Perjalanan ke Situs Cangkuang, Garut - Sabtu, 12 Mei 2007
meraih obsesi masa kecil
‘Ngapain kamu ke Candi Cangkuang ?? Itu kan cuma batu ditumpuk-tumpuk gitu aja !’
irma nyengir dengar seorang teman komentar gitu waktu irma bilang ultah kali ini irma mau jalan-jalan ke Cangkuang. Huehehehe … dia nggak tau sih, kalau ke Candi Cangkuang itu udah jadi obsesi irma sejak SD ! Sejak Teteh cerita dia karyawisata bareng teman satu sekolah ke Candi Cangkuang, lalu dia bawa pulang hiasan dinding dari bambu bergambar candi itu.
irma pengeeeenn sekali ke Candi Cangkuang. Makanya ketika tau tahun ini ultah irma jatuh di hari Sabtu, irma langsung merencanakan perjalanan ke sana. Sempat cerita sama Wahyudi tapi tanggapan dia waktu itu garink banget (hiks, sedih L). Ya sudah irma cari alternatif teman pendamping jalan-jalan lain. Tanya ke Bu Isna, ‘Bu, mau nggak ke Cangkuang ? Bonceng aku naik motor ??’ Jawabannya Bu Isna cepet banget, ‘Hayuuuuuu ……….. !!!’
Bu Isna sih, asal diajak jalan mau aja. Apalagi kalau naik motor. Senang sekali dia. Kenapa naik motor ? Abis perginya cuma berdua. Kalau naik mobil bisa berat di ongkos. Lagipula kalau momotoran gitu kan kesannya adventurous banget, hehehe. Eh, tau irma mo pergi naik motor Wahyudi baru ngomong, ‘Ya udah naik mobilku aja. Nanti aku temenin.’ Ngomongnya juga seminggu sebelum rencana perjalanan irma. Huuuu …. telat ! Kemarin-kemarin cuek aja waktu irma berkoar-koar mau ke Cangkuang. Sorry ya, your invitation is too late. This time you’re not welcome to join the club. Yeeee …………. emang enak om, ditolak ?? Hihihihi
Begitu memasuki bulan Mei irma ingatkan kembali Bu Isna untuk cari pinjaman motor. Ibu yang satu itu emang nggak punya motor. Tapi bergaulnya sama anak-anak motor mulu. Makanya nggak susah do’i cari pinjaman. Bu Isna bilang urusan motor udah beres. Tinggal irma yang harus cari pinjaman helm. Cari helmnya yang beneran, sesuai standar keselamatan. Bukan helm sekedar buat menghindari tilang pak polisi. Abis waktu itu lihat kecelakaan motor depan Bidakara serem banget. irma makin cerewet terhadap safety. Akhirnya dapat pinjaman helm dari teman kantor. Itu helm dia dapat satu paket dengan motornya. Di belakang helmnya ada tulisan SNI. Mudah-mudahan benar-benar sesuai SNI, bukan asal tulis doang. Eh, tapi SNI nya sendiri udah sesuai belum ya dengan standar keselamatan ??
Sabtu 12 Mei 2007 dini hari tepatnya jam empat pagi irma dijemput taksi Blue Bird. Nama supirnya Pak Romin. Dia antar irma ke Stasiun Gambir. Jam setengah lima sampai di stasiun. Udah masuk Subuh belum ya ? Bapak penjaga titipan sepatu di mushola bilang belum. Jadi irma ambil wudhu trus duduk menunggu dalam mushola. Sekitar sepuluh menit kemudian adzan berkumandang. Beberapa orang menunaikan sholat sunnah. Abis gitu sama-sama kita sholat Subuh berjamaah. Selesai ruku rakaat kedua irma langsung sujud. Ealah nggak taunya imam nya baca doa qunut. Berdiri lagi deh. Selesai doa qunut imamnya baca takbir. irma otomatis ruku. Eh ternyata yang lain pada sujud. Oh iya ya, kan tadi udah ruku. irma buru-buru sujud. Dalam hati irma bertanya-tanya, sholat Subuh irma kali ini Allah nggak ya ?? Abis tulalit gini … L
Keluar dari mushola irma lalu masuk peron. Tadi udah diumumin kereta Parahyangan menuju Bandung yang berangkat jam 5.10 udah siap di jalur satu. Itu kereta yang akan irma pake. Hei, ternyata sekarang keretanya warna putih biru. Rasanya terakhir irma pake warnanya nggak begini. Kapan ya terakhir irma naik kereta ? Kayaknya udah lama banget.
Di gerbong eksekutif 1 kursi 9A yang seharusnya irma duduki udah ditempati seorang bapak. Waktu irma tunjukkan tiket irma ia lalu pindah ke kursi nomor 8D. Anaknya yang duduk di kursi 9C ikutan pindah. Seharusnya bapak itu duduk di mana sih ??
Tepat jam lima lewat sepuluh menit kereta berjalan. Jes jes jes gujes, rodanya bergerak perlahan. Lima belas menit kemudian sampai di Jatinegara. Beberapa penumpang naik ke gerbong eksekutif 1. Tapi nggak banyak. Cuma lima orang. Masih banyak kursi kosong. Jadi irma pindah ke kursi nomor 5A. Abisnya kursi nomor 9A nggak enak banget. Nggak terkunci jadi kursinya berputar-putar ngikutin arah belokan kereta.
Kondektur mulai berjalan dari ujung gerbong memeriksa karcis. Di kursi nomor 3C dan 3D dia berhenti lebih lama. Rupanya kedua penumpang itu pegang tiket kelas bisnis. Mereka nggak tau kalau gerbong ini untuk kelas eksekutif. ‘Kalau mau tetap di sini boleh saja. Tapi harus tambah biaya kekurangannya,’ jelas pak kondektur. Akhirnya mereka hengkang dari gerbong tersebut. Di kursi 7C juga terjadi hal yang sama. Ia pun pindah ke gerbong bisnis, tiga gerbong di belakang gerbong eksekutif 1. Rupanya para penumpang yang tadi duduk di kursi 3C, 3D dan 7C itu baru pertama kali naik kereta Parahyangan. Mungkin biasa pake Argo Gede kali ya. Kalau kereta Argo kan semua gerbong kelas eksekutif. Pake AC semua.
Dua orang pramusaji menghampiri irma, tanyakan irma mau pesan makan nggak. Karena ngantuk dan kepengen tidur irma bilang irma nggak pesan makan. Eh tapi waktu mereka lewat lagi bawa mangkok dengan asap mengepul, irma jadi nyesel. Tau gitu kan irma tadi pesan makan juga. Kayaknya mi rebus itu enak sekali …
irma tidur. Terbangun waktu kereta berhenti sebentar di Stasiun Purwakarta. Ngecek handphone. Ada sms dari Wahyudi. Juga Ela.
05:51 dari Wahyudi
Met Ulang Tahun ya. Semoga di tahun-tahun ke depan Allah memberikan segala kemudahan dan kebaikan buat kamu. Amiin.
06:00 dari Ibu Isna
Selamat HUT ! Irma agustina. Smoga sehat slalu. Bw helm kan ?
07:08 dari Ela
Irma, selamat ulang tahun yach J Panjang umur, sehat-sehat, sukses selalu. Semoga harapan-harapannya terpenuhi di tahun ini. Salam, Ela.
Hiii … makasih ya. Senang deh diingat begini J irma telpon Wahyudi. Obrolan terputus karena sinyal hilang saat kereta sampai di Maswati. Tapi waktu sinyal timbul kembali pun obrolan nggak irma lanjutkan. Abis, telponnya kudu teriak-teriak. Suara irma kalah sama suara peluit kereta. Sepanjang jalan peluitnya bunyiiii terus. Mungkin rame orang di sekitar rel kereta. Makanya masinis bunyikan peluit terus biar orang-orang pada minggir.
