebas, kepala terhukum harus putus. Kalau nggak, algojonya akan dipancung juga. Glek !
Kepala terhukum lalu dibawa ke tengah-tengah arena untuk ditunjukkan kepada rakyat. Badannya dibawa kembali ke meja batu miring. Jantungnya diambil dan dibagi-bagi untuk dimakan. Sedangkan sisa badannya dibuang ke Danau Toba. Selama tujuh hari air danau tidak boleh disentuh karena telah tercemar. Jika larangan ini dilanggar maka masyarakat akan marah.
Membayangkan eksekusi hukum pancung ini irma jadi merasa mual. Hekkkk … kenapa sih harus sekejam itu hukumannya ? Pakai dipertontonkan kepada khalayak ramai lagi L Bang Zoran bilang, hukuman ini memang kejam. Tapi tujuannya demi kebaikan, yaitu agar orang tidak berani berbuat jahat.
Hukum pancung seperti ini sekarang tidak dilaksanakan lagi. Ludwig Ingwer Nommensen datang ke tanah Batak untuk menyebarkan agama Kristen di tahun 1861. Sebelumnya beberapa orang misionaris pernah datang tapi mereka tidak berhasil menanamkan ajaran Kristen. Nommensen pandai mengambil hati orang Batak maka ia dapat diterima oleh mereka. Sejak agama Kristen berkembang di Batak, hukum pancung seperti yang diceritakan Bang Zoran tadi mulai ditinggalkan.
Kristen merupakan agama mayoritas yang dianut orang Batak. Sebelumnya mereka menganut kepercayaan animisme, menyembah tuhan Debata Mulajadi Silaon Na Bolon. Hayooo … ingat nggak pelajaran sejarah di SMP dulu ? Salah satu kurikulumnya kan membahas sejarah Batak.
Selesai Bang Zoran dan temannya mementaskan eksekusi hukum pancung, kita saweran untuk donasi buat Huta Siallagan. Masyarakat di sini mengelolanya secara swadaya. Diharapkan pengunjung memberikan sumbangan untuk membantu pemeliharaannya.
Sementara Ninta dan Deedee mengumpulkan saweran, Bang Zoran menunjukkan aneka cendera mata khas Batak. Sekarang banyak dijual buku Pustaha Laklak dan kalender Batak sebagai souvenir. Di Ambarita kita bisa mendapatkan kalender Batak dengan berbagai ornamen. Kebanyakan gambar rumah adat Batak. Biasanya orang-orang yang ke Samosir membeli kalender Batak untuk oleh-oleh. Irma juga punya satu, dulu dikasih dari seorang teman kantor. Karena irma pajang di pintu kamar beserta ulos, teman-teman kost mengira irma tuh orang Batak, hahaha.
Selain kalender Batak, buku Pustaha Laklak, dan ulos, ada satu lagi cendera mata Samosir yang baru kali ini irma dengar. Yaitu tongkat Tunggal Panaluan. Wah, tongkat apa tuh ?
Alkisah, dahulu kala ada seorang raja yang memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan. Pada masa itu anak kembar berbeda jenis kelamin dianggap suatu aib. Oleh karena itu mereka dipisahkan sejak lahir. Yang laki-laki diasuh oleh keluarga pihak raja, yang perempuan diasuh oleh keluarga dari pihak istri raja (hula-hula).
Sepasang anak itu bertemu lagi setelah dewasa. Mereka saling mencintai dan bermaksud untuk menikah. Mereka tidak tahu bahwa mereka bersaudara. Raja yang murka mengetahui bahwa anak-anaknya ini akan menikah, mengusir mereka ke hutan. Karena takut akan binatang buas mereka naik ke atas pohon Tada-tada. Pohon ini memiliki kekuatan magis. Siapapun yang menyentuhnya akan berubah menjadi kayu.
Melihat sepasang lelaki-perempuan yang bersaudara ini menjadi kayu, masyarakat dan para hewan membantu mereka untuk lepas dari pohon Tada-tada. Tapi semua yang membantu itu pun turut menjadi kayu. Raja lalu memerintahkan kayu itu dibuat menjadi tongkat. Tongkat itulah yang sekarang dikenal dengan nama Tongkat Tunggal Panaluan. Tongkat ini ditandai dengan kepala tongkat berupa kepala manusia berambut gondrong. Di bawah ukiran kepala manusia terdapat ukiran-ukiran lain berupa hewan. Biasanya ukiran Cicak. Tongkat ini dipercaya memiliki kekuatan magis untuk mendatangkan hujan, menahan hujan, menolak bala, mencari dan menangkap pencuri, mengobati penyakit, membantu peperangan, dan lain sebagainya. Tapi tongkat Tunggal Panaluan yang sekarang banyak dijual di Ambarita ini, nggak tau ya punya kekuatan magis atau nggak.
