Ini cerita irma bikin buat seorang teman yang lahir dan besar Medan, hingga akhirnya dia merantau ke Bandung buat sekolah dan kini terdampar di Jakarta demi sesuap nasi segenggam berlian. Seorang teman yang berdasarkan silsilah keluarganya merupakan generasi ke-13 dari Raja Batak.
Pak Leo, this is the story of your land. And a lovely hometown
Catatan Perjalanan PTD Medan – Danau Toba
18 – 19 – 20 – 21 Agustus 2006
Ini Medan, Bung !
irma agustina
Pernah dengar kata-kata itu kan ?? Itu adalah kalimat yang ngetop banget di kalangan orang Medan. Mama nya irma pun bilang begitu waktu pertama kali bawa irma ke Medan 21 tahun yang lalu. Udah lama banget ya. Irma ingat waktu itu menginap di rumah Nenek di daerah yang disebut Kota Matsum. Tepatnya di jalan Japaris. Sekarang jalan itu dinamakan jalan Rahmadsyah.
Pertama kali ke Medan irma tercengang-cengang melihat becak di sana. Kalau di Jawa, tukang becaknya kan duduk di belakang. Nah di Medan ini pengemudi becak duduk di samping penumpang. Jadi penumpang dan pengemudi bisa bercakap-cakap dengan enak. Irma perhatikan, tukang becak di Medan tidak segan-segan mengajak penumpang mengobrol. Apalagi kalau tau baru kali itu kita ke Medan. Dengan ramah mereka memberitahu tempat-tempat menarik untuk dikunjungi.
Ada dua jenis becak di Medan. Becak mesin, becak yang menggunakan sepeda motor sebagai penggeraknya. Satu lagi becak yang harus dikayuh pedal rodanya. Istilahnya (dulu) becak dayung. Irma paling senang naik becak dayung. Anti polusi dan tidak berisik. Kalau becak mesin kan rame banget suaranya. Brem brem brem … ! Belum lagi kalau pembakaran bensinnya tidak sempurna. Bletak ! Knalpotnya seperti meledak.
Irma ingat di tahun 1985 itu dengan Mama irma naik becak dayung dari Kota Matsum ke Pajak Hongkong (sekarang Hotel Novotel). Jaraknya seperti dari persimpangan Kuningan-Gatot Subroto ke tugu Pancoran di Jakarta. Bayar berapa ? ‘Seperak,’ tukang becaknya mengacungkan jari telunjuk. Seperak itu seratus rupiah. Kalau naik becak mesin ongkosnya dua perak alias dua ratus rupiah. Ongkos becak mesin lebih mahal karena tukang becaknya harus beli bensin. Padahal kalau dipikir-pikir beban tukang becak dayung lebih berat ya, kan dia harus nggenjot pedal L Karena ongkos becak mesin yang mahal itu makanya Mama naik becak mesin hanya untuk pergi-pergi ke tempat yang jauh. Misalnya dari Kota Matsum ke Pulau Brayan.
Eh, tadi irma bilang Pajak Hongkong ya ? Pajak adalah istilah bahasa Medan untuk pasar. Kalau kita bilang kita mau ke pasar, sama orang Medan kita akan diantar ke jalan. Karena ‘Pasar’ itu artinya jalan dalam bahasa Medan. Hihihi … lucu ya, kata yang sama bisa berbeda arti. Dulu irma juga bingung. ‘Yuk kita ke pajak !’ ajak Mama irma. Irma heran ngapain jauh-jauh ke Medan ternyata ngurusin pajak ? Ternyata maksudnya ke pasar.
Pajak Hongkong itu seperti Pasar Baru di Jakarta. Di sana banyak dijual kain dan baju. Seorang teman irma yang asal Medan bilang, eskalator pertama di Kota Medan ada di Pajak Hongkong. Waktu tahun 1985 itu irma naik eskalator nggak ya di sana ? Ah, lupa. Yang irma ingat di sana irma pingsan waktu nunggu Mama pilih-pilih kain songket. Lagi puasa Ramadhan sih. Jadi lemes.
Sejak kerja sebagai auditor beberapa kali irma dapat tugas ke Medan. Tapi yang namanya tugas kerja ya, belum tentu sempat jalan-jalan keliling kota Medan. Cuma sekali di tahun 2002 irma berkesempatan melancong dalam kota Medan. Bersama rekan kerja naik sepeda dari kantor di Medan Baru ke daerah Polonia, lalu ke kantor Gubernur di jalan Diponegoro dan putar-putar di sekitar sana melihat-lihat gedung-gedung tua yang apik terawat. Trus istirahat di rumah peninggalan orang tuanya teman irma itu di jalan Kenanga. Waktu PTD Medan – Danau Toba ini irma baru tau kalau rumah tua di jalan Kenanga itu disebut ‘rumah jengki’. Dari pagi sampai siang naik sepeda keliling kota Medan. Irma sih senang-senang aja. Tapi sepanjang jalan diperhatiin orang-orang. Mungkin mereka jarang lihat turis keliling kota naik sepeda, hahaha.
Bukan cuma diperhatiin, tapi irma juga sempat kena pelotot supir sudako. Sudako adalah sebutan untuk kendaraan umum di Medan. Sekarang sih, orang-orang sebutnya angkot. Singkatan dari angkutan kota. Tapi kata sepupu irma yang asli orang Medan, sudako tuh beda dengan angkot. Kalau angkot pintunya di samping kiri. Sedangkan sudako pintunya di belakang. Trus sudako pada umumnya berwarna kuning. Kalau angkot warnanya macam-macam tergantung trayek.
Tau nggak kenapa irma dipelototin supir sudako ? Karena irma yang santai bersepeda dianggap menghambat perjalanan mereka. Tipikal pengemudi (angkutan umum) di Medan, kalau nyupir maunya ngebut aja. Bahkan lampu lalu lintas menyala merah pun diterabasnya. Canda teman irma yang jadi manager kantor cabang Medan nih, di Medan tuh nggak ada lampu merah. Yang ada lampu merah jambu. Makanya kalau lampu merah menyala, kendaraan tetap melaju. ‘Belum merah kali,’ gitu kata supirnya kalau ditegur. Makanya teman irma itu bilang, ‘Di sini lampu merah tuh artinya ‘Go !’. Kalau lampu hijau artinya ‘Hati-hati !’, karena kendaraan dari samping kiri dan kanan tetap melaju biarpun lampu lalu lintas untuk jalur mereka sebenarnya menyala merah.’ Halah, kalau gini sih, ngapain jugaa dipasang lampu lalu lintas ???
