Cerita dari Yogya - 14 : Kota Gede

Hari keempat dan terakhir, Selasa 31 Januari 2006

Dari benteng Vredeburg kita ke Istana Pakualaman.  Tapi yah ternyata istana ini cuma buka di hari Selasa, Kamis dan Minggu.  Sekarang kan hari Selasa ?  Iya tapi kan di kalender hari ini hari libur nasional jadi ya tutup juga.  Ya sudah, nggak tau mau ke mana lagi.  Mas Barid ngajak jalan-jalan ke Kota Gede, ke daerah teritorialnya.  Katanya nih, rumah peninggalan keluarga Mas Barid masih asli bangunan tahun 1740an.

Sampai Kota Gede kita makan dulu di rumah makan Omah Dhuwur.  Omah itu artinya rumah.  Dhuwur artinya tinggi.  Dulunya rumah ini milik Kangjeng Raden Mas Tumenggung Haryo Prodjodiningrat, seperti tertulis pada segel di depan rumah tua ini.  Rumah makan ini salah satu yang direkomendasikan oleh buku Lonely Planet nya Ela.  Hehe selama empat hari jalan-jalan baru kali ini kita makan siang tepat waktu.  Biasanya kan menjelang sore kita baru makan.  Kita milih duduk di teras belakang yang terbuka.  Setelah memesan makanan Mas Barid mengajak kita jalan-jalan ke bawah melihat-lihat rumah joglo.

Rumah Joglo adalah rumah khas Jawa.  Ada dua macam rumah joglo ; Joglo Mataram dan Joglo Yogya.  Dinding joglo Mataram seluruhnya terbuat dari kayu jati, sedangkan dinding joglo Yogya sebagian berupa tembok.  Dan di joglo Mataram selalu ada ukiran bunga yang menandakan tahun pembuatan joglo tersebut.

Joglo adalah tempat tinggal tuan tanah.  Di kiri-kanan joglo terdapat emper sebagai tempat tinggal para pekerja.  Di depan joglo ada pendopo sebagai tempat pertemuan.  Dinding joglo selalu terdiri dari tiga pintu bilik atau sentong.  Konon ini pengaruh Hindu.

Di dalam rumah joglo ini kita bisa melihat beberapa perangkat khas Jawa, seperti kotak kayu tempat wayang kulit dan lampu blencong yang menggunakan minyak klentik yang terbuat dari kelapa dan tidak menimbulkan asap.

Dari Omah Dhuwur kita berger(ak) ke makam Panembahan Senopati.  Tapi sebelumnya mampir dulu di tempat jual kerajinan kuningan karena Wahyudi mau beli klenengan sapi buat bel pagar.  Ini pesanan bapaknya lho !  Karena kemarin waktu di Malioboro Wahyudi kelupaan beli , jadi sekarang dibela-belain nyari sampai dapat.  Untung di Kota Gede ini ada.  Tadinya Mas Barid usul kalau hari ini nggak ketemu biar nanti dia carikan dan kirim ke Jakarta.  Walah Mas, itu sih mahalan ongkosnya daripada harga klenengannya.

Menuju makam Panembahan Senopati kita melewati tugu Jumenengan Hamengku Buwono IX di pasar tertua di Yogya.  Jumenengan adalah upacara naik tahta kerajaan.  Mas Barid cerita kalau dulu di depan tugu ini pernah mau dipakai pentas musik.  Pentasnya terhambat karena biarpun diesel nyala tapi listrik tidak bisa mengalir.  Katanya sih, ini karena panitia tidak minta izin kepada pihak kraton …

Sebelum ke makam kita singgah dulu di Mesjid Besar Mataram Kota Gede yang dibangun pada tahun 1856.  Di sekelilingnya terdapat parit air.  Dulu pengunjung harus melewati parit ini sebelum masuk mesjid.  Maksudnya agar kaki-kaki mereka bersih.  Tapi sekarang parit itu sudah tidak berfungsi untuk membersihkan lagi sehingga dibuat jembatan.  Mesjidnya tanpa dinding dan sekat.  Sementara menunggu yang lain sholat, irma dan Ela duduk-duduk di pelataran mesjid.  Ela sempat lompat-lompat melewati parit air.  Hihi kayak kijang aja J

