“… Sri Baduga teh persis di sebrang tegalega jl peta. Jadi dari dago enaknya naik bis kota dago leuwipanjang, turun di prapatan tegalega trus hadap kiri tinggal jalan kaki dikit …”
Ketika itu Sabtu pagi tanggal 1 Maret 2008. irma nggak ada acara mau ke mana-mana. Berhubung Mama harus pergi ngantar Adik Diella sekolah jadi rumah akan dikunci. Walhasil, irma el-el nggak jelas. Luntang lantung nggak punya tujuan akhirnya sampai di Yoghurt Cisangkuy. Sambil nyruput special strawberry yoghurt juice, irma mikir hari itu mau dihabiskan dengan ngapain. Baru pukul delapan pagi sedangkan Mama baru pulang ke rumah paling cepat jam tiga siang.
Ngapain ya ? Ke Museum Geologi , baru minggu kemarin ke sana. Waktu acara jalan-jalan ke Pasir Pawon yang diadakan Mahanagari. Ke mall atau toko buku, mana ada yang udah buka jam segitu ?? Kecuali convenience store yang buka 24 jam. Tapi kan nggak mungkin ngejogrog di sana.
Ah ya, irma kan belum pernah ke Museum Propinsi Jawa Barat Sri Baduga. Dua puluh empat tahun tinggal di Bandung sejak lahir sampai lulus kuliah, belum pernah sekalipun irma menjejakkan kaki di sana. Tapi di mana kah museum itu ? Akhirnya irma sms Bu Isna. Balasannya seperti yang irma tulis di awal cerita ini.
Tapi kan bis kota Dago – Leuwipanjang itu nggak lewat jalan Diponegoro ya ? irma lalu jalan kaki ke pangkalan bis Damri di jalan Dipati Ukur depan kampus UNPAD. Menyusuri taman Japati depan monumen bambu runcing yang menghadap Gedung Sate. ‘Awas jangan salah naik bis ke Jatinangor ya,’ pesan Bu Isna waktu irma konfirmasi lokasi pangkalan bis Damri itu. He eh kalau salah naik bis ke Jatinangor, irma sekalian aja ke Sumedang.
Ada dua bis Dago – Leuwipanjang lagi mangkal waktu irma sampai di depan UNPAD. irma naik ke bis yang paling depan. Nggak berapa lama bis berangkat. Mutar di depan kampus UNPAD, bis lalu menyusuri jalan Dipati Ukur, belok kiri memasuki jalan Dago, terus lewat BIP di jalan Merdeka, belok lewat Bank Indonesia di Wastukancana, belok masuk Viaduct, belok lagi ke Pasar Baru, teruuuusss menyusuri Otista. Sepanjang jalan irma lihat kiri lihat kanan, nggak ubahnya wisatawan. Hueheheheheheee … udah lama irma nggak naik bis kota di Bandung. Ternyata ongkos bis kota di Bandung sekarang seribu enam ratus rupiah. irma sempat terbengong-bengong waktu nerima kembaliannya. Haaa, masih ada yang kasih kembalian uang logam seratusan ya. Padahal di supermarket-supermarket sering banget kasirnya bilang, ‘Ibu, maaf kita nggak ada seratusan jadi kembaliannya pake permen aja ya.’
‘Tegalega ? Tegalega ?!’ seru kondektur bis kota. irma bangkit dari kursi bersiap turun. Begitu turun bis irma disambut para penjual rambutan yang mengacung-acungkan dagangannya. Hialaaa … baru kali ini turun kendaraan disambut tukang jualan buah ! Biasanya kan yang nyambut orang turun angkot itu tukang ojek.
Ternyata irma turunnya pas di depan pintu masuk Tegalega. Jadi irma harus jalan kaki ke persimpangan yang Bu Isna maksud. Sampai di sana irma langsung berhadapan dengan bangunan Museum Sri Baduga. irma lalu menyeberang dan masuk ke dalam halaman museum. Sepi. Nggak kelihatan kendaraan para pengunjung. Kontras banget dengan Museum Geologi yang bis-bis pengunjungnya berjejer di jalan Diponegoro sepanjang depan museum. Melihat tanda panah beserta tulisan ‘Pintu Masuk’, irma pun bergegas ke sana.
Begitu melewati pintu masuk irma bertemu tempat penitipan tas di sebelah kanan. Nggak ada yang jaga di sana. Di dindingnya terpajang rambu-rambu yang biasa irma lihat di museum-museum : tanda dilarang makan, dilarang merokok, dan dilarang memotret. irma lalu menoleh ke sebelah kiri. Di meja resepsionis ada empat orang pengunjung sedang berbicara dengan dua orang petugas museum. Seorang petugas mendongakkan kepalanya melihat irma memasuki lobby tapi kemudian dia menunduk, lanjut memberikan penjelasan kepada keempat pengunjung tersebut. Sepertinya mereka tim survey dari satu institusi. irma dengar seorang petugas museumnya bilang, ‘… bisa diatur waktunya, mau satu jam bisa, satu setengah jam juga boleh …’
Ya sudah, irma el el sendiri. Diawali dengan melihat maket rencana pengembangan Museum Negeri Propinsi Jawa Barat Sri Baduga. Museum ini didirikan pada tahun 1974 (hei, cuma lebih muda setahun dari irma !). Nama Sri Baduga diambil dari nama raja Pakuan yang memerintah di tahun 1482 – 1521. Nama lengkap raja tersebut Sri Baduga Maha Raja Ratu Haji I Pakwan Pajajaran Sri Ratu Dewata. Panjang bener namanya ! Rencananya nanti akan dibangun jembatan penghubung antara Lapangan Tegalega dengan Museum Sri Baduga. Bentuk jembatan itu mengadop jembatan bambu yang banyak dipakai masyarakat Sunda.
Di sebelah maket rencana pengembangan museum ada maket situs Cekungan Bandung. Mungkin ini yang diceritain Pak Budi. Minggu lalu sebelum jalan-jalan ke Pasir Pawon , di Museum Geologi Pak Budi cerita di Museum Sri Baduga telah dibuat maket situs Cekungan Bandung. Tapi informasi di maket itu nggak selengkap yang ada pada maket situs Danau Bandung purba di Museum Geologi .
