Cerita dari Surakarta Hadiningrat
irma agustina
Hari ke – 2 , Minggu 9 April 2006
Tadi malam sebelum tidur ditelpon Pak Sugi untuk pilihan sarapan pagi ini. Ela pilih toast. Irma pilih mi rebus. Wahyudi pesan nasi pecel. Untuk minumnya irma pilih teh. Ela dan Wahyudi pilih kopi. Jam 7 pagi sarapan kita udah datang. Seperti biasa kita makan di teras depan kamar. Kali ini depan kamar Wahyudi. Hm, wangi kopi nya enak. Tapi irma nggak berani minum kopi hitam seperti itu. Kalau Wahyudi sih dia memang harus minum kopi tiap pagi. Kalau nggak gitu belum bangun dia. Hehe, nggak deng. Bangun sih. Cuma belum semangat buat ngapa-ngapain.
Selesai makan kita ngobrol-ngobrol di teras. Ela dan Wahyudi bahas tentang kamera mereka, Nikon D70s. ‘Manual gue ke mana ya ?’ Ela bertanya pada diri sendiri melihat Wahyudi membawa manual kamera. Ela udah pakar kali ... jadi nggak perlu manual book lagi, hehehe. Sementara mereka bahas kamera dan fotografi, irma lanjut nulis Catatan Perjalanan PTD Makassar – Tana Toraja. Enak juga ngetik di teras pagi-pagi gitu. Perasaan pikiran terang gitu. Memang suasana Roemahkoe bikin nyaman.
‘Mas, mbak, mobilnya sudah datang dari tadi,’ Pak Sugi mendatangi kita. Oh udah jam delapan ya. Kita bergegas ambil tas dan perlengkapan. Setelah menitip kunci kamar sama Pak Sugi kita lalu berangkat.
Supir yang mengantar kita hari itu bernama Pak Rizal. Dari logat bicaranya, meskipun berbahasa Jawa, ketara beliau bukan orang Jawa. Ternyata Pak Rizal orang Padang. Istrinya dari Solo. Dulu mereka tinggal dan bekerja di Batam. Tetapi setelah krisis pindah ke Solo. Pak Rizal sudah cukup fasih berbahasa Jawa karena di lingkungan rumah mertuanya semua berbahasa Jawa. Hanya sama yang lebih tua aja seperti sama mbah nya Pak Rizal masih segan berbahasa Jawa. Abis kalau sama orang tua kan harus pake bahasa yang halus. Kromo inggil.
Tujuan pertama kita ke Sangiran. Lewat Stadion Manahan, tempat orang Solo rame berolahraga atau sekedar jalan-jalan di Minggu pagi. Seperti di Lapangan Gasibu Bandung suasananya. Tapi yang di sini tidak terlalu padat. Kalau yang di Bandung itu udah seperti pasar senggol. Padat banget. Rawan copet L Untuk menghilangkan bosan Pak Rizal pasang musik. Tapi sepanjang jalan kok lagunya ituuuuu aja. Lagunya D’lloyd yang syairnya, ‘… akuuu tak sanggup lagi menerima derita ini. Akuuu tak sanggup lagi menerima semuuuanyaaa …’ Nggak tau berapa kali diulang-ulang tuh lagu. Rusak kali CD nya.
‘Kayaknya kita pengunjung pertama nih,’ kata Pak Rizal saat kita memasuki gerbang Situs Sangiran. Masih sepi kelihatannya. Tapi ternyata perkiraan kita meleset tuh. Di parkiran udah ada satu bis. Di dalam museum riuh terdengar celoteh anak. Yah, bareng anak sekolah lagi. Dari kemarin kita ketemu rombongan anak sekolah mulu ya. Di museum Radya Pustaka, di Keraton Solo. Dan sekarang di museum Sangiran.
Rombongan anak sekolah itu didampingi oleh seorang petugas museum yang menerangkan tentang situs Sangiran dan fosil-fosil yang ditemukan di sana. Hehe mumpung ada yang bisa nerangin, irma ngintil rombongan anak sekolah itu. Sementara Ela dan Wahyudi lebih tertarik untuk memotret ‘balung buto’ yang dipajang. Balung itu artinya tulang. Buto artinya raksasa. Jadi balung buto artinya tulang raksasa. Balung buto adalah fosil yang merupakan sisa-sisa organisme atau jasad hidup purba yang terawetkan di dalam bumi.
Museum Situs Prasejarah Sangiran ini dibangun pada tahun 1983. Fungsinya untuk memajang dan konservasi koleksi museum. Koleksinya terdiri dari fosil Moluska, fosil binatang air, fosil kayu, fosil Kuda Nil, copy fosil tengkorak manusia, alat-alat batu, contoh batuan dari situs Sangiran, tengkorak Kerbau purba, fosil Gajah purba, fosil Bovidae, fosil Rusa, fosil Domba, fosil Babi, fosil Harimau dan fosil Badak. Jumlah koleksi keseluruhan mencapai 13.810 fosil ! Dan itu masih terus bertambah karena situs Sangiran ini belum tereksplor semua. Kata Pak Rizal nih, beberapa minggu sebelum kita ke sini ada lagi ditemukan fosil baru.
Begitu memasuki ruang pamer utama museum kita akan berhadapan dengan peta situs Sangiran. Luas situs ini 56 km2, terletak di kabupaten Sragen dan kabupaten Karanganyar. Batas antara kedua kabupaten ini berupa Kali Cemoro yang merupakan anak sungai Bengawan Solo. Pada peta situs ditandai lokasi penemuan fosil yang paling terkenal, Pithecanthropus erectus. Fosil ini cukup banyak ditemukan sampai delapan kali. Yang kedelapan adalah fosil tengkorak Homo erectus yang hingga saat ini merupakan fosil Homo erectus terlengkap yang pernah ditemukan di Indonesia. Kesemua fosil Pithecanthropus ini disimpan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung.
