Cerita dari Surakarta Hadiningrat
irma agustina
Hari ke – 3 , Senin 10 April 2006
‘Hihi, tempat tidurnya berisik ya ?’ kata Ela waktu kita bangun tidur. Haha iya. Untung yang tidur di sini irma sama Ela. Gimana kalau pengantin beneran yang tidur ? Pindah ke bawah kali. Hahahahaha, udah ah nggak usah dibayangin !
Pagi ini kita agak santai bangunnya. Pesan sarapan jam delapan. Kali ini irma pesan nasi liwet, nasi khas Solo. Ela sama Wahyudi makan apa ya ? Lupa. Tapi pokoknya sarapan ini juga enak. Sebelumnya waktu irma lagi mandi Ela keliling-keliling Roemahkoe. Seluruh penjuru dipotretnya, termasuk seperangkat gamelan di belakang.
Ela sarapan dengan kepala dibungkus handuk. Abis cuci rambut ya. Lagi makan gitu datang Pak Sugi. ‘Aduh, Pak Sugi lagi !’ Ela panik nggak sempat sembunyi. Hihihi kayaknya Pak Sugi ngefans banget sama Ela. Tadi waktu mau sarapan Ela celingak-celinguk dulu sebelum keluar kamar, pastikan nggak ada orang lain akan perhatikan dia sarapan dengan kepala dibungkus handuk. Selain irma dan Wahyudi tentunya. Berharap nggak ada Pak Sugi ternyata malah didatangi. Hahahahahaaaa
Pak Sugi antarkan buku ‘House of Solo’ yang mau Ela beli. Ini buku tentang rumah-rumah di Solo, terutama rumah-rumah tua seperti Roemahkoe ini. Irma juga pengen beli, tapi yang Bahasa Indonesia aja. Judulnya ‘Rumah Solo’. Abis kalau baca yang bahasa Inggris takutnya irma nggak nangkep apa yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Buku ini ditulis oleh Krisnina Maharani Tandjung, atau lebih dikenal sebagai Ibu Nina Akbar Tanjung. Foto-foto Solo Tempo Doeloe dan rumah-rumah antik di Solo melengkapi tulisannya. Bagus-bagus lho fotonya. Seneng deh ngeliatinnya J
Acara hari ini jalan-jalan seputar Solo. Diawali dengan jalan-jalan seputar Laweyan melihat-lihat Kampoeng Batik. Laweyan adalah sebuah kampung dagang dan pusat industri batik yang berkembang sejak awal abad ke 20. Dulu Laweyan terbagi menjadi Laweyan Barat dan Laweyan Timur yang dipisahkan oleh Sungai Laweyan. Masyarakat Laweyan Barat banyak berhubungan dengan fasilitas yang disediakan oleh raja. Sedangkan Laweyan Timur yang banyak dihuni pedagang dan pengusaha batik, penduduknya lebih memusatkan perhatian pada kegiatan Pasar Laweyan. Pasar itu sekarang sudah tidak ada lagi dan menjadi Kampung Lor dan Kidul Pasar. Katanya pasar itu dulu terletak di pinggir Sungai Laweyan dan menjadi bandar perdagangan Laweyan. Perkembangan industri batik di Laweyan dipicu oleh didatangkannya alat pembatik cap yang menggantikan canting, sehingga batik dapat diproduksi secara massal dengan biaya lebih murah. Para pengusaha batik Laweyan mengembangkan batik sandang di tahun 1925 dan batik tedjo di tahun 1956. Industri batik inilah yang akan kita lihat di seputar Kampoeng Batik Laweyan pagi ini.
Pak Sugi membukakan pintu belakang Roemahkoe yang langsung tembus ke jalan belakang. ‘Selamat berjalan-jalan,’ katanya, ‘udah bawa uang yang banyak belum ? Batiknya bagus-bagus lho.’
Pak Sugi minta Mas Uma dari Karang Taruna setempat untuk mendampingi kita. Yang pertama kita kunjungi adalah Batik Putra Laweyan. Di sana kita disambut oleh Pak Gunawan, pemiliknya. Pak Gunawan mengajak kita ke belakang rumahnya, melihat dua orang pembatik masing-masing sedang menyelesaikan sehelai kain. Karena hari ini libur maka sebagian pekerjanya pun libur.
Selain kita bertiga ada juga dua orang mbak-mbak tamu Roemahkoe turut berkunjung ke Batik Putra Laweyan. Mereka didampingi oleh dua orang mas-mas dari Warna Warni Indonesia, event organizer pelaksana Pameran Batik dan Peluncuran Buku ‘Mbok Mase’ yang dilaksanakan beberapa hari sebelum kita ke Solo. Irma sempat sebel sama kedua mbak-mbak itu. Abis pas irma mau foto para pembatik yang sedang bekerja, mereka malah hilir mudik ngalangin pandangan. Sebeeeeeellllllllll … L
Akhirnya kedua mbak-mbak itu pergi juga. Mereka ke showroom di depan, ngliat-liat batik yang udah jadi. Sekarang kita leluasa mengabadikan ibu-ibu membatik. Mereka nggak terganggu tuh biarpun kita foto-foto dan tanya-tanya. Mas Uma dan Pak Gunawan juga banyak menerangkan.
Di hari biasa area produksi batik ini rame dengan pekerja. Ada yang membuat batik cap, ada yang memproses pewarnaan, ada juga seperti kedua ibu tadi membatik menggunakan canting. Yang sedang dikerjakan oleh kedua pembatik itu adalah campuran batik cap dengan batik tulis. Jadi motif batik itu sudah di ada di atas kain, dibuat pake cap. Udah dikasih warna juga. Sekarang dengan canting diberi lilin lagi buat proses pewarnaan berikutnya. Kalau mau tau lebih lanjut tentang macam-macam batik dan pewarnaannya bisa baca tulisan irma tentang PTD Ngebatik di Tenabang bulan Februari lalu (huuu … promosi !)
