Aku berada dalam tempat seperti gedung olah raga. Bangku-bangku kayu panjang berderet membentuk tangga. Bersamaku seorang pria. Wajahnya familiar. Badannya tinggi, besar. Rambut keriting, panjang. Diikat jadi satu di balik leher. Berkacamata. Baju kaus hitam, celana panjang hitam. Mengenakan aksesoris rantai seperti yang biasa dikenakan penunggang Harley. Ia seperti anak seni rupa pacar kakakku dulu. Hanya dalam versi size lebih besar. Anak seni rupa itu kerempeng. Dia tambun.
Kami sedang mengikuti rapat. Persiapan konser musik. Konser akbar seperti Woodstock Music and Art Festival di tahun 1969 yang legendaris itu. Semua orang berpakaian hitam-hitam dan aksesoris rantai. Hanya aku yang tidak.
Seorang pria lain menghampiri kami. Wajahnya seperti yang ku kenal. Seperti temannya pacar kakakku yang dulu itu. Sama-sama anak seni rupa. Sama-sama berambut panjang. Berkacamata juga. Badannya pun tinggi besar. Tapi pria yang kuceritakan pertama lebih tambun.
Ia memberi sekeping plastik hitam kepada si lelaki tambun. Bentuknya seperti pemantik api.
Aku dan lelaki tambun pergi naik motor. Seperti yang kuduga, ia pake motor gede. Motornya besar sekali. Aku seolah tenggelam duduk di belakangnya. Kami pergi ke pedesaan. Sepertinya di Jawa Tengah.
‘Ada penginapan dekat sini ?’ aku dengar lelaki tambun itu bertanya. Seorang perempuan menjawab, ‘Ada.’
Kami masuk satu kamar. Suasananya seperti di warung ibuku dulu, waktu aku SMA. Kami duduk berhadapan di meja kayu. Temanku itu memegang keping plastik hitam. Dipatahkannya jadi dua. Di dalam ada dua lembar kertas. Satu terjatuh ke atas meja. Satu lagi masih terselip dalam kepingan. Itu tugas yang harus kami lakukan untuk konser musik.
Kami ragu-ragu untuk memilih. Ia ambil kertas di atas meja. Aku ambil yang dalam kepingan. Aku berharap tugasku tidak berat.
Ia membuka kertas tugasnya. Kertas putih bertulisan hijau. Tertulis di sana : Buatlah 500 foto bertema angkasa.
‘Buatlah 500 foto bertema angkasa,’ ia mengucap tugasnya. ‘Aku akan bikin pameran foto.’
Aku membuka kertas tugasku. Kertas putih yang sama bertulis hijau. Tapi aku tidak mengerti tugasnya. Ditulis dalam huruf yang tidak aku kenal. Aku mendesah. Seandainya aku pilih kertas yang dia ambil. Aku bayangkan foto yang aku buat. Di satu lapangan terbang tua yang pernah aku kunjungi. Satu pesawat tipe piper lepas landas. Tapi hanya sebagian dari badan pesawat itu yang ada dalam fotoku. Bagian depannya yang sedang beranjak ke udara.
‘Aku sholat dulu,’ aku beranjak ke ruang sebelah. Saat aku di sana dua orang perempuan masuk kamar. Seorang di antaranya genit ngobrol dengannya. Seorang lagi malu-malu. ‘Jangan ganggu. Bini gue lagi sholat,’ kedengaran temanku itu berkata. Aku yang sedang melipat mukena mengerutkan kening. Bini ?
‘Sori, tadi aku bilang gitu biar mereka nggak ganggu,’ kata temanku melihat aku datang, balik ke ruangannya.
Aku murung. Memikirkan tugas yang tidak kumengerti. ‘Barangkali kamu bisa tukeran,’ temanku menghibur. Aturannya, kertas yang sudah dibuka tidak boleh ditukar. Aku nggak boleh bertukar tugas dengannya.
Aku memejamkan mata. Dalam satu bulan panitia akan mengirimkan e-mail kepada mereka yang tidak menyelesaikan tugas. Itu kata-kata yang tercantum di salah satu layar laptop saat kami menghadiri rapat. Aku membayangkan imel yang akan aku terima di akhir bulan.
Kami dalam satu ruangan kantor. Temanku itu berbicara dengan temannya. Pria yang tadi kasih kepingan plastik hitam seusai rapat. Ia masih punya kepingan hitam lain.
Aku membuka lipatan kertas tugasku. Kini aku bisa membacanya. Itu skenario. Ada seorang ibu, seorang anak, dan seekor Jerapah. Ibu itu menginginkan pempek 16 kg. Tapi setelah ia peroleh, dari belakang jerapah itu menyambar pempeknya.
‘Irma mau tukeran. Tugasnya nggak bisa dimengerti,’ kata temanku kepada temannya.
‘Nggak. Nggak usah. Aku tau. Itu skenario. Ada ibu, anak, dan jerapah. Kamu bisa jadi jerapahnya. Tapi di mana aku bisa dapatkan pempek 16 kg ?’ seruku.
‘Hmm,’ temannya temanku bergumam. Ia sedang membetulkan radio. Radio itu ia peroleh ketika berpartisipasi dalam konser musik yang sama. Beberapa tahun yang lalu. ‘Hm,’ ia membalik radionya. Tiba-tiba … DUNGGGG ! Terdengar suara keras.
‘Oh man, speakernya korslet,’ kata temannya temanku.
Aku terbangun di lantai. Bahu kananku sakit sekali.
loh.. pempek 16kg?!!
ReplyDeleteatau jgn2 mesti ke bonbin atau taman safari...? kita tanya sm Jerapahnya, Ma.. :)
tuh kan bener, kaya cerpen hehehehe
ReplyDeletemimpinya penulis emang begini kali ya?
ReplyDeletehehe, kalo cerpen beneran, ada di postingan berikutnya :D
ReplyDeletepenulis kebanyakan mimpi kali yeee....
ReplyDeleteatau gw yang hidup di dunia mimpi, hehehe
ReplyDelete