Yah, begitulah kota Medan. Panas, semrawut, dan orang-orangnya cenderung bertemperamen lebih keras daripada orang-orang di Pulau Jawa. Tapi irma cinta kota ini. Di kota ini Mama nya irma lahir dan dibesarkan. Ke kota ini pula Papa nya irma mengembara 50 tahun yang lalu. Hingga akhirnya beliau bertemu dengan Mama nya irma dan cinta mereka pun bersemi. Sayang, gedung SMA Negri IIB di jalan Serdang tempat pertemuan mereka sudah tak ada lagi. Andai ada, irma ingin sekali ke sana. Membayangkan kejahilan yang Mama lakukan terhadap Papa dulu. Awal mereka bertemu, Papa tuh mahasiswa yang diperbantukan untuk mengajar SMA. Salah satu muridnya adalah Mama. Cerita Mama nih, Mama dulunya baduuung banget. Suka ngejahilin guru-gurunya. Tapi sama Papa, Mama mati kutu. Karena ternyata Papa lebih banyak akal bulusnya untuk membalas kejahilan Mama. Hahahahaha, mati kutu lalu hatinya klepek klepek klepek jadi jatuh cinta … J
Hari ke – 1, Jumat 18 Agustus 2006
Wahyudi datang ke tempat kost irma di Pejaten jam 4 pagi. Abis gitu kita ke bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Sampai di terminal 1B setengah jam kemudian. Kepagian nih, kan Adep bilang kumpulnya jam 5 pagi. Tapi nggak apa-apa lah. Mending datang kepagian daripada terlambat.
Lagi nunggu Wahyudi sholat Subuh, Adep telpon ke handphone irma. ‘Kita udah di terminal 1B nih. Di tangga. Kalian di mana ?’ tanyanya. Di depan mushola, di balik tangga yang Adep bilang. Setelah Wahyudi selesai sholat, kita lalu gabung dengan panitia. Adep dan Deedee pake kaos Plesiran warna merah. Kayaknya tadi malam Deedee nggak tidur ya, mukanya kusut banget.
Kali ini para peserta pada tertib datang berkumpul jam 5 pagi, sesuai permintaan panitia. Sejak hari Kamis lalu Ninta telpon-telpon para peserta, mengingatkan kita jangan sampai terlambat. Abisnya Jumat ini sampai Senin nanti libur long week-end peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia dan Isra Mi’raj. Dikhawatirkan bandara bakalan penuh dengan orang-orang yang akan bepergian seperti kita ini. Adep senang sekali para peserta datang tepat waktu. Nggak kayak waktu ke Toraja di bulan Maret lalu, panitia sampai sport jantung karena ada peserta yang masih jauuuuh dari bandara padahal sudah mendekati waktu boarding.
‘Itu siapa, masih pake baju tidur gitu ?’ Wahyudi heran lihat seorang peserta datang pake sackdress hijau bertali bahu spagheti. Hahaha, itu kan Jenny ! Yang kesal karena nggak berhasil peragakan film ‘Liar Liar’ dalam acara games waktu kita nginap di Toraja Heritage Hotel. irma juga takjub lihat Jenny datang dengan baju itu. Jangan-jangan Jenny lagi pulas tidur waktu mau berangkat ke bandara makanya dia masih pake baju tidur, hihihihihiii. Tapi apa dia nggak kedinginan ya, pake baju tipis gitu ?
Beberapa barang-barang bawaan Batmus dikumpulkan rapi dan diberi pita merah-hijau. ‘Natal ?’ Tety heran melihat rangkaian pita itu. Hehe warnanya memang mengingatkan suasana Natal. Tapi mungkin pertimbangan panitia warna merah-hijau gitu eye-catching banget jadi mudah dikenali.
Setelah bingung menimbang-nimbang akhirnya irma putuskan koper irma masuk bagasi aja. Irma minta pita merah-hijau ke panitia. ‘Berapa ?’ tanya Deedee. ‘Empat,’ irma bilang. Deedee langsung bengong, ‘Loe mau mudik, bawa barang sebanyak itu ?’ Ternyata yang perlu diberi pita merah-hijau hanya barang-barang yang akan dimasukkan ke bagasi. Oh kalau gitu satu aja. Tapi Deedee tetap kasih irma empat helai pita merah-hijau. ‘Ir, si Om Bewok dipitain juga,’ Bu Wisda menunjuk Wahyudi.
Haa, Wahyudi dikasih pita merah-hijau ? Emangnya dia perlu dimasukin ke bagasi ya Bu ? ‘Haha, biar mudah dikenali aja,’ Bu Wisda tertawa. Wah kalau mengenali Wahyudi sih gampang, cari aja yang brewok, hihihi J ‘Ih aku kan udah cukuran, kok masih dipanggil ‘Om Bewok’ juga sih,’ Wahyudi merajuk. Oh iya ya, Wahyudi kali ini lagi kelimis. Jadi dipanggil apa ? ‘Panggil ‘Om Ganteng’ dong,’ kata Wahyudi kemudian. Hekkk, irma langsung keselek dengar permintaannya.
Setelah peserta lengkap berkumpul kita lalu masuk ke ruang check-in. Di pintu masuk Ninta bagi-bagi tiket pesawat. Asal aja baginya yang penting kita bisa masuk. Di dalam ruang check-in tiketnya dikumpulin ke Ninta lagi buat check-in. Beres urusan check-in dan bagasi, baru kita dibagi boarding pass sesuai nama.
Lagi nunggu boarding di ruang tunggu B3 Tety nawarin irma teh manis panas. Wah enak bener, kebetulan irma belum sarapan. Kalau Wahyudi waktu nunggu masuk check-in tadi sempat ngopi di luar. Sambil menikmati teh panas, Wahyudi, Ela dan Tety bahas kamera. Pada nyobain wide lens yang Ela bawa. ‘Buat foto Danau Toba,’ kata Ela girang. Haaa … iya deh yang sesama pemakai Nikon D70S. irma jadi bengong di antara mereka L Abisnya irma memang nggak ngerti dan nggak tertarik sama detil fotografi.