Museum Situs Sangiran ini merupakan gabungan dari Museum Plestosen Krikilan dan Museum Dayu. Museum Plestosen di Krikilan dibangun pada tahun 1974. Koleksi museum ini berasal dari temuan fosil di desa yang dikumpulkan sejak penelitian von Koenigswlad di tahun 1930an. Toto Marsono, kepala desa Krikilan waktu itu, mengerahkan penduduk desa untuk mencari balung buto yang banyak berserakan di ladang mereka. Balung buto atau fosil ini kemudian dikumpulkan di pendopo kelurahan, yang kemudian menjadi koleksi Museum Plestosen. Sekarang bekas museum ini menjadi Balai Desa Krikilan. Sedangkan museum di Desa Dayu berfungsi untuk menampung hasil penelitian lapangan wilayah Cagar Budaya Sangiran sisi selatan. Museum ini dibangun pada tahun 1977. Sekarang museum ini sudah tidak ada lagi dan bekas tempatnya dijadikan Pendopo Desa Dayu.
Situs Sangiran terletak antara 110o49’ hingga 110o53’ Bujur Timur dan 07o24’ hingga 07o30’ Lintang Selatan mengalami masa hunian manusia purba paling lama dibandingkan situs-situs lain di dunia. Situs ini dihuni manusia purba selama lebih dari satu juta tahun. Tidak heran jika jumlah temuan fosil di sini cukup melimpah, lebih dari 50% populasi homo erectus dunia ditemukan di sini. Oleh karena itu Situs Sangiran menjadi ajang penelitian dan studi evolusi manusia purba oleh para ahli dari berbagai penjuru dunia.
Penelitian di Situs Sangiran telah dimulai sejak 1893 oleh Eugene Dubois. Karena di Sangiran Dubois tidak memperoleh fosil manusia purba yang dicarinya, ia beralih ke desa Trinil di Ngawi, Jawa Timur. Di sana ia menemukan fosil tengkorak dan tulang paha Pithecanthropus erectus. Pithecanthropus erectus artinya manusia kera yang berjalan tegak.
Penelitian intensif di Situs Sangiran pada tahun 1930an dilakukan oleh J.C. van Es yang kemudian dilanjutkan oleh GHR von Koenigswald. Pada tahun 1934 Koenigswald menemukan sekitar seribu alat batu manusia purba yang disebutnya ‘Sangiran Flake Industry’ (Industri serpih dari Sangiran). Di tahun 1936 Koenigswald menemukan rahang atas manusia purba yang disebutnya sebagai fosil Meganthropus paleojavanicus. Baru pada tahun 1937 Koenigswald menemukan fosil Pithecanthropus erectus yang dicari-cari oleh Dubois.
Penemuan fosil Pithecanthropus erectus oleh Koenigswald ini mengundang para ahli untuk melakukan penelitian lebih lanjut di Sangiran. Banyak lembaga penelitian baik dari Indonesia atau luar negri melakukan penelitian di sana. Untuk melindungi situs ini maka pada tahun 1997 Pemerintah Indonesia menetapkan Situs Sangiran sebagai Daerah Cagar Budaya. Pada 25 Juni 1995 situs Sangiran dinominasikan ke UNESCO sebagai salah satu warisan dunia. Akhirnya di tanggal 5 Desember 1996 UNESCO memutuskan Situs Sangiran sebagai World Heritage List no 593 dengan nama ‘Sangiran Early Man Site’
Selesai ngintil rombongan anak sekolah itu baru irma gabung dengan Ela dan Wahyudi. Ela motret fosil kura-kura. Perlu daya imajinasi yang tinggi bagi irma buat membayangkan fosil itu dulunya seekor kura-kura. Bentuknya memang seperti tempurung rumah kura-kura, tapi tidak terlihat lagi kura-kuranya. Sementara Wahyudi berpikir gimana caranya di Sangiran itu bisa ditemukan fosil binatang laut seperti gigi ikan hiu. Yah, mungkin dulunya Sangiran itu di tepi pantai kali ??
Abis lihat fosil Moluska dan binatang air kita pindah ke ruang satu lagi berisi fosil gajah purba Stegodon trigonochepalus dan banteng Bibospalaesondaicus. Fosil gajah yang ada cukup banyak, meliputi tulang kaki depan (radius), tulang hasta (ulna), tulang rahang atas (maxilla), tulang pinggul (pelvis), tulang rahang bawah (mandibula) dan tulang jari (phalanges). Fosil banteng berupa tulang kepala (crainum) yang ditemukan oleh Lasimin, Sukidi dan Suginem waktu mereka gali sumur sedalam 7 m di desa Garas Tengah, kecamatan Gemolong, kabupaten Sragen pada tahun 1996. Gali sumur aja bisa ketemu fosil ya. Kalau irma gali lubang di halaman belakang rumah Mama di Bandung, irma ketemu fosil kucing dan anjing. Maklum, di sana tempat pemakaman si mpus dan gukguk. Dulu irma yang jadi penggali kuburnya.
Lalu kita pindah ke ruang pamer utama. Di balik peta Situs Sangiran terdapat gading Stegodon yang bikin mulut irma ternganga. Ada tiga gading dan satu di antara tiga itu panjangnya 4 m ! Itulah fosil terbesar dan terpanjang yang ditemukan di Sangiran. Gadingnya aja sepanjang itu, gajahnya sebesar apa ya ?? Trus kalau Mammoth – seperti Manny di film Ice Age – segede apa dia ?? Kan Mammoth itu jauh lebih besar daripada Stegodon.
Belum hilang rasa takjub irma lihat gading Stegodon tadi, ternyata di sebelahnya ada lagi fosil yang bikin irma terkaget-kaget. Itu adalah tengkorak kerbau purba Bubalus Palaeokerabau yang ditemukan di Dukuh Tanjung pada tahun 1992. Seminggu yang lalu kita baru ke Tana Toraja, lihat banyak tengkorak kerbau digantung di depan tongkonan. Tapi tengkorak yang ini besaaaaarrrr sekali. Yang di Toraja kalah deh.
Di pojok ruang pamer utama ini ada kopian tengkorak manusia termasuk tengkoraknya Pithecanthropus erectus. Ada delapan semuanya, diurut dari masa purba yang paling tua sampai Homo sapiens. Sempat kecewa juga sih jauh-jauh ke sini ingin lihat fosil Pithecanthropus erectus yang terkenal itu, eh ternyata fosil yang sebenarnya ada di Bandung. Kapan-kapan kita ke Museum Geologi Bandung yuk, melihat fosil Pithecanthropus erectus yang sebenarnya. Katanya setelah renovasi Museum Geologi Bandung jadi baguuus banget.
