Dengan Usus Bengkak Menapaki Keraton dan Rumah Sejarah
irma agustina
Jumat sore di ruang konsultasi internist RSMI Jatinegara
Internist :
‘Hmmm…’ (mengetuk-ketuk jari ke neon board yang menerangi hasil rad contrast – appendicogram atau foto perutnya irma) ‘Appendix kamu udah mulai meradang nih.’
irma :
Glek (menelan ludah). Appendix ? Usus buntu ? Kudu dioperasi dong ??
Internist :
‘Kamu konsultasi deh sama dokter bedah.’ (sret sret … menulis
irma :
(menangis dalam hati) Hoaaaaaa… beneran musti operasi ya ? Hiks hik. ‘Ng… tapi minggu depan aja ya Dok ?’
Internist :
‘Lho, kenapa ? Radang begini perlu penanganan segera lho !’
irma :
‘Soalnya … besok dan lusa saya mau PTD ke
Internist :
… ??????
Sabtu 24 Juni 2006
Jadilah Sabtu ini irma tetap berangkat PTD Cheribon – Linggardjati. Teteh di Depok – kakaknya irma yang paling tua - nggak bisa bilang apa-apa. ‘Percuma ngelarang kamu pergi. Pasti tetap pergi juga. Ya udah hati-hati aja. Jangan lupa bawa obat. Kalau ada apa-apa langsung ke rumah sakit,’ gitu pesannya. Obat apaan ? Dokternya nggak kasih apa-apa selain Ponstan, buat diminum kalau rasa sakit nggak tertahankan lagi. No telpon rumah sakit di Cirebon ? Tanya panitia aja ah, kan pasti mereka juga udah siap-siap hehehe …
Tapi kalau jalan-jalan gini nggak terasa tuh sakitnya. Padahal sejak Selasa siang lalu tiada hari tanpa teraduh-aduh kalau berjalan, muka meringis-ringis kala duduk. Serba salah L Lha tapi hari ini, begitu bangun aja badan terasa enteng. Trus begitu sampai di Parkir Timur Senayan dan lihat gerombolan Batmus yang banciiiiii foto banget, hilang deh sakitnya ! Jadi buat teman-teman yang punya gejala radang usus buntu, coba deh gabung ama Batmus. Tapi nggak dijamin sakitnya bakal hilang, hahahaha …
Irma menghampiri Maya Sari sang dosen gadungan yang pagi itu beralih profesi jadi tukang nasi uduk. Deedee di dekat situ memanggil irma dan berikan name tag plus daftar teman sekamar. ‘Irma sama Atun di bis 1 ya,’ kata Deedee., ‘Wahyudi juga di bis 1, sama Danan.’ Ok. Bis 1 yang mana ? Oh yang kecil. Irma lihat dalam daftar Mama Oen dan Papa Oen juga di bis 1. Asik bakal ada yang nyanyi-nyanyi nanti di jalan J
Abis gitu irma menghampiri Nani yang duduk termangu dengan tangan di pipi. ‘Masih sakit ya Nan ?’ tanya irma. Hari Senin kemarin Nani ke dokter gigi, gerahamnya ada yang bermasalah. Tadinya Nani kira dia bakalan nggak bisa ikutan PTD ini. Tapi apa daya, Ela yang jauh-jauh datang dari Papua malah bela-belain menculik dia dibantu Tety. Dasar trio Power Puff Girl. Kompak banget J
‘Iya,’ kata Nani singkat. Irma main-mainin boneka Nani yang muncul dari dalam ranselnya, ‘Apaan nih ?’ Dasar Nani pencinta hijau. Bonekanya pun warna hijau. ‘Itu obat sakit gigi gue,’ Nani bilang. Haaa baru tau ada dokter gigi kasih obat kayak gini. Gimana cara pakenya, digosok-gosok ke geraham yang sakit gitu ? Emang hilang nyut nyut nya ??
Irma masih berpikir tentang obat sakit gigi ajaib itu waktu Deedee memanggil semua peserta untuk berkumpul membentuk lingkaran. Udah jam tujuh. Udah waktunya kita berangkat. Tapi masih ada satu orang peserta lagi yang belum datang. Nggak berapa lama Adep dapat konfirmasi kalau Berlin – peserta yang ditunggu-tunggu itu – batal ikut PTD. Jadi kita semua naik bis dan siap-siap berangkat.
Begitu bis memasuki jalan tol dalam
Selesai makan irma terus tidur. Jadi irma nggak tau keriuhan apa yang terjadi di bis 1 selama dua jam pertama perjalanan. Tau-tau terbangun di daerah Sumuradem karena ada kehebohan peserta yang mulai nggak tahan untuk ke toilet. ‘Adep, toilet VIP nya masih jauh ?’ tanya Pak Amran via handphone. Toilet VIP, apaan tuh ? Toilet pake shower, AC dan full massage, gitu ??
‘Katanya lima belas menit lagi,’ Pak Amran menutup handphone nya. ‘Ah dari tadi lima belas menit melulu,’ keluh peserta yang sudah kebelet itu. Akhirnya karena sudah sangat mendesak gitu jadi kita singgah di satu rumah makan Padang biar bisa numpang ke toiletnya. Begitu bis berhenti Adit langsung loncat keluar dan buru-buru ke dalam rumah makan. Waaaa… sudah tak tahan lagi dia ! Beberapa peserta juga turut ke toilet tapi irma dan Niken tetap bertahan ingin merasakan toilet VIP itu kayak apa.
Dan ternyata … toilet VIP itu nggak jauh beda dengan toilet umum lainnya ! Letaknya di sebelah pom bensin besar di Kandanghaur. Ada penjaganya yang duduk di antara toilet cewek dan cowok. Untuk yang cewek ada tiga bilik. ‘Mau yang pake lubang apa nggak ?’ tanya Ray waktu irma gabung antri toilet. Lha, apalagi tuh ? Ternyata cuma bilik yang di kiri dan kanan yang ada closetnya. Yang di tengah itu sebenarnya kamar mandi. Ya kalau gitu pilih yang pake lubang deh. Irma lalu mengantri di belakang Ray. Jangan salah, Ray bukan cowok lho. Kalau PTD dalam kota Jakarta Ray ini lebih dikenal sebagai Kapitein Ria.
Dua puluh menit di toilet VIP lalu perjalanan lanjut lagi. VCD Ratu dipasang. Deedee menyanyi-nyanyi lagu ‘Buaya Darat’. ‘Busyet ! aku cuma suka di bagian ini doang,’ komentar Wahyudi saat lagu mencapai bagian ‘… busyet, aku tertipu lagi !’. Hahaha, kalau irma malah ketawa-ketawa lihat video klipnya. Tokoh kartun cowok di video klip itu mirip Dhani suaminya Maia ya.
Sementara itu di kursi depan irma dan Wahyudi duduk mengobrol Pak Amran dengan Niken. ‘Ken, hati-hati nanti jadi korban Pak Amran,’ goda irma, ingat pengalaman beberapa kali kena tipu Pak Amran selama PTD Makassar – Tana Toraja lalu. ‘Hahaha iya, tapi tadi aku berhasil mengalahkannya,’ Niken ketawa. ‘Tadi Pak Amran tanya ciek tambo ciek berapa ? Aku bilang sebelas. Katanya kebanyakan tuh.’ ‘Lha ya iya, banyak sekali ambil untungnya,’ Pak Amran nimbrung. Buat yang nggak tau bahasa Padang, ciek itu artinya satu. Ciek tambo ciek, maksudnya satu tambah satu. Dulu waktu ditanya sama Pak Amran, irma jawab dua. ‘Salah. Ciek tambo ciek itu limo (lima, maksudnya). Kalau cuma duo, mano untungnyo,’ gitu alasan yang diberikan Pak Amran. Alamak, dasar pedagang !
Menjelang jam dua belas siang kita mulai memasuki kota Cirebon. ‘Naaa… itu Gedung Negara nya !’ seru irma kala bis melewati gedung cantik berwarna putih. Nanti malam kita akan makan di sana. ‘Kali ini kita on-time ya,’ kata Pak Amran. He eh, iya. Di itinerary yang dibagiin Deedee tadi pagi dikatakan jam dua belas siang kita akan makan siang di Cirebon. ‘Di toilet VIP tadi juga on-time Om,’ Ical menimpali. Mungkin belajar dari pengalaman waktu PTD Makassar Toraja itu ya, kali ini panitia menyediakan cadangan waktu agar kita tidak terburu-buru. Tapi tetap aja Ninta menggebah-gebah peserta, mengingatkan waktu kita untuk bergerak. Kalau nggak gitu mungkin kita nggak bisa on-time.
Makan di rumah makan Sunda. Seperti biasa, ada antrian panjang di toilet. Lagipula mau ambil makanan juga ngantri. Mau naik ke tempat makan di lantai dua aja ngantri ! Yang nggak ngantri ? Sholat di mushola … J
Lega dari toilet irma gabung sama yang lain ke lantai atas. Apa lauk makan siang ini ? Ow, ada ikan bakar, ayam bakar, ikan goreng, karedok, lalap, … apalagi ya ? Pokoknya enak-enak deh. Tapi pas irma sampai di meja prasmanan, yah ikan bakarnya habis L Jadi irma cuma ambil nasi dan ayam bakar aja. Karedok ? Euuughhh … udah setahun ini irma nggak bisa makan bumbu kacang karena tiap kali makan bumbu kacang perut irma langsung nggak enak. Masa’ makan karedok nggak pake bumbu kacang ? Itu mah sama aja dengan makan lalap atuh …
Jam satu siang kita menuju Linggajati. Kenyang setelah makan ditambah buai-buai dari jalannya bis membuat beberapa peserta tidur. Irma juga tidur. Bangun-bangun saat merasakan bis jalan menanjak. Nggak berapa lama kita sampai di Gedung Perundingan Linggarjati.
Gedung Perundingan ini terletak di desa Linggajati. Ingat ya, namanya yang benar adalah LINGGAJATI. Menjadi Linggarjati karena kesalahan dokumentasi saat perundingan Indonesia dengan Belanda pada tanggal 10 – 13 November 1946. Perundingan tersebut dilakukan untuk mencapai persetujuan politik antara pihak Indonesia dan Belanda.
Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh satu tim yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir dan anggota Mr. Soesanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Muhammad Roem. Pihak Belanda diketuai Prof. Ir. Schermerhorn dengan anggota Mr. Van Poll, Dr. F. DeBoer dan Dr. Van Mook. Sebagai penengah dipilih Lord Killearn dari Inggris. Sedangkan Dr. J. Leimena, Dr. Soedarsono, Mr. Amir Sjarifuddin dan Mr. Ali Budiardjo bertindak sebagai saksi dan notulen.