Jam 6.40 kita dipanggil untuk naik pesawat. Geeee … kali ini kita pake Airbus A319 yang masih gres dari Batavia Air. Karena irma dapat tempat duduk no 16A jadi irma naik lewat pintu belakang. Di atas pesawat ketemu Pak Amran yang lagi cari tukeran tempat duduk biar bisa duduk di sebelah Bu Wisda. ‘Gimana nih, Bapak nggak mau pisah dari Ibu,’ kata Bu Wisda. Lho, bukannya Bu Wisda yang maunya bareng-bareng dengan Pak Amran ? Perasaan tadi waktu irma baru gabung dengan panitia di depan tangga, ada yang bilang gini nih sama irma, ‘… irma datang nggak ke acaranya Maya di Balikpapan 16 – 17 September nanti ? Ibu pengen. Tapi tanggal segitu Bapak nggak bisa. Ibu kan pengennya bareng sama Bapak …’ Nah lo, sapa tuh ?? Hihihihihi J
Linda Ramli udah duduk di kursi yang seharusnya irma duduki. ‘Ini bangku kamu ? Boleh ya, aku di sini. Aku pengen dekat jendela,’ pintanya. Waduh sorry Lin, irma juga pengennya duduk di sebelah jendela. Gimana kalau Linda cari tempat duduk lain aja. Akhirnya Linda dapat juga kursi di sebelah jendela, di sisi berseberangan dengan bangku irma.
Tiba-tiba ada kehebohan di kursi 19F dan 20F. ‘Coba tanya irma,’ terdengar Tety bilang gitu. Irma langsung berdiri dan menoleh ke arah kedua kursi itu. Wahyudi berjalan ke tempat irma duduk. ‘Kamera aku di kamu nggak ?’ tanya cemas. Iya, irma mengacungkan tas kameranya. Pfffff … kelihatan Wahyudi merasa legaaa banget. Di lupa ya ? Kan tadi irma bilang, kameranya Wahyudi irma bawa ya. Tadi tuh Wahyudi lagi asik nyoba-nyoba kamera Ela dan wide-lens nya. Khawatir kameranya ketinggalan lagi – dulu pernah kejadian kameranya Wahyudi ketinggalan di pesawat ! – makanya kamera itu irma bawa. Gimana nih, kayaknya Wahyudi emang perlu aspri deh, asisten pribadi yang ngingetin dia akan barang-barang bawaannya yang sering kelupaan.
Begitu pesawat lepas landas irma langsung tertidur. Waktu bangun di depan irma udah ada kotak isi air mineral dan roti manis. Nyam nyam nyam nyam dalam beberapa suapan roti itu langsung habis irma makan. Kelaperan sih. Roti segitu masih kurang. Untung kalau perjalanan jauh begini irma selalu bawa coklat. Penting nih untuk Pertolongan Pertama Pada Kelaparan. Coklat itu yang irma makan kemudian. Iye dan Jenny yang duduk di sebelah irma pulas tertidur. Hihihi Iye nggak tau tuh lagi tidur gitu irma foto. Irma lagi nyoba-nyoba pake kameranya Wahyudi.
Jam 9.15 kita mendarat di Bandara Polonia Medan. Terlambat 15 menit dari jadwal. ‘Selamat datang di Medan !’ kata irma kepada Wahyudi waktu kita menunggu bis yang akan mengantar ke tempat kedatangan. Wahyudi baru kali ini ke Medan. Sementara irma hampir tiap tahun ada tugas ke Medan. ‘Inilah kotanya Mama. Gimana ?’ irma meminta tanggapan Wahyudi. ‘Kota seng ! Dari atas yang kelihatan atap seng mulu,’ Wahyudi bilang, ‘apa nggak panas ya ?’. Haha, iya pada umumnya rumah-rumah di Sumatra pake atap seng. Jarang ada rumah yang pakai atap genteng seperti di Pulau Jawa. Katanya nih, ini karena orang-orang Sumatra menganggap tinggal di bawah rumah beratap genteng sama aja dengan orang mati. Nggak ada bedanya dengan jenazah yang dimakamkan di bawah tanah. Kan genteng itu berasal dari tanah. Tapi ini katanya lho, irma dikasih tau sama client.
Kita mengambil bagasi di bagian kedatangan. Setiap ada tas atau koper yang berpita merah-hijau langsung kita ambil dan kumpulkan di satu tempat. Seharusnya ada 33 bagasi semuanya. Tapi setelah dihitung cuma ada 32. Waduh, ada yang hilang lagi, seperti waktu PTD Malang-Mojokerto-Surabaya di bulan September 2005 itu ??
‘Punya Ibu lagi yang hilang,’ sedih Bu Wisda berkata. Waktu kita turun di bandara Juanda ketika berangkat PTD Malang-Modjokerto-Soerabaja di bulan September 2005, tas Bu Wisda hilang entah ke mana. Makanya Pak Amran jadi dapat tugas tambahan belanja baju buat Bu Wisda, luar dan dalam. Untung Pak Amran tau ukuran bajunya. Ya iya lah, udah 37 tahun menikah. Kebangetan kalau sampai nggak tau, hihihihi.
Ternyata ada seorang peserta yang bagasinya tidak diberi pita merah-hijau. Dan tasnya itu sudah dia ambil. Berarti benar dong semuanya ada 33. ‘Iya tapi tas Ibu nggak ada,’ Bu Wisda bersikeras. Masa’ sih Bu ? Coba ingat-ingat lagi deh. ‘Tas Ibu koper Polo warna biru. Ada kunci bernomor. Trus pake gembok,’ Bu Wisda memaparkan ciri khusus tasnya. Beberapa peserta membantu Deedee dan Ninta mencari. Sementara yang lain duduk di atas belt conveyor tempat jalan bagasi. Tentu belt conveyornya udah mati. Kalau nggak mana bisa kita duduk di situ.
Petugas Batavia Air yang bantu mencari menyarankan Batmus untuk mengambil bagasinya masing-masing. Akhirnya tinggallah satu koper Polo. ‘Tapi ini nggak ada gemboknya. Dan kode nomornya juga beda,’ Bu Wisda bilang. Ternyata waktu dibuka, benar itu tasnya Ibu Wisda ! Kita lalu bersorak senang dan jalan keluar menuju bis.
