Hari ini PTD Ngebatik di Tenabang. Tepatnya di Museum Tekstil di Tanah Abang. Tapi paginya irma berakrobat dulu ke rumah Wahyudi, naik sepeda sambil bawa dua gembolan : ransel isi baju dan tas kerja isi perlengkapan audit. Wuih, udah kayak beruang sirkus aja. Sepanjang jalan diliatin orang. Mungkin dikiranya mau mudik ke manaa gitu. Tapi ada juga yang nyangka irma sales door to door. Aduh… kasihan banget deh L
Lumayan di rumah Wahyudi dapat sarapan mi goreng sosis. Selesai sarapan lalu kita ke Tanah Abang naik taksi ‘burung biru’. Taksi paling ngetop di Jakarta. ‘Ke Museum Tekstil Tanah Abang Pak,’ kata irma sama pak supirnya. Abis gitu duduk mengobrol dengan Wahyudi di bangku belakang. Sebelumnya Wahyudi kasih tau sama supirnya agar kita lewat Casablanca.
Sampai di Tanah Abang. ‘Mbak museumnya yang dekat kantor walikota ya ?’ tanya pak supir. Haaa… nggak deh. Setahu irma museum nya di jalan KS Tubun. Dulu irma ke sana lewat Slipi, sekarang lewat Casablanca gini jadi nggak tau arah deh. ‘Nggak Mbak, museum tekstil itu dekat kantor walikota. Jalan KS Tubun sebelah sana tuh,’ supir taksi menunjuk suatu jalan. Ya sudah lah, ikut apa kata pak supir aja meskipun sebenarnya hati irma ragu-ragu.
‘Nih Mbak kantor walikota nya. Yang itu museumnya,’ seru pak supir menunjuk bangunan dengan pepohonan rimbun dan dikelilingi pagar seng. Hah, bangunan apa itu ?? Setelah dekat baru kelihatan papan namanya. Yah, ini sih Museum Prasasti, bukan Museum Tekstil L ‘Pak, ke jalan KS Tubun deh, saya yakin museumnya di sana,’ kesal irma ngomong gitu sama pak supir. Duduk di sebelah irma Wahyudi berusaha menenangkan, ‘Ya udah nggak pa-pa. Kan kita jadi tau Museum Prasasti.’ Iya sih, tapi kan muter-muter gini ongkos taksinya jadi mahaaalll ………. L
Yah sebenarnya sih, selain ongkos taksi yang mahal irma juga khawatir telat. PTD nya kan mulai jam 9.30. Sementara sekarang udah, aduuuuh … hampir jam 10 ! Kalo udah panik gini irma jadi senewen deh.
‘Yang mana sih bangunannya ?’ Wahyudi celingak-celinguk saat taksi memasuki jalan KS Tubun. Um, bangunannya agak tersembunyi di balik lapak-lapak orang berjualan. Tapi irma ingat ada papan namanya kok. ‘Nah itu dia !’ senang irma berseru saat melihat genteng merah atapnya museum. Dan ternyata PTD nya belum mulai. Ela yang lagi menikmati pisang goreng di tangga museum melambaikan tangannya melihat kita datang. ‘Nih Pak, ini yang namanya Museum Tekstil. Ingat-ingat ya, lain kali jangan salah lagi,’ kata irma sebelum turun dari taksi. Supir taksinya diam saja. Entah malu, entah kesal karena irma bayar pas-pasan, nggak kasih dia tip. Ya tapi masa’ sih udah nyasarin gitu masih ngarepin tip ???
Setelah nitip tas di mobilnya Ela, irma bergegas ke meja registrasi. Ada Elvi di depan laptop (gilee Vi, alas laptopnya pake buku ‘Batavia’ nya Scott Merrillees ??) dan Cindi yang bagi-bagi nametag. Irma sebutkan nomor urut ; 10 untuk irma dan 49 buat Wahyudi. ‘Kok jauh bener sih nomornya ?’ tanya Cindi. He eh, tadinya waktu daftar PTD irma kira Wahyudi nggak mau ikutan ngebatik. Tapi ternyata dia kepengen juga. Trus karena perubahannya ini udah dekat hari H nya jadi sama Adep dikasih nomor urut segitu. Udah syukur dia dapat nomor urut karena sebelumnya Adep ngomel-ngomel waktu irma kasih tau Wahyudi mau ikutan ngebatik juga. ‘Bandel ! Bandel !’ gitu kata Adep di telpon waktu irma kasih tau dia.