Hikayat tongkat Tunggal Panaluan yang diceritakan Bang Zoran ini hanyalah salah satu dari versi yang beredar. Di kemudian hari waktu irma cari-cari info di buku, majalah dan internet, ternyata ada berbagai versi asal-usul tongkat Tunggal Panaluan.
Sambil berkata ‘Mauliate’ (ucapan terima kasih dalam bahasa Batak) , irma menyalami Bang Zoran dan temannya lalu berjalan keluar dari Huta Siallagan melewati sederetan toko cendera mata. Kebanyakan pedagang di sana menawarkan kalender Batak. Tapi Wahyudi lebih tertarik untuk membeli kecapi bersenar dua khas Batak. Ah, kalau dia sih memang penggemar alat musik. Waktu nemenin irma lihat Inacraft aja yang dia beli gendang tabuh dari Malang. Trus waktu kita jalan-jalan ke Solo dengan Ela bulan April lalu, Wahyudi beli ukulele di Taman Sriwedari. Sekarang dia mau beli kecapi Batak.
Seorang ibu pedagang menawarkan kecapi kecil buat pajangan. Tapi irma bilang daripada beli yang cuma buat dipajang, mending beli yang bisa dimainin sekalian. Ada satu kecapi yang bagus banget. Terbuat dari kayu keras warna hitam dengan ukiran cantik. Di sisi badannya ada ukiran Cicak. Harganya 200 ribu ! Tau kita suka sama kecapi yang ini, ibu penjualnya nggak mau nurunin harga. Haaa … iya deh. Sekalian beramal membantu dia. Kata Adep, sejak bencana tsunami Aceh di akhir tahun 2004 lalu wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Danau Toba dan Samosir berkurang drastis banget. Para pedagang cendera mata ini jadi kena imbasnya L
Abis belanja kecapi – plus satu kalender Batak karena ibu penjualnya memohon-mohon terus – kita lanjut berjalan. Dari jauh terdengar suara kecapi mainkan lagu Batak, Sinanggar Tulo. Irma kira Ela yang main, karena irma lihat Ela lagi pegang kecapi. Ternyata kita tertipu ! Setelah didekati ketahuan yang main sebenarnya bapak penjual. Di sampingnya seorang ibu penjual tertawa-tawa menari Tortor. Ibu itu selempangkan ulos ke bahu Mbak Ade, ajak Mbak Ade turut menari.
Dari bapak penjual itu kita tau bahwa nama kecapi Batak itu adalah ‘Hasapi’. Hasapi yang Ela beli ukirannya lebih sederhana daripada yang Wahyudi beli. Harganya juga jauh lebih murah, cuma 75 ribu. Tau Wahyudi beli hasapi seharga 200 ribu, Ela berkomentar, ‘Hah, kemahalan tuh !’ Tau nggak, apa yang Wahyudi bilang kemudian ? ‘Kenapa sih ? Kalau buat gue, mending gue bayar mahal untuk kerajinan orang Indonesia daripada gue bayar mahal buat ngopi di Starbucks !’ Wah, top banget deh omongannya Wahyudi J
Dari Ambarita, dengan ferry kita lanjut ke Tomok. Di sana kita melihat atraksi boneka Sigale-Gale. Dulu ada seorang raja yang mempunyai anak laki-laki bernama Si Gale. Ketika Si Gale meninggal, Raja sangat sedih karena kehilangan. Ia lalu meminta pengrajin membuat boneka dengan wajah mirip Si Gale. Sebagaimana layaknya orang Batak, boneka ini juga dipakaikan ulos. Setelah bonekanya jadi, raja ingin agar boneka ini juga bisa menari seperti Si Gale. Akhirnya dibuatlah tali untuk menggerak-gerakkan boneka. Sejak saat itu setiap kali raja kangen akan Si Gale, ia akan memainkan boneka itu. Masyarakat menyebutnya boneka Si Gale-Gale. Sekarang boneka Si Gale-Gale terkenal sebagai salah satu obyek wisata di Pulau Samosir.