Irma menghampiri Ela yang lagi foto diorama manusia purba. Diorama ini diletakkan di balik kaca, berisi patung tiga orang manusia purba. Di kejauhan tampak suasana pada masa itu seperti pepohonan tinggi dan gajah purba. ‘Seksi juga dilihat dari belakang,’ komentar Ela terhadap patung manusia purba itu. Hahaha Ela bisa aja deh J
Selain gading Stegodon, tengkorak kerbau purba dan kopian tengkorak manusia, ada juga fosil Bovidae. Yang termasuk kategori Bovidae adalah Kerbau, Sapi dan Banteng. Koleksi fosil Bovidae ini meliputi tulang belakang (vertebrae), rahang bawah (mandibula), tulang rusuk (costa), tulang paha (femur), tulang kering (tibia), tulang bagian telapak kaki, tengkorak (cranium) dan tulang kaki depan bagian atas (humerus).
‘Ir, situsnya di bawah,’ kata Wahyudi waktu irma berjalan keluar dari ruang pamer utama. Ela udah duluan jalan ke bawah. Kita lalu menyusul ke sana. Tapi ternyata tangga itu menuju ruang pamer baru, bukan ke situs. Belum banyak yang dipajang di sana, kebanyakan baru gambar-gambar dinding penjelasan tentang umur dan lapisan bumi. Senangnya di museum ini, cukup banyak informasi yang ditampilkan. Bukan cuma tentang fosil-fosil yang ditemukan, tapi juga tentang bumi dan kronologi evolusi manusia. Di salah satu dinding terpajang cerita tentang manusia purba Jawa (Early man of Java) lengkap dengan gambar rekonstruksi manusia purba berdasarkan tengkorak Pithecanthropus erectus VIII. Beda banget deh dengan di Radya Pustaka kemarin. Mungkin Museum Situs Sangiran ini dapat pembinaan yang bagus. Apalagi museum ini kan merupakan bagian dari World Heritage.
Keluar dari ruang pamer baru itu kita melewati serombongan anak-anak yang sedang bermain. ‘Kak foto dong,’ pinta mereka melihat Ela bawa kamera. ‘Mau ?’ tanya Ela. Ditawarin begitu mereka jadi makin bersemangat. Berjejer mereka berdiri di tengah jalan biar bisa Ela foto. Lagi mereka mengatur barisan gitu datang Wahyudi dari belakang. ‘Foto bareng artis,’ Wahyudi merangkul salah seorang dari mereka. Haaa… artis ? Artis dari Pisangan kalleee … hahaha. Anak-anak itu senang sekali difoto. Jingkrak-jingkrak mereka waktu Ela tunjukin hasil fotonya.
Irma ajak yang lain untuk berfoto di depan papan bertuliskan ‘Situs Sangiran – Warisan Budaya Dunia no 593’ yang ada di samping gapura masuk halaman museum. Memang cuma papan aja sih, tapi itu kan bukti kita udah ke Sangiran. Cukup lama irma dan Wahyudi berfoto di papan Situs Sangiran itu. Lama abisnya irma cerewet banget, beberapa kali Wahyudi diminta untuk mengulang ambil foto. Malah Wahyudi juga sempat jadi dummy (contoh) biar irma bisa tunjukkan ke dia hasil foto seperti apa yang irma inginkan. Posisi matahari yang menghadap papan bikin wajah irma terlihat gelap karena tertutup bayangan topi padahal irma ingin wajahnya terlihat jelas. ‘Pake kameraku aja deh,’ lama-lama Wahyudi nyerah pake kamera irma yang cuma kamera pasrah. Kamera saku yang nggak bisa diatur-atur pencahayaan dan fokusnya. ‘Ah nggak mau, kalau pake kamera kamu suka lama dapat fotonya. Aku kan perlu buat tulisanku,’ tolak irma. Akhirnya berhasil juga dapat foto yang bagus tapi leher irma pegel karena pose patah leher gitu.
Lagi berfoto di papan gitu tiba-tiba melintas seorang ibu berjalan sambil memanggul kayu kering. ‘La ! Ela !’ irma kasih tau Ela. Ela selalu tertarik untuk memotret objek yang nggak ditemui di Jakarta, seperti pengangkut kayu bakar tadi. Ela memotret ibu itu tanpa melihat ke kamera. Maksudnya biar ibu itu nggak tau kalau dia difoto. Kalau dia tau kan nanti nggak natural lagi hasilnya.
Abis foto di papan kita berjalan balik ke parkiran. Ela sempat memotret bekicot merayap di batang pohon. Hiiii… irma paling geli lihat bekicot. Nggak mau lihat ah. Jadi irma jalan duluan ke parkiran. Di sana banyak warung jual souvenir. Seorang ibu penjual tawarkan kalung manik-manik batu. ‘Ini penemuan Mbak, bukan hasil kerajinan,’ kata ibu itu. Betul itu temuan ? Bagus sih. Tapi harganya … seratus lima puluh ribu ! Hah, kalau betul itu benda purba wajar harganya mahal. Tapi gimana taunya ? irma kudu bawa ahli arkeologi dulu, atau tes karbon untuk mengetahui umur kalung itu sebenarnya.
Jam sepuluh kita meninggalkan Museum Situs Sangiran. ‘Perlu ke menara pandang ?’ tanya Pak Rizal saat kita melewati papan penunjuk arah ke menara pandang Sangiran. Nggak usah, pernah dapat info katanya di menara itu nggak ada hal yang menarik untuk dilihat. Tadinya dikiranya dari menara pandang bisa lihat Situs Sangiran tapi ternyata nggak ada penjelasannya. Mungkin perlu pemandu yang bisa menunjukkan atau menerangkan Situs Sangiran dari menara pandang itu.
Perjalanan lanjut ke Gunung Lawu. Thanks God, akhirnya Pak Rizal ganti CD jadi nggak harus Bartje van Houten terus bernyanyi, ‘… akuuu tak sanggup lagi menerima derita ini …’ Justru kita yang menderita karena dengar lagu yang sama terus-terusan. Tadinya irma udah mau minta tolong Wahyudi untuk gantiin CDnya kalau masih Dllyod yang dipasang. Syukurlah sekarang Pak Rizal pasang CD lagu-lagu oldies. Enak lagunya sampai akhirnya irma tertidur.