Di sekitar maket situs Cekungan Bandung terdapat contoh-contoh batuan yang ada di Jawa Barat. irma nggak terlalu perhatikan batu-batuan tersebut. irma lebih tertarik untuk melihat fosil binatang purba di bagian belakang ruangan. Ada fosil tengkorak kerbau purba – Bubalus palaeokarabau- dengan tanduknya yang panjang melengkung. Perkiraan irma, jarak antara kedua ujung tanduk lebih dari satu meter. Besar ya. Tapi kalau dibanding dengan fosil kerbau purba di Museum Situs Sangiran , itu sih keciiiilll.
Koleksi fosil yang dipamerkan Museum Sri Baduga jauh lebih sedikit daripada yang di Museum Geologi . Tapi yang menarik, di sana ada fosil bagian dari ruas tulang belakang Paus Biru. Merupakan satu-satunya fosil Paus yang ditemukan di Jawa Barat. Bahkan satu-satunya di Indonesia ! Paus Biru adalah mamalia terbesar yang masih hidup hingga zaman sekarang. Kalau Museum Zoologi Bogor punya rangkanya, Museum Sri Baduga punya fosilnya.
Di sebelah pajangan fosil ada diorama hewan-hewan yang hidup di hutan-hutan Jawa Barat. Sepertinya hewan-hewan di situ merupakan hewan asli yang diawetkan seperti di Museum Zoologi Bogor. Ada monyet, trenggiling, landak, tapi nggak ada harimau. Udah nggak ada lagi macan Siliwangi. Adanya Maung Bandung yang sekarang jadi Persib, huehehehehe ……
Lalu irma keluar, melihat arca-arca batu yang ditemukan di seputar Jawa Barat. Ada arca Siwa, arca manusia yang diperkirakan leluhur Sunda, perlengkapan zaman batu, juga kubur batu dan tempayan kubur yang ditemukan di Anyer Lor. Ternyata ada dua jenis penguburan. Ada penguburan jenazah langsung ke dalam kubur batu, ada juga jenazah yang dikubur dulu dalam tanah, kemudian setelah beberapa waktu rangkanya dimasukkan dalam tempayan kubur beserta bekal kubur. Hmm, jadi ingat upacara penguburan adat Batak di sekitar Danau Toba. Tulang-tulang orang yang telah meninggal diambil dari kuburan dalam tanah, dimandikan, kemudian disatukan dalam makam keluarga di kampung asal marganya. Upacara ini menelan biaya yang sangat mahal karena harus memotong sejumlah kerbau dan babi untuk dibagi-bagikan ke seluruh penghuni kampung.
Usai lihat-lihat koleksi arca dan peninggalan zaman batu irma sampai lagi di lobby pintu masuk. Udah, segini aja koleksi museumnya ? Oh ternyata tidak. Seorang petugas keamanan yang berdiri di depan meja penitipan barang menunjuk tangga di sampingnya, persilakan irma naik ke lantai atas. Mengucapkan terima kasih, irma bergegas menaiki anak tangga di samping rak penitipan barang.
Begitu sampai di lantai atas irma berhadapan dengan sepenggal cerita tentang Jawa Barat di masa Portugis dan penjajahan Belanda. Ada satu batu nisan penutup makam seperti yang banyak dipajang di dinding-dinding Museum Taman Prasasti di Tanah Abang, Jakarta. Keterangan di sampingnya mengatakan bahwa nisan tersebut berasal dari makam seorang anak perempuan serdadu Belanda yang dimakamkan di pemakaman Belanda (kerkhoff) yang sekarang jadi lapangan Pajajaran. Dulu ada dua kerkhoff di Bandung. Satu jadi lapangan Pajajaran, satu lagi di Taman Sari yang sekarang jadi kampus Universitas Islam Bandung (Unisba).
irma putuskan menyusuri dinding kiri ruang pamer lantai atas. Ada diorama suasana kelas Sekolah Rakyat zaman dulu, lengkap dengan papan tulis, meja guru, kursi murid yang nyatu bangku dan mejanya. Permukaan meja itu landai, di tengah-tengah bagian puncaknya yang datar ada lubang tempat botol tinta. Pada meja guru tergeletak tas guru warna coklat kusam dan kacamata berdebu. Di papan tulis ada tulisan dalam bahasa Sunda. Sepertinya itu isi surat seseorang kepada saudaranya. Ia curhat tentang sikap keluarganya, berharap saudaranya itu lekas pulang. Di dinding ada papan kecil tempat mencatat jumlah murid yang tidak masuk hari itu karena sakit, izin atau alpa (bolos). irma ingat dulu waktu SD juga ada papan kecil seperti itu. Tulisannya pun masih dalam ejaan lama, Sakola Rakjat.
Di sebelah diorama kelas Sekolah Rakyat ada manekin mojang dan jajaka Bandung Tempo Doeloe. Mojangnya pake kebaya, berkain batik, memegang payung Tasik. Jajakanya mengenakan baju adat Sunda beserta bendo penutup kepala, menuntun sepeda onthel. Di antara mereka ada penjelasan yang dikutip dari bukunya Pak Haryoto Kunto berjudul ‘Semerbak Bunga di Bandung Raya’. Ternyata dulu di masyarakat Sunda ada tiga kelas sosial. Menak, adalah keluarga bangsawan atau pejabat pemerintah. Santana, golongan masyarakat menengah yang umumnya bekerja di pemerintahan. Sedangkan Somah atau Cacah adalah masyarakat biasa.
Berikutnya adalah diorama suasana di dalam rumah menak. Yang menjadi contoh adalah keluarga Bupati Bandung, Bapak Wiranatakusumah. Ada manekin beliau beserta istri, mengacu pada potret yang dipajang di sana. Perabot rumahnya dari kayu jati. Piranti makan keramik cina. Di langit-langit tergantung lampu kuno model blencong (bukan bencong lho ya ……)
Lalu irma berbelok. Di pojok ruangan ada diorama ruang kerja pengrajin mas yang disebut Pande Mas atau Kamasan. Lengkap dengan peralatan kerjanya. Ingat pelajaran IPS waktu SD dulu, ibu guru bilang sumber emas di Jawa Barat adalah Cikotok. Tapi nggak janji deh apa sekarang di sana masih ada tambang mas atau nggak. Kayaknya lebih banyak mas-mas dari Jawa, hahahaha.