Boneka Sigale-Gale juga dimainkan pada upacara pemakaman, untuk menghubungkan keluarga yang ditinggal dengan arwah yang meninggal. Barang-barang pribadi peninggalan arwah dikenakan pada boneka Sigale-Gale. Kemudian dukun akan mengundang arwah untuk masuk ke dalam boneka. Sigale-Gale akan menari-nari di atas makam tanpa digerakkan oleh manusia.
Waktu pemain boneka mulai memasang musik pengiring boneka SigGale-Gale menari, banyak anak kecil datang dan berdiri di depannya. Tangan mereka bergerak-gerak menari Tortor. Lucu sekali. Kita jadi tertawa-tawa melihatnya. Selesai Sigale-Gale menari, kita masukkan uang ke kotak donasi. Lalu kita pindah ke makam Raja Sidabutar. Letaknya nggak jauh dari Sigale-gale.
Jenazah Raja Sidabutar tidak dimakamkan dalam tanah, tetapi diletakkan dalam peti batu. Raja Sidabutar terkenal dengan taktik kanibal dalam berperang. Hingga suatu saat ia bertemu dengan seorang raja dari Aceh yang mengajarkan taktik perang tanpa membunuh. Caranya ialah dengan mengangkat sarung dan menunjukkan kemaluannya kepada musuh. Karena mempertontonkan kemaluan adalah hal yang tabu bagi orang Batak, maka musuh akan berlari menjauh (wah, ternyata exhibisionis berguna juga dalam perang ! )
Sebagai ungkapan terima kasih, Raja Sidabutar memberikan kuda kepada Raja Aceh ini. Raja Aceh memberikan gajah kepada Raja Sidabutar. Makanya di samping peti batu Raja Sidabutar ada dua patung gajah. Di bagian depan peti juga dipahat gambar raja Aceh ini. Ia digambarkan sedang berjongkok menunjukkan kemaluannya (eh tapi kalau di pahatannya di peti batu itu nggak kelihatan kok ! )
Raja Sidabutar digambarkan berambut panjang. Konon orang Batak zaman dulu memang panjang rambutnya. Di bagian belakang peti batu ada patung perempuan yang sangat dicintai Raja Sidabutar tetapi tidak dapat dikawininya. Perempuan ini menjadi gila diguna-guna oleh musuh Raja Sidabutar. Kasihan ya.
Dengan kecepatan ngebut pemandu setempat menerangkan arti ornamen-ornamen pada makam raja. Ia juga bercerita tentang patung-patung batu berbentuk kepala orang dan seperangkat meja-kursi batu di sekitar makam. Tapi karena ngomongnya cepet banget irma nggak sempat catat. Jangankan mencatat, menyimak aja nggak sempat L
Pemandu di Makam Raja Sidabutar menunjukkan Tongkat Tunggal Panaluan yang tersandar pada makam. Pada tongkat itu diukir dua pasang buah dada perempuan. ‘Lelaki Batak kalau melihat perempuan, yang dilihatnya adalah ukuran buah dadanya. Yang dicari adalah yang tomok. Tomok itu artinya subur. Karena perempuan yang tomok akan melahirkan banyak anak,’ gitu kata bapak pemandu. Pada tongkat juga terdapat ukiran Cicak. Ini menunjukkan prinsip orang Batak, ‘Jadilah seperti Cicak, di mana pun berada tetap bisa hidup’. Cicak sangat disegani oleh orang Batak. Makanya Pak Leo bilang dia nggak boleh ngejepret Cicak pake karet gelang. Tapi kalau ngejepretnya pake kamera boleh kan Pak ???
Baru aja bapak pemandu bilang bahwa tongkat Tunggal Panaluan dapat mendatangkan hujan, tiba-tiba hujan turun rintik-rintik. Makin lama makin deras hujannya. Wahyudi mengamankan kameranya dari air hujan pake kantong plastik pemberian Tety. Kita lalu berlarian kembali ke ferry. Di dermaga tukang kapal sudah bersiap. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu kita naik ke atas kapal. ‘Yang penting kau selamatkan dulu Salak ku ini,’ Ela mengulurkan kantong plastik hitam. Ya ampun Ela, hujan-hujan begini masih sempat-sempatnya belanja Salak ??