Perundingan politik telah dimulai di Jakarta, bergantian antara di Istana Rijswijk (sekarang disebut Istana Negara) yang dipimpin Sjahrir dan di kediaman Sjahrir yang dipimpin Schermerhorn. Empat kali perundingan dilakukan di Jakarta. Setelah perundingan terakhir pada tanggal 5 November 1946, delegasi Indonesia berangkat ke Yogyakarta untuk memberi laporan kepada Presiden.
Menumpang kapal perang Inggris HMS ‘Verayan Bay’, Lord Killearn sampai di Cirebon pada tanggal 10 November 1946. Tanggal 11 November 1946 Delegasi Belanda datang ke Cirebon menggunakan pesawat terbang ‘Catalina’ , kemudian menuju kapal perang HM ‘Banckert’ milik angkatan laut Belanda. Kapal perang ini disiapkan sebagai tempat menginap delegasi Belanda. Sempat terjadi selisih paham antara delegasi Belanda dengan pihak angkatan laut Indonesia yang bertugas menjemput mereka. Akibat selisih paham ini delegasi Belanda terlambat sampai ke Linggajati.
Perundingan Linggarjati menghasilkan persetujuan antara pihak pemerintah Belanda dan pemerintah Republik Indonesia yang terdiri dari 17 pasal dengan isi pokok persetujuan sebagai berikut :
(1) Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura
(2) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia
(3) Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Pada tanggal 15 November 1946 delegasi Indonesia dan delegasi Belanda menandatangani persetujuan ini di rumah kediaman Sjahrir, Jl. Pegangsaan Timur no 56 Jakarta. Pemerintah kedua negara menandatangani naskah persetujuan Linggarjati di Istana Rijswik pada tanggal 25 Maret 1947. Namun demikian, di kemudian hari Belanda tidak mentaati persetujuan ini hingga pecahlah Agresi Militer ke 1 pada tanggal 21 Juli 1947 dan dilaksanakan beberapa perundingan lagi. Perundingan Renville di kapal perang US di teluk Jakarta pada tanggal 8 Desember 1947, perundingan Roem – Royen pada tahun 1948 hingga Konfrensi Meja Bundar yang membuahkan pengakuan Belanda akan kedaulatan Republik Indonesia sejak 27 Desember 1949.
Gedung Perundingan Linggarjati ini awalnya berupa gubuk sederhana milik Ibu Jasitem di tahun 1918. Lalu pada tahun 1921 dirombak oleh seorang Belanda bernama Tersana menjadi bangunan semi permanen. Di tahun 1930 direnovasi menjadi bangunan permanen rumah kediaman Van Ost Dome. Dari namanya ketahuan dong beliau orang Belanda ? Lalu pada tahun 1935 seorang Belanda bernama Heiker mengontrak bangunan ini dan menjadikannya sebagai Hotel Rus’Toord.
Di masa pendudukan Jepang, Hotel Rus’Toord berganti nama menjadi Hotel Hokay Ryokan. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia ganti lagi namanya menjadi Hotel Merdeka. Trus di tahun 1946 digunakan sebagai tempat perundingan Linggarjati sehingga bangunan ini dikenal dengan nama Gedung Perundingan Linggarjati. Pada masa aksi militer Belanda kedua di tahun 1948 – 1950 gedung ini digunakan sebagai markas tentara Belanda. Setelah Belanda pergi, sejak tahun 1950 sampai 1975 gedung dipakai untuk Sekolah Dasar Negeri Linggajati.
Pada tahun 1975 Bung Hatta dan Ibu Sjahrir berkunjung ke Gedung Perundingan Linggarjati dan menyampaikan pesan bahwa gedung akan dipugar oleh Pertamina. Namun usaha pemugaran ini hanya sampai pembangunan bangunan sekolah untuk Sekolah Dasar Negeri Linggajati. Di tahun 1946 pemerintah menyerahkan gedung ini kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dipugar dan dijadikan museum memorial.
Di dalam Gedung Perundingan Linggarjati kita bisa melihat foto-foto di masa perundingan dan sesudahnya. Termasuk foto terkenal yang menunjukkan para wartawan negara asing duduk berundak-undak di tangga gedung, menulis laporan menggunakan mesin ketik. Foto ini banyak terdapat di buku-buku sejarah, termasuk buku Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa waktu irma SMP. Ingat banget abisnya waktu kelas 2 SMP irma ikut study tour ke gedung ini sambil bawa buku PSPB, kepengen tau seperti apa tangga yang diduduki para wartawan itu.
Setelah mendapatkan penjelasan singkat dari petugas gedung kita jalan-jalan masuk ke tiap ruangan yang terbuka. Perabotan di ruang sidang, ruang tidur dan lain-lain adalah replika dari perabot yang sebenarnya. Perabot asli yang tertinggal diletakkan di ruang makan, terdiri dari seperangkat meja kursi dan lemari. Ada juga piano yang sudah rusak yang kini diletakkan di dalam gudang. Lagi di ruangan tempat Presiden Soekarno bertemu dengan Lord Killearn, Tante Hera bercerita tentang Van Mook yang pernah berkunjung ke rumah orang tuanya. Akibat kunjungan itu rumahnya nyaris diserbu massa yang anti Belanda. Waaah ternyata di antara peserta PTD ini ada seorang penutur sejarah juga.
Terdengar seruan panitia untuk berkumpul di halaman gedung buat foto bareng. Alamak, turun jauh ke bawah begitu buat foto bareng spanduk PTD di depan monumen trus naik lagi ? Nggak deh, makasih. Perut lagi sakit serasa ditusuk-tusuk begini, irma nggak sanggup turun-naik tangga. Jadi irma duduk-duduk di teras aja. ‘Ei fotoin dong,’ pinta Adep yang lagi berdiri di tembok pembatas teras, berkacak pinggang menghadap Ela. Gaya meneer ya. Irma siap-siap ambil foto. ‘Eh gue musti ngapain ?’ Ela panik. Hahaha biasa di balik lensa, sekarang gilirannya di hadapan kamera Ela jadi mati gaya.
Menjelang jam empat sore kita bersiap balik ke Cirebon. Melihat Adep jalan memanggul tiang bendera, irma jadi kepengen motret. Potret pertama, gagal karena kehalang Papa Oen yang dadah-dadah melihat irma motret. Potret kedua, benderanya kebalik. Potret ketiga, ‘Ah ikut ! Ikut ! Ikut !’ seru Maya Hadi, ‘Aku lagi hormat bendera ya.’ Adep ambil posisi seperti prajurit Amerika menegakkan tiang bendera waktu pertempuran Iwo Jima di kala Perang Pasifik. Maya Hadi memberi hormat kepada bendera. Ok siap ? Halah, anginnya kok nggak ada ? Benderanya nggak berkibar. ‘Oh anginnya ke sana,’ Adep pindah berdiri melawan arah angin. Maya Hadi ikut pindah juga. Siap ya. Lhaaa…. Kameranya menghadap matahari, backlight ! Mana kelihatan kalian ? Adep dan Maya Hadi geser lagi sampai akhirnya didapat hasil foto yang lumayan. Yaaa mau foto penghormatan kepada bendera Sahabat Museum kok ya susah banget ya ??
Sebelum balik ke Cirebon kita singgah dulu di Gedung Sjahrir yang sekarang digunakan sebagai Gudang Munisi Lapangan Detasemen Peralatan 03-12-03. Di gedung ini Sutan Sjahrir dan keluarganya menginap selama perundingan Linggarjati. Jadi beliau tidak nginap bersama delegasi Indonesia lainnya. Tidak banyak yang bisa kita lihat di gedung ini tapi hampir semua peserta mengagumi kaca patri di jendelanya. Terutama saat matahari senja menimpa. Wuih, cantik sekali.
Jam setengah lima sore kita sampai di Hotel Santika Cirebon. Deedee dan Ninta membagi-bagikan kunci kamar. Irma masih menikmati welcome drink waktu Atun – teman sekamar irma – menghampiri dan kasih tau kita akan menginap di kamar 219. Ok, kita ke atas yuk. Capek nih, pengen cepat-cepat nggeletak. Lumayan ada cukup banyak waktu buat istirahat sebelum kumpul di lobby jam setengah tujuh buat makan malam.
Ada yang mengetok pintu kamar waktu irma lagi tiduran. Atun buka pintu, dia kira petugas house keeping antarkan sajadah yang dipintanya. Nggak taunya itu Wahyudi. Sama Danan – teman sekamarnya – dia lagi berusaha buka pintu kamar 220 di sebelah. ‘Nggak bisa dibuka, tolong telponin resepsionis dong,’ pinta Wahyudi. Masa’ sih, coba sini irma yang buka. Irma ambil kunci kamar yang berbentuk punch card dari tangan Wahyudi lalu memasukkannya ke celah kunci di pintu. Jegreg, gruk, nah terbuka kan. ‘Haaa harus digituin ?’ baik Danan maupun Wahyudi takjub lihat cara irma membuka pintu. He eh, iya perlu pake man power alias didorong keras ke dalam celahnya. Pengalaman irma yang udah beberapa kali keluar masuk hotel, sistem kunci dengan punch card memang mesti agak dikasarin. Makanya kuncinya sering bengkok-bengkok.
Atun mandi duluan, irma masih pengen rebahan. Selesai Atun mandi handphone irma bunyi-bunyi. SMS dari siapa ya ? ‘Bu, nginap di kamar berapa ? Saya mau ke
‘Waaaa sunset nya bagus banget !’ Ela berjalan ke jendela. Atun yang lagi tiduran jadi ikut mejeng di depan jendela. Selain ngeliat matahari yang mau terbenam kita juga merhatiin beberapa teman yang lagi main-main air di kolam renang. Siapa aja ya ? Kayaknya asik juga sore-sore begini berenang.
‘Udah ya, balik dulu ke kamar,’ pamit Ela. Iya irma juga mau tidur. Atun malah udah tidur duluan, selimutnya sampai menutupi kepala. Mungkin ada sekitar tiga puluh menit kita tidur. Jam enam irma bangun lalu mandi dan bersiap makan malam.