Di sebelah diorama workshop Kamasan ada diorama ruang kerja pengrajin perunggu atau pengrajin gamelan yang disebut Gangsa. Katanya sampai sekarang para pengrajin semacam itu masih ada di desa Pancasan di Bogor dan desa Warung Kaweni di Cimahi. Workshopnya Gangsa disebut Gosali.
Geser sebelahnya lagi. Tampak patung dua orang pengrajin gerabah. Ada dua teknik gerabah di Jawa Barat. Cara tatap atau dipukul-pukul di desa Sadang Gentong di Garut. Satu lagi dengan menggunakan roda berputar atau perbot seperti di desa Ciruas di Serang, Lelean di Cirebon, dan yang paling terkenal tentunya Plered di Purwakarta. Hehehe, jadi ingat dulu kalau berangkat ke Jakarta lewat Puncak, di Padalarang yang jalannya berkelok-kelok banyak dijual keramik-keramik buatan Plered. Yang paling khas adalah celengan gede bentuk singa. Saking gedenya itu celengan sampai bisa ditunggangin anak kecil. Di rumah Mama ada tuh foto irma waktu umur setahun lagi numpak celengan singa buatan Plered.
Berikutnya adalah diorama suasana kegiatan menganyam. Bahan-bahan alam yang dianyam adalah bambu, rotan, mendong, pandan jaksi, dan panama. Hehehe, baru tau di Sunda juga ada panama, bukan di Amerika aja. Alat untuk menganyam terdiri dari panilasan, peso raut, panyucukan, panyuakan, pamaut, dan TUSTEL ! Ternyata tustel adalah sejenis alat tenun bukan mesin (ATBM) tapi khusus untuk menganyam. Huehehehehehee …… ta’ kirain tustel untuk motret alias kamera !
irma sampai di pojok ruangan lain lagi. Di situ ada diorama orang membatik. Sama seperti di Jawa Tengah, ada dua teknik membatik di Jawa Barat. Yaitu batik tulis yang dibuat dengan canting dan batik cap. Pada bilik pamer itu ada kain batik Garut motif merak ngibing dan bulu hayam, kain batik Tasik motif awi ngarambat dan anyam carut, dan batik Ciamis motif rereng eneng dan rereng suliga (eh, jadi ingat Tante Susan, asistennya Papa yang tinggal di jalan Rereng Suliga). Motif rereng mengingatkan irma akan motif parang pada batik Yogya dan Solo. Kain batik motif rereng eneng biasanya dipakai oleh penganten Sunda saat kawinan.
Trus irma belok masuk ke ruangan lain di samping pojokan membatik itu. Rupanya itu tempat memajang aneka manekin berbaju pengantin dari daerah-daerah di Jawa Barat. Eh, Jawa Barat dan bekas Jawa Barat deng ! Karena di sana ada baju pengantin dari Baduy luar dan Serang yang kini menjadi bagian dari Propinsi Banten. Setiap pasangan manekin disertai dengan foto pasangan pengantin yang dilengkapi penjelasan detil nama-nama istilah bagian dari pakaian tersebut. Seperti mahkota mempelai perempuan yang disebut Siger. Tiap daerah memiliki istilah sendiri untuk detil pakaian pengantinnya. Sayang irma nggak bawa buku catatan jadi nggak bisa mencatatnya. Baru kali itu irma melakukan perbuatan tolol seorang traveling writer. Nggak bawa piranti untuk mencatat ! Huh, payah.
Yang irma lihat pertama ialah pakaian pengantin Baduy luar yang sederhana. Terbuat dari kain tenun khas Baduy warna hitam garis biru, seperti kain lurik dari Yogya. Katanya pakaian pengantin ini nggak jauh beda dengan pakaian sehari-hari. Baik yang laki maupun perempuan, keduanya memakai ikat kepala warna putih.
Di sebelah baju pengantin Baduy adalah baju pengantin Serang. Yang cowok pakaiannya kayak pengantin Betawi, ketara banget pengaruh Arabnya. Tapi yang cewek, pakaiannya ala barat. Lengkap dengan buket bunga dan tudung kepala. Apa tuh istilahnya, slayer ? Tapi bagian belakang tudungnya nggak sampai menyapu lantai berjela-jela. irma memperhatikan pakaian pengantin Serang itu dengan heran. Aneh juga nih pakaian pasangan ini.
Berikutnya irma melihat pakaian pengantin daerah Karawang. Dulu daerah lumbung padi Jawa Barat ini terkenal dengan tarian ketuk tilunya. Tapi sekarang lebih ngetop goyang dombret. Nggak tau apa goyang ini juga yang dimainkan saat pesta pernikahan. Yang tertulis di sana, salah satu barang yang diberikan saat seserahan adalah seeng padaringan. Ada tuh seeng padaringan betulannya di samping manekin pasangan pengantin. Seeng padaringan adalah tempat menyimpan beras yang terbuat dari tembaga. Ia melambangkan kehormatan wanita. Saat upacara pernikahan dipentaskan ulin seeng padaringan. Ada tuh foto seorang pawang sedang memainkannya. Seperti apa mainnya ya ??
Di pojok ruang aneka pakaian pengantin adalah pakaian pengantin Tasik Sukapura. Nah, ini pakaian pengantin Sunda yang sering irma lihat di undangan-undangan kawinan. Di bawah manekin kedua pengantin ada penjelasan tentang ngeuyeuk seureuh, nincak endog, dan sawer. Beberapa peralatan untuk ketiga acara tersebut juga ada di hadapan manekin seperti alu, lumpang, dan tiruan pinang jambe.