Wahyudi tertarik dengan lilin buat ngebatik. Lilin ini beda dengan lilin parafin yang biasa kita pakai kalau mati lampu di rumah. Lilin ngebatik terbuat dari campuran gondorukem, getah pohon mata kucing, parafin, dan beberapa bahan tambahan lainnya. Beda bahan kandungan, beda efek yang ditimbulkan terhadap kain. Misalnya parafin. Makin banyak parafin, makin kaku lilinnya. Nanti motif di kainnya seperti retak-retak.
Kalau irma, tertarik dengan … sepeda ! (dasar si irma penggemar sepeda ! ) Lihat di bagian belakang ruang produksi ada sepeda onthel parkir, irma langsung ke sana. Bukan sepeda kuno sih, tapi tetap aja menarik. Sepeda itu merk Phoenix, buatan Cina. Kalau di Jakarta sepeda itu banyak dipakai buat ojek sepeda di daerah Kota atau Tanjung Priok.
Puas lihat-lihat di area produksi kita lalu ke showroom. Betul Pak Sugi bilang. Batiknya cantik-cantik. Ada yang masih berupa bakal baju, kain panjang, kemeja, rok, scarf … pokoknya macem-macem deh. Tapi yang lagi banyak dipajang bajunya Tety. Itu lho, kemeja batik yang nggak pake lengan alias kutung. Irma bilang itu bajunya Tety abis inget Tety suka banget pake baju yang kayak gitu. Waktu kita ke Yogya Tety sempet-sempetin nyari baju kutung batik di Pasar Beringharjo. Rupanya Tety udah punya langganan pedagang batik di sana.
‘Kamu nggak beli rok ? Biasanya kamu suka rok batik,’ tanya Wahyudi. Pengen sih. Tapi perasaan rok batik irma udah banyaaaaak. Jadi irma cuma lihat-lihat aja. Sama bantuin Ela kasih pendapat waktu Ela bingung pilih kemeja. Ela nyobain kemeja batik tapi topi hijaunya tetap dipake. Kesannya kayak anak sekolah di hari Jumat, hahahahahahahaha.
Dari batik Putra Laweyan kita lanjut ke tempat jual batik dan kain tenun. Yang jualnya namanya Mbak Nana. ‘Mari, mari, silakan. Maaf lampunya nggak ada, lagi dipake buat pameran di Yogya,’ katanya mempersilakan kita masuk. Kebanyakan yang dijual di sini ornamen interior seperti bantal kursi, taplak meja, seprei, dan gorden. Ela yang emang lagi nyari-nyari seprei batik langsung asik memilih-milih. Irma kepengen juga. Tapi yang ukuran tempat tidur irma nggak ada L Gini deh kalau punya tempat tidur ukuran mini. Agak-agak susah nyari sepreinya.
Nggak nemu seprei tapi irma dapet kain batik motif yang irma suka. Belum tau nanti kainnya mau dijahit jadi apa, pokoknya dibeli aja dulu. ‘Ir, pilihan kain buat Ibu,’ Wahyudi minta tolong. Yang mana ya ? Menurut irma yang paling bagus ya motif yang irma pilih itu. Tapi … jangan kain yang sama dong. Masa’ nanti kembaran sama ‘ibu mertua’ ??? Huahahahahaha, ngkhayal apa sih si irma ini ? Akhirnya Wahyudi milih sendiri kain buat ibunya. Untung yang dia pilih nggak sama dengan kain yang irma beli, hihhihihihihiii J
Keluar dari tempat Mbak Nana, Mas Uma menunjukkan rumah besar di sebelahnya. ‘Ini rumah kembaran sama yang di sebelahnya, tapi yang ini nggak terurus,’ Mas Uma menjelaskan. ‘Nanti kalau boleh sama yang punyanya, kita bisa lihat (kembarannya).’ Ela mendekati rumah tua itu dan memotretnya. Di tempat Mbak Nana tadi kita nggak diperkenankan untuk memotret makanya kamera Ela disimpan baik-baik masuk ke dalam tas.
Lanjut jalan lagi. Dari kejauhan tampak umbul-umbul warna-warni. Setelah didekati baru ketahuan ternyata umbul-umbul itu dibuat dari sambungan kain-kain batik. Cuma di Laweyan sini nih ada umbul-umbul macem gini. Umbul-umbul batik. Cantik sekali. Irma sempat berfoto lagi megang umbul-umbul itu. Ela yang foto.
Waktu kita melewati salah satu lorong, di sana tampak sehelai kain panjang terentang diwarnai oleh tiga orang. Kita masuk ke sana dan perhatikan mereka bekerja. Dua orang pria dan seorang wanita bergantian memberi warna hijau, ungu dan jingga. Katanya itu adalah kain dasar sebelum diberi motif. ‘Ke dalam aja Mas,’ mereka menyarankan kita melihat proses batik di dalam.
Ternyata yang di dalam itu sedang mencap. Sejumlah pria berdiri di depan meja kerja masing-masing dengan sehelai kain yang sudah diberi warna. Setiap orang memegang cap dengan motif berbeda. Setelah dicap, kain digeser. Dicap lagi, digeser lagi. Begitu terus sampai kain itu tercap semua dari ujung ke ujung. Satu helai kain bisa mencapai berapa meter ya ? Pokoknya panjaaaaaang sekali. Hampir semua pria di ruangan itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek. Hawa di sana memang panas. Panas dari kompor yang menjaga lilin batik tetap cair dan panas dari proses pemasakan warna kain.
Seorang bapak dengan ramah menerangkan proses batik cap di sana. Pertama-tama kain diberi warna. Lalu dicap di atas meja kerja. Meja ini bukan meja sembarangan. Di atas meja dihamparkan beberapa lapis kertas semen, lalu busa atau spons yang diberi air. Trus dilapisi kertas semen lagi beberapa lapis. Paling atas ditutupi kertas kaca atau cellophane. Kalau kita pegang meja kerja ini terasa dingin. Ini disebabkan karena air di dalam spons tadi. Fungsinya agar lilin cepat kering dan mengeras setelah dicap.