Karena hujan jadi irma dan Wahyudi memilih duduk di bawah, di kapal bagian belakang. Bareng Ela dan Ninta yang coba-coba bermain hasapi. Nggak berapa lama hujan mulai reda dan irma pindah ke atas. Ternyata di sana sedang ada keramaian. Tiga orang bocah Batak bernyanyi ‘Lisoi’. Lagu rakyat Batak bercerita tentang kegembiraan orang minum (tuak) rame-rame.
dongan sa pang kila laan, o parmitu
dongan sa par ti naonan, o parmitu
ar sak rap mangka lu pahon, o parmitu
to le marap mangan de hon, o parmitu
lisoi lisoi lisoi lisoi
o parmitu lisoi
lisoi lisoi lisoi lisoi
inum ma tu akmi
sirupma sirupma dor gukma dor gukma
handit ma galasmi
sirupma sirupma dor gukma dor gukma
ingkon rumar do i
lisoi lisoi lisoi lisoi
o parmitu lisoi
lisoi lisoi lisoi lisoi
inum ma tu akmi
lisoi ... !
Irma jadi ingat dulu waktu pertama kali ke Samosir, di atas kapal sering ada anak-anak bernyanyi lagu-lagu Batak seperti ini. Para penumpang akan memberinya uang sebagai imbalan mengamen. Selesai lagu ‘Lisoi’ mereka disuruh Jenny nyanyi lagi. Mereka lalu bernyanyi lagu ‘Pulau Samosir’. Abis lagu ini Jenny masih juga suruh mereka bernyanyi. Sempat bingung akhirnya mereka pun bernyanyi lagu Batak paling ngetop sejak dulu. Buteeet …
‘Inilah the future Batak boyband,’ kata Bang Hardi selesai mereka bernyanyi. Kasihaaan deh mereka. Udah dikerjain Jenny, disuruh nyanyi terus-terusan, eh uang sawerannya nggak kunjung dikasih juga L Bang Hardi minta mereka memperkenalkan diri. Seperti biasa, orang Batak dalam memperkenalkan diri tidak menyebutkan nama. Melainkan marga. Ketiga anak itu dari marga Situmorang, Simamora, dan Simarmata. Setelah memperkenalkan diri baru Jenny kasihkan uang saweran Batmus kepada mereka. ‘Adek, topinya jangan dibawa,’ bing! meminta topinya yang dipake buat nampung uang saweran. Mereka grogi kali ya, ditanggap sama Batmus yang jahil. bing! sampai harus meminta topinya berkali-kali baru mereka ngerti dan kembalikan.
Menjelang kita sampai kembali ke Parapat, Bang Hardi menunjuk ke satu rumah yang terletak di ketinggian tepat di samping danau. Ada tiang bendera dengan bendera Merah Putih berkibar di depannya. Itulah rumah pengasingan Bung Karno di Parapat. Kondisinya terawat baik. Sayang kali ini kita tidak berkunjung ke sana. Jadi kita cuma memotretnya aja dari kejauhan.
Setelah ferry merapat di dermaga Parapat, kita lalu pindah ke bis dan menuju ke rumah makan Singgalang untuk makan siang. Yang unik dari rumah makan ini adalah pada papan di atap rumahnya terdapat tulisan koordinat lokasi, N. 02o 40’ 18.7” dan E. 098o 56’ 14.1”. irma bilang sama Wahyudi buat kasih tau Rony Baskoro untuk cocokkan dengan piranti GPS nya. Sejak di Pematang Siantar kemarin irma perhatikan Rony selaluuu memperhatikan gadgetnya itu.
Begitu masuk ke dalam rumah makan Singgalang, kepala irma langsung pusing mencium aroma masakannya. Irma lalu keluar dan duduk di sana. Tapi biarpun di luar begitu masih keras juga tercium aromanya. Wahyudi menyusul irma keluar. Tau irma nggak kuat dengan aroma di sana, Wahyudi ajak irma cari tempat makan lain. Kita lalu berjalan menyusuri jalan Sisingamangaraja sampai ketemu tempat makan yang rame. Kalau rame biasanya itu menunjukkan masakannya enak. Akhirnya kita masuk ke rumah makan Istana Minang. Ketahuan kan dari namanya, pasti itu restoran Padang. Ternyata di sana ada Mbak Ade, Iwin dan Bang Idrus. Kita makan sama-sama. Untung juga irma nggak jadi makan di tempat Batmus makan siang, karena di Istana Minang itu irma dapat Ubi Tumbuk. Masakan sayur khas Batak yang enaaaakkk banget. Sampai tambah-tambah irma makannya J
Siap makan perjalanan lanjut ke Pematang Purba untuk melihat Rumah Bolon Simalungun. Rumah besar ini merupakan istana kerajaan Purba yang berdiri sejak abad ke XV. Rumah Bolon terbuat dari kayu dan atap ijuk. Rumah ini dibangun tanpa paku. Untuk menyatukan satu kayu dengan yang lain digunakan pasak atau ikatan. Hingga sekarang di usianya yang ke 382 tahun kondisi rumah Bolon masih bagus.