Ngeuyeuk seureuh diadakan malam sebelum akad nikah. Merupakan acara calon kedua mempelai meminta restu kepada orang tua masing-masing yang disaksikan oleh sanak keluarga (whuaduh, kebayang groginya !). Pada saat itu juga orang tua mereka memberikan nasehat tentang hidup berumah tangga. Mungkin semacam acara malam bainai di adat Minang. Bedanya, pada malam bainai hanya calon mempelai perempuan yang diberi nasehat karena calon mempelai pria tidak diperkenankan turut serta dalam prosesi tersebut. Sedangkan di ngeuyeuk seureuh, dua-duanya yang dinasehatin.
Acara ngeuyeuk seureuh dipimpin oleh Nini Pangeuyeuk, yaitu tetua yang diberi kepercayaan oleh orang tua calon mempelai untuk memimpin prosesi tersebut. Jadi Nini Pangeuyeuk bisa saja berasal dari anggota keluarga sendiri, atau orang lain di luar keluarga. Biasanya sih, sang juru rias penganten. Kan biasanya juru rias ini menguasai juga tata cara upacara pernikahan, bukan cuma ahli merias. Zaman sekarang gitu lho, apa iya setiap orang masih paham dan menerapkan adat secara konsisten tiap harinya ? Apalagi di keluarga campuran seperti irma.
Nini Pangeuyeuk akan memberikan tujuh helai benang kanteh sepanjang dua jengkal. Benang ini akan dipegang oleh kedua calon mempelai, masing-masing di tiap ujungnya. Huehehehehe, belum boleh gandengan tangan. Kan belum jadi suami istri. Kedua calon mempelai duduk menghadap orang tua calon mempelai perempuan untuk meminta restu. Berikutnya mereka lakukan hal yang sama kepada orang tua calon mempelai pria.
Lalu Nini Pangeuyeuk menyanyikan lagu kidung, berupa permohonan dan doa kepada Tuhan sambil menyawerkan beras sedikit-sedikit kepada kedua calon mempelai. Maksudnya agar mereka berdua hidup sejahtera nantinya. Setelah itu Nini Pangeuyeuk akan mengkeprak – memukul perlahan-lahan – kedua calon mempelai dengan sapu lidi. Sambil memberi nasehat bahwa suami istri itu harus saling memupuk kasih sayang dan berusaha untuk kesejahteraan keluarga yang mereka bentuk.
Lalu kain putih penutup pangeuyeukan dibuka. Ini simbol bahwa rumah tangga yang akan dibina masih bersih dan harus dijaga jangan sampai ternoda. Kemudian kedua calon mempelai membawa dua perangkat pakaian di atas sarung polekat. Bersama-sama mereka menggotongnya untuk disimpan di kamar pengantin. Dua perangkat pakaian yang dijadikan satu melambangkan kedua pengantin harus bersama-sama memelihara gotong royong. Termasuk gotong royong kepada keluarga masing-masing calon mempelai. Sedang sarung polekat melambangkan bahwa rumah tangga adalah tanggung jawab suami. Lho, emang sang istri nggak turut bertanggung jawab ??
Abis gitu calon mempelai pria membelah pinang jambe. Membelahnya harus hati-hati biar pinang jambe nggak rusak atau patah. Ini maksudnya bahwa suami harus memperlakukan istri dengan penuh kesabaran dan bijaksana. Pinang jambe nya sendiri melambangkan kesucian calon mempelai perempuan yang akan dipersembahkan kepada suaminya semata. Makanya ada juga yang bilang, prosesi membelah pinang jambe ini menunjukkan kepercayaan suami untuk menyimpan benih di rahim istrinya.
Selanjutnya menumbuk alu ke dalam lumpang. Kedua calon pengantin duduk berhadapan. Calon mempelai perempuan memegangi lumpang. Calon mempelai pria menumbuk alu dengan tangan kanan. Sedang tangan kirinya bertumpu pada paha calon mempelai perempuan (maksudnya apa ya ??). Setelah itu bergiliran orang tua kedua calon pengantin menumbuk alu sambil mengucapkan, ‘Selamat, selamat, selamat.’ Kenapa harus tiga kali ya ngucapin selamatnya ?
Abis gitu acara membuat lungkun. Caranya, dua lembar daun sirih yang bertangkai, disusun berhadapan, digulung jadi satu memanjang lalu diikat dengan benang kanteh. Kedua calon mempelai, kedua orang tua masing-masing calon mempelai, dan semua orang tua yang hadir di prosesi ngeuyeuk seureuh membuat lungkun. Ini melambangkan kerukunan di antara kedua keluarga besar. Kemudian sisa daun sirih dan tujuh tempat sirih yang telah diisi lengkap beserta padi, labu, dan kelapa dibagi-bagikan kepada para hadirin. Maksudnya, jika di kemudian hari mendapat rezeki berlebih, hendaknya jangan disimpan sendiri. Tapi dibagi-bagikan kepada sanak saudara dan handai taulan.
Lalu, rebutan uang ! Nini Pangeuyeuk akan memberi aba-aba agar kedua calon mempelai, orang tua mereka, dan seluruh hadirin rebutan mengambil uang logam yang terserak di bawah tikar. Hihihi, kebayang hebohnya ! Arti rebutan uang ini adalah bahwa dalam hidup berumah tangga baik suami maupun istri harus giat mencari rezeki. (Iyaaaa …… kata Mama, rezeki itu harus dicari. Makanya jangan malas bangun pagi. Yang bangun siang itu rezekinya jauh. Katanya )
Acara ngeuyeuk seureuh ditutup dengan pembacaan doa oleh Nini Pangeuyeuk. Selanjutnya kedua calon mempelai diiringi para orang tua akan membuang bekas ngeuyeuk seureuh di tengah jalan simpang empat. Ini simbol memulai hidup baru dengan membuang jauh semua keburukan di masa lalu dan menangkal keburukan yang akan datang dari segala penjuru.