Irma terbangun karena merasa mobil jalan menanjak. Rupanya kita mulai memasuki area Gunung Lawu. Lewat jembatan di atas sungai, waaah … airnya bersih ! Banyak batu-batu di sepanjang sungai. Baguuus sekali pemandangannya. Jadi ingat dulu waktu kerja praktek di Semen Padang, irma pernah melewati sungai dengan batu-batu seperti ini dalam perjalanan ke Solok. ‘Nanti pulangnya kita berhenti ambil foto di sini ya,’ pinta Ela.
‘AC nya saya matikan, boleh ya ?’ pinta Pak Rizal, ‘Soalnya sampai atas jalannya nanjak tajam.’ Iya Pak, silakan. Lagipula di sini udaranya bersih dan sejuk. Enak banget kena angin yang mengalir lewat jendela terbuka. Segar. Pemandangannya bagus lagi. Tapi kok ya banyak yang pacaran ?? Hehehe irma sirik aja tuh. Sepanjang jalan kita banyak melihat pasangan naik motor. Pada umumnya mereka parkir di pinggiran kebun teh, lihat pemandangan sambil ngobrol. Di satu tempat ada yang jual jagung bakar. Wah kayaknya enak nih dingin-dingin begini makan jagung bakar hangat.
Kita ke Candi Ceto yang letaknya lebih jauh daripada Candi Sukuh. Sampai di sana turun gerimis halus. Wahyudi melihat awan bergerak naik. Kata Pak Rizal yang udah sering antar tamu ke sini, di Gunung Lawu cuacanya memang begini. Mendung, berawan, kabut, gerimis, tapi ya itu cuma sebentar. Dan ternyata memang betul, waktu kita jalan naik ke atas candi hujan berhenti dan panas matahari mulai terasa lagi.
Candi Ceto terletak 1.400 m di atas permukaan laut pada posisi 111o09’14’’ Bujur Timur dan 07o35’48’’ Lintang Selatan. Pertama kali ditemukan oleh Van der Vlis di tahun 1842 yang kemudian diteliti oleh WF Sutterheim, KC Crucq, NJ Krom, AJ Bernet Kempers dan Riboet Darmosoetopo. Berdasarkan hasil penelitian candi ini memiliki 14 teras tapi sekarang hanya ada 13, berundak dari barat ke timur. Makin ke atas area candi ini makin suci. Bangunan di teras paling atas hingga kini masih digunakan sebagai pura untuk beribadah umat Hindu.
Candi Ceto memiliki kesamaan bentuk dengan Candi Sukuh yaitu seperti punden berudak dari masa prasejarah. Bentuk seperti ini tidak ditemukan di tempat lain di Jawa Tengah. Di candi ini terdapat arca masa prasejarah berbentuk sederhana seperti yang ditemukan di Bada, Sulawesi Tenggara. Dengan ditemukannya prasasti tahun 1373 Saka atau 1451 Masehi, diperkirakan Candi Ceto dibangun pada abad ke 15 di masa pemerintahan Majapahit akhir.
Kita jalan sampai ke puncak. Antara satu teras ke teras lain dihubungi dengan pintu dan jalan setapak. Jalannya sempit dan tangganya cukup curam. Karena sebelumnya hujan jadi batu-batunya licin. Perlu berhati-hati berjalan di sana. Irma sempat terpeleset saat menuruni tangga. Menjelang teras terakhir banyak kita temui pemuda berbaju hitam-hitam. Katanya sih secara rutin mereka berlatih bela diri di sini. Salah seorang dari mereka duduk di balik bilik, matanya terpejam dan tangan memegang tasbih. ‘Lagi cara wangsit tuh,’ bisik Ela.
Di setiap teras selalu kita temui sesajen beserta dupa. Sajen paling banyak ada di bangunan puncak. ‘Tembakau, sirih, … apa lagi ya ?’ Ela perhatikan isi sajen. Beda dengan Ela yang tertarik memperhatikan, irma malah menghindar sajen. Wangi kembangnya bikin irma pusing. Wahyudi bilang itu wangi kembang Kantil. Karena pusing irma buru-buru turun dari puncak candi mengikuti rombongan lain. Kiranya rombongan itu tidak langsung turun tapi berbelok keluar dari komplek candi lalu mendaki hingga lebih tinggi dari puncak candi. Dengar-dengar mereka mau lihat patung Dewi Saraswati. Irma ikuti mereka dan ternyata benar di atas sana ada pelataran luas dengan patung putih seorang dewi seperti dewi-dewi Cina. Kita boleh masuk ke pelataran itu tapi harus lepas alas kaki dan diharapkan memberi sumbangan ala kadarnya untuk pemeliharaan.
Ela dan Wahyudi juga turut ke pelataran Dewi Saraswati itu. Enak banget Ela, pake lensa tele jadi dia nggak perlu masuk ke pelataran untuk memotret patung Dewi Saraswati. Ela juga menjelajahi area sekitar pelataran. Lalu Ela kasih tau di ujung jalan setapak berlapis semen dari pelataran itu ada pohon dengan petunjuk arah ‘Puncak Himalawu’. Hahaha, Himalawu. Pelesetan dari Himalaya kali ya. Pengen tau ah.
Wahyudi menyusul irma yang lagi motret papan ‘Puncak Himalawu’ tadi. Waktu berjalan balik ke pelataran Dewi Saraswati, dari atas turun seorang nenek membopong kayu kering. Lihat kita pada bawa kamera, dia berhenti sebentar kasih kesempatan Ela dan Wahyudi potret dia. Abis gitu dia minta uang. Hahaha si mbah ini ternyata udah sering jadi model foto ya, sampai minta bayaran gitu.
Sekarang kita turun. Ela dan irma balik lagi masuk komplek candi, turun menyusuri jalan penghubung antar teras. Tapi Wahyudi turun terus menyusuri jalan tanah setapak di samping komplek. Wahyudi mau ke mana ? Ela mengangkat bahu. Irma agak tertinggal di belakang karena asik lihat kiri lihat kanan. Mendekati teras bawah irma ketemu mbak-mbak yang lagi perhatikan batu berelief macam-macam hewan seperti kadal, gajah, kura-kura, belut dan ketam. Mungkin itu relief cerita Cuddhamala seperti yang disebut dalam penjelasan mengenai Candi Ceto di pintu masuk.