Waktu lagi sibuk cari-cari tempat duduk yang nyaman di dalam bis, seorang pria berjalan dari depan ke belakang membagikan kotak berisi kue dan air mineral. Irma kira dia tuh petugas dari bis yang kita sewa. Ternyata dia adalah Soehardi Hartono, Direktur Eksekutif Badan Warisan Sumatra !
Adep memperkenalkan Bang Hardi. Bang Hardi yang selama ini membantu Batmus mempersiapkan PTD Medan – Danau Toba. Bang Hardi juga yang bersama-sama Adep disponsori kedutaan Amerika Serikat untuk berangkat study banding ke Amrik di bulan September – Oktober nanti. Wah, study banding ! Nggak kalah deh dengan anggota DPR J (hehehe, sebenarnya sih International Visitor Leadership Program - Cultural Heritage Preservation). Sambil bis berjalan menuju Kebun Tembakau Deli, Bang Hardi bercerita tentang Medan.
Pada tanggal 7 Juli 1863 Jacob Nienhuys, Van Der Falk dan Elliot datang ke Kuala Deli atas undangan dari Sultan Mahmud Perkasa Alam Deli untuk membuka perkebunan tembakau di tanah Deli. Sultan Deli memberikan 4000 bahu tanah di dekat Labuhan Deli untuk mereka kelola. Pada tahun 1864 hasil panennya dikirim ke Rotterdam, Belanda dan mendapat sambutan hangat karena kualitasnya sangat baik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1869 Nienhuys mengembangkan lahan perkebunan di Martubung, Sunggal, Sungai Beras dan Klumpang. Untuk mengolah kebun didatangkan kuli-kuli Cina dari Swatow (Tiongkok), Singapura dan Malaysia. Juga orang-orang Tamil atau Keling dari India.
Ketika pemerintah Tiongkok mempersulit pengiriman kuli-kuli Cina ke Deli dan pemerintah Inggris juga mengajukan syarat-syarat berat untuk kesejahteraan kuli-kuli Tamil di Deli, mulailah didatangkan kuli-kuli kontrak dari Bagelen, Jawa. Para pengusaha perkebunan enggan memperkerjakan orang-orang Melayu dan Karo dari sekitar perkebunan karena mereka dianggap malas dan suka melawan orang-orang Belanda. Dalam buku ‘Berjuta-juta dari Deli : Satoe Hikajat Koeli Contract’ – buku yang diilhami dari tulisan J. van den Brand berjudul ‘Millioenen uit Deli’ dan ‘Nogs Een : De Millioenen uit Deli - Emil W. Aulia menggambarkan para pengusaha Belanda memanfaatkan jasa orang-orang Melayu dan Karo untuk menangkap kuli-kuli kontrak Jawa yang berusaha melarikan diri dari kebun. Pada umumnya kuli-kuli itu dibuat menjadi terikat kontrak terus-menerus karena terlilit utang dengan mandor atau pihak perkebunan. Judi, candu dan perempuan-perempuan pemuas nafsu diadakan di sekitar pemukiman para kuli. Kuli-kuli kontrak Jawa ini berkembang membentuk komunitas yang disebut Jadel atau Jawa Deli. Karena sebutan Jadel lebih berkonotasi dengan pekerjaan kasar sebagai kuli kontrak, keturunan mereka kini lebih senang menyebut dirinya Pujakesuma, singkatan dari Putra Jawa Kelahiran Sumatra.
Semula Nienhuys membuka kantornya di Labuhan Deli, tempat istana Sultan Deli berada. Karena usaha perdagangan tembakau makin luas dan berkembang ia memindahkan kantornya ke Kampung Medan Putri, mendekati pusat perkebunan. Kampung ini dikemudian hari berkembang menjadi Kota Medan (oh jadi dulunya Kota Medan itu merupakan kebun tembakau ya ??). Jalan tempat kantor De Deli Maatschappij berada sekarang disebut Jalan Tembakau Deli. Gedung kantor ini masih ada dan kini digunakan oleh PT PN 2. Nienhuys mendirikan De Deli Maatschappij bersama Jannsen, PW Clemen, dan Cremer.
Bukan hanya Nienhuys yang pindah, Sultan Deli pun kemudian memindahkan pusat kesultanannya dari Labuhan Deli ke Medan. Tanah Kesultanan Deli sangatlah luas. Tanah ini disewakan kepada para pemilik perkebunan untuk ditanami tembakau. Karena harga tembakau Deli sangat tinggi di pasaran Eropa, tidak heran jika Sultan Deli terkenal kaya raya. Konon, biaya pembuatan Istana Maimoon yang didirikan di tepi Sungai Deli pada tahun 1888 mencapai 1 juta gulden !
Sebenarnya, dari mana asal nama Medan ? Ada yang mengatakan nama ini diberikan karena di sana merupakan lapangan luas tempat pertempuran antara pasukan Aceh dengan Kesultanan Deli. Ada pula yang bilang nama Medan berasal dari kata ‘Madina’ , legenda dari India. Medan banyak mendapat pengaruh dari India. Sampai sekarang di sana pun banyak terdapat orang-orang keturunan India yang masih mempertahankan budaya mereka.
Sebelum Belanda datang ke tanah Deli, di sana sudah dikenal Kampung Medan Putri yang didirikan oleh Guru Patimpus. Beliau adalah seorang Karo keturunan Raja Singa Mahraja yang memerintah Negeri Bekerah di dataran tinggi Karo. Guru Patimpus tidak mau menjadi raja meskipun sebenarnya ia memiliki hak itu. Ia lebih senang berkelana untuk menambah ilmu dan membuka huta atau desa. Kampung Medan Putri ini adalah hutanya yang keduabelas, dibangun mulai tanggal 1 Juli 1590. Tanggal inilah yang di kemudian hari dijadikan tanggal lahir Kota Medan. Kampung Medan Putri terletak di pertemuan Sungai Deli dengan Sungai Babura (di sekitar Jalan Putri Hijau sekarang). Guru Patimpus disebut sebagai pendiri Kota Medan. Untuk menghormatinya pada tahun 2005 didirikan Monumen Patung Guru Patimpus Sembiring Pelawi di bundaran Petisah.