Nah, demikian urut-urutan prosesi ngeuyeuk seureuh yang irma kutip dari majalah Mahligai edisi kedua tahun 2007. Panjang juga ya. Dan macam-macam maknanya. Itu baru satu prosesi. Belum lagi prosesi lainnya seusai akad nikah seperti sawer, meuleum harupat, nincak endog, ngalepas japati sajodo (melepas sepasang burung merpati), buka panto, huap lingkung, dan pabetot-betot bekak hayam. Sebelum ngeuyeuk seureuh pun ada prosesi lainnya antara lain neundeun omong, narosan, ngalamar, patukeur tameuh, seserahan atau mawakeun, dan siraman. Huahhh, ta’ kirain cuma prosesi pernikahan adat Jawa aja yang panjang kayak kereta api. Ternyata Sunda juga euy !
irma sampai di ujung ruang pamer aneka pakaian pengantin Jawa Barat (dan bekas Jawa Barat). Di sana ada tangga menuju ruang pertama yang irma masuki di lantai dua. Oh rupanya ruang pamer di lantai dua ini bentuknya melingkar. Jadi kita akan sampai di titik awal ruang pamer. Yaitu tangga dari lantai bawah. irma lalu menyeberang ruangan, melihat manekin pengantin lainnya. Itu adalah pasangan pengantin Cirebon pesisir yang dilengkapi seserahan lemari dan peti trilip.
Di sebelah manekin pengantin Cirebon pesisir seharusnya pasangan pengantin Sumedang leluhur. Lho, kok manekin pengantinnya nggak ada ? Di ruang yang seharusnya dipajang manekin penganten cuma ada dongdang atau jodang, tempat membawa bahan makanan saat seserahan. Dan foto gambar pasangan pengantin Sumedang leluhur. Pakaian pengantin pria meniru pakaian Prabu Niskala Wastukancana saat dinobatkan menjadi Raja Galuh. Ke mana baju pengantinnya ya ? Apa sedang dipinjam ? Seperti penyanyi Rossa yang waktu menikah dulu meminjam baju pengantin khas Sumedang dari Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang, mungkin saat ini seseorang sedang meminjam pakaian pengantin Sumedang leluhur dari Museum Sri Baduga.
Menyesal karena nggak bawa buku catatan, irma memanfaatkan handphone untuk mencatat. Pakai fasilitas untuk nulis sms, tapi nggak dikirim. Simpan aja di folder unsent. Lagi mencet-mencet keyboard handphone gitu irma dihampiri seorang petugas keamanan. Dia petugas keamanan yang tadi mempersilakan irma naik ke lantai atas. Dengan ramah ia menyapa irma.
Petugas keamanan itu namanya Pak Agus. Ia mengira irma anggota tim survey dari satu institusi yang tadi irma lihat di meja resepsionis saat memasuki museum. Jadi dia kasih tau kalau keempat orang tim survey itu udah pada di lantai bawah. Oh bukan. irma cuma seorang diri berkunjung ke sini.
Pak Agus terheran-heran mengetahui irma datang sendirian. ‘Memang suka ke museum ?’ tanyanya. Iya. Kenapa Pak, aneh ya ? Hueheheheheee …… irma udah biasa dianggap aneh karena kegemaran ini. Dulu waktu pertama kali kerja di Jakarta, irma nanya sama seorang teman kantor gimana caranya kalau mau ke museum di Kota, ia berkomentar, ‘Gue yang seumur-umur tinggal di Jakarta paling males kalau disuruh ke museum. Ini malah elo pengen ke sana !’
‘Gimana tanggapannya tentang Museum Sri Baduga ?’ tanya Pak Agus kemudian. Bagus. Tiap koleksi disertai penjelasan. Singkat tapi cukup informatif. Tapi sayangnya, sampai sejauh ini irma nggak nemuin koleksi museum atau penjelasan lebih lanjut mengenai Sri Baduga. Selain secuil keterangan mengenai nama lengkapnya dan masa pemerintahannya di info mengenai Museum Sri Baduga. Kok nggak ada silsilah atau cerita lebih lanjut mengenai beliau ?
‘Sebenarnya bisa sih baca di perpustakaan,’ Pak Agus menunjuk bangunan di samping museum. ‘Tapi harus hari kerja. Kalau hari Sabtu begini perpustakaannya tutup.’ Oh iya, kenapa juga museum ini nggak bikin buku panduan seperti Museum Geologi Bandung ? Wah, kayaknya bisa juga nih buat masukan pihak museum. Biar Museum Sri Baduga makin bagus.
‘Tadi udah lihat ke mana aja ?’ Pak Agus nanya lagi. irma kasih tau rute yang irma lewati di dalam museum tadi, baik di lantai bawah maupun lantai atas. Pak Agus mengangguk-angguk. ‘Iya, memang begitu rutenya,’ ia bilang. Lalu Pak Agus jelaskan kalau ruang pamer yang di lantai bawah itu baru selesai direnovasi. Rencana berikutnya lantai atas yang akan direnovasi. ‘Dulu museum ini bagian dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Sekarang di bawah Dinas Pariwisata,’ Pak Agus menjelaskan. Oh begitu. Mudah-mudahan dengan di bawah naungan Dinas Pariwisata museum ini jadi lebih baik ya. Dan makin berkembang.
‘Kalau hari Sabtu begini museumnya buka sampai jam berapa ?’ gantian irma bertanya. ‘Jam dua. Kalau hari lain jam tiga,’ jawab Pak Agus. ‘Senin tutup ?’ irma perkirakan museum ini beroperasi seperti museum-museum di Jakarta yang libur setiap hari Senin. Pak Agus menggeleng, ‘Nggak pernah tutup. Cuma kalau tanggalan merah aja.’ irma tercengang. Hah, nggak ada liburnya ?? Ck ck ck, hebat sekali.
Tapi …… sedih sekali mengetahui dedikasi museum yang nggak pernah libur itu nggak sebanding dengan pengunjung yang datang. Hampir dua jam di museum, pengunjung yang irma temui nggak sampai sepuluh orang. Pak Agus bilang, biasanya yang berkunjung ke museum adalah rombongan anak sekolah. Makanya dia heran lihat irma luntang-luntang sendirian di dalam museum.