Lagi nunggu nametag dan kupon makanan dari Cindi tiba-tiba ada yang berseru kepada irma. ‘Hei, bike2work !’ Deedee mengacungkan tangannya, memberi salam. Hei juga Dee. Tapi kok, salamnya salam metal ?? Eh tapi irma sendiri juga nggak tau kok salam biker itu gimana, hehehehe
Nggak berapa lama dikasih tau kepada peserta PTD untuk berkumpul di depan pintu masuk museum. Ada perkenalan tentang Sahabat Museum dari Adep, Ninta dan Irvan yang hari itu dipanggil Ninta ‘Si Pitung’ karena pake celana batik. PTD kali ini memang penuh nuansa batik. Panitia nya kudu pake baju yang ada ornamen batiknya. Yang mbak-mbak pada pake rok batik (ssst… kata Deedee rok batiknya beli dadakan di Blok M lho ! ). Adep juga tumben-tumbenan jadi kelihatan lebih rapi karena pake batik, hihihi. Irma sendiri pake baju kaus yang ada motif batik di depan dan belakang. Waktu lihat kaus irma ini Adep sempat komentar, ‘Woi, seragam hari ini pake batik. Bukan baju nuansa batik.’ Irma nyengir aja. Kalo irma pake batik, berarti irma jadi panitia. Balikin duit pendaftarannya dong, hehehehe
Irvan yang membuka acara bilang ini adalah PTD yang special karena merupakan PTD yang ke 26 dan dilaksanakan pada tanggal 26. Haa.. bener gitu ?? Bukannya ini yang ke 27, kan yang ke Cepu di akhir tahun 2005 itu PTD yang ke 25 dan bulan Januari lalu ada PTD ke Tanjung Priok. Adep sempat mau meralat tapi Bang Pitung yang pegang megaphone ngeles, ‘.. yang ke 26 aja deh, maksa nih.’ Nggak tau akhirnya Adep setuju apa nggak dengan ‘pemaksaan’ ini.
Setelah pembukaan dari Batmus kemudian giliran Mbak Ari dari Museum Tekstil yang bicara. ‘Selamat datang di Museum Tekstil kepada kalian, putra-putri terbaik,’ Mbak Ari membuka perkenalannya. Putra-putri terbaik ? Wah, serasa lagi penataran P4 waktu baru masuk kuliah dulu, huehehehehe. Tapi kalo dulu dibilang putra-putri terbaik karena berhasil menyisihkan sekian ribu peserta ujian masuk PTN, kali ini dibilang putra-putri terbaik karena mencintai budaya sendiri (dalam hal ini kain tradisional Indonesia).
Mbak Ari bercerita sedikit tentang gedung museum ini. Gedung ini sudah ada sejak abad ke 19. Milik seorang Prancis yang tinggal di Batavia. Kemudian gedung ini dibeli oleh konsul Turki bernama Abdul Aziz al Mussawi Al Katiri. Pada tahun 1942 gedung ini dijual ke Dr. Karel Christian Crucg. Pada masa pergerakan di tahun 1945 gedung ini sempat menjadi markas BKR. Lalu pada tahun 1947 menjadi milik Lie Sion Pin dan dikontrakkan kepada Departemen Sosial untuk rumah penampungan orang jompo. Pada tanggal 28 Juni 1976 Ibu Tien Soeharto meresmikan gedung sebagai Museum Tekstil.
Museum ini adalah satu-satunya museum tekstil di Indonesia. Ada sekitar 1600 kain tradisional yang menjadi koleksinya. Kain-kain ini terbagi menjadi kategori : kain batik, kain tenun, dan kain bukan batik bukan tenun seperti jumputan, sulaman, dan anyaman. Selain kain tradisional, museum tekstil juga mengkoleksi peralatan membuat kain dan busana karya desainer Indonesia yang diilhami oleh kain tradisional.