Tidak terasa kita sampai di Kebun Helvetia milik PT Perkebunan Nusantara 2 atau disingkat PT PN 2. Namanya lucu ya. Bang Hardi bilang, dulu di daerah ini ada perusahaan (atau perkebunan ?) milik negara Swiss. Helvetia adalah sebutan lain untuk negara Swiss.
Kebun Helvetia adalah salah satu dari 13 kebun tembakau milik PT PN 2. Yang lainnya adalah Sampali, Batang Kuis, Bandar Klipa, Bulu Cina, Tanjung Jati, Kuala Begumit, Kuala Bingei, Tandem, Tandem Hilir, Saentis, Klambir Lima, dan Klumpang. Di kebun Helvetia ini kita disambut oleh bapak-bapak asisten (asisten teknik, ATU, mandor, wah pokoknya banyak deh ! semuanya pada nyambut Batmus. Serasa jadi orang penting nih J). Mereka sepertinya senang sekali kita datang berkunjung ke sana. Katanya selama ini perhatian orang terhadap Tembakau Deli agak berkurang.
Seorang bapak asisten berambut putih memberikan sambutan kepada Batmus. Sekilas beliau bercerita tentang PT PN 2 yang merupakan hasil penggabungan beberapa PTP. PT PN 2 mewarisi kebun tembakau dari PTP IX. Sebelumnya kebun ini milik perkebunan Belanda yang diambil alih menjadi perusahaan nasional sejak Indonesia merdeka. PT PN 2 banyak mewarisi gedung-gedung tua peninggalan Belanda. Client irma bilang, gedung kantor PT PN 2 di Tanjung Morawa cantik sekali dengan lapangan rumput terhampar di depannya (aaah, jadi pengen ke sana …)
Bapak asisten tadi tidak bercerita tentang proses pengolahan Tembakau Deli. Tapi kita dipersilakan untuk melihat langsung ke aktivitas yang sedang berlangsung. Di dinding area pertemuan di gudang fermentasi tempat kita berkumpul juga terpasang contoh-contoh produk. Ada penjelasan tentang grade tembakau dan nama-nama kebun tembakau PTPN 2. Juga flowchart yang menerangkan proses pengolahan tembakau.
Proses Tembakau Deli diawali dengan beuten werk atau pengolahan tanah awal. Selanjutnya adalah pembibitan selama 40 hari. Bibit yang sudah dipilih dipindahkan ke area penanaman yang sudah disiapkan. Selama masa tanam ini pohon Tembakau dipelihara dari hama dan penyakit. Panen dapat dilakukan setelah pohon berumur 40 – 45 hari. Daun yang sudah dipetik disimpan dalam bangsal pengeringan di kebun. Di sini pengeringan dilakukan secara alami.
Setelah cukup kering daun dipindahkan ke bangsal pengasapan di depan gudang fermentasi. Di bangsal ini dilakukan proses curing selama 16 – 20 hari, tergantung dari kelembaban bangsal. Ke dalam bangsal ini dimasukkan asap hasil pembakaran kayu bakar. Selama proses dipantau temperatur, kelembaban dan aliran udara di dalam bangsal. Tujuan curing untuk menghancurkan kandungan zat hijau daun alias klorofil (ayoooo … masih ingat pelajaran Biologi nggak ? kalau nggak tanya Bu Wisda ! ) sehingga daun Tembakau menjadi berwarna kekuningan. Pada proses ini juga terjadi konversi zat pati atau starch menjadi gula dan penurunan kadar air. Daun Tembakau yang telah mengalami curing akan menjadi lemas dan tidak mudah sobek. Oh iya, pada proses curing ini terbentuk aroma Tembakau. Tiap varietas dan asal tanam pohon Tembakau memiliki aroma khas tersendiri. Aroma Tembakau Deli berbeda dengan Tembakau Jawa.
Setelah cukup lentur dan mencapai kelembaban yang diinginkan, daun Tembakau dipindahkan ke gudang fermentasi. Ada ketentuan sendiri mengenai pengaturan penyimpanan selama masa fermentasi. Kalau mau tau tentang proses ini mungkin bisa ditanyakan kepada A Fung. A Fung sempat bertanya kepada bapak asisten tentang proses fermentasi. Sementara irma asik memperhatikan ibu-ibu yang sedang menginspeksi dan sortir tembakau berdasarkan grade. Hihihihi, nama grade tembakaunya lucu-lucu. Irma ketawa-ketawa waktu nemuin tembakau kategori PSK. Ternyata PSK tuh artinya ‘Pecah Kotor Merah’. Tadinya irma kira grade tembakau tuh singkatan dari apaaa gitu. Mungkin istilah grade tembakau Deli ini peninggalan Nienhuys ya ??
Tembakau Deli tidak tumbuh sepanjang tahun. Masa tanam terbaik di bulan Maret. Pada bulan Juni tembakau sudah dapat dipanen. Curah hujan berpengaruh terhadap mutu dan produktivitas tembakau. Curah hujan 460 – 500 mm/musim tanam memberikan hasil yang optimum. Pak Tobing – bapak asisten yang menerangkan proses pengolahan Tembakau Deli kepada irma – bercerita bahwa panen terbaik yang pernah diperoleh adalah saat curah hujan sekitar 480 mm/musim tanam. Tembakau Deli yang terkenal bagus diperoleh dari kebun yang terhampar dari Sei Wampu sampai Sei Ular. Sei itu sebutan bahasa Medan untuk sungai.
Tapi sedihnya, Tembakau Deli yang tersohor hingga ke tanah seberang ini sekarang sedang mengalami kesulitan. Produktivitas mereka lebih rendah daripada tembakau yang ditanam di Pulau Jawa. Katanya nih biaya operasionalnya pun makin tinggi, tidak sesuai dengan harga jualnya. Selain itu kebun-kebun Tembakau milik PT PN 2 yang semula luasnya mencapai 40 ribu hektar, kini tinggal beberapa ribu hektar saja. Banyak kebunnya yang dijarah rakyat. Kasihan ya L
Di salah satu ujung gudang fermentasi tampak empat orang ibu berkain batik sedang melakukan inspeksi. Mereka menggunakan semacam alat bantu untuk mengukur panjang daun tembakau. Tembakau itu akan dikelompokkan berdasarkan gradenya. Tembakau dengan grade yang sama akan dikemas dalam kotak anyaman. Untuk mengemas seorang ibu ‘nyemplung’ ke dalam kotak kayu. Dibantu seorang temannya yang memasukkan daun tembakau seikat demi seikat, ia menyusun tembakau dalam kotak. Nanti kotak ini dipress dengan mesin dan di luarnya distempel ‘Product of Indonesia’. Seorang Batmusboy sempat mengobrol dengan seorang ibu yang sedang menganyam kotak pembungkus daun tembakau ini. Katanya ibu itu sudah bekerja di sana sejak tahun 1961 !