Tiba-tiba terdengar suara ramai. Serombongan anak sekolah riuh menaiki tangga ke lantai atas. Pak Agus persilakan irma lanjut melihat-lihat koleksi museum. Beliau akan mengawasi rombongan anak sekolah itu. Biasanya kalau yang rame-rame gitu ada aja yang suka iseng main-mainin koleksi museum. Padahal di ruang pamer itu udah jelas-jelas ditulis ‘DILARANG MENYENTUH KOLEKSI MUSEUM’.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Agus irma berbalik menyusuri rute yang tadi. Tapi kali ini irma menyusuri sisi dinding satu lagi. Berseberangan dengan bilik pamer diorama membatik, menganyam, membuat gerabah, pengrajin perunggu, dan pengrajin mas, adalah rak-rak yang memajang koleksi wayang. Wayang khas Jawa Barat adalah wayang golek dan wayang cepak.
Wayang golek bercerita lakon wayang purwa, kisah perseteruan antara Pandawa dengan Kurawa. Tau kan Pandawa terdiri dari lima bersaudara ; Yudistira, Bima, Arjuna, dan si kembar Nakula – Sadewa. Selain kedua keluarga yang berseteru itu juga ada para Punakawan yang terdiri dari Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng. Kalau di Jawa Tengah, Dawala disebut Petruk.
Wayang cepak bercerita lakon babad serat menak. Tokohnya terdiri dari Prabu Menak, Siti Kuraesin, Lanyapan Peci dan Umarmaya. Ciri khas wayang cepak adalah bagian ubun-ubun kepalanya datar. Makanya disebut cepak.
Berikutnya irma melihat-lihat aneka alat musik. Di tengah-tengah ruangan tersimpan seperangkat gamelan. Alat-alat musik yang lebih kecil dipajang dalam rak-rak yang rapat ke dinding. Satu rak berisi alat musik tiup. Terdiri dari taleot, karinding (yang dimainin Opa Felix saat di Gua Kopi dalam Gua Pawon di Pasir Pawon minggu sebelumnya), elet, dan suling. Rak berikutnya berisi alat musik pukul. Ada goong buyung, terebang, dan celempung. Celempung ada yang terbuat dari kayu, ada yang dari bambu. Satu rak lagi berisi alat musik petik yang terdiri dari kacapi indung (kecapi yang paling besar), kacapi rincik, dan siter. Kacapi adalah alat musik yang dipakai dalam tembang Cianjuran bersama-sama suling. Kalau dengar alunan kacapi suling tuh, aduh teduh sekali rasanya hati ini. Serasa lagi duduk di dalam saung di tengah sawah, kena angin sepoi-sepoi. Nyaman banget.
Setelah jajaran rak-rak ini ada satu lorong. Semula irma kira di sana nggak ada koleksi museum yang dipajang. Tapi melihat beberapa anak sekolah keluar dari sana, irma jadi penasaran. Ternyata di ujung lorong itu ada ……… Dapur Sunda !
Eits, jangan nyangka Dapur Sunda yang restoran itu ya ! Dapur Sunda ini adalah diorama dapur orang Sunda zaman dulu. Dindingnya terbuat dari bambu. Piranti memasaknya pakai tungku. Istilah Sunda nya, ‘Hawu’. Hawu diletakkan di atas parako sehingga posisinya sedikit lebih tinggi dari lantai dapur. Mungkin maksud digunakannya parako agar abu dan sisa kayu bakar tidak berserakan mengotori lantai dapur. Di atas hawu ada rak tempat menyimpan hasil bumi. Rak itu disebut ‘Para Seuneu’. Di sudut dapur ada bilik kecil yang disebut ‘Goah’. Goah adalah ruang untuk menyimpang padaringan (tempat beras) dan perlengkapan upacara. Pada bale-bale di seberang tungku dihamparkan perlengkapan upacara tersebut, terdiri dari pangradinan, parupuyan, dan kendi.
Arggghhh …… sayang sekali di museum ini nggak boleh memotret. Um, sebenarnya boleh sih asal udah dapat izin dari petugas museum. Tapi irma kan belum minta izin. Tadi waktu ngobrol dengan Pak Agus irma lupa untuk memintanya. Dan mungkin irma terlalu jujur jadi nggak berani memotretnya meski di lorong itu cuma irma dan beberapa orang anak sekolah sedang mencatat-catat. Jadi ya sudah, irma cuma memandangi dapur yang cantik itu. Merekamnya dalam ingatan seraya berharap suatu saat irma akan ke sana lagi melihatnya.
Puas memandangi Dapur Sunda irma berbalik menyusuri lorong hingga kembali ke ruang pamer semula. Mungkin karena masih terpesona dengan Dapur Sunda tadi, koleksi museum berikutnya berupa foto-foto dan informasi tentang gerakan kebangsaan dan perjuangan di Jawa Barat jadi nggak menarik di mata irma. Tapi irma berusaha menikmatinya. Ada sedikit cerita tentang Bagus Rangin, pejuang dari Majalengka, Cirebon yang menentang tanam paksa. Ada foto Ibu Dewi Sartika dan Sakola Kautamaan Istri yang didirikannya di Ciguriang Kebon Cau 04, dan penjelasan tentang Paguyuban Pasundan yang didirikan untuk mengembangkan budaya Sunda. Salah satu tokoh Paguyuban Pasundan adalah Oto Iskandar Dinata. Punya uang kertas dua puluh ribu terbitan tahun 2004 ? Di sana ada gambar beliau.
Ada penjelasan tentang perkembangan badan perekonomian di Jawa Barat. Pada tahun 1930 di pangkalan udara Andir didirikan Spaak Vereeniging Luchtvaart Afdeeling (waduh, apa itu artinya ya ?!). Di kemudian hari si Spaak … ini menjadi Koperasi Roekoen Ichtiar. Sebelumnya, pada tahun 1906, sepuluh orang saudagar muslim di Bandung mendirikan Koperasi Himpunan Soedara. Koperasi ini kemudian menjadi kongsi dagang, kemudian koperasi simpan pinjam, badan hukum, hingga akhirnya menjadi Bank Himpunan Saudara 1906. Eh, apa kabarnya bank ini ya ? Masih ada, atau udah merger dengan bank lain ?