Karena banyaknya koleksi museum ini, maka setiap tiga bulan koleksi yang dipajang berganti-ganti sesuai tema. Hari itu temanya adalah tekstil dari Indonesia bagian Barat. Yang termasuk Indonesia bagian barat adalah Sumatra, Jawa dan separuh Kalimantan. Kadang-kadang museum bekerja sama dengan negara lain memajang kain-kain tradisional dari negara itu. Beberapa waktu yang lalu pernah dipamerkan busana dan kain tradisional dari Thailand.
Waktu perkenalan yang singkat ini membuat Mbak Ari tidak dapat banyak bercerita tentang kain tradisional. Berbeda dengan waktu irma mengikuti workshop membatik dari majalah Intisari bulan November lalu. Waktu itu Mbak Ari sempat menerangkan tentang batik dan pembuatannya. Tapi ya sudahlah, kita nikmati saja PTD ini ya.
Kita dibagi menjadi dua kelompok untuk berkeliling melihat koleksi museum yang dipamerkan. No urut 1-25 ikut dengan Mbak Ari, sedangkan 26-50 dipandu dengan Pak Marjono. Sebelum masuk museum Mbak Ari mengingatkan kita untuk tidak makan, minum bahkan ngemut permen di dalam museum pun tak boleh. Ini untuk mencegah semut berkumpul masuk museum. Mungkin awalnya semut-semut ini hanya menghabiskan ceceran makanan. Tapi bisa saja kemudian mereka menggerogoti koleksi museum.
Kita juga diingatkan untuk tidak memotret menggunakan lampu blitz. Karena terlalu sering kena cahaya akan membuat warna kain tradisional memudar. Tapi kemudian larangan ini diralat menjadi tidak boleh memotret sama sekali (ah, nggak yakin deh pada patuh karena sampai di dalam tetap saja kamera pada beraksi L). Oh ya, kita juga diingatkan untuk tidak boleh menyentuh kain-kain yang dipajang karena keringat juga dapat merusak kain.
Ikut dengan rombongannya Mbak Ari, irma memasuki bangunan museum. Bagian dalam gedung ini terdiri atas beberapa ruangan. Beberapa ruangan memiliki pintu penghububung dan setiap ruangan memiliki corak tegel yang berbeda dengan ruangan lain. Tau tegel kan ? Itu loh, lantai. Cantik-cantik coraknya. Bisa jadi inspirasi untuk motif kain.
Ruangan pertama yang kita masuki berisi busana dan kain tradisional Aceh. Ciri khas kain dari daerah sini ialah warna hitam yang mendominasi. Ternyata sebelum bencana tsunami Aceh sempat mengembangkan batik. Tapi mungkin karena bencana itu maka pengembangan batik di Aceh terhenti.
Ruangan berikutnya berisi ulos Batak dari Sumatra Utara. Ulos memiliki nama sesuai peruntukannya. Biasanya ulos dihadiahkan, atau diberikan dalam upacara adat tertentu. Misalnya ulos Ragidup dari Toba. Ulos ini ditenun oleh lima orang wanita yang berbeda dan diselesaikan dalam waktu 20 hari. Asal kata nama ulos ini adalah ragi = pola, dan idup = hidup. Selain itu di dalam ruangan ini juga ada ulos Sadum. Dan ulos-ulos lain yang nggak sayangnya nggak diinformasikan dengan jelas nama dan daerah asalnya.
Dari Sumatra Utara kita pindah ke Lampung, melihat kain Tapis nya yang terkenal. Ada juga kain Kroe yang berasal dari Lampung Barat. Kain bermotif kepala kerbau ini sudah hampir punah karena tak ada lagi yang membuatnya.
Selanjutnya kita melihat Batik Besurek dari Bengkulu. Ia dinamakan seperti itu karena berisi kalam Ilahi berupa surat-surat dari Al Qur’an. Fungsi kain batik ini adalah untuk menutupi keranda jenazah.