Cukup lama waktu yang kita habiskan di gudang fermentasi ini. Alokasi waktu sebenarnya cuma 1 jam. Tapi karena kita menunggu rombongan lain – Pak Amran, Bu Wisda, Deedee, Ninta dan Galuh - yang menggunakan mobil Panther, jadi kita bisa puas mengeksplorasi gudang fermentasi dan bangsal pengasapan dari ujung ke ujung. Kapan lagi coba bisa menjelajahi pengolahan tembakau seperti ini. Kecuali Tety. Ternyata Tety nggak kuat dengan aroma tembakau di dalam gudang fermentasi. Akhirnya Tety main-main di luar, fotoin bunga-bunga cantik di sekitar bangsal pengasapan.
Menjelang jam dua belas kita dipanggil keluar. Irma kira sudah waktunya kita bergerak ke tempat lain. Abisnya irma lihat teman-teman lain sudah duduk manis dalam bis. ‘Ayo ir, lihat rumah Pak Adm,’ ajak Bu Wisda. Rupanya bapak-bapak dari Kebun Helvetia PT PN 2 akan menunjukkan rumah dinas kepala kebun yang disebut Administrateur. Ketahuan kan, istilah Administrateur ini peninggalan Belanda J Tapi untuk memudahkan pengucapan biasanya orang-orang perkebunan bilangnya ‘Pak Adm’.
Sampai di rumah dinas Pak Adm, kita takjub melihatnya. Pak Tobing bercerita rumah dinas itu dibangun bersamaan dengan gudang fermentasi pada tahun 1909. Udah hampir seabad umurnya tapi bangunan itu masih berdiri kokoh. Berbentuk rumah panggung, rumah tersebut memiliki 3 kamar tidur. Kini rumah itu ditempati oleh keluarga Lumban Toruan, Pak Adm yang sekarang menjabat. Tapi waktu kita ke sana penghuninya sedang tidak ada di rumah.
Bu Wisda minta difoto di tangga rumah. Abis gitu yang lain juga berkumpul untuk irma foto. ‘Asiiikk … masuk majalah nya irma !’ kata Ela. Majalah irma ?? Hahaha Ela, selama ini irma cuma bikin catatan perjalanan aja. Itupun beredar hanya di kalangan Batmus. Pengen sih suatu saat nanti tulisan irma dipublikasikan. Biar makin banyak yang baca dan tertarik untuk menapaki jejak-jejak sejarah. Ada teman kantor irma jadi ingin berkunjung ke rumah tempat Bung Karno dan Bung Hatta diculik menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia setelah baca ‘Catatan Perjalanan PTD Tamatlah Hindia Belanda – Menapaki Jejak Kemerdekaan ke Rengasdengklok dan Kalidjati’. Senang deh kalau tulisan irma memberikan dampak yang positif J
Abis foto-foto di tangga ceritanya kita mau mengeksplor bagian belakang rumah. Tiba-tiba seekor anjing kecil warna coklat muda datang menyalak. ‘Guk ! Guk ! Guk !’ dia bilang. Entah itu menyapa, entah itu mengusir. ‘Eh ada Brownie,’ irma ajak Ela mendekatinya. Nggak taunya abis gitu keluar anjing yang lebih besar berwarna hitam. Ia menyalak lebih keras dan lebih galak daripada si Brownie. ‘Naaa … sekarang datang si Blacky deh !’ irma dan Ela buru-buru ngacir dari sana sebelum jadi tontonan Batmus karena dikejar-kejar dua ekor anjing. Nggak enak banget. Apa nanti kata dunia ??
Menjelang jam dua belas siang kita meninggalkan Kebun Helvetia. Dari dalam bis kita dadah-dadah sama para bapak asisten. Waktu bis keluar dari area Kebun Helvetia, irma baru lihat bahwa di sebelahnya terdapat Pasar Rakyat Sei Ular. Pasar rakyat ini terletak di tepi sungai. Mungkin sungai itu yang disebut Sei Ular ya ??
Jam satu siang bis berhenti di Rumah Makan Simpang Tiga, Perbaungan, di depan Pabrik Kelapa Sawit Adolina milik PT PN IV. Beberapa tahun yang lalu Perbaungan terkenal dengan hiburan organ tunggal yang bikin heboh. Gimana nggak heboh, makin malam makin minim pakaian yang dikenakan penyanyinya. Waktu tahun 2003 seorang rekan audit irma sempat melihat organ tunggal heboh ini. Dia tercengang-cengang dan berkomentar, ‘Wah gawat ! Kalau suamiku tugas ke daerah sini harus kutemani nih !’. Sama seperti irma, suaminya pun sering tugas ke daerah-daerah. Bedanya kalau irma tugasnya audit, kalau suaminya teman irma itu tugasnya inspeksi.
Menu makan siang kita siang itu sebenarnya enak. Ikan panggang, ayam goreng, dan masakan khas Melayu lainnya. Tapi kenikmatan kita makan terganggu dengan kehadiran lalat. Banyak banget ! Lilin yang dinyalakan tidak mampu mengusirnya. Mungkin karena rumah makan ini terletak di depan pabrik kelapa sawit. Pengalaman irma, tiap kali ke pabrik kelapa sawit pasti mesti kipas-kipas buat ngusir lalat. Tandan kosong sisa pengolahan kelapa sawit mengundang lalat datang. Siang itu pun kita makan sambil mengibas-kibaskan tangan. Waktu irma lihat bing! kipas-kipas ngusir lalat sementara Endah di sebelahnya menyantap hidangan, irma bilang, ‘bing! kipas-kipas aja terus. Nanti kalau Endah udah selesai makan, gantian dia yang kipas-kipas. bing! baru makan. Jadi kan kalian enak nggak ada yang terganggu lalat.’ Hahahaha iya sih ya, tapi kan kasihan bing! jadi mesti menahan lapar lebih lama.