Katanya kumpul jam setengah tujuh, tapi akhirnya jam tujuh malam semua peserta baru kumpul lengkap di lobby. Lalu kita naik bis menuju Gedung Negara. Sampai di sana, wah sudah ada yang berdiri di teras gedung menyambut Batmus. ‘Haaa mereka pada pake batik ! Aduh, salah kostum nih kita,’ panik Wahyudi dan Agung berkata. Pemberitahuan dari Adep di milis Batmus beberapa hari lalu, untuk PTD ini nggak ada aturan dress code. Mau pake celana pendek, kaus kutung dan sandal jepit juga boleh. Termasuk saat makan malam di Gedung Negara. Tapi ternyata bapak-bapak dan ibu-ibu dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Cirebon yang akan mendampingi Batmus selama PTD di Cirebon, menyambut kita dengan pakaian rapi batik Mega Mendung, motif khas Cirebon. Naaa kita kan jadi maaaluuuuuuuu …….. L
Yah sudahlah apa boleh buat, masa’ kita urung makan malam sih ? Antri satu per satu, sebelum masuk gedung kita bersalaman dengan bapak-bapak dan ibu-ibu dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Cirebon. Lalu mengisi buku tamu. Semua peserta harus menulis namanya, nggak boleh diwakili oleh ketua atau perwakilan rombongan.
Begitu masuk ke dalam Gedung Negara, waaaah kita pada terpukau. Gedung nya cantik sekali. Dulunya gedung ini digunakan untuk kantor Karesidenan Cirebon atau Cheribon Residentswoning. Pernah juga dipakai sebagai kantor pembantu gubernur. Sekarang menjadi Gedung Negara Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Cirebon. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan wakilnya Jusuf Kalla pernah berkunjung ke gedung ini. Malah tadinya mau menginap di sini juga. Tapi karena rombongan mereka banyak dan kamar di dalam gedung terbatas, akhirnya mereka menginap di Puri Santika.
Gedung Negara dibangun pada tahun 1865 oleh arsitek Van Der Kerf (?). Di tahun 1922an arsitek yang sama membangun Gedung Balai Kota yang terletak sekitar 500 m dari Gedung Negara. Besok siang kita akan mengunjungi Balai Kota jadi malam ini kita puas-puasin menikmati keindahan Gedung Negara. Setiap ruangan dalam Gedung Negara memiliki tegel atau lantai dengan motif yang berbeda dengan ruangan lain. Heee jadi ingat Museum Tekstil di Tanah Abang, Jakarta. Di sana juga kan tiap ruangannya memiliki motif lantai yang berbeda.
Melewati ruang tamu, kita akan sampai di ruang jamuan. Batmus dipersilakan mencicipi makanan khas Cirebon ; Empal Gentong dan Nasi Jamblang. Nasi Jamblang adalah nasi yang dibungkus daun Jati. ‘Hm jadi ingat waktu di kampung Mbah,’ Wahyudi mengendus-endus wangi jati yang menempel di nasi. Di, jangan keasikan ngendus-ngendus. Itu nasi buat dimakan lho …
Seorang penyanyi diiringi organ tunggal bernyanyi menghibur Batmus yang lagi makan. Lagunya ? Warung Pojok dong, lagu daerah Cirebon. Abis gitu dari Batmus diminta nyanyi juga. Untung Batmus punya penyanyi andalan J Mama Oen bernyanyi ‘Sepanjang Jalan Kenangan’ dan Papa Oen bernyanyi ‘Pleaseee… release me let me go …’ Mau ke mana Papa Oen ? Mama Oen nya jangan ditinggal dong …
Selesai makan, ngapain ? Seorang bapak tua dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Cirebon menerangkan tentang Gedung Negara dan kota Cirebon. Tapi penjelasannya bikin kita yang udah ngantuk karena kekenyangan jadi makin ngantuk. Akhirnya sama Ninta dan Deedee penjelasan bapak tadi dipotong dan diminta untuk disambung besok waktu kita jalan-jalan keliling Cirebon.
Acara berikutnya, ceritanya ice breaker buat mengakrabkan peserta satu sama lain. ‘Yang muda duduk membentuk lingkaran di lantai ya. Yang tua-tua silakan duduk di kursi di belakangnya,’ Deedee memberi pengarahan. Wah ternyata lebih banyak yang duduk di lantai. Memang masih pada muda, atau merasa muda ??
Setiap peserta diminta untuk memperkenalkan diri dan menyebutkan dua ciri di badannya. Lucu-lucu deh. Dari yang standar seperti, ‘Saya Ibu Anna. Rambut saya putih dan saya pake gelang gading kepang.’ Yang nerd seperti Rony Baskoro yang kasih tau cirinya adalah model dan type gadget yang dia bawa, sampai yang unik seperti perkenalannya Pak Amran. ‘Nama saya Amran. Dulunya di sini banyak rambut,’ Pak Amran menunjuk lingkaran di pucuk kepalanya yang berambut tipis. ‘Ciri kedua : orangnya ganteng.’ Huaaaaaaaa…. ini nih orang dengan tingkat pede paling tinggi J
Setelah semua peserta dan juga panitia memperkenalkan diri, name tag dikumpulkan. Lalu dimulai dari … dari siapa ya ? Wah maaf, lupa. Pokoknya seorang peserta harus mengambil satu name tag dari tumpukan name tag yang sudah dikumpul, lalu ia mencari pemilik name tag itu. Untuk memudahkan panitia akan memberikan petunjuk ciri pemilik name tag. Kalau pemilik name tag nya udah ketemu, name tag dikasihkan. Plus kertas berisi perintah yang harus dikerjakannya. Kertas perintah ini sudah kita buat sebelumnya. Nanti setelah pemilik name tag selesai kerjakan perintah, ia ambil name tag lain dari tumpukan, cari pemiliknya dan permainan dilanjutkan terus sampai tumpukan name tag habis dan kembali ke pemiliknya masing-masing.
Nah di sini juga banyak kelucuan. Ada yang dapat perintah baca sambil nyiram (basah dong bukunya ?), ada yang disuruh mandi sambil nangis (huu huu huu, gitu isak Tante Hera yang memperagakannya ). Tapi yang paling sering disuruh pergi. Ya udah, dadah, dadah …. Bu Wisda dapat perintah bangun sambil tidur (gimana tuh ??). Tapi sebelumnya dicium dulu pipinya sama Pak Amran. Kan Pak Amran yang dapat name tag nya Bu Wisda. Waaaa banyak yang menjerit lihat Pak Amran cium Bu Wisda. Pada ngiri kali ya ??
Name tag irma ditemukan oleh Ibu Djuliah. Tau kan, Ibu Djuliah ini langganan PTD luar kota. Hampir semua PTD luar kota sudah beliau ikuti. Ibu Djuliah kalungkan name tag irma, lalu kasih kertas perintah. Isinya : peragakan tidur sambil mandi. Kayak gimana ya ? irma merangkak ke tengah-tengah lingkaran. Tiduran sambil tangan menyiram gayung ke atas kepala.
‘Irma, kamu ngapain ?’ tanya Ninta. ‘Ini kan aku lagi tidur,’ tiduran menyamping irma letakkan kedua tangan di antara pipi dan lantai. ‘Trus ini aku mandi,’ tangan irma pura-pura ambil gayung lalu mandi cibang-cibung. ‘Itu sih namanya kamu mimpi mandi,’ kata Ninta. Ya apalah, yang jelas bukan mimpi basah. Irma lalu kembali ke tempat duduk semula. Tapi sebelumnya irma ambil name tag dari tumpukan. Dapat name tag Putri.
Sebenarnya masih banyak name tag yang belum kembali ke pemiliknya tapi waktu udah lewat jam sembilan malam. Beberapa peserta mulai gelisah. Ada yang gelisah karena udah capek, ada yang gelisah karena kedinginan duduk di lantai marmer. Ada juga yang gelisah karena sebentar lagi siaran langsung sepakbola Piala Dunia. Akhirnya permainan dihentikan. Peserta yang belum mendapatkan name tag nya kembali diminta untuk mengambil satu name tag dan memberikannya kepada pemiliknya. ‘Dini, Dini,’ Ray mengacungkan satu name tag sambil mencari-cari. Tapi ada yang juga yang curang tuh. Masa’ Wahyudi ambil name tag dia sendiri ??
Kembali ke Hotel Santika. Irma dan Atun langsung masuk kamar 219. Ngantuuuk. Yang lain mungkin masih ada yang mau jalan-jalan. Ada juga yang janjian mau nonton bola bareng. Tapi irma nggak deh. Selain irma bukan penggemar sepak bola, irma juga mau tidur aja. Biar besok pagi fresh buat jalan-jalan. So buat yang mau pintong, selamat senang-senang deh …
Minggu 25 Juni 2006
Sarapan pagi bareng Nani, Tety, Putri, Indie, Maya Sari dan Rahmat. Karena Putri bertanya, ‘Katanya ada yang diikutin waktu dari Toraja ?’ jadi Indie bercerita pengalamannya diikuti makhluk halus sepulang dari makam raja-raja Suaya di Tana Toraja. Dengar cerita Indie yang syerem itu irma bersyukur banget nggak ngalamin yang seperti itu. Abisnya irma tuh penakuuuuuut banget. Kalau teman-teman Batmus sengaja nyari-nyari penampakan kalau berkunjung ke gedung-gedung tua, irma malah banyak berdoa biar nggak ketemu yang aneh-aneh.
‘Tadi jalan ke mana Ma ?’ tanya Tety. Nggak ke mana-mana. Waktu irma turun sarapan tadi Wahyudi baru bangun. Biasanya kan pagi-pagi kita suka ngelencer ke pasar terdekat, seperti waktu di Surabaya dan Cepu. Tapi mungkin karena tadi malam asik nonton sepak bola, jadi Wahyudi siang bangunnya. Lagi pula dekat sini, ada pasar nggak ? Katanya sih pasarnya di dekat Keraton.
Jam tujuh Wahyudi baru gabung sarapan. Topik pembicaraan beralih ke Maya Sari yang tersiksa dalam perjalanan kemarin. Rupanya di bis 2 sepanjang perjalanan dipasang VCD dangdut dan tarling. Padahal Maya tuh paling nggak bisa dengar dangdut dan yang sejenis. ‘Sampe mules gue,’ kata Maya. ‘Iya, kelihatan banget lho Maya tuh tersiksa. Sampe nyari-nyari pinjeman walkman ke Tety,’ timpal Nani. Wadugh, sampai segitunya. Lain kali bawa ear plug deh May, Wahyudi punya banyak tuh di pabriknya. Tapi karena tragedi dangdut ini kita kan jadi tau gimana caranya bikin Maya diam, hahahahahahahaha. Abis selama ini Maya terkenal brisik ! Hihihihihihihi …….. J (peace May, peace …….)