Masuk dan keluar Rumah Bolon kita harus lewat tangga yang curam. Untuk memudahkan dan nggak hilang keimbangan saat di tangga, kita bisa berpegangan pada akar pohon yang digantung dari atap menjuntai ke bawah. Saat memasuki rumah ini kita akan melihat 14 tanduk kerbau yang menunjukkan 14 raja yang pernah memerintah. Setiap pengangkatan satu orang raja ditandai dengan satu tanduk kerbau. Di dinding rumah dekat ke-14 tanduk kerbau tadi dipajang tertulis nama-nama raja kerajaan Purba dan masa pemerintahannya.
1. Tuan Pangultop Ultop (1624 - 1648)
2. Tuan Ranjinman (1648 - 1669)
3. Tuan Nanggaraja (1670 – 1692)
4. Tuan Batiran (1692 – 1717)
5. Tuan Bakkaraja (1718 – 1738)
6. Tuan Baringin (1738 – 1769)
7. Tuan Bona Batu (1769 – 1780)
8. Tuan Raja Ulan (1781 – 1796)
9. Tuan Atian (1800 – 1825)
10. Tuan Horma Bulan (1826 – 1856)
11. Tuan Raondop (1856 – 1886)
12. Tuan Rahalim (1886 – 1921)
13. Tuan Karel Tanjung (1921 – 1931)
14. Tuan Mogang (1933 – 1947)
Tidak ada raja lagi setelah raja yang ke-14. Raja terakhir dibunuh karena dianggap berpihak kepada Belanda. Raja yang ke 14 ini telah memeluk agama Kristen dan beristri satu. Sedangkan raja-raja sebelumnya beristri banyak. Makanya rumah raja besar begini untuk menampung istri-istri dan anak-anaknya. Konon, raja yang ke 12 mempunyai 24 orang istri dan 88 orang anak !
Dari mana saja raja Purba memperoleh istri ? Tidak jauh dari Rumah Bolon terdapat tempat menumbuk padi. Di sinilah seluruh perempuan rakyat kerajaan Purba dikumpulkan. Pada saat mereka menumbuk padi, raja akan memperhatikan. Jika ada yang ia sukai akan ia panggil dan dijadikannya istri. Meskipun perempuan itu telah bersuami, ia tidak boleh melawan titah raja.
Meskipun besar Rumah Bolon ini hanya menampung 12 istri raja yang ditempatkan di ruang panjang di belakang ruang depan. Untuk masuk ke ruangan ini kita harus melewati pembatas ruangan yang cukup tinggi. Di sisi kiri dan kanan ruangan terdapat semacam bale-bale panjang tempat istri-istri raja tidur dan memasak. Untuk setiap istri raja (dan anak-anaknya) disediakan tungku. Khusus untuk permaisuri, ada kamar tersendiri yang tergantung di atas balai-balai.
Raja tidur di mana ? Kamar Raja terdapat di ruangan depan. Ajudan raja bertugas memanggil istri bila Raja ingin ditemani. Caranya dengan meletakkan sejumlah daun sirih pada nampan lalu nampannya dimasukkan ke dalam ruang panjang tempat istri-istri raja berkumpul. Jumlah daun sirih pada nampan menunjukkan istri keberapa yang dipanggil menemani raja kali itu. Ajudan raja seorang yang dikebiri agar ia tidak tergoda dengan istri raja. Tapi ada juga yang bilang ajudan itu dikebiri karena ia pernah melihat istri raja mandi.
Di satu sudut ruang panjang ruang istri-istri raja berkumpul terdapat peti batu berhias ukir-ukiran. Ke dalam peti ini jenazah raja disimpan sebelum dimakamkan. Jenazah disemayamkan hingga penobatan raja baru. Setelah peti berisi jenazah diusung dan dibawa keliling rumah 7 kali serta upacara adat lainnya, barulah kemudian dimakamkan.
Ibu Wisda kasih tau pemandu dari Rumah Bolon kalau di antara rombongan Batmus ini juga ada seorang Batak marga Purba. ‘Purba mana ?’ tanyanya. ‘Purba Toba,’ kata Jenny. ‘Oh kalau yang di sini Purba Simalungun,’ kata pemandu. Irma baru tau ternyata nama marga yang sama bisa berasal dari rumpun yang berbeda. Suku Batak terbagi menjadi beberapa rumpun ; Toba, Karo, Simalungun, Pakpak dan Mandailing. Purba, Sipayung, Damanik dan Sitorus adalah marga-marga Simalungun.