Panembahan Senopati adalah pendiri kerajaan Mataram Baru di tahun 1578.  Beliau bertahta sejak tahun 1579, meninggal dan dimakamkan di Kota Gede pada tahun 1601.  Ini tertulis di pintu menuju pelataran makam.  Ada juga tulisan aksara Jawi nya.  Tapi kita nggak ada yang ngerti.  Di pos abdi dalem penjaga makam juga ada papan bertuliskan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di sekitar makam.  Tulisannya menggunakan abjad latin, tapi bahasanya menggunakan bahasa Jawa tingkat tinggi yang halus.  Saking halusnya (atau mungkin karena tidak pernah dipakai di percakapan sehari-hari) bahkan Mas Barid pun tidak paham.  Perlu bantuan abdi dalem untuk menterjemahkannya.

Untuk masuk ke dalam makam kita harus mengenakan busana Jawa.  Kalau kita nggak bawa, bisa sewa dari para abdi dalem ini.  He eh, nggak usah deh.  Lagian nggak bisa juga pake baju Jawa yang ribet itu.  Jadi kita lihat-lihat pelataran di depan pintu masuk makam aja.  Seperti halnya gapura-gapura di Jawa, selalu terdapat Kalamakara sebagai tolak bala di atasnya. Di depan pintu masuk makam ini juga terdapat kios yang menjual gambar raja-raja Kraton Yogya dan buku-buku fotokopian tentang pembentukan Kraton Yogya sebagai implikasi perjanjian Giyanti tahun 1755 yang mengakibatkan Mataram terbagi menjadi dua ; Kraton Solo dan Kraton Yogya.

Jam dua siang kita meninggalkan makam dan meluncur ke bandara Adisucipto.  Pesawat kita nanti lepas landas jam empat sore.  Sampai di bandara, ternyata masih ada cukup waktu buat duduk-duduk santai di ruang tunggu.  Ada pesawat Garuda menuju Jakarta yang transit di Yogya.  Irma memanggil Tety, kasih tau ada cogan di antara rombongan transit itu.  ‘Iya cakep,’ kata Tety, ‘tapi anaknya udah tiga !’  Haha iya ya, irma baru perhatiin dia nggak sendiri.  Ternyata ada istri dan ketiga anaknya di samping.  Ya sudah, dipandangi saja lah Ty …

Pesawat Mandala yang antar kita ke Jakarta ternyata agak lambat berangkatnya.  Tapi Jakarta masih cukup terang waktu kita sampai di sana.  Setelah ambil bagasi lalu bongkar dus bakpia belanjaannya Nani, Tety, Wahyudi dan irma.  Di Bakpia Pathok 75 (atau 25 ??) tadi kita belanja sampai dua dus.  Satu dus isi belanjaan empat orang, satu dus lagi belanjaannya Ela aja.  Jadi siapa coba yang heboh belanja …

Ela ngajak irma dan Wahyudi barengan, kebetulan rute pulangnya bisa lewat tol Tanjung Priok jadi kita bisa turun di Rawamangun.  Dadah, dadah, gitu kita bilang ke Nani dan Tety waktu mobil Ela bergerak meninggalkan bandara Soekarno-Hatta.  Sampai ketemu lagi, kapan-kapan kita jalan-jalan lagi ya.  Ke mana nih berikutnya, Bangka-Belitung ??

Turun di halte depan lapangan golf Rawamangun.  Langsung dapat taksi jadi Wahyudi bisa drop irma di tempat kost lalu dia lanjut pulang ke Bekasi.  Wuih, capek ya.  Tapi senaaaang sekali J  Apalagi irma banyak dapat bahan tulisan buat bikin catatan perjalanan kali ini.  Foto-fotonya pun banyak !  Eh lagi asyik-asyik menyusun kerangka catatan perjalanan yang akan ditulis, tiba-tiba Wahyudi telpon dari Bekasi dan berkata, ‘…Mmm, jangan kaget ya.  Aku nggak bisa menemukan kamera ku …’   Waaaaaaaaaa…….. GUBRAKKKKK !  Rasanya irma mau langsung pingsan dengar berita itu !