Cap batik nya bikin di sini juga ? Nggak. Ternyata pembuatannya dilakukan oleh orang lain. Ada pengrajinnya sendiri. Tempatnya masih di Laweyan tapi agak jauh dari wilayah yang kita telusuri pagi ini. Tadinya Mas Uma mau ngajak ke sana juga. Tapi untuk kali ini kita lebih fokus lihat-lihat proses pembuatan batik dan rumah-rumah tua di Laweyan.
Sementara Wahyudi dan Mas Uma mengobrol dengan bapak-bapak yang sedang mencap itu, Ela dan irma naik tangga ke lantai atas. Di sana tergantung kain warna-warni yang sedang diangin-anginkan. Ada kain yang hanya satu warna, ada juga yang beberapa warna seperti tadi yang dikerjakan di lorong.
Terdengar Wahyudi memanggil irma dan Ela. Mungkin dia khawatir dua gadis manis ini keluyuran terlalu jauh. Irma dan Ela lalu turun. Setelah berpamitan dengan bapak-bapak di sana lalu kita lanjut jalan lagi.
Kita ke Situs Bandar Kabanaran. Situs ini terletak di tepi sungai. Dulunya di sana terdapat bandar atau pelabuhan Kerajaan Pajang yang menghubungkan Pasar Laweyan dengan Bandar Nusupan di tepi Bengawan Solo. Waktu itu sekitar tahun 1546. Sekarang di sana tinggal jembatan penghubung kedua tepi sungai dan papan nama situs saja.
Mas Uma mengajak kita memasuki gang-gang. Melihat-lihat kehidupan Laweyan sehari-hari. Sampai di satu rumah bobrok kita berhenti dan masuk ke dalamnya. Di sana sejumlah perempuan sedang membatik tapi bukan pakai canting atau cap. Mereka pakai kuas.
Kuas ? Kayak melukis aja. Mereka memang ‘melukis’, menorehkan warna di atas motif yang terlalu rumit untuk diwarnai dengan proses pencelupan biasa. Ela sempat ngobrol dengan seorang ibu di sana. Ela bisa bahasa Jawa ya, kok nyambung obrolannya sama si ibu ? Ibu itu kasih tau dulu rumah itu kosong dan tak terurus. Lalu dikontrak oleh majikan mereka untuk dijadikan rumah produksi batik. Ibu itu juga menunjukkan relief gambar mahkota dengan aksara Jawa di atas pintu rumah. Konon, hiasan crown seperti ini banyak dipasang di rumah-rumah juragan batik di Laweyan, sebagai simbol status sosial mereka. Hmmm kalau ada Mama Oen bisa minta tolong dibacain tuh. Kan Mama Oen bisa baca aksara Jawa. Waktu PTD Cepu awal tahun lalu, kita ke pusara Ibu Kartini di Desa Bulu, Rembang. Di sana Mama Oen baca aksara Jawa pada batu nisan. Rame-rame bacanya bareng Rony Baskoro dan Ibu Djuliah.
Banyak hal menarik yang kita lihat di sepanjang Laweyan. Melihat proses pembuatan batik sutra yang memakai semacam cetakan sablon raksasa, becak Kampoeng Batik Laweyan yang dihias batik, sampai ngebatik tandem di rumah seorang designer atau perancang batik. Sebenarnya di rumah designer itu kita tidak diperkenankan memotret, tapi Ela dengan kemampuan ‘candid camera’ nya berhasil mengabadikan tiga orang perempuan duduk berbanjar membatik sehelai kain yang sama. Karena mereka duduk seperti itu makanya irma bilang mereka ‘ngebatik tandem’.
Akhirnya kita sampai di jembatan Laweyan yang berwarna hijau. Irma sama Ela langsung ingat Nani, sang pencinta hijau. Kalau ada Nani di sini pasti deh dia langsung berfoto di jembatan ini. Ela juga menyayangkan Tety nggak bisa ikutan jalan-jalan kita kali ini. Tety kan penggemar batik, dan dia juga bisa membatik. Tentunya Tety senang andai bisa lihat proses ngebatik di Kampoeng Batik Laweyan ini.
Melewati jembatan Laweyan, kita sampai di Mesjid Laweyan. Mesjid ini didirikan pada masa Kerajaan Pajang, sekitar tahun 1546. Dulunya di tempat itu berdiri sanggar Ki Beluk. Ki Beluk – atau lengkapnya Kyai Ageng Beluk - seorang penganut Hindu Jawa yang kemudian memeluk Islam atas pengaruh Kyai Ageng Henis. Kyai Ageng Henis adalah keturunan Raja Brawijaya V dan kakek Panembahan Senopati yang menurunkan raja-raja Mataram. Konon nama Laweyan berasal dari kata ‘luwih’, kesaktian yang dimiliki Kyai Ageng Henis. Tapi ada juga yang bilang nama Laweyan diberikan kepada daerah ini karena di sana pernah dilaksanakan hukuman gantung dengan benang lawe kepada seorang istri raja yang ketahuan berselingkuh.
Dari Mesjid Laweyan kita masuk lorong-lorong lagi. Mas Uma menunjukkan rumah Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Islam di Solo pada tahun 1912. Di Laweyan sini awal berdiri dan berkembangnya Sarekat Islam sebagai wadah perkumpulan para pengusaha pribumi yang bersaing dengan para pedagang Tionghoa. Haji Samanhudi juga seorang pengusaha batik. Seperti umumnya rumah-rumah pedagang batik Laweyan, rumah itu dikelilingi tembok tinggi. Kita tidak bisa melihat ke dalam pekarangannya apalagi tau bentuk rumahnya. Kita cuma bisa memotret pintunya yang berwarna kuning.