Irma lagi berhenti di salah satu teras, menghapus foto-foto lama karena kamera irma bilang out of memory. Lagi ngapus gitu Wahyudi datang dari bawah. ‘Hei dicariin,’ katanya. Oh maaf. Di tadi udah sampai bawah ya ? ‘Iya, udah mesen indomi malah. Ayo turun,’ ajaknya. Indomi ? Wah mau dong. Dingin-dingin gini enak banget makan yang hangat-hangat seperti indomi rebus. Sampai di parkiran Wahyudi langsung pesankan indomi buat irma. Ela jadi pengen juga. Jadilah kita bertiga makan indomi. Slurp, slurp, enak !
Udah jam satu siang lebih. Kita bergegas ke Candi Sukuh. Saat menuju sana kita melihat sekelompok perempuan desa berjalan beriring-iringan. Menarik sekali melihat mereka berpakaian kebaya sederhana, kain batik sebatas betis dan caping. Ela segera mengeluarkan badannya dari jendela mobil, bersiap membidik kamera. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berbalik dan melihat Ela mau motret mereka. ‘Ei dishooting ! Ei dishooting !’ sambil berlari-lari menjauh ia berseru kepada teman-temannya. Terjadi kehebohan di kelompok itu. Yang lain turut mempercepat langkah hingga berbelok ke dalam gang. Entah Ela berhasil memotret mereka atau tidak. Kenapa mereka malu difoto ya ??
Candi Sukuh adalah candi Hindu yang ditemukan pada tahun 1815 oleh Residen Surakarta masa itu, Johnson. Berdasarkan prasasti, relief dan arca yang dalam komplek candi, diperkirakan Candi Sukuh didirikan pada abad ke 15. Dulu di candi ini terdapat lingga besar berbentuk naturalis dengan tinggi sekitar 200 cm. Sekarang lingga ini disimpang di Museum Gajah di Jakarta (di sebelah mana ya, perasaan nggak pernah lihat arca setinggi itu di Museum Gajah ??)
Komplek Candi Sukuh terdiri dari tiga teras. Teras pertama disebut Jobo. Di sini ada gapura trapesium atau gerbang dengan relief orang dimakan raksasa. Di lantai gerbang ini ada pahatan naturalis relief phallus dan vagina yang sekarang dipagar. Naturalis itu maksudnya digambarkan apa adanya menyerupai bentuk asli. Ada kepercayaan yang mengatakan kalau seseorang melangkahi relief ini dia akan menjadi mandul. Makanya sekarang gerbang ini dipagari. Tapi ada juga yang bilang prosesi melangkahi relief ini untuk mengetahui keperawanan seorang gadis. Halah !
Teras kedua disebut Jobo Tengah dan teras ketiga namanya Jeroan. Teras ketiga adalah halaman yang paling suci, berisi candi utama berbentuk piramida terpancung dengan altar di puncaknya. Di teras ini irma nguping penjelasan dari Pak Aryono tentang lima relief yang bercerita tentang Dewi Uma. Sebenarnya Pak Aryono nerangin buat serombongan pengunjung tapi dasar si irma emang suka curi-curi denger buat suatu cerita, hihihihihihi J
Alkisah wanita tercantik di jagat raya pada suatu masa adalah Dewi Uma, istri Dewa Siwa. Pada suatu hari Dewa Siwa yang sedang sakit memerintahkan Dewi Uma untuk turun ke bumi mencari susu sapi. Bukan sembarang sapi karena sapi ini haruslah sapi yang sedang dituntun oleh seorang kakek. Setelah mencari-cari ke sana kemari, bertemulah Dewi Uma dengan seorang kakek yang sedang menuntun seekor sapi. ‘Wahai kakek yang budiman, bolehkah aku meminta secangkir susu sapi mu ? Hanya secangkir untuk mengobati suamiku yang sedang sakit,’ pinta Dewi Uma. Sang Kakek mau kasih susu sapi nya tapi dengan satu syarat : Dewi Uma tidur dengannya. Dewi Uma bimbang mendengar syarat itu. Ia ingin menolong suaminya, tapi ia juga harus menjaga kesetiaannya. Akhirnya demi suami tercinta Dewi Uma menerima syarat maksiat itu.
Keesokan harinya Dewi Uma naik ke kahyangan membawa susu sapi untuk suaminya. Dewi Siwa bertanya dari mana Dewi Uma memperoleh susu tersebut. Dewi Uma tidak mengatakan yang sebenarnya. ‘Hai Uma, ketahuilah bahwa kakek yang membawa sapi itu adalah aku. Karena kamu telah berbohong maka turunlah kau ke bumi !’ Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma menjadi Durga, seorang raksasa berwajah bengis dan buruk rupa.
Di bumi Durga berusaha mencari bantuan agar ia bisa terbebas dari kutukan. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Sadewa, salah satu dari Pandawa Lima. Bersimpuh di bawah pohon, Durga memohon bantuan Sadewa. Sadewa meruwat Durga sehingga ia bersih dari dosa dan kembali menjadi Dewi Uma. Kisah Durga berusaha kembali menjadi Dewi Uma ini ada dalam relief Suddhamala yang ada di teras ketiga Candi Sukuh. Suddhamala yang berarti ‘bersih dari dosa’ adalah nama lain Sadewa.
‘Jadi inti cerita ini adalah, wanita dapat naik ke surga dengan menjaga kesucian, kehormatan dan kesetiaan kepada suaminya,’ ujar Pak Aryono. Iya Pak tauuu. Tapi kalau irma jadi Dewi Uma sih, irma bakalan sebel banget punya suami seperti Dewa Siwa yang suka ngetes seperti itu L
Selesai cerita tentang Dewi Uma, Pak Aryono menerangkan relief Garudeya. Relief ini bercerita tentang dua orang istri resi Kasyapa yang bertaruh warna kuda yang ditunggangi resi saat ia keluar dari pertapaan. Winata - istri yang baik - mengatakan resi akan menunggang kuda putih berekor putih. Kadru - istri yang jahat - mengatakan resi akan menunggang kuda putih berekor hitam. Kadru memenangkan taruhan karena ekor kuda Uchchaicrawa yang ditunggangi Kasyapa berwarna putih berekor hitam. Ekor hitam ini sebenarnya anak-anak Kadru berupa seratus ekor ular menutupi ekor asli Uchchaicrawa yang berwarna putih.