Kok tiba-tiba kereta berjalan pelan ? Apa memasuki daerah rawan rel anjlok ? Akhir-akhir ini sering terjadi rel anjlok karena tanah longsor. Makanya kereta nggak bisa jalan ngebut. Kasihan PT KA. Kereta jalan pelan, penumpang ngomel-ngomel. Kereta jalan kencang, kecelakaan, masyarakat marah-marah.
Rupanya kereta mau masuk terowongan. Keluar terowongan kereta berhenti di Stasiun Cilame. irma jadi punya kesempatan untuk memotret jalan tol Cipularang. Ya motretnya dari dalam kereta sih. Abis kalau irma turun, takutnya tiba-tiba keretanya jalan lagi. Ketinggalan deh nanti.
Kereta jalan lagi. Mulai memasuki area Padalarang. Kereta jalan berliuk-liuk mengikuti rel menyusuri bukit. Melewati jembatan. Tinggiiii sekali. Sungai jauh di bawah. Tampak air terjun kecil di dinding tebing. Cantik sekali. Sayang nggak sempat motret.
Beberapa kali kereta berselisih jalan dengan tol Cipularang. Kadang keretanya yang di atas, kadang keretanya di bawah jalan tol. irma lihat satu jembatan tinggiiiii bertuliskan ‘Propelat’. Kalau nggak salah, itu kan nama gedung di jalan Riau ya. Dulunya sekretariat Ikatan Alumni ITB berkantor di sana. Nggak tau sekarang.
Lewat Stasiun Padalarang. Lagi mengagumi jam antiknya yang masih terpasang megah di sana, irma lihat ada sms masuk. Dari Henny, teman kantor yang juga teman pulang bareng. Berikutnya dari Teteh Inna yang beberapa kali misscall karena ringtone nya nggak kedengeran. Kan udah irma bilang peluit keretanya nggak berhenti-henti bunyi.
08:17 dari Henny
“Met Ulang Tahun” inga-inga traktirannya
08:23 dari Teteh Inna
Ir, slamat ulang tahun ya. kata rizqi n aziya smoga tante sehat slalu dan kapan kami diajak makan-makan, hi… hi…
Kereta memasuki Stasiun Bandung. Para porter berloncatan ke atas gerbong. Dibantu Pak, dibantu Bu, sapa mereka. Kasihan, di gerbong eksekutif 1 ini para penumpangnya pada bawa barang cuma sedikit. Nggak perlu bantuan porter. Walaupun demikian seorang porter dengan nomor baju 52 tetap ramah menyapa para penumpang, ‘Hati-hati Pak, hati-hati Bu, barang-barangnya jangan sampai ketinggalan. Mohon diperiksa lagi.’
Begitu turun kereta irma lihat jam stasiun tergantung di peron. Pukul 8.27. Wah, benar-benar on-time ! Di tiket kereta tertulis kereta sampai di Stasiun Bandung jam 8.25. Biasanya kereta datang terlambat. Makanya banyak penumpang kesal. Tapi pelayanan PT KA kali ini benar-benar memuaskan irma. Keretanya tepat waktu, para petugas di atas kereta ramah, di dalam keretanya bersih, dan perjalanannya pun aman. Tepuk tangan buat PT KA, horeeeeee ………… J
Turun dari kereta irma celingak-celinguk mencari Bu Isna. Biasanya kalau menjemput Bu Isna nunggu di depan pintu keluar. Tapi irma perhatikan di sana dia nggak ada. irma lalu telpon Bu Isna.
Ternyata Bu Isna nya masih di rumah ! ‘Waduh sorry ir, aku lupa !’ jawabnya di telpon. Hoaaaa …………. gimana nih ?? Ya sudah, nggak ada yang bisa irma lakukan selain menunggu. Bu Isna bilang dia antar Diella ke sekolah dulu baru ke stasiun. irma ingatkan ia untuk hati-hati.
Menunggu di stasiun, ngapain ya ? irma keluarkan kamera. Latihan memotret ah. Ini kamera udah lumayan lama dipake tapi tetap aja irma belum begitu kenal. Apa efeknya kalau pake mode shutter speed priority ? Apa ngaruhnya kalau mode aperture priority yang dipake ? Trus kalo pake mode program hasilnya gimana ? Kalau pake manual, apa yang terjadi ?
irma foto lokomotif CC204 01 yang tadi menarik rangkaian kereta api Parahyangan yang irma naiki dari Jakarta. Loko itu pergi ke arah los. Sementara rangkaian gerbong penumpang ditinggal di salah satu jalur, agak jauh dari peron. Los adalah bengkel tempat pemeliharaan kereta.
Stasiun lengang. Sepi banget. Petugas di bagian informasi perhatikan irma yang lagi memotret. Dia kira irma turis kali. Foto-foto melulu. irma lihat seorang petugas bertopi merah bersiap di salah satu jalur. Tiba-tiba ia mengangkat rambu bulatan hijau sambil meniup peluit. Pluiiiiiiittt … !!! Satu rangkaian kereta bergerak ke arah Surabaya. Jes jes jes … Keluar dari stasiun putaran rodanya makin cepat.
Satu rangkaian kereta bertuliskan ‘Khusus angkutan barang pasar’ melintas. Perasaan tadi kereta ini melintas di jalur paling ujung yang dekat ke stasiun baru. Sekarang dia melintas di jalur tengah-tengah, melewati serombongan ABG yang menunggu kereta ke Padalarang. Abis gitu rangkaian kereta itu lewat lagi di jalur paling ujung yang dekat ke stasiun lama. Mau ke mana sih dia ? Bolak-balik melulu. Abis dari Ciroyom kali ya. Di situ kan ada pasar. Ingat dulu waktu kecil sering dengar berita jam delapan malam di radio. Pasar Induk Ciroyom, wortel tanpa daun … kentang ukuran A, B, C, … kol bulat, kol gepeng, …
Udah hampir setengah jam irma el-el di stasiun. bosan. Nggak tau irma mau ngapain lagi. irma lalu duduk di bagian bawah salah satu pilar penyangga langit-langit peron. Ngikutin beberapa penumpang yang lagi nunggu kereta. Lagi duduk sambil lihat-lihat hasil foto, tiba-tiba di sebelah irma cuma berjarak kurang dari satu meter melintas rangkaian kereta. Whoaaa … kaget banget. Ternyata duduk di situ bukanlah satu tindakan yang aman.
Seorang kakek jalan bersama cucu perempuannya. ‘Keretanya mana ya ? Oh keretanya pergi,’ kata si kakek dengan logat Sunda yang kental. Cucunya bengong ngeliatin dia. Lalu mereka berdua duduk di bawah pilar seperti irma. Menunggu kereta. Hiiii … pemandangan lucu nih. Tapi waktu irma foto kakeknya mendelik serem banget. Tenang Kek, cuma difoto. Nggak bakalan diculik kok cucunya …
Handphone irma bunyi-bunyi. Dari Bu Isna. ‘Aku di depan stasiun ya, arah ke mesjid,’ katanya. irma bergegas keluar. Sampai parkiran baru mikir, rasanya di halaman stasiun adanya mushola, bukan mesjid. Mata irma menyapu pelataran parkir, cari satu sosok tinggi besar berkerudung. Tapi nggak ada yang seperti itu. irma lalu telpon Bu Isna. Ternyata Bu Isna di luar stasiun, di pinggir jalan. ‘Pan biar teu mayar,’ katanya waktu irma tanya kenapa nggak masuk ke halaman stasiun. Halah, cuma ngirit lima ratus perak aja …
Bu Isna lagi ndeut-ndeutan di atas motor warna merah ketika irma menghampirinya. Hiiii … motornya dicat pake glitter. Jadi kesannya kelap-kelip. Huahahahaha … centil banget. Pas irma pake helm gantian Bu Isna yang ketawa, ‘Hahaha, kuning !’ Yah, namanya juga helm pinjaman. Pasrah aja dapatnya warna apa. Kalau boleh milih sih irma pengennya helm warna merah.