Mas Uma lalu mengajak kita melihat rumah paliiiing tua di Laweyan. Rumah itu dibangun sekitar tahun 1758. Terbuat dari kayu dan masih menggunakan pasak kayu untuk sambungan atap rumahnya. Wahyudi tertarik dengan rumah itu dan penasaran akan konstruksinya yang memungkinkan rumah itu tetap berdiri sampai sekarang. Haaa iya deh yang tukang insinyur. Apa-apa dilihat dari segi tekniknya. Irma sendiri lebih tertarik memperhatikan kunci pintunya yang lucu.
Keluar dari lorong-lorong kita sampai ke jalan dekat showroom nya Mbak Nana. Di pojok jalan itu tertulis situs Pasar Laweyan. Oh rupanya di sini letaknya pusat perdagangan lawe atau bahan sandang semasa Kerajaan Pajang sekitar tahun 1546. Tapi sekarang di situ cuma tinggal papan nama situs aja. Dan tukang becak yang lagi istirahat. Ela memotret tukang becak itu. Ceklik !
Akhirnya kita sampai di rumah megah Laweyan. Mas Uma mengetuk pintu, minta izin masuk ke dalam pekarangan. Begitu kita masuk ke sana, waaaaaah … irma cuma bisa terpukau. Rumah itu cantik sekali. Pantas warga Laweyan bangga sekali akan rumah yang disebut ‘Ndalem Tjokrosumartan’ itu. Rumah ini dibangun oleh almarhum Tjokrosumartan pada tahun 1915. Luas bangunannya 1.800 m2 sedangkan luas tanahnya 3.000 m2. Hingga kini masih dipakai dan dirawat baik oleh keluarganya. Mas Uma cerita waktu acara pameran batik dan tur ‘Mengenal Kampoeng Batik Laweyan’, rumah itu dibuka untuk umum. Bahkan pemiliknya mempersilakan pengunjung masuk dan melihat-lihat bagian dalam rumah.
Irma duduk di pojok halaman, memandang rumah itu dan menikmati keindahannya. Ela sibuk memotret. Irma nggak pengen motret, tapi merekam rumah itu dalam memori ingatan irma. Rasanya foto yang irma buat nggak akan bisa mengabadikan suasana yang irma rasakan sekarang. Wahyudi duduk di sebelah irma. ‘Capek ?’ tanyanya. Irma menggeleng. Nggak, irma cuma ingin memandangi rumah cantik itu lama-lama.
Pemilik rumah keluar dan menyapa Mas Uma. Ramah ia menawarkan kita untuk melihat ke dalam. Tapi dengan halus kita menolak. Segan rasanya. Karena sedang ada yang dikerjakan pemiliknya pamit kembali masuk ke dalam rumah. Nggak berapa lama kita pun meninggalkan rumah megah itu. Irma masih sempat melihat rumah itu sekali lagi. Beda benar dengan kembarannya yang tak terurus di sebelah. Tapi memang biaya perawatan rumah sebesar itu tidak lah murah.
Keluar dari sana kita menyusuri jalan di samping rumah tadi hingga sampai di jalan raya, jalan Dr. Rajiman. Ternyata rumah itu panjaaaang sekali sampai ke jalan raya. Di belakangnya terdapat Graha Nikmat Rasa, gedung pertemuan yang pagi itu sedang ramai dipakai hajatan. Dulu Graha Nikmat Rasa ini disebut Ndalem Wiryotamanan.
‘Irma, bis surat !’ pekik Ela melihat bis surat jingga di samping gedung pertemuan. Akhirnya kesampaian juga Ela berfoto dengan bis surat di Solo J Nggak cukup sekali, dua kali, tapi sampai tiga kali Ela berfoto di sana. Wahyudi yang motret pake kamera Ela. Irma mana bisa pake kamera serius gitu. Kemarin malam pernah nyobain pake, diketawain Ela abisnya cara irma megang kamera sama dengan megang kamera pocket. Emang beda ya, megang kamera serius dengan kamera pocket ??
Selesai sudah jalan-jalan seputar Laweyan. Jam sebelas kita balik ke Roemahkoe. Udah kebayang aja di benak irma es gula asam. Aduuuuh … kayaknya enak deh panas-panas gini minum gula asam dingin. Segeeer banget. Ngebayanginnya aja air liur irma udah netes. Tapi ternyata Roemahkoe nggak punya es gula asam. Yaaah kok nggak ada sih ?? L
‘Minum es kawista aja. Enak lho. Ya, mau ya ?’ tawar Pak Sugi. Tangannya udah mengangkat telpon, bersiap order ke bagian dapur. Gimana sih, orang pengen gula asem malah ditawarin kawista L Tapi akhirnya irma pesan juga, penasaran pengen tau seperti apa es kawista yang katanya es cola Jawa. Dan ternyata … irma nggak suka. Jadi es kawista nya irma kasih ke Wahyudi yang lagi asik ngobrol dengan Mas Uma. Mereka ngobrol di ruang sebelah yang ada foto djadoel para pedagang batik Laweyan. Ternyata di antara pedagang itu ada kakeknya Mas Uma. Pantas Mas Uma paham benar tentang batik. Gambar batik di kaosnya adalah hasil rancangannya sendiri.
Setelah Mas Uma pulang, irma, Ela dan Wahyudi berembuk apa rencana kita berikutnya. Ok yang pasti kita harus makan. Udah waktunya makan siang. Lagipula kita kelaperan setelah capek keliling-keliling Laweyan. Makan di Roemahkoe aja ya, abis makan baru dipikirkan lagi kita mau ngapain. Perut lapar gini mana bisa berpikir. Tapi sebelum makan, ya mandi dulu. Biar segar dan nggak bau keringat lagi.