Winata yang kalah taruhan harus mengabdi kepada Kadru menjadi budaknya. Garuda – putra Winata – berusaha membebaskan ibunya dengan mengambil air amerta atau air kehidupan. Setelah berhasil memperoleh air amerta dan mengalahkan anak-anak Kadru, Garuda berhasil membebaskan ibunya dari belenggu perbudakan Kadru.
‘Jadi inti cerita ini adalah, kesucian seorang wanita dapat dikembalikan lewat anaknya yang baik,’ Pak Aryono menutup ceritanya. Kok wanita melulu sih yang jadi topik cerita di candi ini ? Seperti juga cerita dalam relief gambar rusa berkepala dua yang ternyata membentuk rahim, lambang kesuburan. Tapi irma nggak nyimak cerita Pak Aryono lebih lanjut karena irma merhatiin Ela yang lagi nongkrong di atas candi, duduk goyang-goyang kaki melihat ke seluruh penjuru pelataran candi. Enak bener dia duduk di situ. Ela melambaikan tangan. Irma balas dadah-dadah juga. Ada tuh Ela foto irma lagi dadah-dadah gitu.
Bosan dengerin cerita Pak Aryono, irma nyusul Ela naik ke atas candi. Seperti bangunan suci di puncak komplek Candi Ceto, candi ini berupa piramid terpancung dengan altar di atasnya. Tapi Pak Aryono bilang Candi Sukuh yang sebenarnya adalah bangunan yang ada di depan piramid. Pada bangunan itu banyak relief di sekelilingnya. Kata Pak Aryono lagi nih, kalau kita orang baik maka jika kita foto di jendela Candi Sukuh yang sebenarnya itu pada hasil fotonya nanti kepala kita akan bersinar. Berani coba ??
Irma sampai di atas Ela malah turun. Nggak berapa lama Wahyudi nyusul. Tapi Wahyudi nggak lama di sana abisnya tiba-tiba dia pusing. Mungkin karena melihat ke bawah dari ketinggian seperti itu. Akhirnya Wahyudi turun lagi dan nimbrung dengan rombongan yang lagi dengar cerita Pak Aryono.
‘Di Candi Sukuh ini ada satu tempat di mana bila seorang lelaki berfoto, dengan pakaian setebal apapun, maka hasilnya nanti ia akan telanjang,’ cerita Pak Aryono. Hah, masa’ sih ? Kata-kata Pak Aryono tadi bikin kita yang dengarnya jadi penasaran. Termasuk Pak Rizal yang dari tadi nguntit Pak Aryono terus. ‘Mbak katanya difoto pake kamera apapun hasilnya tetap telanjang. Bisa nggak tolong fotoin saya ?’ pinta Pak Rizal kepada Ela. Lha, kok ya mau difoto tanpa busana ??
‘Mari saya tunjukkan tempatnya,’ ajak Pak Aryono. Ternyata yang dimaksud adalah berfoto di balik patung yang terpancung kepalanya. Patung itu tinggal badannya aja, gambar seorang lelaki sedang memegang alat kelaminnya. Jadi kita berdiri di balik patung itu, cuma kepalanya aja yang terlihat. Hahahaha, suka becanda juga Pak Aryono ini.
‘Silakan, belum ke Candi Sukuh kalau belum foto di sini,’ Pak Aryono kasih kesempatan yang lain untuk foto di sana. Dengan tertawa-tawa banyak pengunjung berfoto di sana. ‘Ir, tolong fotoin dong,’ pinta Ela setelah mulai sepi di sekitar patung kepala terpancung tadi. Haaa Ela, masa’ sih mau foto di situ ? Wahyudi aja deh yang foto, irma sih maluuu.
‘Ah nggak mau. Irma aja,’ ternyata Ela malah malu kalau Wahyudi yang foto. Hihi ya udah, sini mana kameranya ? Setting dulu abisnya irma mana ngerti kamera canggih kayak gitu. Setelah Ela setting kameranya dan di sekitar patung itu cuma kita berdua – Wahyudi dan Pak Rizal asik ngobrol dengan Pak Aryono – irma foto Ela di balik patung kepala terpancung. Hihihi geli banget irma waktu motretnya. Ela bertransformasi menjadi Elo.
Selesai motret Ela itu irma minta Wahyudi fotoin irma di depan relief Ganesha sedang menari. Seperti biasa Wahyudi jadi dummy dulu. Abis gitu baru irma yang difoto. Yah, tapi kok fotonya Wahyudi lebih bagus ya ? Wahyudi sendiri heran kenapa dia nggak bisa motret seperti irma. Um, nggak kenal kali kameranya ??
Abis itu irma minta difoto lagi di antara kura-kura yang ada di depan piramid. Semuanya ada 3 kura-kura. Kata Pak Aryono, kura-kura adalah lambang kemakmuran. Kalau kita ke Candi Ceto, tiap kali menuju teras berikutnya kan ada kura-kura kecil. Nah ternyata justru kura-kura itu harus diinjak, biar rezeki kita nambah. Padahal kita seringkali menghindar kura-kura itu karena nggak tega nginjak dia. ‘Wah salah tuh, seharusnya kalian ke Candi Sukuh dulu baru ke Candi Ceto,’ ujar Pak Aryono. Uh tapi kalau kita ke sini dulu tadi belum tentu kita ketemu Pak Aryono dan dengar ceritanya yang seru kan ?? Pak Aryono memang pandai bercerita. Selain sebagai abdi dalem Keraton Solo, beliau juga ngajar, jadi MC upacara adat Jawa, dan pernah jadi presenter di acara ‘Archipelago’ dan ‘Melancong Yuk !’. ‘Rezeki saya memang dari suara,’ kata Pak Aryono. Oh gitu. Kalau rezeki irma dari mana, dari tulisannya ? Amiiin … maunya sih gitu J
Udah hampir jam empat sore. Langit kembali mendung. Kita pamit sama Pak Aryono lalu pulang. Di jalan kita singgah sebentar di mushola buat sholat. Sementara irma dan Wahyudi sholat, Ela motret anak-anak yang lagi mengaji di sana. Sempat juga Ela motret pohon pisang, lengkap dengan buah dan jantungnya.