Bagi irma, yang paling menarik di antara pajangan gerakan kebangsaan dan perjuangan di Jawa Barat ini adalah cerita tentang Prianger Instituut van Vereeniging Volkswonderwijs. Pada tahun 1924 sekolah ini berganti nama menjadi de School Vereeniging het Ksatrian Instituut. Pimpinannya saat itu adalah Doktor Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan nama Setiabudi. Berbeda dengan pimpinan sebelumnya, Douwes Dekker menanamkan rasa cinta kebangsaan di antara murid-muridnya. Di masa kependudukan Jepang sekolah ini ditutup dan digunakan oleh pihak militer Jepang. Setelah Indonesia merdeka bangunannya digunakan untuk SMP 1 hingga sekarang. Beberapa tahun yang lalu di sana dibangun gedung Dokter Setiabudi Danoedirdja untuk mengenang jasa-jasa Douwes Dekker.
Setelah melewati diorama ruang pengajian berikut patung seorang perempuan sedang mengaji, irma sampai di rak-rak yang memajang benda-benda zaman dulu yang digunakan untuk hidup sehari-hari. irma tersenyum melihat beauty case djadoel terbuat dari anyaman yang berasal dari Cirebon. Terkagum-kagum melihat hiasan konde perempuan yang sebenarnya merupakan senjata rahasia berupa keris kecil, dan terheran-heran melihat kendi tembaga untuk mengobati penderita cacar. Cara mengobatinya dengan cara nyebor, yaitu menyiramkan air dari dalam kendi ke sekujur badan penderita cacar. Apa iya dengan cara itu bisa sembuh ??
Satu rak memajang dokumen-dokumen kuno yang ditemukan di Jawa Barat. Zaman dulu sebelum mengenal kertas, karuhun Urang Sunda menulis di atas daun rontal dengan huruf Sunda kuno yang disebut aksara Kaganga. Nama ini mengingatkan irma akan aksara yang juga ditemukan di Bengkulu. Apa mungkin ada kesamaannya ?
Bahasa yang digunakan dalam dokumen-dokumen kuno itu adalah bahasa Sunda kuno. Mungkin bahasanya jauh berbeda dengan bahasa Sunda yang sekarang. Tercengang irma mengetahui ada dokumen yang ditemukan di Bandung. Bandung lho ya, bukan Bogor atau Ciamis yang memang udah beberapa kali ditemukan prasasti kuno sejak zaman Belanda. Sayang irma nggak sempat mencatat nama dokumen itu. Serat apaaa … itu ya (Serat = bahasa Sunda untuk surat). Perhatian irma terusik karena seorang pengunjung yang sama-sama memperhatikan dokumen kuno tersebut berkata kepada istri dan anaknya, ‘Nih, orang zaman dulu nulisnya pake aksara kuno begini. Seharusnya sekarang di sekolah-sekolah diajarkan juga aksara Sunda ini.’ Jadi ingat, dalam pelajaran Basa Sunda waktu SMP dulu, satu-satunya yang menarik bagi irma adalah pelajaran aksara Sunda. Sayang cuma sebentar belajarnya. Lagian dulu belajarnya males-malesan karena menganggap bahasa Sunda tuh nggak ada kepentingannya kalau udah besar nanti. Nggak seperti matematika, fisika, dan bahasa Inggris. Sekarang, nyesel deh.
Rak berikutnya memajang senjata khas Jawa Barat : kujang dan golok. Ada kujang pakarang dari Bogor untuk berperang. Bentuk kujang ini seperti gambar kujang pada kantong semen yang iklannya dulu di TVRI berupa seorang kakek tua yang berkata, ‘… anak cucuku, inilah hasil karyamu ...’ (kalau nggak salah pabrik semen ini sekarang udah diambil alih perusahaan asing jadi nggak pake logo kujang lagi di kemasannya). Lalu ada kujang ksatria khusus untuk cowok, kujang ciung mata tujuh untuk puun atau ketua adat, kujang bangkong untuk guru sekar, golok tangtu, golok cucuk, dan kujang pusaka dengan tulisan cacarakan dalam bahasa Sunda kuno di kedua sisinya.
Menjelang akhir rute irma (maksudnya mendekati tangga), ada pajangan mahkota yang menarik hati irma. Itulah mahkota raja, permaisuri, dan patih yang dipakaikan kepada Ibu Padi pada upacara Mapag Sri. Ibu Padi adalah tanaman padi yang pertama dipanen. Dibentuk menjadi tiga orang, kepada Ibu Padi dipakaikan pakaian adat dan mahkota raja, permaisuri, dan patih. Ketiganya ditaruh di atas tandu, kemudian dipikul dengan rengkong dari bambu. Dibawa dari sawah ke lumbung. Diiringi angklung gubrak dan dogdog lojor, ketiga Ibu Padi akan bergerak-gerak seirama ayunan kaki para penandunya. Di sebelah pajangan ketiga mahkota Ibu Padi ada diorama upacara Mapag Sri.
Terakhir yang irma lihat sebelum meninggalkan ruang pamer lantai atas adalah miniatur dan penjelasan aneka bentuk rumah Sunda. Macam-macam istilahnya. Dan lucu-lucu (bagi irma). Ada yang disebut badak heuay (badak menguap). Katanya kalau mau tau rumah khas Sunda, bisa dilihat di Kampung Naga di Tasik, pemukiman Baduy di Banten, atau Kampung Sunda di Gunung Lingga, Sumedang.
Habis sudah kedua lantai museum irma jelajahi. irma turun lalu keluar dari museum. Baru perhatikan ternyata di depan museum ada tiga replika yang ditemukan di Jawa Barat beserta terjemahan tulisannya. Salah satunya adalah prasasti Batu Tulis dari Bogor. Di ujung ketiga replika ada brievenbus alias bis surat zaman Belanda sumbangan dari PT Pos Indonesia.