‘Aku ikut kamu aja,’ gitu Wahyudi bilang waktu irma tanya mau pesan apa. Wahyudi nya sendiri asik memotret sekitar Roemahkoe. Dia udah mulai kenal dengan kamera barunya, jadi makin semangat motret-motret. Ya udah irma pesankan nasi pindang lodeh aja. Ini salah satu menu andalan Roemahkoe. Irma pesan nasi jemblung lagi. Abis sukanya itu. Kalau lagi suka sama satu jenis makanan, irma akan makan ituuuuu aja sampai bosan. Sedangkan Ela pesan gurame goreng plus nasi.
Selesai makan, ke mana kita ? Atau ngapain ? Lihat Sekatenan yuk. Tadi pelayan yang ngantar makan siang kita bilang Sekatenannya udah tutup, kan gunungannya udah keluar tadi pagi. Ah, masa’ sih ? Pak Sugi bilang Sekatenannya masih ada sampai nanti sore. Gimana sih, beritanya kok simpang siur begini ? Kalau kita perhatiin malah orang-orang Solo nya sendiri nggak terlalu peduli dengan Sekatenan apalagi prosesi Gerebeg nya. Padahal itu yang ingin kita lihat.
Dengan dua becak kita berangkat ke alun-alun. Irma bareng Wahyudi, Ela duduk sendiri di becak depan. Sampai di alun-alun, masih rame kok ! Malah motor-motor agak susah cari parkir. Setelah bayar becak lalu kita masuk ke area Sekatenan lewat halaman Mesjid Agung. Mesjid Agung didirikan oleh Paku Buwono III pada tahun 1763 – 1768. Sedangkan pagar tembok sekelilingnya dibangun masa pemerintahan Paku Buwono VIII di tahun 1858. Di dalam kompleks mesjid terdapat sekolah guru agama yang didirikan oleh Paku Buwono X. Dulunya mesjid ini berstatus mesjid agung negara / kerajaan. Pada masa itu seluruh keperluan mesjid disediakan oleh Keraton dan semua pegawai mesjid adalah abdi dalem Keraton. Sebagai mesjid agung negara / kerajaan, mesjid ini juga digunakan untuk tempat upacara-upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh Keraton.
Wauw, rame sekali ! Banyak orang dan juga berisik. Suara musik terdengar hingar bingar dari mana-mana. Kita nggak tau mau mulai lihat-lihat dari mana. Jadi kita mengikuti arus orang-orang aja. Pengennya sih lihat kereta lori milik Keraton yang katanya kalau Sekatenan seperti ini sering dipajang dan boleh dilihat umum. Tapi saking banyaknya orang dan nggak ada yang bisa kasih tau, akhirnya kita luntang-lantung aja di sana. Melihat-lihat keramaian, pasar hiburan rakyat, dan barang-barang yang jarang kita temui di Jakarta seperti celengan dan kendi tanah liat. Ela malah sempat pengen beli gasing. Tapi setelah belajar sama penjualnya Ela urung beli. Ternyata tidak mudah main gasing !
Tiba-tiba turun hujan gerimis. Waktu kita ke alun-alun sini langit memang sudah agak mendung. Tiga hari kita di Solo, hujan melulu tiap sore ya. Kita lalu menuju deretan kios-kios di samping alun-alun. Sekalian ke toilet. Irma pengen pipis. Ternyata bukan cuma irma aja yang pengen ke kamar kecil, Ela juga. Jadi kita gantian. Lagi nunggu Ela di toilet irma iseng jalan-jalan keliling kios. Ternyata di sana banyak kios-kios yang jual kerajinan khas Jawa dan perlengkapan orang Jawa. Irma lalu balik lagi ke toilet dan ajak Ela dan Wahyudi lihat-lihat.
Jadi kita nongkrong di salah satu kios milik seorang ibu. Di sana irma sama Ela milih-milih kipas kulit sapi (eh atau kulit kerbau ya ??). Ela juga beli bookmark kulit. Wahyudi tertarik juga. Tapi dia milih hiasan kulit buat digantung di spion mobil gambar Kresna. Lumayan lama kita di sana. Lihat-lihat, milih-milih sebelum memutuskan mana yang mau dibeli. Ibu itu melayani dengan ramah. Lihat boleh, pegang boleh, tapi nggak boleh nawar karena semua sudah dipatok harga pas.
Bosan di kios itu irma pindah lihat-lihat ke kios di depannya. Di sana dijual macam-macam perlengkapan busana pria Jawa. Baju beskap, blangkon, keris, tongkat, juga perhiasan rantai emas yang biasanya digantung di saku. Ibu penjual di sana nawarin rantai emas berbandul uang logam Belanda sama Wahyudi. Tapi Wahyudi lebih tertarik untuk beli blangkon. Setelah pilih-pilih akhirnya Wahyudi beli blangkon Yogya. Apa sih bedanya blangkon Sunda, Yogya dan Solo ?
Lalu kita keliling-keliling lihat kios-kios lain. Sempat singgah sebentar di salah satu kios melihat pengrajin membuat wayang kulit. Dengan semacam pahat kecil ia mencungkil-cungkil kulit untuk membentuk ornamen bintik-bintik. Dia nggak keberatan kita melihat dia bekerja tapi waktu kita ingin foto dia sepertinya dia malu. Nggak jadi deh kita foto.
Gerimis berhenti saat semua lorong kios sudah kita telusuri. Mau ke mana sekarang ya ? Ela dan Wahyudi serahkan irma untuk menentukan tujuan berikutnya. Irma ingat rasanya di peta ada ditunjukkan ‘interesting place’ di dekat alun-alun Keraton. Apa itu benteng Vastenburg ya ? irma lalu cek e-mail Mas Hatmanto tentang tempat wisata seputar Solo. Mas Hatmanto bilang benteng Vastenburg terletak di jalan Jendral Sudirman di depan Kantor Pos Solo. Baca peta lagi, jalan Jendral Sudirman itu bersimpangan dengan jalan Slamet Riyadi, nggak jauh dari alun-alun. Irma lalu ajak Ela dan Wahyudi ke sana. Kalau nggak ketemu bentengnya, lumayan lah ketemu kantor pos. Di sana Ela bisa berfoto dengan bis surat lagi, hehehehe.