Motor melaju ke jalan Aceh. irma minta Bu Isna untuk mampir ke ATM Bank Lippo sebelum menuju Garut. Duduk di belakang Bu Isna, helm irma kejeduk-jeduk helm dia mulu. Untung pake helm. Kalau kepala yang beradu dengan helm, benjol-benjol deh. irma udah lupa rasanya dibonceng naik motor. Terakhir naik motor, akhir tahun lalu waktu di Pulau Banda Besar. Naik ojek dari Lonthoir ke Walang.
Perjalanan ke Garut dimulai setelah ngambil uang di ATM Bank Lippo di persimpangan jalan Aceh – Merdeka. Kita menyusuri jalan Aceh, Riau, Kiara Condong, masuk Gatot Subroto, lewati komplek Kavaleri, trus Soekarno-Hatta alias by-pass. Saat di Cibiru menjelang meninggalkan area Kotamadya Bandung tampak aliran kendaraan agak tersendat. Rupanya ada pemeriksaan. Motor-motor pada distop polisi. irma sempat was-was. Tapi kata Bu Isna tenang aja. Emang biasa polisi ngadain pemeriksaan kayak gini. Apalagi saat akhir pekan, ketika orang-orang pada sliweran keluar rumah.
Sampai di Terminal Cileunyi. Kita memutari pasar. irma ketawa waktu lihat salah satu papan nama di depan pasar. Tertulis ‘Pemasaran Pasar’. Apaan tuh, semacam marketing ya ? Bu Isna nggak lihat papan nama itu. Ya iya lah, dia kan konsentrasi nyetir. irma perhatikan dari tadi jarum penunjuk speedometernya nggak pernah kurang dari 80 km/jam. Wuihhh, kenceng banget ! Kalo Mama atau Teteh yang dibonceng pasti dia bakalan diomel-omelin.
Di Rancaekek depan perguruan Al Ma’soem, sekitar 43 km sebelum kota Garut (menurut papan penunjuk di tepi jalan ), ada lagi pemeriksaan polisi. Kali ini yang distop mobil-mobil. Gantian kali ya, tadi kan motor. Sekarang mobil. Di Rancaekek ini juga kita ketemu dengan serombongan peziarah dari satu pesantren. Mereka beriring-iringan naik motor. Di atas lampu belakang dipasang bendera kecil warna hijau spotlight bertuliskan nama pesantrennya. Katanya mereka mau ziarah. Tapi ziarah ke mana ya ??
Sampai Cicalengka. Wussszzzzzzzzz …………. satu bis jurusan Bandung – Garut menyusul kita. Sempat terasa motor agak oleng. Tapi Bu Isna santai aja. irma perhatikan di bagian belakang bis itu ada tulisan ‘Combat’. Jadilah irma bilang bis itu si Combat. Di tanjakan Nagrek kita ketemu dia lagi. Kali ini kita susul dia. ‘Daaaahh Combat !’ irma melambaikan tangan waktu kita mendahuluinya dari kanan. Eh berikutnya saat turunan curam menikung si Combat ini nyusul kita lagi. Tapi dia nggak pake dadah-dadah.
Setelah turunan Nagrek yang terkenal sering terjadi kecelakaan kita belok kanan. Pisah dari jalan menuju Tasik. Luruuuuuuusss berjalan sampailah kita di Garut. irma minta Bu Isna berhenti sebentar di depan gapura Selamat Datang ke Kota Garut. irma mau foto gapura itu. Bu Isna kira irma mau foto tukang jagung yang lagi ngaso di bawah gapura.
Balik naik motor lagi. Baru jalan beberapa meter irma minta berhenti lagi. Ada papan bergambarkan Peta Wisata Garut dalam ukuran raksasa. Di bawahnya ada spanduk menyambut kedatangan gubernur Jawa Barat ke Garut. Baru tau gubernur Jabar sekarang tuh namanya H. Danny Setiawan. Hihihihi, gini deh kalau udah nggak sekolah. Dulu waktu masih jadi anak sekolah kan termasuk salah satu kewajiban untuk menghapal nama-nama gubernur yang sedang menjabat di Indonesia.
Menjelang Kota Garut irma lihat anak-anak gadis memanggul kayu bakar di punggung dan bapak-bapak memikul panen kacang. Di Kota Garut irma lihat delman-delman bersliweran. Mana domba nya ya ? Setahu irma Garut terkenal dengan domba. Ingat dulu Papa bawa domba dari Garut tiga bulan sebelum lebaran Haji. Sampai di Bandung domba nya dipelihara sama tukang rumput yang biasa bantu-bantu bersihin pekarangan di rumah Ranca Kendal. Saat Idul Adha domba Papa itu domba paling besaaaar di antara domba-domba yang mau dikurbankan. Orang-orang kira domba itu mahal harganya.
Motor melaju melewati Kota Garut. Kita menuju Leles. Sampai ketemu tanda untuk belok kiri disertai tulisan ‘Situs Candi Cangkuang 3 km’. Di depan papan nama bergambarkan candi dan Situ Cangkuang banyak delman parkir berderet. Kayaknya emang delman tuh kendaraan andalan di Garut. Ojek belum laku.
‘Mana tiga kilo ? Bo’ong nih. Ini sih nyampe lima kilo,’ komentar Bu Isna waktu kita menyusuri jalan menuju Situs Cangkuang. Udah lebih tiga kilometer motor kita berjalan tapi belum sampai juga. Tiga kilonya ukuran kuda kali, hihihi. Atau mungkin tiga kilo nya Garut itu setara dengan lima kilonya Bandung, huehehehehe.
Ya sudah irma nikmati aja pemandangan di kiri dan kanan. Ada sawah, kerbau sedang membajak, dan pohon-pohon kelapa yang tinggiiiii sekali. Tapi Bu Isna bilang pohon kelapa itu emang normal tingginya segitu. Masa’ sih ? Rasanya pohon kelapa lain nggak setinggi ini. Kecuali pohon kelapa yang irma lihat di Sumatra Barat. Atau mungkin selama ini irma nggak pernah ketemu pohon kelapa yang begitu tinggi ? Paling tinggi cuma dua meteran. Eeeehh … tapi di Jakarta irma nggak pernah ketemu pu’un kelapa deng …
Kita juga melewati telaga penuh teratai. Bunga-bunganya merekah berwarna lila. Cantik sekali. ‘Kayak yang di Jonggol ya,’ kata Bu Isna. Dulu pernah irma dan Bu Isna bermobil dari rumah Teteh di Depok ke Bandung via Jonggol. Kita lewat satu telaga kecil yang seluruh permukaannya tertutup pohon teratai. Bunga-bunganya pada merekah. Cantik.
Motor berhenti di depan gapura kecil bertuliskan ‘Selamat Datang di Obyek Wisata Candi Cangkuang’. Horeeeee …… akhirnya sampai juga di Cangkuang J Bu Isna memarkir motor. irma kasihkan helm ke Bu Isna untuk dia kaitkan di bawah jok. Helmnya sendiri ditaruh di atas kaca spion. Umm, aman gitu ? Bu Isna bilang tenang aja, kan ada yang jaga. Bapak penjaga parkiran motor kasihkan nomor penitipan kepada Bu Isna. Lalu kita masuk ke kawasan obyek wisata.
irma dan Bu Isna celingak celinguk di depan loket. Mana yang jaganya nih ? Seorang pegawai berpakaian batik jalan melintas. Bu Isna menyapa, kasih tau kita mau beli karcis masuk. ‘Langsung aja di sana,’ ia menunjuk ke seberang telaga. Oh gitu ya. irma heran. Bu Isna juga heran. ‘Kemarin waktu ke sini beli karcisnya di sini. Dikasih tiket warna merah,’ katanya. Beberapa hari yang lalu Bu Isna udah survey ke sini.