Setelah melewati brievenbus irma belok kanan. Menyusuri tepi kolam berair muncrat, irma menuju toilet di belakang museum. Hei, toiletnya bersih ! Jarang-jarang irma menemui toilet bersih di museum. Waktu mengunjungi Museum Nasional di Jakarta (Museum Gajah) yang baru diresmikan bangunan barunya, irma temui toilet di sana kurang bersih. Nggak ada kuncinya lagi ! Tapi di Museum Sri Baduga ini, toiletnya bersih. Dan kuncinya berfungsi baik.
Abis dari toilet irma naik tangga putar ke mushola di atas toilet. Sayang, tempat wudhunya di toilet tapi tidak disediakan sandal. Jadilah sepatu irma basah kena air wudhu. Tapi nggak pa-pa kok, selagi sholat sepatunya irma jemur. Jadi selesai sholat sepatunya udah kering. Abis gitu irma turun dan berjalan ke depan museum.
irma berhenti sebentar di samping kolam, memandangi delman dan pedati yang dilengkapi dengan replika kuda dan sapi. Delman itu dari Ciparay sedangkan pedati dari Indramayu. Delman untuk mengangkut penumpang, pedati untuk mengangkut hasil bumi. Dulu biasanya pedati berjalan malam hari di saat jalan tidak dilalui kendaraan lain. Nggak tau sekarang pedati masih dipake nggak ya. Kayaknya sekarang lebih banyak digunakan truk (makanya pabrik tempat Wahyudi kerja kebanjiran order, kan dia bikin mesin truk, hehehehehe). Sama seperti koleksi museum lainnya, ada penjelasan detil mengenai bagian-bagian dari delman dan pedati. Baru tau ternyata bagian yang menghubungkan delman dengan kuda atau pedati dengan sapi disebut : BOM. Hehehe, tapi bom ini nggak ngebeledug lho ya.
Penasaran dengan nama dokumen kuno yang ditemukan di Bandung, irma putuskan kembali ke dalam museum. Saat memasuki lobby petugas di meja resepsionis bertanya, ‘Udah beli tiket ?’
irma terkejut. Haa, beli tiket ?? Tadi irma masuk nyelonong gitu aja. Wajah irma langsung pucat. Polos irma menjawab, ‘Belum.’ Petugas tadi berkata, ‘Beli tiket dulu di depan, dua ribu rupiah. Terus isi buku tamu ini.’ Ia menepuk buku tamu di hadapannya. Setelah mengucapkan terima kasih irma bergegas ke pintu gerbang yang ditunjuk petugas tadi.
Hoa, ternyata beli tiketnya di pos gerbang masuk pelataran museum ! Tadi irma masuk lewat pintu keluar. Terang aja irma nggak lihat pos itu. Ya udah, kalau gitu sekarang aja beli tiketnya. Padahal udah dari tadi keliling-keliling museumnya, sampai puas.
Tapi begitu sampai di pos gerbang, irma disambut oleh ……… Pak Agus ! Waduh, malu banget mau ngaku tadi masuk museum nggak beli tiket. Jadi waktu Pak Agus bertanya, ‘Gimana, udah selesai lihat museumnya ?’ , irma pun menjawab, ‘Udah Pak.’ Lalu Pak Agus berkata, ‘Sok atuh, lewat sini keluarnya.’ Beliau mempersilakan irma keluar lewat pintu keluar di balik pos gerbang masuk.
Sambil mengucapkan terima kasih dan melambaikan tangan, irma berjalan melewati gerbang keluar. Sungguh, dalam hati irma merasa maluuuuuuuu sekali. Benar-benar kehilangan muka di hadapan Sri Baduga.
Jadi ingat ya ir, lain kali kalau ke Museum Sri Baduga, masuknya lewat pintu gerbang masuk dan jangan lupa beli tiket di posnya !
Irma...ck ck ck...ngga bawa catetan cerita bisa detail dan panjang banget say....sampe namanya loe inget...wahhhh...saluttttttttttttttttttttttttttttttttttt...:)))
ReplyDeletemaen ke Perpustakaannya kan?
ReplyDeletekoleksi bukunya termasuk antik,
cuma yg nungguinnya nampak ga suka dgn pekerjaannya, sayang pisan!
koleksi bagus dijagai orang yg ga pengen.8 pagi yg jaga ga ada sebab sarapan.
jam 11 sudah menghilang makan siang pulang jam 2 siang! itu dulu ga tau sekarang!
nggak, kan perpustakaannya tutup hari sabtu gitu :(
ReplyDeleteHalah leubar pisan! banyaaaak buku antik kategori kolektor items.
ReplyDeletejadi butuh perawatan extra disana.banyak buku tentang Bandung berbahasa Belanda!
Dari pada nyari buku tentang Bandung ke kolektor yg pedit (hehehe) ya selain Perpustakaan Haryoto Kunto, Perpustakaan Sri Baduga bisa jd referensi alternatif.
he ..he..di pintu keluar gak ditanyain sobekan tiket masuknya ya ma?
ReplyDeletenggak olive, tapi seperti yang gw ceritain, gw maluuuuuuu banget karena di sana malah disambut sama Pak Agus yang baik itu :D
ReplyDeleteIrrrrr, aku baru selesai baca kemarin .... :) - untung juga ya salah pintu, jadi gratis .. hehehehe....
ReplyDeleteya tapi malunya itu lho mam, nggak ketulungan :((
ReplyDeleteirma emang dasyat kalo bikin catatan perjalanan..
ReplyDeletesalam buat pa agus.. da saya mah belum pernah ke sana euy :D
Irmaaaa..tanpa buku catatan kamu membuatku seolah2 ikut dalam perjalananmu :D
ReplyDeletepengen ke sana juga, waktu itu cuma lewat aja sih :(
he eh, nanti kalau ke sana bawa catatan irma ini aja Ni, anggap aja panduan berkeliling museum :D
ReplyDeleteKapan-kapan ke sana ah...
ReplyDeletekalau mau ke sini, baiknya setelah renovasinya selesai aja. waktu aku ke museum ini bulan lalu, lantai duanya sedang direnovasi. jadi cuma sebagian kecil koleksinya yang bisa dinikmati. mungkin tahun depan renovasinya dah selesai. aku juga ingin ke sana lagi :D
ReplyDelete