Lewat jalan Slamet Riyadi kita ketemu gerbang Sekatenan. Ada billboard gede warna merah bertuliskan ‘Malem Sekaten 2006 – Hajat Dalem Gerebeg Mulud Tahun Alip 1939 Karaton Surakarta’ berikut agenda Sekatenan. Ternyata Sekatenan nya dari 17 Maret sampai 16 April 2006. Oalah, masih lama tho. Tapi kapan prosesi gunungannya ? Kok nggak dibilang-bilang sih ? Tadi juga di sana kita berusaha cari info tapi nggak ada yang tau.
Abis motret billboard merah yang disponsori salah satu rokok kretek terkenal di Indonesia itu, kita nyeberang ke jalan Jendral Sudirman. Melewati bank di pojokan – di seberangnya ada gereja – kita sampai di satu tanah lapang tempat parkir kendaraan pengunjung Sekaten. Naaaa … itu bentengnya ! Mas Hatmanto bilang benteng Vastenburg sekarang jadi kumuh, ditutupi semak-belukar sarang ular dan ditutupi pagar seng. Karena Sekaten ini pagar seng nya dibuka dan lapangannya dijadikan tempat parkir. Beruntung betul kita ke sana di hari itu. Cuaca pun bersahabat untuk pemotretan.
Ela dan Wahyudi bergegas mendatangi benteng sementara irma masih takut-takut melangkah ke sana. Bukan takut ular, tapi irma takut kena tegur penjaga atau siapa lah yang ada di sana. Tapi karena Ela dan Wahyudi mantap aja berjalan ke sana jadi irma nggak ragu menyusul mereka.
Tulisan Vastenburg di atas gerbang benteng tinggal ‘..TE..BU..’ Masih ada bekas-bekas huruf lainnya. Bangunannya sendiri tinggal gerbangnya aja, dengan patung lembu duduk di kiri dan kanan. Kedua patung lembu itu dijadikan jemuran baju entah oleh siapa. Di pinggir gerbang itu juga berserak kardus-kardus mungkin bekas alas tidur tuna wisma yang mangkal di sana. Ela dan Wahyudi yang sempat mengintip ke dalam mengatakan di balik gerbang itu tidak terdapat apa-apa. Di dekat pintu gerbang terdapat batu bertuliskan ‘HOOGSTE WATERSTAND op den 24 February 1861’. Apa itu artinya ya ??
Dulu benteng ini disebut Grootmoedigheid. Dibangun oleh Gubernur Jendral Van Imhoff di tahun 1745 sebagai benteng pertahanan tentara Hindia Belanda wilayah Jawa Tengah. Dibangun di dekat Keraton agar Belanda dapat mengawasi gerak-gerik Sultan. Setelah kemerdekaan Indonesia benteng ini digunakan oleh Brigade Infanteri 6/Trisakti Baladaya/Kostrad sebagai asrama dan rumah tinggal prajurit beserta keluarganya. Kemudian dibeli oleh pihak swasta untuk diubah menjadi kawasan komersil. Tapi sekarang benteng ini terbengkalai begitu saja.
‘Sebenarnya bagus ya,’ Ela membayangkan kegagahan benteng ini dulu. Iya. Sayang ya terlantar begini. Nggak sesuai banget dengan pesan Ronggowarsito, ‘Yen wis kliwat separo abad, jwa kongsi binabad - Jika sudah lebih dari separuh abad, janganlah dihancurkan.’ Ya emang nggak dihancurkan sih, tapi terbengkalai L Setelah puas memotret gerbang dan sekitarnya, kita lalu meninggalkan benteng Vastenburg. ‘Foto apa tho Mas ? Foto kebo turu ?’ tukang parkir di sana tertawa saat kita melewati gerbang pagar seng. Wahyudi cuma senyum aja dan mengucapkan pamit.
Menelusuri jalan Jendral Sudirman kita sampai di depan Kantor Pos Solo. Irma kira Ela mau berfoto di bis surat depan sana. Tapi Ela lebih tertarik untuk memotret Bank Indonesia Solo yang terletak di pojok jalan. Bangunan ini dulunya rumah Gubernur Jendral Belanda. Lagi kita motret gedung BI, tiba-tiba ada seorang cowok berkaus biru teriak-teriak, ‘Mbak, aku difoto ! Aku difoto !’ Maksudnya dia minta difoto. Tapi cara dia minta itu malah bikin kita takut. Akhirnya Wahyudi yang motret dia. Tapi dia nggak percaya. Dia sangka Wahyudi bohong. ‘Wong nggak kerasa !’ dia bilang gitu dan minta difoto lagi. Mau yang kerasa ? Nih difoto sambil ditonjok, JEDUGG ! Pasti berasa banget deh. Hahahahaha. Setelah Wahyudi tunjukkan hasil fotonya baru dia percaya dan nggak ngintil kita lagi.
Sayang kita motret menghadap matahari jadi hasilnya backlight. Setelah dapat foto gedung BI Solo yang lumayan kita beranjak pergi. Tapi sebelumnya Ela sempat minta irma dan Wahyudi mejeng di depan bis surat seberang BI biar bisa Ela foto. Padahal kita bukan ‘bis surat freak’ seperti Ela cs lho, hihihihihihiiii
Teruuusss jalan akhirnya kita sampai di Pasar Gede. Nama lengkapnya adalah Pasar Gede Hardjonagoro. Bangunannya yang memiliki perpaduan gaya Belanda dan tradisional Jawa dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama Ir. Thomas Karsten. Pasar ini selesai dibangun pada tahun 1930. Dinamakan Pasar Gede karena atapnya yang besar. Pasar Gede adalah pasar terbesar dan termegah di Solo. Eh pasar ini pernah terbakar lho ! Tapi trus dibangun lagi.