Petugas berbaju batik tadi persilakan kita masuk ke bangunan berbilik bambu. ‘Ini kantor Dinas (Pariwisata). Itu situsnya,’ ia menunjuk ke seberang telaga lagi. Di kantor Dinas itu kita duduk menunggu rakit. Seorang tukang rakit menghampiri kita, tanyakan kita mau nunggu penumpang lain atau borongan. Kalau baca dari tulisan di papan kayu dekat deretan rakit parkir, katanya tarif seorang penumpang dewasa adalah tiga ribu rupiah.
Kita bilang kita mau nunggu aja. Tukang rakit itu lalu pergi. irma dan Bu Isna duduk-duduk di teras, sambil uncang-uncang kaki di atas telaga. Kantor Dinas itu pas banget di sebelah telaga. irma duduk menulis, mengingat-ingat perjalanan dari Bandung tadi. Bu Isna baca buku ‘Lonely Planet – Indonesia’ punya irma dan brosur pariwisata Garut yang irma dapat dari pameran pariwisata di Semanggi Expo beberapa hari yang lalu. ‘… kekhasan objek wisata ini adalah adanya rakit bambu melintas Situ Cangkuang yang ditebari Teratai Merah dan Putih untuk mencapai pulau tersebut …’ Bu Isna membaca tentang Candi dan Situ Cangkuang. ‘Mana teratainya ?’ ia menebarkan pandangan ke penjuru telaga. Tepat di saat itu satu rakit merapat. Tiga orang penumpangnya turun ke kantor Dinas. Seorang di antara mereka memegang tanaman teratai beserta bunganya. ‘Tuh, teratainya udah dipetik orang,’ celetuk irma. Hahahaha, kita pun ketawa.
Selesai menulis irma membaca sms-sms yang masuk, ucapkan selamat ulang tahun untuk irma. oh iya, ucapan pertama yang irma terima jam 1 tadi malam lho …
01:14 dari Pak Leo
Selamat ulangtahun yg ke-34 ya … With all the best …
09:43 dari Niken
Selamat ulang tahun Irma … met menikmati cangkuang nya ya … ;)
09:47 dari Joe
Hai Irma. Selamat ulang tahun ya. Semoga sehat selalu, lebih sukses dalam karir, jodoh dan tetap semangat B2W J
10:14 dari Irv
Happy birthday ! Wish you all the best, today & forever =>
10:43 dari Ipe
Met ulang tahuuuun ! Wish you all the best kakak irma J
Hiiii … senangnya. Makasih ya semua. Abis balasin sms itu satu per satu irma perhatiin anak-anak bermain air. Gantian mereka terjun dari ujung rakit. Hiiii … pada bugil, nggak pake baju sama sekali ! Dasar bocah. Tapi waktu irma keluarkan kamera untuk memotret, mereka langsung pada kabur. He eh, malu juga kali ya.
‘Ir, nanti kalau ada yang nanya ulang tahun ngapain aja, dikau jawab, ‘Bengong di pinggir danau,’ ya ?’ tanya Bu Isna. Hehehehe, tau kok sebenarnya Bu Isna bosen ya duduk ngejogrog gini. Tadi Bu Isna sempat tanya ke irma gimana kalau kita ngeborong satu rakit aja. irma bilang sih ok-ok aja, tapi Bu Isna sendiri aja yang ngomong ke tukang rakitnya.
Satu rakit merapat lagi. Tukangnya persilakan kita naik. Ia sendiri pergi nggak tau ke mana. ‘Aku bayangkan rakitnya akan agak tenggelam waktu aku naik,’ kata Bu Isna saat meniti bambu di atas rakit, menuju tempat duduk. Ternyata rakitnya stabil tetap mengambang. Mungkin karena desainnya itu yang memanjang jadi beban terbagi merata di permukaan rakit.
Di atas rakit kita duduk menunggu lagi. Anak-anak yang tadi bermain air udah berpakaian lengkap. Mereka naik rakit kecil menuju ke seberang. Katanya telaga ini nggak dalam. Paling dalam hanya 1,5 meter. ‘Wah, tau gini bawa baju ganti. Kan sebenarnya bisa jalan kaki sampai ke seberang,’ Bu Isna bilang. Huahahahaha … mau jalan kaki dalam air ?? Kalau kata tukang rakit yang tadi menghampiri kita sih, ‘… kalau gitu mah nggak ada seninya Neng …’
Akhirnya Bu Isna nggak tahan juga. Ia lalu bertanya kepada tukang rakit yang jaga berapa biayanya kalau kita ngeborong satu rakit. ‘Yah kalau berdua begini mah, dua lima aja,’ jawabnya. Maksudnya dua puluh lima ribu rupiah. Sesuai dengan yang ditulis dalam buku ‘Lonely Planet – Indonesia’. Nawar dua puluh ribu, nggak dikasih. Katanya memang udah segitu standar harganya. Akhirnya kita setuju dengan tarif yang diajukan. Tukang rakit yang jaga lalu memanggil tukang rakit yang tadi persilakan kita naik ke atas rakitnya. Eh, kayaknya tukang rakit yang jaga itu juragannya. Abis dia yang ngatur-ngatur rakit mana yang harus jalan duluan.
Tukang rakit kita mengambil galah untuk mendorong rakit. irma perhatikan tukang rakit di sini punya galah masing-masing. Tadi waktu tukang rakit itu pergi dari perahu, galahnya dia bawa. Jadi bisa aja tukang rakit itu berganti-ganti rakit, tapi galahnya tetap sama. Karena udah sering dipake mendorong rakit galah itu jadi agak melengkung.
Dorong dorong dorong dorong dorong … tukang rakit mendorong galah sambil berjalan. Rakit pun bergerak. Kalau udah sampai di ujung rakit, tukang rakit pindah ke tengah-tengah lalu mulai mendorong lagi. Terus begitu sampai rakit tiba di tempat tujuan. irma bilang bapak tukang rakit itu serasa lagi tread mill. Tiap harinya berapa kilometer ya dia tread mill ? Pantas badannya tegap berotot begitu.
irma berjalan ke ujung rakit. Kamera irma kasih ke Bu Isna. ‘Fotoin ya, aku mau bergaya Titanic,’ irma membentangkan tangan. ‘Eh nggak taunya pas bergaya gitu malah kecebur,’ irma berkhayal. Bu Isna ketawa. Dia emang sering geli mendengar irma berkhayal. Katanya khayalan irma aneh-aneh.
Sampai di seberang telaga. ‘Pak, bayarnya nanti ya, pas pulang ?’ Bu Isna bertanya. Tukang rakit mengangguk mengiyakan. Lalu ia balik lagi ke seberang. Kalau dia nongkrong di sana kan lebih banyak calon penumpang yang mau pakai jasanya. Yang di pulau tempat candi ini kan paling cuma pengunjung situs aja.
Kita bayar tiket masuk di loket yang dijaga petugas berbaju batik. Bayar aja, tiketnya sih nggak ada. Yah, nggak ada buat kenang-kenangan deh. Abis gitu kita jalan mendaki melewati deretan toko-toko penjual souvenir. Kebanyakan souvenirnya terbuat dari bambu. ‘Bener-bener ya, bambu itu bermanfaat sekali buat hidup manusia,’ komentar Bu Isna. Iya, hampir semua perlengkapan di sini terbuat dari bambu. Ya rakit, ya bahan bangunan, dinding rumah, meja, kursi, dan banyak lagi.