Panitia mengingatkan peserta untuk kembali ke bis. Seperti biasa Ninta dan Deedee jalan belakangan sekalian sweeping, kali-kali aja masih ada peserta yang tertinggal. Irma dan Wahyudi gabung dengan mereka, bareng sama Alice, Nanis, bing!, Endah, Linda, Tessa dan Ida. Lagi jalan menuju bis gitu Deedee lari ke depan duluan dan nyuruh kita jalan pelan-pelan karena dia mau motret kita lagi jalan. Yang lain nurut sama perintah Deedee. Bukan cuma jalan pelan-pelan tapi malah ‘freeze’ biar posenya nggak berubah selagi menunggu Deedee setting kameranya. Kecuali irma. Irma malah lari nyusul Bang Idrus yang lagi jalan masuk ke dalam satu gua. Gua apa tuh ??
Ternyata itu bukan gua. Tapi semacam jalan masuk dan keluar komplek Rumah Bolon untuk pejalan kaki. Irma nggak berani masuk sendirian. Nggak gelap-gelap amat sih, tapi tetap aja irma nggak berani jalan ke dalam sana tanpa teman. Jadi irma nunggu Wahyudi yang masih kecentilan difoto Deedee. Setelah Wahyudi datang baru kita berjalan menyusuri gua eh terowongan itu. Di sepanjang dindingnya ada relief gambar orang-orang berbusana adat Batak. Sepertinya menggambarkan suasana kehidupan sehari-hari.
‘irma, bandel ya !’ kata Deedee waktu ketemu di parkiran bis. Hehe, abis Deedee lama setting kameranya. Sedangkan Bang Idrus udah makin jauh jalan masuk ke dalam gua. Jadi irma buru-buru ke sana biar nggak sendirian di gua. Bang Idrus bilang kalau masuk situ bisa tembus ke Samosir. Hah penipu ! Dia kira irma anak kecil apa, bisa dibo’ongin gitu !
Di parkiran Jenny ketemu tulisan unik pada dinding suatu bangunan yang mungkin tadinya berupa warung atau toko souvenir. Bunyi tulisannya ‘Cinta tak harus memiliki’. Jenny berfoto di samping tulisan itu dengan ibu jari menunjuk ke bawah dan ekspresi marah. ‘Bohong !’ dia bilang sambil difoto Joseph. Selesai Jenny gantian Deedee yang difoto di sana dengan pose terpekur menatap tulisan. Pasti buat dipasang di multiply nya. ‘Posenya friendster banget !’ komentar Joseph.
Naik ke atas bis dan perjalanan lanjut ke Tongging untuk melihat air terjun Sipiso-Piso. Langit udah mulai gelap waktu kita sampai di sana. Makanya di sana kita hanya lihat air terjun dari atas aja, nggak turun ke tempat curahannya. Karena … ‘Turunnya sih setengah jam. Naiknya setengah mati,’ kata Deedee menirukan kata-kata pemandu yang mendampingi Adep dan Pak Amran waktu survey ke sana. Air terjun itu memang tinggiii sekali. Ketinggiannya mencapai 120 m. Jadi kalau Shafiq membayangkan di bawah air terjun itu ada orang yang lagi kumkum (duduk berendam, bahasa Jawa), terang aja Joseph jadi terkejut mendengar khayalan itu. ‘Gila ! Bisa mati tu orang !’ serunya. Iya ya, ketiban banyak air dari ketinggian setinggi itu kan bisa bikin kepala pecah !
Para fotografer langsung sibuk mengabadikan Sipiso-Piso yang cantik. Cahaya matahari yang mulai hilang membuat mereka harus pandai-pandai memotret dengan cahaya minim. Irma lihat foto-foto yang Endah buat baguuus sekali. Sampai kelihatan jelas buih-buihnya. Karena irma tidak pandai memotret jadi irma foto Endah nya aja yang lagi mengambil gambar Sipiso-Piso. Name tag Endah udah pindah ke punggung. Deedee membalik name tag itu jadi nama Endah bisa jelas terbaca di foto. Kita ketawa-ketawa melihatnya. Tapi Endah nya sendiri cuek aja tuh. Dia tetap asik memotret.