Selesai sholat irma ke toilet. Waktu lagi pipis baru sadar di pintu toilet ada seekor kodok ! Huaaaaaaa … irma paling takut sama kodok L Please jangan melompat ya, kata irma dalam hati. Abis kalau dia melompat pasti irma akan melompat juga. Lompat karena takut ! Hah, bisa-bisa irma kecebur masuk kulak. Untung sampai irma keluar toilet kodok itu tetap diam di tempat, cuma matanya aja yang besar mendelik. Hiii …
Hujan-hujan balik ke mobil. Irma basah kuyup waktu sampai di dalam. Mudah-mudahan nggak masuk angin karena AC kembali dinyalakan. Kita nggak ke mana-mana lagi, langsung menuju Solo. Tapi di jembatan di atas sungai berbatu itu kita berhenti sebentar biar Ela bisa ambil foto dari jendela. Nggak keluar mobil abisnya hujan gede banget.
Kenapa ya perjalanan pulang selalu terasa lebih cepat daripada perjalanan pergi ? Sebelum jam lima kita udah hampir sampai Solo. Lagi melintas di atas jembatan Palur tiba-tiba Ela berseru, ‘Eh ini Bengawan Solo ya ?’ ‘Iya,’ kata Pak Rizal, ‘Mau berhenti ?’ Mau, mau, mau. Ela yang paling bersemangat ingin lihat Bengawan Solo dari dekat. Jadi setelah melintas jembatan mobil dibelokkan ke tepi sungai. Kata Pak Rizal kalau malam di daerah itu jadi tempat mejeng para waria. Walah, untung sekarang masih sore.
Pak Rizal parkir mobil di pinggir jalan yang sepi. Lalu kita jalan sedikit ke tepi Bengawan Solo. Sungai terpanjang di Pulau Jawa ini pada tahun 1915 diresmikan oleh Paku Buwono X sebagai sarana transportasi. Dari bawah Pos Duga Air Otomatis – semacam tempat untuk mengamati ketinggian air sungai – kita ambil foto Bengawan Solo dan jembatan yang tadi kita lewati. Tanah di sana licin karena bekas hujan. Irma sempat terpeleset tapi untungnya irma cepat berpegangan sama pohon pisang dekat sana. Dan untung juga pohonnya cukup kuat nahan beban irma. Kalau nggak kan irma bisa kecebur masuk sungai L Airnya sih kelihatannya tenang, dan irma juga bisa berenang meskipun cuma gaya katak. Tapi kalau namanya kecemplung sungai kan yang ada panik duluan …
Irma perhatikan di tepi sungai di bawah Pos Duga itu ada kelopak-kelopak bunga anggrek dan melati. Sajen, atau tadi ada yang tabur bunga ? Hmmmm …
Lagi asik motret jembatan tiba-tiba irma dengar suara gemuruh. ‘Ela, kereta ! Kereta !’ seru irma sambil menunjuk jembatan satu lagi di seberang jembatan mobil. Ela segera berbalik, tepat saat kereta akan melintas. Dapat ya La, foto kereta melintas jembatan di atas Bengawan Solo ? Wuiii … pasti keren banget J
Selesai foto di tepi sungai, irma naik ke atas Pos Duga. Wahyudi udah di sana duluan. ‘Ini, Bengawan Solo ? Kayak gini ?’ Wahyudi meniru ekspresi ekspatriat Jepang di tempatnya saat mengetahui kondisi Bengawan Solo sekarang. Di Jepang lagu karya Gesang ngetop banget, banyak orang Jepang ingin ke Indonesia melihat Bengawan Solo. Tapi setelah melihat dari dekat biasanya mereka kecewa. Yaaa abis Bengawan Solo nya nggak seindah dalam lagu L
Puas fotoin Bengawan Solo yang airnya coklat, kita lanjut pulang ke Roemahkoe. Sampai di sana hampir jam enam. Wah pas-pasan benar dengan waktu sewa mobil yang sepuluh jam. Ela menyelesaikan pembayaran sewa mobil dengan Pak Rizal. Ela bilang kita beruntung banget dapat mobilnya Innova seri terbaru. He eh, iya ya. Trus Pak Rizal juga bawa mobilnya enak.
Seperti biasa Pak Sugi menyambut kita di lobby. ‘Ke mana aja ?’ tanyanya. Tau kita cuma ke Sangiran dan Gunung Lawu, Pak Sugi menyayangkan kita nggak sekalian ke Tawangmangu, melihat Grojogan Sewu. Wah nggak sempat. Mau singgah ke pemakaman Mangkunegaran di Matesih aja nggak ada waktunya . Lain kali aja deh kita lihat air terjun yang terkenal itu, plus monyet-monyet di sekitarnya. Ingatkan kita kalau ke sana bawa kacang ya, untuk para mon-mon itu.
‘Eh Sekatennya terakhir hari ini lho,’ Pak Sugi mengingatkan. Haa, masa’ sih ? Kan mauludannya baru besok ? Yang bener dong ? Akhirnya Pak Sugi telpon ke dapur, nanya ke seorang staf Roemahkoe sekalian minta diantarkan evening tea. Oh ternyata Sekatenannya sampai besok siang. Jadi masih ada kesempatan malam ini kalau kita mau lihat ke sana.
‘Mbak, kamarnya saya pindahin ke 110 ya, Mas nya di 111,’ Pak Sugi memberikan kunci kamar. Katanya seharusnya sejak kemarin kita di kamar itu. Tapi karena ada ajudannya Pak Akbar Tanjung datang dan menempati kamar itu jadi kita diminta ngalah semalam. Ya udah nggak pa-pa.
Waktu irma dan Ela masuk ke kamar 110 yang ada di pojok bangunan, waow ! Kita tercengang. Kamarnya bagus banget ! Lebih luas dan itu lho, di atas kepala tempat tidurnya ada sehelai kain menggantung. Cantik sekali. Irma dan Ela jingkrak-jingkrak kesenangan dapat kamar ini. ‘Ini sih kamar pengantin !’ Ela bilang. Lalu irma dan Ela bergantian memotret, mumpung tempat tidurnya masih licin belum ditiduri. Abis itu kita ke kamar sebelah lihat kamarnya Wahyudi. Yah, kamar dia sama aja dengan yang kemarin. Nggak seru ah !