Lalu kita belok kiri memasuki pelataran candi. ‘Mau ambil jalan beneran, atau jalan alternatif ?’ Bu Isna menunjuk jalan tanah yang bercabang dari tangga batu menuju candi. Jalan beneran deh. Belum tau kan jalan alternatif itu ke mana …
Di ujung tangga kita ketemu rumah joglo dengan teras lapang. Rupanya rumah itu berfungsi sebagai museum situs. Di depannya makam Mbah Dalem Arif Muhammad. Makam itu dikelilingi pagar. Di belakang makam terdapat Candi Cangkuang. Dinamakan seperti itu karena terletak di Desa Cangkuang. Cangkuang merupakan nama tumbuhan yang terdapat hanya di sekitar desa itu.
‘Nah ini pohon Cangkuang nya,’ irma menunjuk satu pohon di samping depan museum. Bentuknya seperti pohon nanas tapi tinggi dan besar. irma baca nama latinnya yang tertulis di papan kayu depan pohon itu, ‘Pandanus purcatus. Siapanya Pithecantropus erectus ya ??’ Dasar, si irma penggemar pithecantropus !
Seorang bapak bertopi dan kaus biru tua gambar Candi Cangkuang yang sedang menyapu menyapa kita, ‘Dari mana ?’ Bu Isna yang menjawab, ‘Dari Bandung.’ Abis itu mereka bercakap-cakap. irma nggak ikutan ngobrol tapi nguping pembicaraan mereka.
Bapak itu namanya Pak Rosidin. Ia bertugas menjaga kebersihan situs Candi Cangkuang yang terdiri dari candi, makam Dalem Arif Muhammad, museum, dan pelataran. Dia bilang sih, bantuan dari Dinas (Pariwisata) nggak banyak. Selama ini pemeliharaan situs lebih banyak dilakukan secara swadaya oleh penduduk dibantu dana dari pengunjung. Mahasiswa yang KKN ke sana pun turut membantu. Pak Rosidin menunjuk tempat sampah sumbangan sekelompok mahasiswa. Dia harap keberadaan tempat sampah itu akan membuat kebersihan situs terjaga. irma perhatikan memang di sana rapi dan bersih. Bisa dikatakan di sana nggak ada sampah berserakan.
Pak Rosidin juga bercerita tentang pohon Cangkuang. Konon buahnya memiliki khasiat menyembuhkan, jika orang tau cara mengolahnya. Sayang waktu kita ke sana pohon itu sedang tidak berbuah. Katanya buahnya seperti buah merah yang dari Papua. ‘Pohon Cangkuang itu cuma hidup di sini ?’ tanya irma penasaran. ‘Nggak. Di luar sini juga ada. Tapi yang berbuah cuma yang di sini,’ jawab Pak Rosidin. Selain dimanfaatkan sebagai obat pohon itu juga dimanfaatkan daunnya untuk membuat tudung, tikar dan pembungkus gula aren.
Sementara Bu Isna mengobrol dengan Pak Rosidin, irma melihat-lihat Candi Cangkuang. Candi itu ditemukan Team Sejarah Leles dan sekitarnya pada tanggal 9 Desember 1966. Penelitian team tersebut berdasarkan tulisan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genootschap terbitan tahun 1893 yang mengatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno dan sebuah arca yang sudah rusak. Dalam bahasa Belanda tulisan tersebut berbunyi sebagai berikut, ‘District Leles – 205. Tjangkoean – Nabi Mohamedaansche graven staan fragmenten van lingga’s, een voetstuk en een geschonden Ciwa (?) – beeld.’
Penelitian lebih lanjut oleh team tersebut di tahun 1967 – 1968 menemukan peninggalan kehidupan zaman pra-sejarah, kebudayaan Neolitikum (saat orang mulai tinggal menetap), kebudayaan Megalitikum (saat batu-batu besar mulai dimanfaatkan sebagai bahan bangunan), kebudayaan Hindu (saat orang mulai menyembah trimurti – kekuatan dan kekuasaan tiga orang dewa tertinggi di atas dewa-dewa lain), dan kebudayaan Islam.
Diperkirakan Candi Cangkuang dibangun pada abad ke VIII. Makanya candi ini disebut candi tertua di Pulau Jawa. Yang menarik, candi ini merupakan satu-satunya candi Hindu yang ditemukan di Jawa Barat. Tapi itu dulu. Dengan ditemukannya Situs Batu Jaya di Karawang yang diperkirakan dibangun pada abad ke V, maka teori Candi Cangkuang sebagai candi tertua di Pulau Jawa gugur sudah.
Pada kurun waktu 1974 – 1976 Candi Cangkuang dipugar hingga menjadi seperti sekarang. Hanya 40% dari batu penyusun candi ini yang merupakan batu asli dari abad ke VIII, sesuai dengan yang ditemukan team peneliti. Sisanya yang 60% lagi dibuat dari adukan semen, batu koral, pasir dan besi meniru batu asli. Pada tanggal 24 Agustus 1976 dilangsungkan upacara pembukaan selubung candi oleh Bupati Kepala Daerah Tk. II Garut. Lalu pada tanggal 8 Desember 1976 Menteri P & K Republik Indonesia Prof. Dr. Syarief Thayeb meresmikan Candi Cangkuang. Batu peresmian ini bisa kita lihat di depan candi.
‘Di dalam ada apa ?’ tanya Bu Isna kepada empat orang ABG yang baru turun dari tangga candi. ‘Ada patung,’ jawab mereka. Lalu irma dan Bu Isna bergantian naik tangga, mengintip ke dalam candi. Benar, di dalam sana ada patung. Patung Dewa Siwa sedang duduk dengan salah satu kaki tertekuk membentuk sila. ‘Eh ada uangnya,’ seru Bu Isna. Entah siapa yang melempar uang ke kaki patung itu. Kata Pak Rosidin, ada kepercayaan kalau ada yang bisa mengangkat patung itu maka permohonannya akan terkabul. Di bawah patung itu terdapat lubang sedalam 7 meter. Diperkirakan dulunya lubang itu sebagai tempat menyimpan abu jenazah. Khawatir patung akan dicuri maka pintu ke dalam candi dipasangi pagar dan dikunci.
Serombongan mahasiswa berjaket merah maroon datang melihat-lihat candi dan makam. Udah mulai rame nih. irma males kalau udah begini. Jadi irma ajak Bu Isna untuk pindah ke tempat lain. Pak Rosidin meminta kita mengisi buku tamu di museum. Di sana kita bisa melihat foto-foto saat candi dipugar, termasuk pembuatan batu tiruannya. ‘Ir, fotoin patung Siwa nya dong,’ pinta Bu Isna. Umm, tadi irma udah foto kok patung Siwa yang di dalam candi. Memang agak gelap karena di dalam candi cahayanya cuma dari pintu yang ditutupi pagar.
Di museum tersimpan peninggalan Dalem Arif Muhammad saat beliau menyebarkan ajaran agama Islam di Desa Cangkuang pada permulaan abad ke XVII. Peninggalan itu terdiri dari naskah khutbah Jumat yang ditulis di atas kulit kambing, kitab suci Al Qur’an, kitab ilmu tauhid, dan kitab ilmu fiqih. Al Qur’an dan kedua kitab ilmu tersebut ditulis di kertas kulit kayu. Nggak boleh dipegang. Lihat aja dari balik kaca. Di dalam lemari kaca peninggalan Dalem Arif Muhammad itu diletakkan di atas kertas daluang. Di dinding museum terpampang foto pembuatan kertas daluang. Dari sebatang pohon diambil tipis kulitnya, direndam dalam air, dipukul-pukul hingga rata, lalu ditiriskan di atas batang pohon pisang hingga kering. Katanya kertas itu bisa bertahan hingga ratusan tahun.
Pak Rosidin menerangkan proses pembuatan kertas daluang dalam bahasa Sunda. Lebih mudah baginya menerangkan secara itu karena beberapa istilah Sunda sulit ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Ada istilah ‘dipreg-preg’ gitu. irma ketawa-ketawa mendengarnya. Seorang bapak yang sedang duduk di pojok museum tersenyum melihat irma geli. ‘Ini Dalem Arif Muhammad muda,’ canda Pak Rosidin, menunjuk bapak itu. Bapak itu tertawa. Rupanya dia dari Dinas Pariwisata.