Selain air terjun Sipiso-Piso, dari Tongging kita juga bisa melihat Danau Toba. Saking besarnya danau itu, ia bisa dilihat dari Toba, Tanah Karo dan Simalungun. Teman irma yang orang Medan bilang dari Tongging sini lah pemandangan Danau Toba yang paling cantik. Memang benar sih. Kita nggak puas-puasnya memandang danau. Sayang di sana kita cuma sebentar sekali (15 menit doang ! L ). Hari pun beranjak petang. Kita buru-buru berfoto sebelum hari makin gelap. Pak Amran, Bu Wisda, Deedee dan Adep bikin foto keluarga. ‘Yudi nya nggak ada. Diganti Yudi yang ini aja ya,’ Wahyudi menunjuk dirinya sendiri. Hahaha Wahyudi mau menggantikan anaknya Pak Amran dan Bu Wisda yang bernama Yudi ? Harus jadi orang Padang dulu Di J
‘Eh, ibu mau tanya. Tadi kalian nggak makan ya waktu di Parapat, abis kita dari Samosir ?’ tanya Bu Wisda kepada irma dan Wahyudi setelah selesai berfoto keluarga. Nggak Bu. Abisnya irma nggak kuat dengan aroma masakan di sana. ‘Trus, kalian makan di mana ?’ selidik Bu Wisda. ‘Ummm … warung Padang,’ malu-malu irma bilang. Uuh, Bu Wisda langsung gemas sama irma. Abisnya selama ini irma nggak pernah merasa orang Padang meskipun kakek-nenek nya asli dari Palembayan, kabupaten Agam, Sumatra Barat. ‘Hehehe gimana ya Bu, ternyata dalam hal makanan kembali ke salero bundo,’ bela Wahyudi. Hihihihi …
Ninta mulai memanggil-manggil peserta kembali ke bis. Seperti biasa para fotografer selalu yang terakhir meninggalkan tempat. Itupun dengan berat hati mereka beranjak. Masih pada pengen di sana mengambil foto. ‘Awas jangan ada yang lupa. Kamera, tas, tripod,’ Ninta mengingatkan. Dengar kata-kata Ninta begitu Rony Baskoro jadi terkejut. ‘Haa, tripodku mana ? Tripodku mana ?’ Rony mencari-cari. Padahal tripodnya ada di punggungnya tuh, nyantol dalam saku rompi yang memang dirancang khusus buat bawa macam-macam barang. Kita jadi ketawa-ketawa melihatnya. Rony juga ketawa setelah ingat bahwa ia sendiri yang taruh tripod itu di punggungnya. Benar-benar lupa dia ! Istrinya yang lagi nunggu di bis, dia ingat nggak ya ??
Perjalanan berlanjut. Sekarang kita menuju Medan. Adep bilang sebenarnya dari Tongging ini kita lebih dekat ke Brastagi. Tapi karena di malam Minggu itu ada konser artis Mandarin di Brastagi, jadi hotel-hotel di sana udah pada penuh dibooking. Banyak tamu-tamu dari Medan akan datang menonton konser dan menginap. Kalaupun ada hotel yang bersedia menampung Batmus, harganya mahal banget. Bisa nggak cukup budgetnya. Maka dari itu kita menginap di Medan. Jauh sih perjalanan. Tapi apa boleh buat lah. Lagipula fisik dan mental kita kan udah terlatih jalan jauh waktu PTD Makassar – Tana Toraja. Sepuluh jam dalam bis !
Belum berapa lama bis berjalan, di sekitar Kabanjahe tiba-tiba bing! berseru, ‘Pelangi ! Ada pelangi !’ Tangan bing! menunjuk-nunjuk jendela di samping kanannya. Yang lain jadi pada melihat ke arah sana. Joseph bilang ia malah jadi tergencet karena yang duduk di samping kirinya langsung pada mendesak, berjejal-jejalan ke jendela di samping kanan Joseph. Kasihaaan deh Joseph. Tapi kan Joseph badannya besar gitu ya. Masa’ sih bisa-bisanya dia kegencet ??
Pelanginya indah sekali. Membentuk lengkungan satu busur yang sempurna. Jarang-jarang pelangi terlihat utuh seperti ini. Biasanya cuma sepotong aja yang terlihat. Irma coba memotret pelangi di Kabanjahe ini. Tapi nggak berhasil mendapat lengkungan utuhnya. Gimana sih caranya motret pelangi ??