Menjelang jam delapan pagi kita kumpul di lobby. Check-out dan foto bareng spanduk di tangga hotel, di depan kolam air berhias patung tiga ekor kodok dengan pancuran di punggungnya. Irma nggak ikut foto. Irma harus jaga kamera Wahyudi yang karena kelupaan dia tinggal di kursi Niken di bis 1. Aduh ini anak, udah pernah ngalamin kamera ketinggalan di pesawat kok ya nggak lebih hati-hati siihh ???
Usai foto-foto kita naik bis dan bergerak ke tujuan pertama hari ini : Keraton Kasepuhan. Bis 1 didampingi oleh Pak Iman Sugiman, staf Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Cirebon yang sehari-hari mangkal di Keraton Kasepuhan (mangkal ?? tukang ojek kalleeee …) Sambil menuju Keraton Pak Iman bercerita tentang kota Cirebon.
Kota Cirebon itu sebenarnya kecil, hanya terdiri dari lima kecamatan. Kabupatennya malah lebih luas. Kota Cirebon berasal dari desa nelayan dan pelabuhan kecil bernama Muara Jati di lereng bukit Amparan Jati. Di abad ke 14 daerah ini dibawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Penguasa kerajaan Galuh menempatkan seorang syahbandar bernama Ki Gedeng Tapa untuk mengurus pelabuhan Muara Jati. Meskipun kecil pelabuhan ini banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari luar negri seperti Cina. Kemudian Ki Gedeng Alang-alang mendirikan pedukuhan Witana di Lemahwungkuk yang terletak di selatan Muara Jati. Witana berasal dari kata ‘Awit-awit teh ana umah’ yang berarti awal-awalnya ada rumah. Banyak saudagar, pedagang dan pendatang yang menetap di pedukuhan ini sehingga daerah itu disebut Caruban yang berarti campuran. Kata Caruban berubah menjadi Cerbon, kemudian Cirebon seperti yang sekarang kita kenal.
Prabu Siliwangi – Raja Pajajaran yang berkedudukan di Bogor – mengangkat Ki Gedeng Alang-alang sebagai kepala pedukuhan Witana bergelar Kuwu Cerbon. Daerah pengawasan Kuwu Cerbon dibatasi oleh Kali Cipamali di sebelah timur, Cigugur (Kuningan) di selatan, pegunungan Kromong di barat dan Junti (Indramayu) di utara. Setelah Ki Gedeng Alang-alang mangkat, beliau digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang. Walangsungsang adalah putra Prabu Siliwangi. Walangsungsang diangkat sebagai Adipati Cerbon dengan gelar Cakrabumi. Pada tahun 1378 Adipati Cerbon memerdekakan diri dari Kerajaan Galuh dan mendirikan kerajaan Cirebon. Ia kemudian bergelar Cakrabuana.
Meskipun Pangeran Cakrabuana memeluk agama Islam, ia tetap berhubungan baik dengan kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu. Di tahun 1430 Pangeran mendirikan Keraton yang kemudian diberikan kepada putrinya yang bernama Ratu Ayu Pakungwati. Oleh karena itu keratonnya dinamakan Keraton Pakungwati. Ratu Ayu Pakungwati menikah dengan Syeh Syarif Hidayatullah, atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah putra dari Ratu Mas Rarasantang dan Sultan Syarif Abdullah, seorang raja Mesir. Karena Ratu Mas Rarasantang adalah adik dari Pangeran Cakrabuana, berarti Ratu Ayu Pakungwati menikah dengan sepupunya sendiri (oh ternyata boleh ya ?? ).
Setelah menikah dengan Ratu Ayu Pakungwati, Sunan Gunung Jati dinobatkan sebagai pimpinan Cirebon dan menetap di Keraton Pakungwati. Sejak itu Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam. Pada abad ke 16 Sunan Gunung Jati meninggal dunia. Ada satu wasiatnya yang terkenal dan terus-menerus diingat oleh penerusnya, yaitu ‘Ingsun titip tajug lan fakir-miskin’ yang artinya ‘Aku titipkan masjid/mushola dan fakir miskin’. Satu lagi pesannya adalah ‘Angga Yuwa Sira Maring Kaluhuran’ yang memiliki arti kurang lebih carilah ilmu setinggi-tingginya.
Tanpa terasa bis kita sudah sampai di kompleks Keraton Kasepuhan. Sebagaimana layaknya Keraton di pulau Jawa, Keraton ini membujur dari Utara ke Selatan. Di hadapan Keraton ada alun-alun. Di dekat alun-alun ada tempat orang duduk-duduk minum teh poci. ‘Tadi malam kita pintong ke sini lho,’ kata Deedee. Oh jadi dari sini tadi malam kalian pulang ke hotel naik becak.
Di Keraton Kasepuhan kita disambut oleh dua orang pemandu, Pak Nanan dan Pak Usman. Kedua orang pemandu ini mengenakan baju tradisional dan bawahan kain batik. ‘Kok tumpalnya di belakang sih ? Tumpal itu kan harusnya di depan,’ komentar Mama Oen melihat cara kedua pemandu itu mengenakan kain batik. Ya Mama Oen, mungkin kalau di Cirebon tumpal itu ditempatkan di belakang, beda dengan di Jawa Tengah. Oh ya, kalian tau tumpal kan ? Itu lho, bagian dari kain batik yang disebut juga kepala. Biasanya tumpal itu bermotif segitiga sama kaki.
Kita dipersilakan masuk ke komplek Siti Inggil dan duduk di bangunan bernama Mande Malang Semirang. Bangunan ini adalah tempat duduk Sultan saat menghadiri upacara keagamaan dan upacara pancung (kirain cuma di Stadhuis aja ada pelaksanaan hukuman pancung L). Lalu Pak Nanan bercerita tentang Keraton Kasepuhan. Keraton ini didirikan pada tahun 1430 dan semula bernama Keraton Pakungwati. Pada tahun 1679 saat kerajaan Cirebon terpecah menjadi dua kesultanan, Keraton Pakungwati disebut Keraton Kasepuhan dengan sultannya bergelar Sultan Sepuh. Sultan Sepuh yang sekarang bertahta adalah Sultan Sepuh ke 13 yang bernama Sultan Haji Maulana Pakuningrat.
Selain Mande Malang Semirang yang memiliki enam tiang sebagai lambang rukun iman, di dalam komplek Siti Inggil Keraton Kasepuhan juga terdapat beberapa bangunan lainnya, yaitu :
(1) Mande Semar Kinandu, tempat duduk penasehat Sultan, memiliki dua tiang sebagai lambang dua kalimat Syahadat.
(2) Mande Pandawa Lima, tempat duduk Patih mendampingi Sultan saat upacara penting, memiliki lima tiang sebagai lambang rukun Islam.
(3) Mande Pengiring
(4) Mande Karasemen, tempat dimainkannya gamelan sekaten
Pada saat memasuki komplek Siti Inggil kita melewati dua Pancaniti yang merupakan tempat pos jaga dan jembatan Pangrawit. Ada beberapa pekerja sedang memperbaiki tembok pembatas Siti Inggil. Kalau kita perhatikan, gapuranya sama seperti yang dulu kita lihat di Trowulan tetapi di dindingnya banyak ditempel piring keramik Cina. Ini nih yang merupakan ciri khas bangunan Keraton di Cirebon.
Dari Siti Inggil Pak Nanan mengajak kita masuk ke bangunan inti Keraton Kasepuhan. Di depan bangunan ada taman dengan patung dua ekor macan putih. Ini adalah lambang Keraton. Kenapa lambangnya macan putih ?? Katanya sih ini pengaruh dari kerajaan Hindu Pajajaran. Taman tempat patung macan putih ini dinamakan Taman Bunderan Dewan Daru. Di sampingnya terdapat Langgar Agung, tempat pelaksanaan sholat Jumat. Pak Nanan lalu mengajak kita masuk Keraton melalui gerbang Buk Bacem (hihihi waktu dengar namanya irma jadi ingat tempe dan tahu bacem ). Di balik gerbang sebelah kanan ada Langgar Alit, tempat pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an.
Setelah membuka sepatu kita masuk ke Bangsal Pringgandani. Bagian depan bangunan bernama Dalem Pangrawit. Penghubung Dalem Pangrawit dengan Bangsal Pringgandani disebut Los Gajah Nguling yang artinya gajah sembunyi. Los ini miring, fungsinya untuk mengintai musuh. Di kiri-kanannya terdapat kerikil sebagai alarm jika ada orang masuk ke dalam bangunan. ‘Bagus feng shui nya,’ komentar Tante Hera.
Dari Bangsal Pringgandani kita belok kanan masuk ke Bangsal Prabayaksa. Di bangsal ini banyak terdapat kursi-kursi antik, beserta meja tentunya. Di balik sekat pembatas ruangan di Bangsal Prabayaksa terdapat Bangsal Panembahan, tempat duduk Sultan. Kita tidak diperkenankan masuk ke dalam Bangsal Panembahan. Tapi kita tanpa masuk pun kita bisa melihat kursi Gading Gilang Kencana, kursi tahta Sultan Sepuh. Di belakangnya ada Ranjang Kencana, tempat Sultan beristirahat yang dihiasi kain sembilan warna melambangkan kesembilan Wali Sanga penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Di sebelah kanan Bangsal Panembahan ada gamelan Mega Mendung berlaras pelog (aduh… udah lupa nih pelajaran kesenian waktu sekolah dulu. Laras pelog tuh apa ya ??)
Dari bangunan inti Keraton lalu kita ke museum kereta untuk melihat kereta Singa Barong. Pak Iman bilang ini adalah kereta paling unik sedunia. Kenapa unik ? Karena ia mengambil pola makhluk prabangsa. Ia memiliki belalai Gajah sebagai lambang persahabatan dengan India. Ada tanduk Naga pertanda sahabat dengan Cina. Dan sayap Garuda atau Bouroq sebagai simbol persahabatan dengan Mesir.