Rombongan mahasiswa tadi sekarang duduk berkumpul di teras museum. Rupanya mereka mau mendengarkan penjelasan bapak dari Dinas Pariwisata itu. Wah kebetulan nih, irma bisa nguping. Huehehehehe … … dasar si irma tukang nguping ! Dulu waktu berkunjung ke Museum Situs Sangiran juga irma nguping penjelasan petugas museum kepada rombongan anak sekolah J
Bapak Dinas Pariwisata bercerita tentang Candi Cangkuang, Mbah Dalem Arif Muhammad, dan Kampung Pulo. Menurut cerita rakyat yang beredar di Desa Cangkuang, Dalem Arif Muhammad adalah seorang utusan Kerajaan Mataram yang ditugaskan menyerang pasukan VOC di bawah pimpinan JP Coen di Batavia. Pasukannya terpukul mundur hingga ke Priangan Timur. Karena malu mengalami kekalahan, Dalem Arif Muhammad tidak mau kembali ke Mataram. Ia lalu menetap di Desa Cangkuang untuk menyebarkan ajaran Islam. Konon beliau masih keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Katanya lho …
Saat meninggal Dalem Arif Muhammad meninggalkan enam orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Keturunannya inilah yang kemudian mendiami Kampung Pulo. Di sana terdapat tiga rumah berderet sebelah kanan dan tiga rumah lagi berderet sebelah kiri. Di tengah-tengah ada satu mesjid. Jumlah bangunan di Kampung Pulo tidak boleh ditambah atau dikurangi. Bentuknya pun tidak boleh diubah. Penduduk Kampung Pulo hanya boleh enam kepala keluarga. Seorang anak dewasa yang telah menikah harus meninggalkan Kampung Pulo selambat-lambatnya dua minggu setelah pernikahan.
Penduduk Kampung Pulo menganut sistem matrilineal. Kepala keluarganya adalah pihak perempuan. Jika kepala keluarga meninggal, maka anak perempuannya yang paling besar yang kemudian naik jabatan menjadi kepala keluarga. Jika anak ini telah menikah dan tinggal di luar Kampung Pulo, maka ia akan dipanggil untuk kembali tinggal di Kampung Pulo. Bagaimana jika kepala keluarga ini tidak memiliki anak perempuan ? Maka saudara perempuannya yang menjadi kepala keluarga kemudian.
Adat istiadat peninggalan Dalem Arif Muhammad masih dipegang teguh oleh penduduk Kampung Pulo. Mereka tidak boleh berziarah di hari Rabu karena dulunya Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu di hari Rabu. Sebab pada hari itu beliau mengajar agama. Setiap tanggal 14 bulan Mulud mereka melaksanakan upacara adat untuk membersihkan pusaka.
Atap rumah di Kampung Pulo tidak boleh berbentuk prisma. Bentuknya harus memanjang. Dalam bahasa Sunda istilahnya ‘Jolopong’. Penduduk Kampung Pulo tidak boleh membunyikan goong besar. Ini karena dulu waktu Dalem Arif Muhammad melaksanakan khitanan putranya, diadakan hiburan dengan goong besar dan anak yang akan dikhitan itu ditandu menggunakan rumah-rumahan beratap prisma. Ternyata terjadi musibah angin topan. Anak itu terbawa angin lalu jatuh dan meninggal. Sejak itu Dalem Arif Muhammad melarang rumah beratap prisma dan goong besar.
Penduduk Kampung Pulo tidak diperkenankan memelihara ternak besar berkaki empat seperti sapi, kerbau, kambing, dll. Katanya untuk menjaga kelestarian tanaman dan menjaga kebersihan karena di sekitar Kampung Pulo banyak terdapat makam keramat. Oh iya, satu lagi adat Kampung Pulo yaitu pergantian hari dimulai setelah Ashar. Bukan tengah malam. Jadi nih, sesudah Ashar nanti penduduk Kampung Pulo sudah berhari Minggu. Sementara untuk kita masih hari Sabtu.
Sambil nguping irma memilih-milih cendera mata yang dijual museum. Ada buku ‘Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya’. Wah, ini harus dibeli nih. Tiap kali jalan-jalan ke satu tempat bersejarah irma selalu cari buku referensi yang bercerita tentang tempat itu. Trus ada juga gantungan kunci, miniatur rakit, dan tentu baju kaus gambar Candi Cangkuang. irma beli kaus untuk irma dan Wahyudi. Pas banget ada yang tangan panjang warna merah. Warna kesukaan irma. Tentunya yang ini untuk irma. Bu Isna juga memilih kaus untuk dia dan kedua anaknya.
Puas pilih-pilih dan nguping, kita lalu meninggalkan museum. Nggak enak lewat depan rombongan yang lagi dengerin penjelasan bapak dinas, begitu keluar museum kita langsung jalan ke bagian belakang bangunan. Dari situ turun keluar pelataran situs lewat jalan alternatif alias jalan tanah percabangan dari tangga batu.
Keluar dari pelataran irma menuju toilet. Bu Isna menunggu sambil minum teh botol di warung bakso depan pintu masuk Kampung Pulo. Balik dari toilet, kayaknya enak nih ngebakso. Kita lalu pesan dua bakso. Yang pake mi kuning untuk Bu Isna, yang pake mi putih alias bihun untuk irma. Lagi nunggu bakso dibuat irma perhatikan di sekitar warung bakso dan Kampung Pulo banyak ayam dan bebek berkeliaran. Ada entog juga. Seekor entog jalan mengendap-endap menuju Bu Isna yang lagi duduk membelakangi jalan. ‘Bu, ada yang ngincer tuh,’ komentar irma melihat mata si entog yang berbinar-binar melihat bokongnya Bu Isna. ‘Whoaaaa …’ Bu Isna langsung pindah duduknya melihat si entog begitu dekat di belakang dia. Hahahahahahahaaa … … irma ketawa keras banget. Sementara si entog pergi dengan pantat megal-megol. Kayaknya dia kecewa tuh …
Nyam nyam nyam nyam … … enak makan baksonya. Sambil makan bakso irma berpikir, kayaknya perlu beli buku ‘Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya’ satu lagi buat Wahyudi. Dia juga kan suka buku-buku seperti itu. Ingat waktu irma ke Museum Geologi Bandung dan telpon nanyain Wahyudi mau dibawain oleh-oleh apa, dia bilang beliin buku tentang museumnya aja. Jadi abis makan irma balik lagi ke museum untuk beli buku itu. Sengaja lewat belakang bangunan museum lagi biar nggak ngelewatin rombongan mahasiswa yang masih menyimak penjelasan bapak dinas. Sekalian irma foto makamnya Dalem Arif Muhammad, tadi nggak sempat abisnya keburu rame datang rombongan mahasiswa itu. Mumpung lagi sepi di sekitar makam jadi nggak ada yang merusak foto yang irma bikin, hihihihiiii …
Balik lagi ke warung bakso. Bu Isna masih menikmati baksonya. Irma jadi kepikiran lain lagi. Eh kayaknya tu’ miniatur rakit yang tadi di museum bagus juga ya. Tapi masa’ balik lagi ke sana ? irma merayu Bu Isna, minta tolong biar dia yang beliin itu miniatur rakit. Bu Isna ketawa mendengar permintaan irma. Sempat ngeledek tapi toh akhirnya dia mau juga memenuhi permintaan irma.
‘Eh tapi kayaknya Pak Rosidinnya lagi sholat deh,’ kata irma. Rasanya tadi irma lihat bapak itu di depan mesjid Kampung Pulo. Bareng sama rombongan mahasiswa yang sekarang melihat-lihat kampung itu. Mereka malah masuk ke dalam salah satu rumah. Kata Pak Rosidin sih, tinggal bentuknya aja yang masih asli. Tapi bahan bangunan rumah-rumah di Kampung Pulo udah pada diganti. Dulu atap rumahnya terbuat dari rumbia. Di museum Situs Cangkuang kita bisa melihat foto-foto rumah dan mesjid Kampung Pulo zaman dulu. Sekarang atapnya udah pada pake genteng.