Di depan Pasar Gede ada semacam tugu dengan jam di atasnya. Pada tugu itu juga terpatri aksara Jawa. Aduh apalagi ni ya ? Lain kali kalau ke Solo ajak-ajak Mama Oen deh, biar do’i bisa bacain aneka tulisan kriwil-kriwil macam ini buat kita. Hihihihihiiii J
Wahyudi nyeberang ke tugu jam itu. Dia mau motret Pasar Gede dari sana. Tanpa sepengetahuannya irma nyusul ke tugu jam. Ternyata memang lebih bagus motret dari sana. Letak bangunan pasarnya jadi tepat di tengah-tengah. Lagi irma asik motret di tugu situ, terdengar Wahyudi panggil-panggil mencari irma. ‘Di sini Di,’ kata irma di balik punggungnya. Terkejut dengar suara irma begitu dekat, Wahyudi terlompat. Untung lompatnya masih di sekitar kaki tugu itu juga, nggak sampai ke jalan. Kalau dia sampai terlompat ke jalan, bisa-bisa dia kesamber mobil dan motor yang banyak seliweran. Lalu lintas di depan Pasar Gede memang ramai sekali sore itu. Dan kendaraan melaju kencang-kencang. Tapi kalau sampai Wahyudi terlompat ke jalan pasti irma tangkap kok. irma peluk malah, hihihihiiii J
Di seberang Pasar Gede ada kelenteng warna merah dengan sepasang naga di atas atapnya. Tapi Ela bilang itu bukan bangunan djadoel. Lalu Ela bertanya mau ke mana lagi kita. Irma ingat deretan kios buku di daerah Kadipolo, yang tadi malam kita lewati waktu balik dari Warung Kita. Mau ke sana ? Mana tau ketemu buku-buku lawas. Lalu kita ke sana naik becak. Menuju ke sana kita lewat Museum Batik Danar Hadi yang menempati bangunan tua khas Jawa. Kalau nggak salah, nama bangunannya Ndalem Woeryaningrat. Yah, sayang kita nggak sempat mampir ke sini. ‘Ya nanti kapan-kapan kita ke sini. Kan jadi ada alasan buat ke Solo lagi,’ hibur Wahyudi. Betul ya ??
Kita nyusurin kios-kios buku dari ujung sampai ujung. Ela dapat satu buku tentang candi-candi di Jawa Tengah. Wahyudi dapat buku lusuh tentang pelajaran Sejarah SMP, eh atau SMA ya ? irma sendiri tidak menemukan buku yang menarik buat dibaca apalagi dibeli. Tapi irma tergiur dengan gorengan yang dimakan penjaga parkir di sana. Beli di mana Pak ?
Ternyata di ujung deretan kios buku, di depan kios pangkas rambut, seorang bapak sedang menata dagangannya. Ia menghidangkan aneka gorengan, pisang, kue-kue, dan nasi bungkus kecil-kecil yang lebih dikenal dengan sebutan ‘sego kucing’. Itulah yang disebut HIK – Hidangan Istimewa Kampung – khas kota Solo. Orang Solo suka sekali nongkrong di HIK, ngobrol, makan camilan, minum teh atau kopi hingga larut malam. Pantas di Solo nggak ada kedai kopi macam Starbucks.
Irma menghampiri HIK itu lalu duduk di sana sambil makan gorengan. Minumnya teh manis hangat. Ela asik memotret ibu penjual nasi liwet di dekat HIK. Ibunya sih anteng aja difoto Ela. Tapi tukang parkir di sana kasak-kusuk kayaknya pengen difoto juga. Akhirnya Ela mengarahkan gaya dia biar foto ibu penjual nasi liwet itu tetap alami posenya. Sementara itu Wahyudi nyeberang ke hall badminton di seberang jalan buat numpang sholat Ashar.
Balik sholat Wahyudi gabung sama kita di HIK. Ngobrol-ngobrol sama bapak penjualnya yang akrab dipanggil Pak Sis. Pak Sis nggak banyak bicara. Dia hilir-mudik mulu ngurusin dagangannya. Menata hidangan, jerang air, bikin minum. Gerak teruuuus. Irma nggak pernah berhasil memotret dia. Akhirnya irma nyerah. Nikmati HIK nya aja deh. Bala-bala, pindang telur puyuh, sate kerang, hmmm … enak-enak semua. Teh nya juga enak. Lihat minum irma udah habis Pak Sis tawarkan bikin lagi. Mau, mau, mau, irma memang penggemar berat teh manis hangat.
Tiba waktunya bayar. Seperti biasa Ela ju-bay nya, alias juru bayar. ‘Empat ribu dua ratus,’ kata Pak Sis. ‘Berapa Pak ?’ Ela terkaget-kaget dengarnya. Pak Sis ulangi lagi. Tidak ada perubahan harga. Ela terbengong-bengong. ‘Memang minumnya berapa ?’ tanya Ela. Segelas besar teh manis harganya cuma tujuh ratus rupiah ! Ela kayak mau pingsan mendengar itu. Makan kenyang bertiga pake teh manis hangat empat gelas, semuanya cuma Rp 4.200,00 !
‘Wah, ini harus diingat-ingat,’ kata Ela. Petugas parkir di sana kasih tau ciri-ciri HIK nya Pak Sis, ‘Dekat kios buku Sriwedari, depan tukang cukur WR Diman ...’ ‘… di seberang badminton Star,’ sambung Pak Sis. Nah, ingat-ingat tu La. Ingat-ingat juga Pak Sis tuh baru jualan menjelang Maghrib. Kapan-kapan kita ke sini lagi ya, kalau ke Solo lagi.
Dari HIK Pak Sis kita jalan kaki ke Taman Sriwedari. Dulu Sriwedari dikenal dengan sebutan ‘Kebun Rojo’ alias taman raja-raja. Sekarang di sana terdapat taman rekreasi, panggung hiburan, dan tempat pementasan wayang dan kesenian. Hujan turun lagi saat kita masuk komplek Sriwedari. Matahari juga sudah terbenam jadi makin terasa gelap aja langitnya.