Kereta Singa Barong ini dibuat pada masa pemerintahan Gusti Panembahan Pakungwati 1 (Pangeran Mas Mohamad Arifin) di tahun 1549. Arsiteknya adalah Panembahan Losari – Werkbas Ki Dalem Gebang Sepuh dan juru ukir Ki Nata Guna dari desa Kaliwulu. Kereta ini dibuat dari kayu laban. Keunikan lain dari kereta ini ialah memiliki sistem yang dapat menggerakkan lidah dan sayap dari makhluk prabangsa tersebut. Dulunya kereta ini ditarik dengan empat ekor kerbau putih. Tapi sejak tahun 1942 kereta Singa Barong tidak digunakan lagi. Pada saat Festival Keraton yang rutin dilaksanakan Keraton Kasepuhan menggunakan replikanya. Replika itu juga terdapat di museum kereta, bersama-sama dengan sepasang meriam naga dari Mongolia (meriamnya laki dan perempuan lho ! ), tandu permaisuri dan putra mahkota dari Cina dan lukisan Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi. Eh, Festival Keraton tahun ini akan dilaksanakan di Solo pada tanggal 25 Agustus. Pintong ke sana yuuukk ….
Keluar dari museum kereta panitia mengingatkan sudah waktunya kita kembali ke bis untuk menuju tujuan berikutnya. Tapi irma sempat berfoto di depan bangunan inti Keraton yang gerbangnya dihiasi relief motif Mega Mendung. Lagi difoto oleh Wahyudi gitu Ninta malah ingin foto irma berdua dengan Wahyudi. ‘Geser, geser, dikit lagi … yaa ooup ! stop !’ Ninta memberi arahan. ‘Kayak kiper lagi ngatur pertahanan buat tendangan bebas aja,’ Wahyudi terkekeh geli. Oh iya ya ?? Pengaruh Piala Dunia kali …
Dari Keraton Kasepuhan kita menuju Keraton Kanoman. Melintasi alun-alun, bis kita melewati Mesjid Agung Sang Cipta Rasa. Tidak seperti mesjid pada umumnya, Mesjid Agung Sang Cipta Rasa tidak memiliki kubah. Tiap kali sholat Jumat, adzan dikumandangkan oleh tujuh orang sehingga disebut ‘Adzan pitu’. Dari dulu hingga sekarang khotbah disampaikan dalam bahasa Arab. Jadi untuk jamaah yang tidak mengerti mungkin ia hanya akan mengangguk-angguk dan berkata ‘Amin, amin,’ saja. Mesjid ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati di tahun 1480. Setahun kemudian Sunan Gunung Jati menikah dengan putri Kaisar Cina bernama Ong Tien yang setelah menikah berganti nama menjadi Nyi Ratu Rara Sumanding. Putri Cina inilah yang memberikan pengaruh hiasan dinding menggunakan porselen Cina di Keraton Pakungwati. Tapi selain keramik Cina, digunakan juga keramik Eropa. Seperti keramik Delft yang tadi kita lihat di dinding antara Bangsal Prabayaksa dengan Bangsal Panembahan.
Pengalaman Adep waktu survey, untuk memasuki Keraton Kanoman kita harus melewati pasar. Tapi bapak-bapak dari Dinas Pariwisata Kebudayaan Cirebon kali ini mengajak kita lewat jalan belakang. ‘Backstreet ya,’ komentar salah seorang peserta. Hmmm… backstreet buat kebaikan boleh aja kan ??
Eh ternyata backstreet kita tidak direstui oleh Lurah Keraton Kanoman L Ia meminta kita tetap lewat depan. ‘Alangkah baiknya datang tampak muka, pulang tampak punggung,’ katanya. Padahal kita sudah masuk ke dalam pekarangan Keraton. Jadilah kita beriring-iringan jalan ke luar Keraton, ke bagian depan. Di sana Pak Lurah menerangkan tentang bagian-bagian dari Keraton Kanoman.
Di hadapan Keraton ada alun-alun Kanoman, tempat pelaksanaan upacara besar seperti iring-iringan Panjang Jimat. Di tengah-tengah alun-alun ada pohon Beringin dalam kurungan yang disebut ‘Weringin Kurung’ sebagai lambang pengayoman. Tempat kita berdiri mendengar penjelasan Pak Lurah adalah bangunan Siti Inggil, tempat dimainkannya gamelan Sekaten pada tanggal 7 hingga 12 Maulud. Di sebelah barat Siti Inggil terdapat Bangsal Pancaniti, tempat jaga abdi dalem. Ada dua macam abdi dalem ; abdi dalem dari rakyat biasa dan abdi dalem magersari yang tinggal di sekitar Keraton. Bangsal Pancaniti ini dinaungi atap Malang Semirang, yang merupakan atap khas Cirebon.
Berhadap-hadapan dengan Bangsal Pancaniti adalah Mande Pancaratna, tempat kerabat Sultan berdiri berjaga-jaga. Di dekat Mande Pancaratna ada Lumpang dan Alu. Menurut kepercayaan Hindu, lumpang dan alu merupakan lambang kesuburan. Tetapi di masyarakat Cirebon, lumpang dan alu di Keraton Kanoman ini merupakan cikal bakal berdirinya kota Cirebon. Lumpang dan alu digunakan oleh Pangeran Walangsungsang menumbuk rebon atau udang kecil untuk memperolah airnya untuk dibuat terasi. Ci = cai, air ; rebon = udang kecil ; Cirebon = air dari udang kecil. Saat ia menumbuk rebon itu orang-orang di sekitarnya mengatakan, ‘Geura age, geura age.’ Maksudnya biar terasinya cepat jadi. Kata-kata ‘Geura age’ disingkat menjadi ‘Grage’. Oleh karena itu Grage juga menjadi sebutan untuk kota Cirebon. Sekarang di Cirebon ada plaza bernama ‘Grage Mall’.
Untuk memasuki Keraton, ada dua pintu yang dibuka hanya pada saat-saat khusus. Lawang Siblawong yang digunakan untuk melalui iring-iringan Panjang Jimat dan Lawang Kejaksan. Kedua pintu ini memiliki daun pintu besar yang terbuat dari kayu Jati. Kebayang kan beratnya kayak apa. Di dekat pintu itu ada Balai Paseban, tempat rakyat lapor kepada Lurah dan menunggu sebelum menghadap Sultan Kanoman.
Mendekati Pendopo Jinem – tempat Sultan Kanoman menerima kunjugan masyarakat – terdapat Bangsal Singabrata yang merupakan ruang tunggu sesepuh Sultan sebelum menghadap. Di seberang Bangsal Singabrata tapi terhalang tembok penyekat ada Bangsal Semirang, tempat seniman Keraton bekerja. Seniman-seniman ini dalam membuat karyanya tidak melewati tahap design atau perancangan. Mereka langsung bekerja membuat karya. Sepertinya design atau rancangan karya yang akan dibuat sudah terpatri di benak mereka. (Lha… kayak irma, nulis nggak pake konsep. pokoknya apa yang terlintas di kepala ya itu yang ditulis. tapi irma bukan seniman lho …).
Pak Lurah mengajak kita masuk ke museum Keraton yang terdapat di dekat Bangsal Singabrata. ‘Irma, itu atapnya seperti mau runtuh ya,’ khawatir Pak Amran menunjuk tengah-tengah atap bangunan museum yang melengkung ke bawah. Waaa… iya L mudah-mudahan kita aman-aman aja di dalamnya. Di dalam museum kita bisa melihat kereta Paksi Naga Liman. Sama seperti kereta Singa Barong di Keraton Kasepuhan, kereta ini mengambil bentuk dari tiga ekor hewan ; Paksi = burung, hewan udara, Naga = hewan laut, Liman = gajah, hewan darat. Jadi maksud Paksi Naga Liman ialah untuk menjaga keutuhan suatu negara maka kita perlu menggalang kekuatan dan persatuan dari unsur udara, laut dan darat. Naaa… ingat-ingat itu ya !
Kereta Paksi Naga Liman adalah kereta Sunan Gunung Jati yang dibuat pada tahun 1428. Kereta ini terbuat dari kayu sawo dan memiliki roda cekung ke dalam yang katanya anti slip. Dulunya kereta ini ditarik oleh enam ekor kuda. Tapi ya sekarang nggak dipake lagi. Kalau nggak salah, kereta ini terakhir dipakai pada tahun 1936. Pembuatnya adalah Pangeran Losari. Pangeran ini juga yang membuat kereta Jempana yang terletak di sebelah kereta Paksi Naga Liman.
Nama Jempana berasal dari kata ‘Jem-jem an dalam hati’. Tadinya irma kira artinya adalah ‘Yang memberikan kedamaian dalam hati’ , tapi ternyata artinya adalah sungguh-sungguh hati atau setia. Kereta Jempana dulu digunakan untuk kereta permaisuri. Dibuat pada tahun 1428, kereta ini dihiasi ukel-ukelan khas Cirebon alias Mega Mendung.
Masih banyak koleksi museum Keraton Kanoman selain kedua kereta antik itu. Tapi irma nggak nyimak lebih lanjut penjelasan Pak Lurah abisnya irma udah keburu kesakitan jadi irma bergegas keluar dan duduk di bawah pohon rindang di tengah pekarangan Keraton. Nggak berapa lama rombongan keluar dari museum dan Pak Lurah mengajak kita naik ke Pendopo Jinem.
Di balik Pendopo Jinem terdapat Bangsal Prabayaksa, tempat tinggal Sultan Kanoman beserta keluarganya dan Mande Mastaka, singgasana Sultan Kanoman. Tapi kita hanya masuk sampai ke Pendopo Jinem, lalu duduk di sana menunggu Sultan Kanoman dan istrinya keluar menemui rombongan Batmus.
Nah, tuh dia Sultan Kanoman nya keluar. Yang bertahta sekarang adalah Sultan Raja Muhammad Emirudin, Sultan Kanoman ke 12. Beliau masih muda, baru 32 tahun. Pak Lurah bersimpuh di hadapannya. Setelah memberi salam dengan menangkupkan kedua tangannya di hadapan muka, Pak Lurah memberitahukan ada rombongan Sahabat Museum datang berkunjung ke Keraton. Sultan memperkenankan kita untuk foto bersama dan salaman dengan beliau. Abis foto dan salaman, Pak Lurah mengajak kita ke dalam untuk melihat bangunan lain dari Keraton. Tapi karena kita harus segera menuju Keraton Kacirebonan terpaksa tawaran itu kita tolak. Aduh sayang ya, padahal kapan lagi kita berkesempatan masuk-masuk ke dalam Keraton ?
Sebelum pulang kita pamit dan bersalaman dengan sekelompok pria berbaju hitam-hitam dan penutup kepala merah yang berdiri membentuk pagar di Pendopo Jinem. Mereka adalah Kemantren, prajurit penjaga Sultan yang berasal dari para santri di pesantren. Sejak kita datang sampai kita pulang mereka berdiriiiii terus di situ. Mungkin memang tugas mereka berjaga-jaga di sana, biarpun tidak ada tamu.