Kain dari Jambi yang kali ini dipamerkan adalah selendang lokcan dan batik motif merak merem. ‘Mana meraknya ?’ Irvan perhatikan kain itu sungguh-sungguh, berusaha keras menemukan merak yang dimaksud. Entah ketemu entah tidak, tapi kemudian Irvan berseloroh bahwa motif kain itu adalah gambar tiga dimensi. Awas lho Van, nanti meraknya keluar dari kain trus matok kamu. Hehehe
Nah, sekarang kita memasuki area Jawa. Jelaslah, pasti batik yang paling ngetop di sini. Sebenarnya batik bukan nama kain. Tapi teknik membuat motif pada kain menggunakan lilin. Ada tiga jenis batik yang banyak dikenal oleh masyarakat umum ; batik tulis, batik cap, dan batik print. Cara membedakan batik tulis dengan batik lain adalah motifnya yang bisa dilihat dari dua sisi karena pengerjaannya (atau ngegambarnya) dua kali yaitu di sisi depan dan belakang. Motif batik tulis digambar menggunakan canting, sedangkan batik cap yaa… menggunakan cap. Kalau batik print, sebenarnya bukan batik tapi kain yang motifnya mengikuti motif yang biasa dipakai batik. Oh ya, ada lagi batik prada. Dulu aslinya batik ini dilapisi lempengan emas. Sekarang emas diganti dengan bronze.
Perkembangan batik di Indonesia berasal dari Yogya dan Solo dan hanya digunakan oleh pihak kraton. Ahh jadi ingat museum batik di Kraton Yogya J Batik yang dikembangkan di kraton disebut batik tradisional atau klasik. Motifnya berupa simbol-simbol. Jadi tidak terlihat jelas gambarnya gambar apa. Misalnya dibilang gambar garuda, nggak jelas kelihatan garudanya. Beda dengan batik pesisir yang motifnya naturalis, motif gambar sesuai yang dilihat pembuat batik. Misalnya batik Pekalongan yang mendapat pengaruh dari Cina dan Belanda. Dulunya kan di Pekalongan banyak tinggal keluarga Belanda. Noni-noni nya suka bawa buket bunga. Diilhami dari sini jadilah motif bunga-bunga yang sering kita lihat di batik Pekalongan. Dari daerah Pekalongan ini juga dikenal batik pagi-sore, yaitu satu lembar kain dengan dua motif dan warna yang berbeda. Batik ini berkembang di masa sulit. Maksud dari kain ini adalah selembar kain dapat digunakan pada dua acara yang berbeda. Misalnya pagi pakai motif A yang warna X, sore kainnya diputar jadi motif B yang warna Y. Sehingga kesannya kainnya ada banyak, gitu …
Contoh lain batik pesisir adalah batik Cirebon yang terkenal dengan motif mega mendung nya yang berupa ukel-ukelan. Juga batik Madura yang warnanya lebih ‘ngreng’. Daerah pesisir cenderung membuat motif batik berdasarkan benda-benda yang ada di sekitarnya. Misalnya motif urang ayu pada batik Cirebon yang diilhami dari udang.
Selain Cirebon, daerah penghasil batik yang terkenal di Jawa Barat adalah Garut. Motif batik ini juga bersifat naturalis. Karena di sana banyak Merak maka ada motif merak ngibing pada batik Garut. Di Ciamis juga dulunya banyak pembatik tapi sekarang sudah tidak ada lagi makanya batik Ciamis kini sudah punah. Sayang ya L
Yogya, Solo, Pekalongan, Madura, Cirebon, Garut, hampir semua kota di pulau Jawa punya ciri khas kain tradisional sendiri. Kalau bukan batik, kain tenun. Seperti daerah Pedan di Klaten yang merupakan penghasil lurik. Lurik adalah kain tenun polos yang paling mudah pengerjaannya. Lalu bagaimana dengan Jakarta ? Um, katanya nih pertengahan tahun ini Jakarta akan merilis batik dengan motif khas Betawi. Seperti apa ya ? Gambar ondel-ondel kali ya ?? Hihihihihi. Daripada asal nebak, kita tunggu saja ya.
Terakhir kita melihat-lihat kain tradisional Kalimantan. Seperti tenun ikat Sintang dan songket dari Sambas. Juga sasirangan yang mirip dengan jumputan. Beda sasirangan dengan jumputan adalah kain sasirangan dijelujur (atau istilahnya ‘disirang’) untuk membentuk motifnya. Sedangkan kain jumputan motifnya dibuat dengan cara diikat.