Kita singgah ke toko mainan. Berbagai macam mainan dijualnya, mulai dari yang tradisional seperti congklak atau dakon sampai mobil-mobilan dengan remote control. Irma tertarik pengen beli payung kertas tapi payung yang ada udah nggak gitu bagus lagi. Akhirnya irma beli klenengan sapi dari bahan kuningan. Dulu waktu di Yogya Wahyudi juga beli klenengan yang serupa, tapi pemukulnya dari kayu. Sedangkan yang irma beli ini pemukulnya dari kuningan juga jadi suaranya keras sekali. ‘Nggak terlalu keras suaranya ?’ tanya Wahyudi. Justru irma cari yang nyaring, biar kedengaran sama orang lain di jalan. Klenengan itu mau irma pasang di sepeda. Kalau yang Wahyudi beli kan dipasang di pintu pagar, buat ngasih tau kalau ada orang keluar-masuk halaman.
Hujan nggak kunjung berhenti padahal kita mau ke Toko Roti Orion Mandarijn di dekat Pasar Gede. Mas Hatmanto bilang di kue-kue di sana enak-enak, terutama lapis legit dan lapis Surabaya nya. Tapi hujan gini, gimana nih ? Nggak tega juga minta tukang becak antarin kita ke sana. Kan kasihan dia hujan-hujanan.
Tapi nggak ada pilihan lain. Udah lama kita berdiri di pinggir jalan Slamet Riyadi menunggu taksi tapi nggak ada juga. Seorang tukang becak di sana tawarkan jasa. Dia juga panggilkan seorang tukang becak lagi. Mereka berunding dan minta ongkos tujuh ribu lima ratus buat ke Toko Orion. Semula kita nawar. Tapi tukang becaknya berargumen bahwa harga segitu udah murah. Apalagi sedang hujan begitu. Akhirnya kita setuju.
Kali ini irma satu becak dengan Ela karena pengemudi becak yang ditumpangi Wahyudi sudah tua. Di jalan kita melewati tenda seafood Pak Jenggot. ‘Eh nanti kita makan di sana yuk, kangen kepiting saos padang nih,’ kata Ela. Ok, tapi sekarang kita cari oleh-oleh dulu ya. Besok nggak ada lagi waktunya.
Sampai di Toko Orion kita lalu berpencar cari belanjaan masing-masing. Ternyata di sana bukan cuma jual kue-kue aja, tapi juga abon sapi dan makanan khas lainnya. Teh Gardoe kesukaan Ela juga ada. Malah ada yang teh celup nya. Tapi Karak alias Intip atau kerupuk nasi nya udah habis.
Irma nggak beli oleh-oleh. Abisnya kalau bawa makanan, di tempat kost irma nggak ada tempat penyimpanannya. Numpang di kulkasnya ibu kost, pengalaman pernah diembat sama cucunya. Simpan di kamar, dimakan semut. Sedangkan irma baru ke kantor keesokan harinya. Makanya irma nggak pernah beli oleh-oleh makanan. Wahyudi aja yang beli. Beli untuk rumah Pisangan, rumah Bekasi dan pabrik. Nggak beli makanan irma malah beli sandal batik warna merah. Kalau nggak buat irma nanti bisa buat Mama.
Selesai belanja di Toko Orion Ela ngajak ke tenda Pak Jenggot. Ternyata mereka tidak menyediakan kepiting saos padang. Jadinya kita pesan kepiting goreng mentega dan cah kangkung. Baru tau irma kepiting bisa dimasak goreng mentega juga. Kirain cuma ayam aja yang biasa dimasak macam itu.
Hmm nyam nyam nyam, makan malam nya enak. Hangat. Apalagi di luar masih hujan. Gimana pulang kita nanti ? Untung ada taksi melintas. Tapi dia sedang menuju pemesannya. ‘Sebentar ya saya panggil teman saya dulu,’ dia bilang. Setelah bicara lewat radio lalu ia persilakan kita naik. Yang mesannya gimana ? ‘Teman saya yang ke sana,’ jawabnya.
Wahyudi minta taksi singgah dulu ke Novotel untuk ke ATM. Tadi pagi sebelum jalan-jalan keliling Laweyan kita sempat hitung-hitungan berapa irma dan Wahyudi harus bayar ke Ela. Karena irma nggak punya rekening yang bisa transfer ke rekening Ela, jadi Wahyudi dulu yang bayarin utang irma. Nanti irma tinggal transfer ke Wahyudi.
Lamaaaa nunggu Wahyudi dalam ATM. Begitu balik ke mobil dia bilang, ‘Nggak bisa, harus ke ATM Permata.’ Lho tadi Wahyudi pake ATM apa ? ‘BCA,’ dia bilang. Lhaaaa itu ATM Permata nya pas di sebelah ATM BCA. Kok dia nggak ngeliat dari tadi sih ? Aiyaiyaiyaiyaaaaaa … bapak yang satu ini apa udah mulai makin rabun matanya ya ???
Wahyudi masuk ke bilik ATM Permata. Gantian sekarang irma yang ke ATM BCA. Lalu kita sama-sama balik ke taksi. Sekarang kita pulang ke Roemahkoe. Sampai di sana masing-masing lalu mandi. Ela udah bobo’ waktu irma keluar kamar mandi. Karena segar setelah mandi, kantuk dan capeknya hilang. Di atas lantai kayu irma menata barang-barang yang irma beli selama di Solo – kain batik, kipas kulit dan buku ‘Rumah Solo’ . Trus irma potret. Hasilnya, itu yang ada di kanan atas pada blog tulisan Jalan-jalan seputar Solo - 4. Iseng banget ya.
Your story is complete.
ReplyDeleteKapan ya saya bisa ke solo... Pasti asyik!!
ReplyDeleteiya asik lho, aku juga pengen ke sana lagi :D
ReplyDelete