Betul. Pak Rosidinnya lagi sholat. Bu Isna tunggu bapak itu selesai sholat lalu sama-sama mereka jalan ke museum. Sementara irma melihat-lihat sekeliling Kampung Pulo. Di antara dua deretan rumah ada mesjid. Tadinya irma mau ke sana buat sholat. Tapi urung karena di teras mesjid ada sepasang mahasiswa yang lagi … marahan ! Yang ceweknya merengut cemberut sementara yang cowok berusaha membujuk. Ah nggak enak deh deket-deket situ. Jadi irma lihat-lihat ke belakang mesjid. Dekat situ ada pintu pagar terbuka. Ada jalan setapak ke arah luar kampung. Rupanya itu akses lain untuk memasuki Kampung Pulo. Sekitar 1 km jalan kaki dari pintu itu maka kita akan sampai di jalan besar. Mmmm … katanya 1 km, berarti bisa jadi sebenarnya 2 km. Ingat aja tadi waktu menuju ke Situs Cangkuang ini juga kan katanya 3 km. Kenyataannya …
Abis lihat-lihat Kampung Pulo lalu irma menyusul Bu Isna ke museum. Ei, bayar dulu baksonya ! Dua mangkuk bakso plus teh botol tiga, semuanya 13 ribu saja. Whoaa … murah banget ! Di Jakarta mana dapat segitu ?? Pamit sama ibu penjual bakso irma jalan balik ke museum. ‘Hei ngapain ? Tangganya tumbuh ?’ tanya Bu Isna melihat irma jalan pelan-pelan mendaki. Dikiranya irma lagi menghitung jumlah anak tangga. Nggak. Anak tangganya kayaknya tetap. Tapi irma nya makin berat. Mendaki segitu aja sampai ngosh-ngoshan gitu.
‘Aku mau foto itu,’ irma menunjuk papan di depan museum. Tulisannya ‘Inpormasi’. Pake ‘P’, bukan ‘F’. Sunda pisan nya’ J ‘Informasi yang pertama : Jagalah kebersihan,’ Bu Isna membaca tulisan di bawah tulisan ‘Inpormasi’ itu. He eh, iya. Tadi juga Pak Rosidin ingatkan para pengunjung untuk membuang sampah di tempat yang telah disediakan.
‘Candi nya bagus ? Ada poster atau yang nerangin ?’ masuk sms dari Wahyudi. Baguuuss banget ! Trus tadi pas ada yang nerangin. Sebenarnya nerangin buat rombongan mahasiswa tapi irma bisa nguping. Tapi kalau pun nggak ada yang nerangin, baca buku ‘Cagar Budaya Candi Cangkuang dan Sekitarnya’ aja. Bukunya bisa beli di museum. Di situ lengkap ceritanya. ‘Enak ya, bisa nguping,’ balas Wahyudi. He eh, nyesel tuh yang nggak ikutan J
Menjelang jam tiga kita meninggalkan Situs Cangkuang. Pas jalan menuju tempat naik rakit, irma lihat di toko-toko souvenir itu juga ada dijual miniatur rakit Situ Cangkuang. Ada yang atapnya warna ijo muda. Bagus deh. Yaaah … tau gitu kan … Tapi nggak apa lah, yang dibeli di museum juga bagus kok. Atapnya warna biru. Miniatur rakit itu terbuat dari bambu. Tapi bambu kecil. Kalau rakit betulan kan bambunya besar.
Juragan rakit melihat kita datang ke tempat naik rakit. Ia lalu berteriak memanggil tukang rakit kita ke seberang. ‘Neng, sakedap nya,’ katanya. Iya, kita mengangguk. Sementara itu irma lihat tukang rakit kita mulai mendorong-dorong galah. Tread mill lagi deh dia.
Rupanya rombongan mahasiswa itu juga mau balik ke seberang. Mereka pakai dua rakit. Rakit mereka beriring-iringan dengan rakit yang irma dan Bu Isna naiki. Sepanjang jalan para mahasiswa itu pada rame foto-foto. ‘Semua berdiri di luar (tenda) ya. Tangannya angkat ke atas !’ seru seorang mahasiswi dari satu rakit. Tangannya memegang kamera. Dia mau foto teman-temannya di rakit yang lain. Hihihihihi … kelakukan mereka mengingatkan teman-teman irma yang suka heboh kalau udah ketemu kamera. Nggak jauh beda dengan Deedee cs J
‘Ayo Neng, sampe depan,’ seorang tukang delman menawarkan jasanya saat irma dan Bu Isna ke parkiran motor. Whooaaa … kayaknya asik juga naik delman. Tapi masa’ sih naik delmannya sendirian ? Ntar kalau diajak ngobrol sama mamangnya, gimana dong ? irma paling nggak bisa ngobrol sama orang yang baru dikenal. Apalagi yang sama sekali nggak kenal. Bisa garink deh suasana.
Naik motor ke jalan raya. Beberapa kali irma pinta Bu Isna untuk berhenti agar irma bisa memotret. Motret sawah, pohon kelapa, kerbau sedang membajak, pokoknya apa aja deh yang menarik di mata irma. Setelah sampai di jalan raya juga irma minta Bu Isna untuk memutar kembali, karena irma pengen foto papan besar bergambarkan Candi dan Situ Cangkuang di depan lapangan, seberang Mesjid Besar Leles. Pas foto gitu baru tau ternyata di sebelah papan itu ada tulisan kecil, ‘Obyek Wisata Cangkuang, 6 km’ beserta anak panah penunjuk arah. Tuh kan, betul. Bo’ong aja tuh tulisan gede yang bilangnya dari situ ke Situs Cangkuang cuma 3 km …
Menuju Kota Garut motor kita sempat tertahan rangkaian kereta yang lewat. Oh iya tadi pas foto papan tulisan Obyek Wisata Cangkuang itu irma baru ngeh ternyata searah dengan ke Cangkuang ada Stasiun Kereta Karangsari. Berarti bisa dong ke Cangkuang naik kereta api. Tapi kereta api yang dari mana mau ke mana ya ??
Meninggalkan Garut motor melaju menuju Bandung. irma sempat minta berhenti sebentar di deretan kios-kios penjual Ubi Cilembu. Ada ubi mentah, yang udah direbus, yang masih panas, yang hangat. ‘Mau beli ?’ tanya Bu Isna. Nggak. Cuma pengen motret aja. Pengen sih beliin buat Mama. Tapi apa sanggup Mama abisin sendiri ? Orang-orang rumah kan nggak gitu suka ubi. Ingat dulu Papa pernah komentar, ‘Biang hitut’ (sumber kentut) terhadap ubi. Jadi kita anak-anaknya nggak ada yang berani makan ubi. Hahahahaha, mau aja ditipu Papa. Papa ngomong gitu kan biar dia bisa abisin sendiri ubi kesukaannya … J
Lanjut jalan. Di depan Terminal Cileunyi irma minta berhenti lagi. irma mau foto tulisan ‘Pemasaran Pasar’ di Pasar Cileunyi depan terminal itu. Memang sepanjang perjalanan ini irma lihat banyak kejadian menarik. Di Cinunuk irma lihat seorang satpam bantuin anak-anak sekolah nyeberang jalan. Tadi waktu berangkat juga irma lihat kejadian yang sama sampai dua kali. Di jalan itu kendaraan memang rame banget. Besar-besar lagi. Banyak bis antar kota yang melintas. Oh ya, waktu motor berhenti untuk kasih kesempatan anak-anak sekolah itu menyeberang, irma sempat lihat satu papan bertuliskan, ‘Situs Batu Kuda, bangunan cagar budaya yang dilindungi.’ Wah, situs apa itu ya ?? Kayaknya menarik juga untuk dikunjungi …
Sampai di Rancaekek. Lagi-lagi ada pemeriksaan mobil. Mungkin karena kalau hari libur gini banyak orang jalan-jalan ke Bandung kali ya. Makin mendekati Bandung emang makin banyak mobil dan motor menuju ke sana. Bu Isna tanya irma ada keperluan di Bandung nggak ? Maksudnya ada mau mampir-mampir tempat lain lagi. irma bilang nggak. Langsung pulang aja. Udah capek banget punggungnya nggemblok ransel. Jadi Bu Isna ambil jalan lewat Ujung Berung. Lewat SMA 24, lewat Lapassuka alias Rumah Tahanan Negara kelas I. Di halaman depan Lapassuka ada patung ibu dan dua orang anak. Seorang anaknya yang masih bayi berada dalam gendongan. Kok seperti patung yang biasa ada di RSIA Hermina ya ?? Apa hubungannya ibu dan kedua anak itu dengan penjara ??