Di tengah ruangan ada baju pengantin putri bungsu Martha Tilaar yang berwarna ungu. Slayer nya yang panjang itu pembuatannya dibatik juga lho, oleh Iwan Tirta. Oh ya, selain baju pengantin ini ada juga baju dodot yang dulunya merupakan pakaian raja dan ratu tapi sekarang raja-ratu sehari pun banyak menggunakannya. Tau kan raja-ratu sehari itu siapa ? Itu lho, penganten …
Sebenarnya masih banyaaaak lagi kain tradisional koleksi museum tekstil tapi sayangnya tidak semua bisa dipajang karena tempat yang terbatas. Seperti kain tenun Geringsing dari desa Tenganan Bali. Tenun Geringsing adalah motif tersulit di dunia karena benang vertikal dan horizontal sama-sama diikat membentuk motif. Berbeda dengan kain tenun ikat biasa, hanya benang vertikal saja yang diikat.
Salah satu koleksi museum yang menarik adalah umbul-umbul bendera perang bertuliskan kaligrafi dari kraton Cirebon. Ini adalah kain tertua yang dimiliki museum karena berasal dari abad ke 17. Perlu perawatan ekstra terhadap kain ini makanya tidak sering dipajang. Biasanya hanya replikanya saja yang bisa dilihat pengunjung.
Selesai berkeliling melihat koleksi kain dan busana tradisional ini kita lalu diajak ke taman pewarna alam yang terletak di belakang bangunan utama. Di sini kita bisa melihat pohon-pohon yang menjadi bahan pewarna kain. Di pohonnya tertulis bagian pohon yang digunakan sebagai sumber warna dan warna yang dihasilkannya. Misalnya nih, kulit akar mengkudu sumber warna merah. Daun randu untuk warna abu-abu muda. Bunga ketepeng kebo bisa menghasilkan warna hijau dan kuning. Kayu pohon nangka untuk buat warna kuning. Bunga kembang pulu bikin warna jingga. Buah trengguli hasilkan warna coklat muda. Dan buah jambe atau pinang buat warna coklat. Yang menarik nih, kayu ulin jika direbus akan menghasilkan warna abu-abu dari rebusan pertama, dan warna coklat dari rebusan kedua.
Di taman pewarna alam ini dua nara sumber berselisih pendapat tentang cara memperoleh pewarna alam dari daun. Pak Marjono mengatakan daun langsung direbus, lalu didiamkan selama 2x24 jam dan diambil ekstraknya. Tapi Mas Mule yang pake kacamata gagang merah bilang daun kudu dijemur dulu baru direbus. ‘Nggak, kalo dijemur dulu malah hilang warnanya,’ sanggah Pak Marjono. Wah, kalo udah selisih gini jadi males deh nyimaknya. Irma lalu balik gedung utama, makan comro dan minum batthee yang disediakan panitia. Abis gitu sama Ela, Nani dan Tety ngejogrog di depan prasasti museum. Ngobrol dan mencatat sejarah bangunannya. ‘Kayaknya kita lagi jadi anak bandel deh,’ celetuk Nani. Hehehehe, sekali-kali deh nggak pa-pa J
Udah puas makan dan minum irma lalu bergabung dengan peserta lain di joglo. Acara ngebatiknya udah dimulai. Para peserta diberi selembar kain putih yang sudah ada gambarnya. Mau ngegambar sendiri juga sebenarnya bisa kok. Duduk melingkar mengelilingi kompor dan wajan berisi lilin cair, para peserta tekun mainkan canting. Disarankan untuk mengenakan celemek untuk mencegah tetesan lilin kena baju. Sebelum mulai membatik irma berkeliling ruangan cari tempat kosong. Juga lihat peserta lain beraksi. Lihat Mama Oen serius goreskan lilin di atas gambar kupu-kupu. Tapi karena lilinnya ngeblobor jadinya ngegambar kupu-kupu hamil mau bertelur, hihihi. Ya nggak pa-pa, improvisasi kan bagian dari kreatifitas ya Mama Oen … J
Akhirnya dapat tempat juga jadi irma bisa mulai membatik. Ela, Nani dan Tety yang sebenarnya nggak daftar ngebatik ikut main-main canting juga. ‘Gini pegangnya La,’ Tety ajarkan Ela menggunakan canting. Cuma sebentar aja mereka main-main canting karena mereka lebih tertarik untuk motretin Wahyudi yang seriuuuss banget ngebatiknya. Sampe kacamatanya melorot-lorot gitu nggak dibetulinnya tuh !