Kita kembali ke bis lewat jalan belakang. Backstreet kali ini direstui oleh Pak Lurah, hehehehe. Di bis menuju Keraton Kacirebonan Pak Iman bercerita tentang konflik yang sedang berlangsung di Keraton Kanoman. Saat Sultan Kanoman ke 11 wafat, ia meninggalkan wasiat yang mengatakan penerus kesultanan adalah anak dari selirnya. Wasiat ini memiliki kekuatan hukum. Namun anak-anak permaisuri tidak setuju akan wasiat ini karena selama ini secara tradisi penerus kesultanan adalah anak laki-laki dari Permaisuri atau Garwa Padmi. Jadi sampai sekarang, apakah sudah diputuskan Sultan Kanoman yang ke 12 itu Pangeran Raja Muhammad Emirudin – putra permaisuri, yang tadi kita salami, atau Pangeran Saladin – putra selir ? ‘Kalau misalnya Pak Walikota mau ngundang Sultan Kanoman, yang datang yang mana ?’ tanya Wahyudi. Pak Iman bilang untuk urusan dengan pemerintahan biasanya Pangeran Saladin yang ngurus-ngurus. Sementara Pangeran Raja Emirudin ngurus hal-hal lain, misalnya tentang masyarakat di sekitar Keraton. Mungkin memang sejak dulu sudah ada pembagian tugas masing-masing. Oh ya, ada perbedaan gelar antara putra Permaisuri dengan putra selir. Putra Permaisuri bergelar ‘Pangeran Raja’ sedangkan putra selir bergelar ‘Pangeran’. Demikian juga dengan gelar putri atau anak perempuan. ‘Ratu Raja’ untuk putri Permaisuri dan ‘Ratu’ untuk putri selir. Tapi Ratu yang nyanyi ‘TTM’ dan ‘Buaya Darat’ nggak ada hubungannya dengan Keraton Kanoman lho …
Cirebon terbagi menjadi Keraton Kasepuhan dan Kanoman setelah Sultan Cirebon yang ke 6 – Panembahan Ratu II – membagi wilayah kerajaan kepada kedua putranya ; Pangeran Martawijaya bergelar Sultan Kasepuhan dan Pangeran Kertawijaya bergelar Sultan Kanoman. Keraton Kasepuhan dibangun dengan memperluas Keraton Pakungwati, sedangkan Keraton Kanoman dibangun dengan memperluas bangunan Witana yang merupakan cikal bakal kota Cirebon. Pembangunan kedua Keraton tersebut dilakukan oleh arsitek Sultan Ageng Tirtayasa Banten pada tahun 1588.
Nggak sampai lima belas menit kita sampai di Keraton Kacirebonan. Di sana kita disambut dengan alat musik berbunyi seperti kolintang yang dimainkan oleh seorang abdi dalem. Suaranya sih seperti kolintang, tapi sebenarnya alat musik itu merupakan bagian dari gamelan. ‘Wah betah nih gue di sini,’ Rahmat duduk bersila di depan abdi dalem tadi. Memang enak dengarkan suaranya. Tenaaaaang gitu.
Di sekitar gamelan yang dimainkan abdi dalem tadi banyak terdapat wayang kulit, wayang golek dan topeng khas Cirebon. Tau kan tari Topeng Cirebon yang terkenal itu ? Dulu tari Topeng digunakan oleh Wali Sanga sebagai media penyebaran agama Islam. Salah satu tari Topeng yang terkenal adalah tari Topeng Kecil yang dimainkan oleh satu orang penari yang mewakili beberapa karakter. Tari Topeng Kecil menggambarkan perjalanan hidup manusia. Ada lima jenis topeng yang digunakan dalam tarian ini. Yang pertama adalah topeng Panji berwarna putih berseri, lambang kebersihan dan kesucian sebagaimana layaknya bayi yang baru dilahirkan dengan karakter halus dan alim. Yang kedua topeng Pamindo atau Samba, menggambarkan kehidupan seseorang memasuki usia remaja yang penuh semangat bergelora dan emosional. Topeng Pamindo berwarna putih dengan rambut ikal di dahi. Yang ketiga adalah topeng Rumyang berwarna jingga, lambang peralihan masa remaja ke dewasa yang mulai mengerti arti kehidupan. Karakter Rumyang agak genit bercampur alim (kayak gimana ya ??). Rumyang berasal dari kata ‘arum’ dan ‘nyang’ yang artinya harum dan semerbak. Rumyang menunjukkan keadaan remaja yang selalu optimis dan penuh percaya diri.
Tari Topeng Tumenggung dengan rias wajah merah dan kumis tipis menggambarkan kehidupan seseorang yang memiliki kedudukan dan rasa tanggung jawab tinggi sesuai kadar kedewasaannya. Tari topeng ini berkarakter gagah dan tangguh. Tari topeng kecil terakhir adalah Topeng Klana atau Rowana yang mengenakan topeng warna merah padam dan kumis tebal menyeramkan. Karakternya gagah dan besar. Topeng Klana ini menggambarkan orang yang serakah, angkuh, murka dan tidak dapat mengendalikan diri sendiri. Tariannya menggambarkan puncak fase kehidupan manusia yang selalu berkelana dalam kebebasan dari pengaruh hawa nafsu. Dalam tarian Klana ada gerakan yang menunjukkan keserakahan manusia tanpa batas dan pendupaan sebagai media persembahan penari. Ini menunjukkan pergaulan manusia serakah karena jiwanya dikendalikan iblis. Pada akhir tarian sang penari akan mencopot topeng Klana dari wajahnya dan menunduk santun penuh kepasrahan. Arti dari ending ini adalah untuk mengingatkan manusia untuk melepaskan diri dari pengaruh iblis dan pasrah serta berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Tari Topeng Klana diiringi dengan musik hingar bingar seolah tak beraturan, tetapi penarinya tetap menari tanpa menyimpang dari pakem gerakan tari yang ditetapkan.
Untuk menari Topeng Cirebon diperlukan fisik yang stamina. Katanya nih, sekarang sudah tidak banyak penari Topeng Cirebon sekharismatik penari zaman dulu. Siapa tuh Oma Anna, nama penari Topeng Cirebon yang tersohor itu, Ibu Rasinah ?? Penari ini sudah tua tapi kalau di atas panggung, wuih seolah tidak mengenal usia lanjut. Konon untuk menari Topeng musti puasa dulu dan ada beberapa pantangan lainnya. Nungki Kusumawati, seorang penari yang juga pemain sinetron dan dosen IKJ, pernah meneliti dan mempelajari lebih lanjut mengenai Tari Topeng Cirebon. Jadi kalau mau tau lebih banyak tentang tari Topeng Cirebon, tanya do’i aja lah …
Ela mencoba berpose mengenakan topeng Klana. ‘Bentar ya, tahan, tahan,’ kata Mbak Ade yang memotretnya. ‘Emang bisa napas La ?’ tanya irma. Ela mengeluarkan suara gumaman nggak jelas. Begitu pemotretan selesai Ela segera melepas topeng. Hahahahaha di mulut Ela tersumpal sekepal tissue ! Uhuk uhuk, Ela terbatuk. Sebenarnya cara menahan topeng di wajah adalah dengan menggigit secarik kulit di bagian dagu sebelah dalam dari topeng. Mungkin Ela melapisi kulit yang digigit itu dengan tissue. Untung Ela masih bisa napas !
Dari dalam bangunan Keraton Kacirebonan keluar Pangeran Raja Abdul Gani, Pangeran Kacirebonan ke 9. ‘Mangga, mangga,’ ramah beliau mempersilakan kita duduk di kursi dalam pendopo. (‘Pangeran, mangga yang di pohon boleh diambil nggak ?’ tanya irma dalam hati. hah, dasar si irma penggemar mangga ! ) Pangeran Raja bercerita singkat tentang Keraton Kacirebonan. Keraton ini menginduk ke Keraton Kanoman, berdiri sejak tahun 1808 setelah masa kesultanan Sultan Kanoman ke 4. Keraton ini memiliki lambang tiga ekor ikan dan buah mangga, kalau Keraton Kanoman kan lambangnya padi. Hanya Sultan Kacirebonan ke 1 yang bergelar ‘Sultan’. Untuk pimpinan Keraton Kacirebonan berikutnya Belanda hanya membolehkan bergelar ‘Pangeran’. Sultan Kacirebonan ke 1 pernah dibuang ke Ambon oleh Belanda. Tapi kemudian dikembalikan lagi ke Cirebon karena perlawanan rakyat terhadap Belanda tak kunjung henti.
‘Keraton Kacirebonan ini kecil, peninggalannya bangunan dan pusaka. Saya terima kasih sekali meskipun kecil Keraton Kacirebonan tetap dikunjungi,’ kata Pangeran Raja Abdul Gani. Wah, kita kan tidak melihat besar atau kecilnya, tapi nilai sejarahnya. Pangeran Raja memberikan tulisannya mengenai sejarah Keraton Kacirebonan kepada Ibu Wisda. So teman-teman, kalau mau tau lebih banyak tentang Keraton ini, tanya aja ke Adep atau Deedee ya …
Pangeran Raja ini enak banget diajak ngobrol. Agung yang dari Semarang datang menghampiri Pangeran Raja lalu duduk di sebelahnya. Wah, orang dua ini mirip ! Kayak kakak-adek aja. ‘Oh ini Sultan Agung Semarang nih ya,’ kata Pangeran Raja setelah Agung memperkenalkan diri. Hahahahaha kita jadi ketawa. Pangeran Raja suka becanda juga ya.
‘Pangeran, kita boleh nggak lihat ke dalam Keraton ?’ tanya Bu Wisda. ‘Oh boleh, boleh, silakan,’ Pangeran Raja memimpin kita masuk ke dalam. Di sana beliau menunjukkan foto-foto Pangeran Kacirebonan sebelumnya. Juga panji-panji Keraton Kacirebonan dan sepasang kursi pengantin. Ada yang mau duduk di situ ? Sapa tau jadi cepat married, hahahahaha ….