Nggak terasa kita udah memasuki jalan PH Mustopa dan Surapati. Hei, beda banget ya suasananya sekarang. Rasanya terakhir irma lewat jalan itu belum serame ini. Terakhir itu … berarti waktu irma ke rumah Luky buat ngerjain rancangan pabrik dua belas tahun yang lalu. Waaaaa …… terang aja beda banget !
Di lampu merah jalan Dago di bawah Pasopati motor kita berhenti untuk nunggu lampu ijo. Kasihan, seorang tukang bakso terjebak gerobaknya di antara mobil dan motor. Kedua pengendara mobil dan motor itu nggak ada yang mau kasih dia jalan. Akhirnya dia terpaksa mundur dan ambil jalan lain.
Di lampu merah ini juga satu mobil ujug-ujug mundur. Mundurnya pelan-pelan sih. Pengendara mobil yang di belakangnya segera bunyikan klakson. Tapi mobil itu tetap aja mundur. Kebetulan motor kita di dekat mobil yang mundur itu. Bu Isna langsung ngegebuk-gebuk bagian belakangnya. Akhirnya mobil itu berhenti mundur juga. Pengendaranya melongokkan kepala keluar jendela, melihat ke belakang. Dia cengengesan. Iih, sebel deh L
Jam lima kurang dikit sampai di rumah. Wuiihhh, capeknya. Baru kerasa punggung pegeeeeeelll banget. Langsung nggeletak di kamar depan. Cek handphone. Hei ada sms dari Ela !
17:01 dari Ela
irma, kalau bisa baca atau beli Intisari bulan ini. Ada wisata kereta uap Ambarawa dan Dieng
yaaaah … telat La, irma udah daftar mo ikutan wisata ini J Ela mo ikutan juga ??
17:10 dari Ela
Mau banget, yuk. Irma dan Yudi ikutan kan.., gw daftar dech. 1,6 jt dah sampai ke Dieng J
Waaaaa ………….. Ela mo ikutan ?? Horeeeee … … Trio Tim Solo berkumpul kembali ! (hihihihiiii … jadi ingat Tim Rocket di film kartun Pokemon J )
17:26 dari Ela
Trio tim solo reunian J
Asik, asiiiikkk ……… jalan-jalan lagi ! Ingat tahun kemarin kita bertiga jalan-jalan ke Solo. Seneng banget ! btw La, irma baru balik nih dari Cangkuang. Bagus lho candinya …… bersih, rapi, dan yang jaganya ramah menerangkan. Kapan-kapan kalo ke Garut coba deh mampir ke sana.
18:54 dari Ela
Waahh ! Gw sih berharap perginya bareng Irma. Trus Tety nanya apa jadi ke Garut ? Gw bilang diundur sampai batas waktu yang tidak ditentukan
Hoahahahahahahahahaaaaa ……… jadi tambah lagi nih yang nyesel nggak ikut irma ngelencer ke Cangkuang ?? Hihihihihi, makanya …… jangan kelamaan mikir kalo irma ngajak jalan. Hahahahaha J
Udah ah, puas ketawanya. Mama manggil ke meja makan. Waaaa … rupanya Mama beliin kue tart buat irma ! Ada tulisannya, ‘Selamat Ulang Tahun’. Jadi terharu. Ingat dulu waktu ulang tahun ke sepuluh, ulang tahun terakhir bersama Papa, irma dibeliin kue tart besar warna putih bertuliskan, ‘Selamat Ulang Tahun Irma Agustina – 12 Mei 1983’. Sejak ultah itu rasanya nggak pernah ada kue tart lagi. Ya nggak pa-pa, kan yang penting doa dan perhatiannya. Senang rasanya diperhatikan seperti ini. Mama, I love you …
Adek Diella bernyanyi-nyanyi, ‘… potong kue nya, potong kuenya, potong kuenya sekarang juga …’ Hahaha, dasar si adek tukang makan ! Mama lalu memotong kue tart itu. Potongan pertama di kasih ke irma. Makasih ya Ma. Lalu potongan berikutnya dikasih ke Adek Diella dan Bu Isna. Abang Kiddie tentu dikasih juga. Tapi dia bilang nanti aja dia ambil sendiri. Haaaa … mau potong sendiri ya ! Biar dapat potongan yang lebih besar J
Abis potong kue Mama ke dapur. Wah kebetulan nih. irma segera ke ruang depan, bergabung dengan Bu Isna dan anak-anaknya. ‘Ssssttt … ada yang mau abisin kue Tante nggak ??’ tanya irma. Sebenarnya irma nggak suka kue tart. ‘Aku ! Aku ! Aku !’ Abang Kiddie cepat sekali mengacungkan jari. ‘Ok, abisin ya. Tapi jangan bilang-bilang Nenek,’ irma kasihkan kuenya ke Abang Kiddie. Ok, ok, Abang Kiddie mengangguk-angguk. ‘Aaah … aku bilangin Nenek aaahh !’ ancam Adek Diella. Huuuuu … pengaduuu !!! irma, Bu Isna dan Abang Kiddie langsung meledek. Adek pun diam. Dia lanjut menghabiskan kuenya. Balapan dengan Bu Isna dan Abang Kiddie.
irma lalu mandi. Abis mandi badan jadi segar tapi tetap aja ngantuknya nggak tertahankan. Belum juga jam sembilan malam irma udah tidur. Tapi rupanya selama irma tidur tetap masuk sms ucapkan selamat ulang tahun. Mungkin pada malam hari mereka baru ingat irma ultah.
22:54 dari Dhani
Irmaa.. !!
Ultah yaaa !!
Met ultah ya ! wish you all the best !!
Maem-maem nyaaa …
23:04 dari Galuh
Happy birthday irma, best wishes 4U
Makasih semua J btw, kenapa ya tiap kali ulang tahun orang selalu minta makan-makan ?? Kalo irma sih pengennya ngajak jalan-jalan kayak ke Cangkuang tadi …
Menara Karya, 7 Juni 2007
Selamat ulang tahun pernikahan untuk Mama – Papa
Selamat ulang tahun kelima untuk Adik May
Semoga lekas sembuh untuk Mas Rizqi yang lagi di ICU
Foto-fotonya ada di sini Link
we-e-e-e-e.... jadi toh jalan ksanaaa... :))
ReplyDeleteya jadi lah , kan gw bilang gw mo mewujudkan obsesi gw :D
ReplyDeletewuahh panjanggg critanyaaa.......tapi seruuu.....mana foto2nya jeng?
ReplyDeletetinggal di klik aja tho jeng, di panah bertuliskan 'Link' ...
ReplyDeleteFoto dombanya mana?
ReplyDeletenggak sempat photo. eh, perasaan juga nggak ketemu domba tuh :D
ReplyDelete