Selesai makan perjalanan lanjut lagi menuju Pematang Siantar. Seperti biasa kalau perut udah kenyang kan bawaannya jadi ngantuk ya, irma tidur dalam bis. Terbangun ketika bis memasuki kota Pematang Siantar. Tadinya kita mau singgah sebentar untuk mencari becak motor khas Pematang Siantar. Becak ini menggunakan motor peninggalan Perang Dunia II. Mama nya irma bilang, becaknya belum kelihatan tapi suaranya udah kedengaran duluan. Brem brem brem …
Tapi kita nggak jadi berburu becak motor Pematang Siantar ini karena kita ingin mengejar sunset di Danau Toba. Katanya nih, sunset di sana cantik sekali. Jadi kita langsung menuju Toko Asli, toko yang menjual makanan ringan khas Sumatra Utara seperti Ting-ting Kacang. Tapi sebelumnya kita mampir ke Museum Simalungun dulu.
Museum Simalungun terletak di antara Kantor Polisi dan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di jalan Sudirman. Adep turun dari bis duluan untuk mengecek apakah museum masih buka. Pengalaman Adep waktu survey, museum ini nggak jelas penjagaannya dan sepi. Beberapa Batmus yang udah bosan duduk melulu dalam bis ikutan turun dan memotret bangunan museum dari seberang jalan. Sementara itu, para polisi dari Kantor Polisi di sebelah museum berdiri di tembok pagar memperhatikan kita. Hihihihihi, pada takjub ya lihat Batmusgirl yang bening-bening J Yah seperti pada PTD yang lalu-lalu, selalu lebih banyak peserta cewek daripada cowok.
Adep kembali ke bis dan bilang museum sudah tutup. Tapi bapak penjaga warung di depan museum kita boleh masuk halaman museum asal bayar seribu rupiah. Berhamburanlah beberapa Batmus memasuki halaman museum. Irma juga turut ke sana. Tapi baru sebentar di halaman – malah belum juga sempat mencapai tangga bangunan museum – bapak penjaga warung itu teriak-teriak, ‘Hei itu yang masuk ke halaman bayar seribu ya ! Nah itu yang sudah foto-foto bayar tiga ribu ! Ayo bayar ke saya sekarang !’
Haaaa … digituin kan kita jadi sebel ! Kalau bapak itu memang benar penjaga museum, ya kita sih nggak keberatan membayar. Apalagi kalau ada pengumuman tarif resminya. Tapi ini kan nggak jelas dia tuh siapa. Tadi waktu Adep datang menghampiri dia cuek aja main catur. Begitu banyak Batmus yang datang dan memotret, langsung dimintain duit L
Ya udah, kita keluar aja. Pindah ke sebelah melihat gereja tua GKPS yang bentuknya model gotik. Kita nggak masuk ke dalam, hanya berdiri-diri di halamannya. Lagi lihat Deedee dan Ninta foto berdua berlatarkan gereja tua, irma jadi ingat satu lagu yang dipopulerkan Benny Panjaitan. Enak banget lagunya. … masih kah kau ingat waktu di desa, bercanda kita berdua di samping gereja … (Gereja Tua – the Panbers)
‘Rumahku di situ,’ Ninta menunjuk ke satu tempat di seberang gereja. Kalau nggak salah, Ninta kan lahir di Pematang Siantar ya ?? ‘Waktu kecil kita sering ke sini. Ke rumah Oma. Liburan,’ pandangan Ninta menerawang. Ninta ingat masa kecil dulu ya ? Wah jadi PTD ini, it’s like a journey to the past ya buat Ninta J
Dari jalan Sudirman bis bergerak ke toko Asli. Sampai di sana tokonya udah siap-siap mau tutup. Tapi melihat rombongan Batmus datang, pintu tokonya langsung dibuka lagi lebar-lebar. Yaaah … rezeki nggak boleh ditolak kan J Apalagi banyak di antara rombongan Batmus yang langsung kalap. Banyak banget belanjaannya sampai penuh trolly keranjang. ‘Hai, ingat ini baru hari pertama. Masih ada tiga hari lagi !’ komentar seorang Batmus. bing! yang memang udah niat pulang banyak bawa oleh-oleh ketawa aja dikomentarin gitu. ‘Gue nggak belajar dari waktu ke Semarang ya. Tetep aja belanjanya banyak,’ dia bilang.
Irma nggak belanja oleh-oleh di toko Asli. Cuma beli air minum aja abisnya memang hauuusss banget. Sambil minum minuman dingin, irma dan beberapa peserta lain duduk-duduk di depan toko. Ngomentarin karangan bunga warna-warni di seberang jalan. Rupanya ada yang baru meninggal dunia di rumah seberang. Seperti biasa kalau ada yang meninggal dunia, pada ngirim karangan bunga sebagai tanda dukacita. Tapi kalau di Jawa kan karangan bunganya sederhana, warna putih dengan pita biru bertuliskan ‘Turut Berduka Cita’. Biasanya pake apa tuh, bunga Krisan ? Nah kalau di Sumatra Utara karangan bunganya meriah warna-warni seperti ucapan selamat atas peresmian toko atau ucapan selamat kepada pengantin. Apalagi kalau yang meninggal itu orang yang disegani baik dalam keluarga, masyarakat atau instansi.
Banyak teman yang terheran-heran melihat karangan bunga warna-warni itu. ‘Kok kesannya nggak kayak orang berduka cita ya ?’ ada yang komentar begitu. Ya beda tempat kan beda lagi kebiasaannya. Kalau orang Batak meninggal dunia, upacara adatnya panjang dan melibatkan banyak orang. Seluruh keluarganya turut dalam acara. Katanya nih, pada saat upacara itu semua anggota keluarga (harus) menangis sebagai tanda duka cita.
Dari toko Asli kita melanjutkan perjalanan. Lewat jalan berliku-liku sampai kemudian di saat menjelang petang Adep yang duduk di kursi depan berkata, ‘Silakan lihat ke sebelah kanan.’ Waaaow … pemandangan cantik terbentang di depan mata. Toba nauli. Danau Toba nan cantik. Sayang langit mendung jadi matahari terbenam tidak terlihat. Tapi tetap saja kita terkagum-kagum melihat danau Toba. Bukan hanya yang baru pertama kali ke sana saja yang kagum, irma yang sudah beberapa kali ke Parapat juga tetap terkagum-kagum tiap kali melihat danau Toba.