‘Ini urut-urutan prosesi upacara Panjang Jimat,’ kata Pangeran Raja waktu seorang peserta bertanya tentang sebuah flowchart di dinding. Upacara Panjang Jimat adalah upacara pencucian Panjang dan Jimat Keraton. Umumnya Panjang terdiri dari piring keramik Ming warna biru yang dihiasi tulisan Arab seperti dua kalimat Syahadat dan ayat kursi. Pembuatan Panjang ini melalui pesanan khusus. Panjang juga bisa berupa baki atau piring besar. Jimat Keraton biasanya berupa pusaka, keris, kujang, atau tombak. Pada upacara Panjang Jimat, air cucian Panjang dan Jimat akan diperebutkan rakyat karena dipercaya mengandung khasiat dan mendatangkan rezeki. Upacara Panjang Jimat dilakukan saat Mauludan atau perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW.
Waktu sudah hampir menunjukkan pukul dua belas siang. Kita berpamitan kepada Pangeran Raja Abdul Gani, lalu berangkat menuju rumah makan Citra Kuring untuk makan siang. Menu makan siangnya nasi timbel. Setelah makan siang seharusnya kita ke Tamansari Gua Sunyaragi. Tapi karena pertimbangan lokasi maka urutan itinerary diubah. Jadi abis makan kita ke Gedung Balai Kota Cirebon.
Gedung Balai Kota Cirebon dibangun pada tahun 1922an oleh arsitek yang sama dengan yang membangun Gedung Negara, tempat kita makan tadi malam. Ciri khas gedung ini adalah empat ekor udang yang nemplok di puncak gedung. Yaaa namanya juga Kota Udang, jadi cirinya dipasang dong. Tapi biarpun kotanya Kota Udang bukan berarti orang Cirebon tuh berotak udang lho …
Sayang kita tidak bisa menjelajahi Gedung Balai Kota ini. Padahal tadinya Bapak dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan ingin menunjukkan tulisan dalam bahasa Esperanto yang ada di kaca patri di atas pintu masuk ruang kerja Walikota. ‘Bahasa Esperanto itu gabungan dari beberapa bahasa tapi banyak dipengaruhi bahasa Spanyol. Tadinya bahasa Esperanto itu mau dipakai sebagai bahasa internasional seperti bahasa Inggris. Ada kamusnya lho,’ papar Galuh. Tulisan berbahasa Esperanto di atas pintu itu memiliki arti ‘Dari lumpur onak dan duri menuju bintang.’ Walah, apa maksudnya tuh ???
Ya sudah, tidak bisa lihat tulisan itu jadi kita duduk-duduk menikmati adem lobby gedung yang banyak dihiasi ukel-ukelan Mega Mendung. Lalu Adep mengajak kita untuk berfoto bareng spanduk di halaman gedung. Abis itu kembali ke bis untuk berangkat ke Tamansari Gua Sunyaragi.
Naaaa pada saat mau berangkat ini lah terjadi kehebohan. ‘Danan mana ? Danan ?’ Wahyudi menyadari teman sekamarnya tidak ada di bis. Deedee dan Adep coba menghubungi Danan tapi telpon ke handphonenya nggak dijawab-jawab. Akhirnya Adep, Joe, Ical, Ninta, Agung dan Wahyudi turun dari bis dan mencari-cari Danan ke penjuru Gedung Balai Kota. Bahkan toilet pun mereka datangi.
Nggak ada juga ! Wah bagaimana ini ? ‘Coba lihat di kaca-kaca jendela, ada Danan nggak ?’ seru Mama Oen. Haaa kok di jendela ? Emang Danan berubah jadi boneka Garfield yang suka nempel di kaca ?? Beberapa peserta mulai mengkaitkan hilangnya Danan dengan ‘diculik’ oleh yang tak terlihat. ‘Panggil orang pinter,’ ada yang memberi usul. Lha, semua peserta PTD ini pinter-pinter kok ?? ‘Bukan, orang pinter yang itu tuh …’ ujar peserta tadi. Oh maksudnya yang bisa melihat yang tak kasat mata …
‘Wah ini kursi panas ! Harus difoto. Ke mana orang nya ?’ Mama Oen memotret kursi Danan yang terletak di depan tempat duduk Mama Oen. Iya mungkin kalau difoto gitu malah muncul orangnya, triiinggg ! Hahaha irma ngekhayal banget deh !
Eh tapi bener kok ! Setelah Mama Oen memotret kursinya, Danan lalu muncul. Tapi bukan di kursinya. Berjalan dari luar halaman gedung, Danan digelandang oleh Ninta dan Joe. Haaaa…. dari mana dia ? Padahal tadi udah ada yang ngecek ke toko kue di sebelah Gedung Balai Kota, Danan nggak ada di sana. ‘Waaah, kayaknya Danan kopi darat nih,’ celetuk Deedee, ‘dia kenalan sama cewek Cirebon lewat chatting trus janjian ketemuan waktu PTD.’ Hahaha, masa’ sih ? Tanya langsung sama Danan aja deh ke mana dia pergi, sampai bikin panik gini. Dengan gemas Bu Wisda memukul bahu Danan waktu dia lewat bis 2. Hihihihi, emang enak dipukul Bu Guru ??
Ok udah lengkap semua. Kita bergerak menuju Tamansari Gua Sunyaragi melalui daerah Karanggetas. Katanya nih, orang yang punya niat tidak baik biasanya tidak berani lewat Karanggetas. Di tempat ini dulu Sunan Gunung Jati memotong rambut Pangeran Soka. Pangeran Soka memiliki rambut yang sangat panjang tapi tidak bisa dipotong. Ia merantau hingga ke Cirebon dan bertemu dengan Sunan Gunung Jati. Ternyata, setelah bertemu dengan Sunan Gunung Jati rambutnya menjadi getas (mudah patah). Naaa bisa dipangkas deh rambutnya. Setelah potong rambut ia berguru kepada Sunan Gunung Jati. Karena dulu rambutnya panjang banget sampai harus digelung, maka ia diberi gelar Syekh Magelung Sakti.
Sampai di Tamansari Gua Sunyaragi yang berada di bawah pemeliharaan Yayasan Keraton Kasepuhan, kita disambut oleh pemandu Bapak R. Budi Slamet. Ternyata Bapak ini fasih bahasa asing juga. Tau di antara peserta ada bule Belanda – Nico – eh Pak Budi langsung nyerocos bahasa Belanda. Ya kita yang pribumi kan jadi bengong, nggak ngerti.
Sunyaragi berasal dari kata ‘sunya’ yang berarti sunyi , dan ‘ragi’ yang berarti raga. Tamansari Gua Sunyaragi adalah tempat mensucikan diri untuk mencapai kekebalan. Gua Sunyaragi didirikan oleh Pangeran Kararangen – cicit Sunan Gunung Jati – pada tahun 1703 dengan bantuan tiga orang arsitek Cina. Salah satu arsitek Cina itu adalah Sam Po Kong. Ada sepuluh gua dan beberapa tempat suci di dalam komplek Tamansari Gua Sunyaragi. Pak Budi mengajak kita untuk menyusurinya satu per satu.
Yang pertama kita masuki adalah Gua Pengawal. Masuk ke dalam sini kita harus menunduk karena langit-langit gua yang rendah. Ternyata ini ada maknanya juga. Yaitu sebagai orang muda kita harus tunduk dan hormat kepada orang tua. Di dalam gua ini ada semacam fitting room untuk ganti baju para penjaga.
Keluar dari Gua Pengawal kita masuk ke Gua Pandekemasan, tempat pembuatan senjata tajam. Lalu masuk Gua Simanjang, tempat penjaga. Dari sana masuk ke Bangsal Jinem, tempat penyampaian pidato yang baik dan puji-pujian. Trus kita sampai di Mande Beling, tempat istirahat Sultan dan keluarganya. Mande itu artinya tempat, beling artinya kaca. Tapi yang dipake di sini bukan kaca tuh, melainkan marmer. Ya nggak jauh beda lah, marmer nya bisa dipakai buat berkaca kok.
Dari Mande Beling kita turun ke sebuah cekungan. Di sana terdapat patung batu bernama Patung Gajah Derum Narik Kereta. Kelihatan lho bentuk gajahnya. Kepercayaan masyarakat setempat, jika terjadi kekeringan dan Patung Gajah Derum Narik Kereta ini dimandikan oleh air kembang tujuh rupa, maka dalam beberapa hari akan turun hujan. Mau coba ? Kebetulan siang ini paaa…annasss banget !
Sekarang kita mau masuk ke Gua Peteng. Peteng artinya gelap. Memang gelap di dalam sana. Jika Sultan bermeditasi di dalam Gua Peteng, beliau bisa mengetahui kejadian di Gunung Jati tanpa perlu beliau ke sana. Eits, hati-hati ! Di hadapan pintu masuk Gua Peteng ada Patung Perawan Sunting. Gadis yang menyentuh Patung Perawan Sunting ini akan sulit memperoleh jodoh. ‘Woaaaa…. gue nggak mau lewat sana,’ Deedee mengambil jalan memutar. ‘Gimana kalau yang nyentuh anak laki-laki Pak ?’ tanya seorang peserta ibu-ibu. ‘No problem. Nggak apa-apa,’ kalem jawab Pak Budi. Ibu yang bertanya itu menarik napas lega. Rupanya tadi anaknya megang-megang Patung Perawan Sunting.
Di sebelah kiri Gua Peteng ada Gua Langse. Langse artinya tirai. Gua Langse ini tempat Sultan bermeditasi. Saat bermeditasi begitu beliau tidak bisa terlihat dari depan, karena tertutup tirai air yang mengalir dari atas gua. Wuih, kayaknya keren tuh. Sayang sekarang nggak ada lagi aliran airnya L
Keluar dari Gua Peteng kita meniti titian kayu ke Bale Kambang. Bale Kambang adalah bale terapung di atas air, tempat seorang pria mainkan gamelan menyambut tamu. Sekarang kolam air tempat Bale Kambang berdiri ini udah kering. Agak gamang juga berjalan di titiannya, abis dari titian ke dasar kolam lumayan tinggi.
Dari Bale Kambang kita melewati titian lagi untuk nyebrang ke Arga Jumut. ‘Arga’ artinya jamuan, ‘Jumut’ artinya tempat mengambil keputusan. Di sini ada relief motif ukel-ukelan Mega Mendung. Dipercaya bahwa motif Mega Mendung akan melindungi pemakainya dari hujan. Jadi waktu dia berjalan, dia tidak akan basah karena hujan baru akan turun setelah dia sampai di tempat tujuan. Wah kalau gitu nggak perlu bawa payung ya. Asik juga J
Di Arga Jumut ada meja perundingan yang dulunya ditutupi batu marmer. Karena dikatakan pusat kekuatan Kerajaan Cirebon ada di sini, Arga Jumut pernah dibom Belanda hingga sebagian atapnya menjadi miring. Di hadapan meja perundingan ini ada gua meditasi ke Cina (sebelah kiri) dan ke Mekah (sebelah kanan). Konon hanya dalam tempo lima menit bisa mencapai Cina atau Mekah melalui gua meditasi itu. Tapi ini hanya berlaku untuk orang yang berilmu tinggi.