‘Aku ingin ke sana ! Aku ingin ke sana !’ bing! masih menunjuk pelangi tadi. Kenapa sih ? irma bingung merhatiin kelakuannya bing! ‘Karena seharusnya di sana tempatku berada !’ kata bing! kemudian. Halah ……. bing! bidadari ya ?? Kan katanya di ujung pelangi tempat bidadari berkumpul. Tapi kalau (dulu) bing! adalah seorang bidadari, dan sekarang berada di sini dengan Batmus, berarti ada yang nyembunyiin selendangnya ya ?? Makanya dia nggak bisa balik ke atas pelangi. Hahahaha J
Perjalanan ke Medan memakan waktu sekitar 4 jam. Menuju Brastagi, bis sempat berhenti sebentar buat kasih kesempatan beberapa Batmus memotret gunung Sinabung berlatarkan langit merah kala matahari terbenam. Memasuki Brastagi langit sudah benar-benar gelap. Antara Brastagi – Medan bis berjalan menembus kabut. Nggak ada lagi yang bisa dipandang di luar. Dari arah Medan nampak banyak mobil dan kendaraan menuju Brastagi. Mungkin mereka itu yang akan menonton konser artis Club 189 dari Taiwan. Tapi kalaupun tidak ada konser itu, irma rasa tetap saja Brastagi akan rame pada libur long weekend begini. Brastagi bagi orang Medan seperti Puncak bagi orang Jakarta. Banyak orang Medan berlibur ke sana di akhir minggu.
Untuk menghilangkan bosan, teman-teman yang duduk di bangku belakang bernyanyi-nyanyi. ‘Yud, nyanyi Yud,’ Ninta mengajak Wahyudi bergabung. Wahyudi lalu pindah ke belakang. Di sana dia ngamen, mainkan hasapi kepunyaan Ela. Hasapi kepunyaan Wahyudi putus satu tali senarnya waktu distem. Katanya di Jakarta nanti mau dia ganti.
Yah namanya juga Batmus ya, pencinta sejarah dan per-djadoel-an jadi yang dinyanyikan juga lagu-lagu lawas. Aaapanya dong, aaapanya dong, yang membuat aku tertarik ? Mereka nyanyi-nyanyi lagu karya Titik Puspa yang dipopulerkan Euis Darliah. Waktu irma SD lagu ini ngetop banget sampai dibuat film dengan judul yang sama. Pemerannya Titik Puspa dan grup lawak De Bodor dari Bandung. ‘Kalau orang Batak bilang, yang tomok lah …’ celetuk Wahyudi. Idiiih … Wahyudi !
Jam delapan malam kita sampai di Restoran Kenanga Indonesia di jalan Jamin Ginting, Padang Bulan. Udah dekat Medan sih tapi makan dulu lah. Laper nih. Apalagi banyak yang sudah mendesak harus segera ke toilet. Antrian panjang langsung terjadi tapi ternyata toilet yang di atas lagi nggak ada air L Wah, bagaimana ini ?? Seorang pelayan kasih tau di bawah ada toilet lain. Jadi kita bergegas ke sana. Untung di sana airnya lancar. Hhhhh lega …
Irma makan satu meja dengan Deedee, Bu Wisda dan Pak Amran. Selesai makan datang Tia menghampiri Deedee. ‘Jadi tingtong ke mana nih ?’ tanyanya. Huahahahahahaha … Deedee dan irma ketawa. Menyadari dirinya salah ucap – seharusnya pintong – Tia kemudian ikut ketawa juga. ‘Mulai dari sekarang kita panggil dia Tia TingTong !’ Deedee mengacungkan kelima jarinya, toss dengan irma. Hihihihi lucu, kayak bel rumah. Ting Tong !
Jam sembilan malam kita lanjut ke Medan. Sebelumnya beberapa pelayan restoran naik ke atas bis menyusul beberapa peserta yang belum bayar minuman. Makan malamnya memang disediakan oleh panitia. Tapi untuk minuman tambahan seperti teh panas, kopi dan softdrink, ditanggung oleh masing-masing peserta. Oy, bayar oy ! Kan malu sampai diuber-uber gitu.
Jam sepuluh malam kita sampai di Garuda Plaza Hotel, Medan. Udah pada capek semua. Ngantuk banget. Rindu sama kasur dan bantal yang empuk. Jadi begitu dapat kunci kamar kita langsung masuk kamar masing-masing. Mandi nggak ya ?? Mandi deh, mandi. Biar enak tidurnya. Lagian kan nggak enak badannya kotor begitu abis jalan-jalan seharian. Dekil lagi ! De kil and the kumel …
... to be continued to part 3 ...