Teman-teman di kursi sebelah kiri pada berdiri dan berpindah ke sebelah kanan. Bis nya jadi miring nggak ya ? Mungkin miring ke kanan. Tapi pak supirnya lihai berkendaraan. Waktu kita harap-harap cemas saat bis akan melewati tanjakan tajam menuju Hotel Niagara Parapat, beliau santai aja dan senyum-senyum. Abis lewat tanjakan, jalan agak menurun. ‘Kayak naik kora-kora ya,’ komentar Adep. Sejak itu kita bilang tanjakan menuju hotel Niagara itu tanjakan kora-kora. ‘Hei, tangannya pada ke atas dong !’ Adep bilang saat bis jalan menurun setelah tanjakan.
Wiiiii … bis meluncur turun hingga sampai di Hotel Niagara Parapat. Kita turun demikian juga dengan tas-tas dan bawaan lainnya. Hanya dus-dus berisi oleh-oleh dari toko Asli yang masih di bis. Kita berkumpul di lobby untuk pembagian kamar. ‘Ma, kita di kamar 619,’ Galuh mengacungkan kunci kamar yang dipegangnya. Yuk, kita ke sana.
Kita bergegas menuju kamar masing-masing. ‘Bu, biar saya saja yang bawakan Bu. Soalnya di sini nggak ada lift,’ kata para petugas hotel yang berdiri di lobby. Tapi dengan pede nya kita pada ngangkut tas masing-masing dan berjalan ke tangga. Sampai atas napasnya pada ngos-ngosan. Haaa … gini deh kalau sok kuat. Nggak sadar apa kalau umur udah kepala 3 ??
Irma dan Galuh sempat kesasar waktu nyari kamar. Udah jalan ke ujung lorong, ternyata kamarnya nggak jauh dari tangga. Sampai kamar Galuh langsung mandi sementara irma nggeletak di atas tempat tidur. Tepar. Ternyata capek banget naik tangga sambil gotong-gotong koper.
Jam tujuh kita kumpul lagi di lobby. Abis gitu dengan bis kita ke Rumah Makan Asia di depan Mesjid Raya Takwa Parapat. Irma dan Wahyudi satu meja dengan Ela, Tety, Ninta, Alice, Nanis, Galuh dan beberapa peserta lagi yang baru irma temui sekarang. Sambil menunggu makanan dihidangkan kita iseng mutar-mutarin meja. Mejanya khas meja makan di restoran masakan Cina, yang bisa diputar-putar bagian atasnya jadi kita nggak susah buat ambil makanan. ‘Kalau mejanya berhenti harus makan apa yang ada di depannya ya !’ kata Ninta. Meja berhenti dan di depan Ninta terdapat piring berisi sambal dan cabe rawit. Ninta lalu mengambilnya tapi nggak langsung dimakan. Kan buat nanti dimakan sama hidangan lainnya. Ayam goreng, ikan asam manis, … dan buat Ninta yang vegetarian ada tumis tahu yang enak banget. Bukan cuma Ninta, tapi irma juga suka banget sama hidangan tahu ini.
Siap makan kita kembali ke hotel. Sempat kumpul sebentar di depan café di lobby. Tapi berhubung kebanyakan dari kita udah pada capek jadi malam ini nggak ada pintong. irma lalu mampir ke souvenir shop dekat sana melihat-lihat tas sulam khas Aceh. Galuh dan Rina jadi tertarik beli. Abis gitu kita menyusul beberapa teman ke kolam renang. Mereka lagi makan jagung bakar dan foto hotel di waktu malam. Abis gitu mereka lanjut jalan ke bukit kecil di samping hotel. Karena udah capek irma dan Galuh nggak ikutan ke sana tapi kita bareng mereka naik tangga kembali ke lobby. Di tangga kita sempat foto-foto di depan ulos cantik warna hijau-merah.
Sampai di lantai 6 kita ketemu Deedee yang lagi bingung di depan kamarnya. Nggak dikasih pintu ya Dee ? ‘Kuncinya di Ninta. Aku ke kamar kalian dulu aja ya,’ Deedee bergabung dengan irma dan Galuh. Di kamar 621 Deedee langsung buka laptop dan menulis. Waaah, Deedee udah mulai nulis cerita PTD ini ya ?? Hebat. Kalau irma sih nggak sanggup deh. Badannya capeeeekkk banget.
Nggak berapa lama Ninta masuk ke kamar 621. ‘Eh irma pake kaos Save the Turtle !’ komentar Ninta melihat kaos yang irma pake. He eh, iya. Irma suka banget kaos ini. Sekalian kampanye penyelamatan penyu yang makin terancam punah. Kalau acara rame-rame gini biasanya irma pake kaos dengan pesan-pesan sosial. Bike2work, WWF, … cuma kaos WITT aja yang belum pernah irma pake ke acara Batmus. Emang irma nggak punya, bukan karena takut digetok Deedee, hehehe. (WITT = Wanita Indonesia Tanpa Tembakau).
Akhirnya muncul juga cerita Irma yg ditunggu-tunggu :-)
ReplyDeleteassssiiikkkkkk...ga usah penasaran nunggu "lapak"nya Irma hari Sabtu... :))
ReplyDeletepletaaakkkk.....
ReplyDeletelebih asik baca yang pake gambar, lay-out nya lebih apik dan menarik.
ReplyDeletetapi 62 halaman ... :p
aaaahhh uni deedee jahaaaaaat ......
ReplyDeleteOk dech.....tetep "intip" lapak Irma hari sabtu nanti.... ;)
ReplyDeleteKebawa deh sampe sini, supir2 metromini & Koasi yg kebanyakan orang batak, kalo nyupir bawaannya ngebuut terus.
ReplyDeletekan kebiasaan di sana, nggak ada lampu merah. adanya lampu merah jambu. belum merah kali ... :p
ReplyDeleteMedan emang TOP BGT..gue juga dah banyak jalanin kota tapi Medan tempat paling DAMAI..makanya jarang ada KERUSUHAN padahal etnisnya Komplex BGT..
ReplyDeleteyup, setuju sekali :D
ReplyDeletewuih..jadi pingin ke Medan euy..
ReplyDelete