Kita masuk ke ruang jamuan yang terdapat di sebelah gua meditasi ke Cina. Aliran udara di ruang ini bagus sehingga kita tidak merasa kepanasan di dalamnya. Di ruang jamuan inilah Sultan dan para petinggi Keraton mengambil keputusan.
Dari Arga Jumut kita nyebrang balik lagi ke Bale Kambang lalu masuk ke Gua Padang Hati. Masuk gua ini katanya bakalan ketemu jodoh. Hihihi, langsung deh pada semangat masuk dan muter-muter di dalam Gua Padang Hati.
Keluar Gua Padang Hati, Pak Budi mengajak kita berkumpul di bawah pohon rindang. Ada apaan sih ? Rupanya di sana ada makam Sam Po Kong, salah satu arsitek yang membangun Tamansari Gua Sunyaragi. Dalam buku-buku yang dibawa oleh turis-turis Cina dikatakan bahwa pada nisannya terdapat relief kaligrafi wali Islam dari Cina. Tapi sekarang sih di sana tidak terbaca apa-apa, polos aja. Atau mungkin memang ada reliefnya tapi kita nya yang nggak bisa baca ??
Masih ada beberapa gua lagi di dalam kompleks ini. Ada Gua Kelanggengan tempat meditasi keluarga Keraton agar hubungan kekeluargaannya tetap langgeng dan harmonis. Gua Lawa yang katanya dulu di dalamnya banyak kelelawar, dan Gua Pawon tempat menyimpan makanan yang sudah dimasak di Keraton atau pun Gunung Jati.
Nah, selesai sudah kunjungan kita ke Tamansari Gua Sunyaragi. Tujuan berikutnya adalah Batik Trusmi, sentra batik Cirebon. Trusmi singkatan dari Terus Bersemi. Ada beberapa showroom batik di sana. Tapi yang biasa direkomendasikan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Cirebon adalah Batik Masina. Ke sana lah irma melihat-lihat batik. Sebelumnya irma gabung dengan peserta lain yang diajak Bu Wisda masuk ke dalam gang, mengunjungi salah satu showroom batik. Tapi karena di sana terlalu banyak orang irma jadi nggak bisa memilih. Akhirnya di sana irma cuma duduk-duduk dan makan kerupuk melarat yang disediakan. Kerupuk melarat adalah kerupuk khas Cirebon. Kerupuk ini tidak digoreng menggunakan minyak tetapi pakai pasir.
Sampai di Batik Masina irma lihat Elida lagi menggelar kain-kain batik yang akan dipilihnya. Apa sih bedanya batik Cirebon dengan Pekalongan, kan sama-sama daerah Pesisir ? Elida yang paham tentang batik menjelaskan perbedaannya. Setelah bertanya-tanya pendapat Mama Oen dan Elida, akhirnya irma memilih sehelai kain batik Cirebon warna hijau tua dan merah. Meskipun ada yang komentar motif tumpalnya terlalu sederhana dan warnanya terlalu tua buat orang muda seperti irma, tapi irma tetap memilih batik itu. Ya sukanya sama yang itu kok. Yang bagus menurut orang lain kan belum tentu sreg di hati irma. Jadi kalau ada yang berkomentar nggak enak tentang pilihan irma, ya sudah irma tulikan saja telinga irma.
Menjelang jam lima kita kumpul di meeting point untuk naik bis. Karena jalannya sempit maka tadi kita cuma didrop dan bis nya pergi ke jalan yang lebih luas untuk parkir. Janjinya jam lima kita udah harus siap. Eh ternyata setelah bis nya datang dan kita pada naik, masih ada dua orang yang tertinggal. Kali ini giliran bis 2 yang kehilangan penumpangnya. Vari dan Fide yang ketinggalan itu lalu menelpon Deedee. Deedee menyuruh mereka untuk naik becak dan menyusul bis yang sudah sampai di jalan masuk menuju sentra Batik Trusmi.
Setelah Vari dan Fide bergabung kita pun berangkat menuju Jakarta. Sampai di sini kebersamaan kita dengan Pak Iman dan Pak Ibnu. Pak Ibnu adalah staf Dinas Pariwisata Cirebon sub bidang Promosi dan Pemasaran. Beliau berterima kasih sekali Batmus sudah datang berkunjung ke Cirebon. Diharapkan kunjungan ini bukan yang terakhir. Oh ya, sebelum berpisah Pak Iman sempat menyanyikan sebait lagu daerah Cirebon. Arti syairnya kurang lebih seperti ini ;
Kota Cirebon
Kota di pinggir laut
Tapal batas Jawa Tengah – Jawa Barat
Selagi hidup, selagi muda, selagi sehat
Banyaklah cari ilmu untuk bekal hidup
Waaaa Bapak … makasih nasehatnya. Semoga kita mendapat ilmu yang bermanfaat dari PTD ini J Pak Iman dan Pak Ibnu lalu turun dari bis. Kita dadah-dadah sama kedua bapak ini dan bis pun melaju masuk jalan tol.
Perut irma udah kelaperan banget waktu bis berhenti di Rumah Makan Pesona Laut di jalan raya Pantura, Indramayu untuk makan malam. Katanya nih RM Pesona Laut, ‘Rajanya Ikan Bakar’. Tapi lagi-lagiiiii irma kehabisan ikan bakar L Akhirnya irma makan pake gurame asam manis aja. Pake tertipu lagi ! Ternyata gurame yang irma ambil bukan dagingnya, tapi bagian tulang-belulang L Untung nggak sampai tertelan tulangnya.
Selesai makan ada pemberian hadiah, ucapan terima kasih kepada kedua supir bis Blue Bird yang mengantar kita selama PTD. Pak Purnomo – supir bis 2 – tadi udah dikasih. Jadi sekarang giliran Pak Slamet – supir bis 1. Kepada kedua bapak supir ini juga diberikan tip hasil saweran para peserta. Makasih ya bapak-bapak.
Jam delapan malam perjalanan lanjut lagi. Di bis 1 diputar DVD Space Jam, tentang Bugs Bunny yang main basket sama Michael Jordan. Tapi kayaknya para peserta udah ngantuk. Pada tidur tuh. Irma juga tidur. Waktu bis masuk tol dalam kota Jakarta Wahyudi membangunkan irma untuk siap-siap.
Jam sebelas malam bis masuk Parkir Timur Senayan. Irma dan Wahyudi bergegas turun bis dan jalan kaki ke Sudirman untuk mencari taksi. Nggak sempat pamit sama yang lain. Bukan apa-apa, nyeri di perut irma makin menusuk-nusuk. Aduh sakiiiiiiiitttt sekali ! Kayaknya musti segera ke rumah sakit nih. Siap-siap aja deh masuk kamar bedah L
Pejaten, 3 Juli 2006
Hiks hik, sedih baaanget nggak boleh bersepeda selama beberapa bulan karena abis operasi usus buntu padahal bulan depan ada PTD Naik Sepeda Keliling Batavia … L
Referensi :
- Tim Yayasan Mitra Budaya Indonesia, ‘ Cerbon ’ , Penerbit Sinar Harapan, 1982
- ‘ Phyruz Magazine ’ , ed. II/Th. I/ June 2006
- Ali Budiardjo , ‘ Linggarjati : Langkah Pertama Menuju Dekolonisasi Indonesia ’
- ‘ Perundingan Linggarjati 10 – 13 Nopember 1946 ’ , buku panduan di Gedung Perundingan Linggarjati
- ‘ Keraton Kanoman Cirebon ’ , dari Museum Keraton Kanoman
- T.D. Sudjana, ‘ Wisata Budaya Melalui Pendekatan Sejarah ’ , Kesultanan Kanoman Cirebon
- P.S. Sulendraningrat, ‘ Babad Tanah Sunda Babad Cirebon ’ , 1984
- Hasan Basyari, ‘ Sekitar Komplek Makam Sunan Gunung Jati dan Sekilas Riwayatnya ’ , Zul Fana Cirebon, 1989
- Baidlowi Syamsuri, ‘ Kisah Wali Songo – Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa ’ , Apollo Surabaya, 1995
- Nara sumber selama PTD : Pak Iman Sugiman, Pemandu di Gedung Perundingan Linggarjati, Pak Nanan (Keraton Kasepuhan), Lurah Keraton Kanoman, Pangeran Raja Abdul Gani (Keraton Kacirebonan), Pak Budi (Tamansari Gua Sunyaragi), para bapak-bapak pendamping dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Cirebon.
ya ampun Irma, lagi sakit aja bisa bikin tulisan bagus & komplit begini, gimana kalo lagi "sehat" yak ???
ReplyDeletemau es krim strawberry ??? :-P
Ikutin deh kata dokternya, naek sepeda & jalan2 nanti2 juga bisa kaaan. yg penting tuh penyakit yg ganggu diilangin dulu.
ReplyDeleteCepet sembuh ya Ir.
Tq eskrim buwat summary PTDnya.. :D
ReplyDeleteTermasuk foto terkenal yang menunjukkan para wartawan negara asing duduk berundak-undak di tangga gedung, menulis laporan menggunakan mesin ketik.
Ma, yg kamu tulis diatas itu duduknya di Gedung Sjahrir.. Ingetkan, ada undak²annya..
BTW kemaren ada ide kita foto kaya foto tsb, tapi mesin tiknya diganti notebook... :D
http://rbptd.fotopic.net/
oh iya ya, di Gedung Sjahrir :D
ReplyDeletebtw kalo jadi kita foto di undak-undak itu dengan pose yang sama tapi pake notebook, perundingannya secara tele conference kali ya ... hihihihihi
hahahaha deedee, abis di rumah sakit boseeeeeeennnn
ReplyDeletetiduran mulu sampai kepala pusing
jadi begitu boleh duduk langsung minta dibawain laptop biar bisa lanjut nulis
es krim strawberry ? mau dong ... :D
udah, sumber penyakitnya udah dibuang
ReplyDeletesekarang tinggal penyembuhan pasca operasi aja
makasih ya nani ...