Abis mandi kita ke teras menikmati evening tea hari itu yang terdiri dari teh dan pisang goreng tabur gula halus. Ugh, pisangnya agak kesed L tapi lumayan lah. Abisnya udah laper juga sih. Makan di mana nih kita malam ini ? ‘Makan di Warung Kita yuk,’ ajak Ela. Ayuk. Sekalian lihat Sekatenan ya. Mana tau ternyata benar besok Sekatenannya udah habis.
Jadi malam ini kita makan di luar ya. Irma dan Ela balik lagi ke kamar 110 buat bersiap-siap pergi. ‘Kayaknya bagus nih pake scarf merah,’ Ela menimang-nimang selendang merah yang kemarin dibelinya di Pasar Triwindu. ‘Tety, ini scarf buat elo tapi sorry ya gue pake dulu,’ Ela membuat simpul scarf di lehernya. Hehe, katanya musti dicuci dulu La ?? Atau pulang nanti Ela mau mandi lagi ??
Kita lalu ke lobby buat nitip kunci. Pak Sugi lagi ada tamu jadi kita harus cari becak sendiri. Berdiri nunggu di depan Roemahkoe, nggak ada tanda-tanda becak lewat. Cari sambil jalan aja yuk. Pelan-pelan kita jalan ke gang terdekat. Mana tau di sana mangkal becak.
Tapi ternyata kita malah ketemu mini market. Kebetulan irma perlu beli sabun muka. Jadi kita singgah ke sana dulu. Ela juga sekalian pengen cari teh Gardoe. Ela suka sekali sama teh yang dihidangkan Roemahkoe tiap sore. Tadi Ela sempat nanya sama mas-mas yang antarkan evening tea jenis teh yang dipakai. ‘Kalau nggak salah ini teh gardu Mbak,’ jawab mas-mas itu. Sebelumnya Wahyudi menebak mereka pakai teh kepala jenggot.
‘Nggak ada tehnya,’ kata Ela setelah keliling mini market. Masa’ sih ? irma coba cari di area teh. Ada nih La, tapi bukan teh celup seperti yang biasa kita pake. ‘Ah ya tadi nggak kepikir tehnya teh bubuk begini,’ Ela seneng banget waktu irma tunjukkan teh Gardoe yang irma temukan. Lalu Ela beli duapuluh bungkus ; 10 yang kualitet special bungkus biru, 10 lagi yang super quality bungkus hijau. Apa bedanya ya ? irma beli yang bungkus hijau. Bukan karena tehnya tapi karena suka gambarnya yang djadoel.
Hujan mulai turun waktu kita keluar dari mini market. Jalan sepi banget. Ada satu becak melintas. Kita cegat dan minta dia cari temannya satu lagi. Setelah dapat lalu kita berangkat ke Warung Kita di Jalan Honggowongso. Tadinya irma mau satu becak bareng Ela seperti kemarin. Tapi Ela mengibaskan tangannya, nyuruh irma sebecak dengan Wahyudi. Oh ok, mungkin Ela pengen duduk sendiri biar lega. ‘Tapi gue jalan di depan ya,’ pinta Ela. Setelah becak yang ditumpangi Ela jalan baru becak irma dan Wahyudi mengikuti di belakangnya.
Sampai di Warung Kita. Biarpun udah malam dan hujan tapi tempat makan yang satu ini tetap rame. Belajar dari pengalaman ke sini di bulan Januari lalu, kita nggak sembarangan pesan lagi. Irma pesan nasi langgi – dulu pernah pesan dan porsinya masih bisa lah irma habiskan sendiri – sedangkan Ela dan Wahyudi berbagi setengah ayam goreng mentega. Katanya sih itu cuma setengah ayam, tapi tetap aja mereka berdua nggak sanggup habiskan biarpun irma juga turut makan. Warung Kita benar-benar top deh porsinya. Sekelompok pengunjung di belakang kita terkejut-kejut saat pesanan mereka datang. ‘Hihihi kayak kita dulu tuh, dapat seember sup ayam jamur,’ Ela ketawa melihat mereka shock.
Selagi Ela bayar makan malam kita itu Wahyudi cari-cari info tentang Sekatenan ke seorang pegawai Warung Kita. ‘Katanya sekarang udah nggak serame dulu. Kalau dulu biasanya malem aja masih rame. Besok aja ya,’ Wahyudi laporkan info yang didapatnya. Ya udah kita pulang aja. Lagipula sekarang udah lebih dari jam delapan malam, udah sepi banget. Masih ada becak nggak ya ?
Di depan Warung Kita cuma ada satu becak. Dia mencari satu becak lagi. Lagi dia nyari gitu Wahyudi iseng pake caping yang tergantung di sisi becak. ‘Bu, mau ke mana Bu ?’ Wahyudi pura-pura mendorong becak. Tukang parkir di sana ketawa ngeliat kelakuannya. Sayang foto irma yang Wahyudi jadi tukang becak ini gagal. Sedangkan baik Ela maupun Wahyudi nggak bawa kamera. Ya tadi memang niatnya cuma makan malam aja. Nggak kepikiran bakal ada objek foto menarik seperti ini. Makanya, selalu bawa kamera ke mana pun juga J
Pulang. Sampai di Roemahkoe jam sembilan malam. Tadi sore waktu ke Warung Kita irma belum mandi. Abis kalau udah mandi trus keluar lagi, perasaan badannya jadi kotor lagi. Kan harus mandi lagi. Jadi ya udah mandinya sekalian aja sebelum tidur. Mandi shower air hangat, hmm enak banget. Keluar kamar mandi Ela udah tidur. Tapi TV masih tetap nyala. Jadi TV nya nonton Ela bobo’ ya ? Hihihihi
Abis sholat irma nyusul Ela naik tempat tidur. Oh iya, bantal nya masih di kamar Wahyudi. Keluar lagi. Ketok pintu kamar sebelah. Wahyudi belum tidur tapi dia nguap-nguap melulu waktu bukain pintu. Setelah dapat bantal tambahan irma balik lagi ke kamar 110. Aduh enaknya tidur setelah capek seharian berjalan. Badan udah bersih, pake baju tidur yang kering dan hangat, peluk bantal, yah … tapi kok ranjangnya berderit derit sihhh L
Did you join with Sahabat Museum for this trip ?
ReplyDeleteno, it was just three of us - Ela, Wahyudi, and me. it's not a Sahabat Museum program.
ReplyDelete