Selesai melilin – mengolesi bagian kain yang tidak ingin terkena bahan pewarna dengan lilin – irma serahkan kain kepada petugas dari museum yang akan mencelupnya ke dalam bahan pewarna. Ada dua pilihan warna hari itu, merah dan coklat. Tentu irma pilih merah dong ! irma tea … pencinta merah. Irma is such a red lover but not Liverpool …
Trus abis gitu, ngapain ? Terpisah dengan rombongan lain irma el-el keliling museum sendirian. Masuk ke gedung di depan joglo tempat tadi ngebatik, di sana ada peralatan membuat kain. Ada ATBM – Alat Tenun Bukan Mesin, ada alat tenun gedogan dan bambu dari Pekalongan, dan Mesin Garabo dari Surakarta. ‘Kenapa namanya ATBM ya, padahal kan di zaman dulu yang namanya mesin tuh kayak gini,’ komentar Rahmat. Umm, mungkin untuk membedakan bahwa ATBM itu digerakkan dengan tangan manusia, sedangkan mesin pakai tenaga listrik.
Di belakang ruangan tempat alat-alat itu ada ruang-ruangan lain berisi busana karya disainer Indonesia. Sayang sekali tempatnya suram malah beberapa tempat agak kurang pencahayaannya. Mana sepi lagi. Jadi kesannya spooky gitu. ‘Hiiii… serem. Awas tuh ada apa di sana,’ kata Ela waktu irma beranjak ke belakang. Ada manekin. Tau manekin kan ?? Itu lho, boneka buat majang baju.
Dari gallery itu irma balik ke gedung utama. Di halaman ketemu Wahyudi yang ngiler lihat siomay. Di halaman museum memang banyak yang jualan makanan. Ada siomay, lontong sayur, bakso, dan tentu saja teh botol. Wahyudi ngajak makan siomay. Kan bentar lagi makan siang Di, nanti jatah makan dari Batmus nggak kemakan dong ?? ‘Ya udah berdua aja,’ Wahyudi keukeuh ingin makan siomay. Jadilah kita makan siomay sepiring berdua …
Di dalam gedung utama lagi diputar film djadoel. Sempat ngintip sebentar tapi perasaan irma udah sering lihat film itu. Jadi irma keluar lagi dan motret-motret gedung. Inginnya sih motret keseluruhan gedung dari tengah halaman. Tapi daun-daun pohon nutupin sebagian gedung. Udah dibela-belain jongkok dan merunduk tapi tetap aja daunnya terambil dalam foto. ‘Kan justru daun-daunnya bikin bagus Ma,’ kata Nani. Nani … penggemar ijo, terang aja ada daun warna ijo makanya dibilang bagus. Hehehe …
Nggak berapa lama kemudian diumumkan untuk mengambil makanan. Untuk mendapat jatah makan ini kita harus menukar kupon yang diperoleh waktu registrasi tadi pagi. Wahyudi udah ambil duluan dan duduk di pojok teras gedung bareng-bareng Oma Anna. ‘Tadi Wahyudi nggak pake kupon !’ kata Cindi waktu irma ambil jatah. Oh ya, pasti kuponnya ketelingsut entah di mana. ‘Name tag ku hilang,’ kata Wahyudi waktu irma bergabung dengannya, ‘kuponnya kan di situ.’ Hmm, untung kamu dipercaya sebagai orang baik-baik ya jadi tetap dapat makan siang. Atau tadi Cindi kamu rayu apa makanya dia mau kasih tanpa kupon, Di ? Wahyudi nyengir aja dan lanjut menyantap nasi langgi dari kotak bertuliskan Kemuning. Nasi langgi nya enak !
Karena irma masih kenyang jadi nasi langgi punya irma disimpan dulu, buat nanti makan di kereta. Lagi nemenin Wahyudi makan gitu Deedee kasih tau kalau batik yang tadi dicelup sudah bisa diambil. Batiknya Wahyudi tadi dicelup warna apa, biar sekalian irma ambilkan. ‘Merah,’ Wahyudi bilang, masih sibuk menghabiskan tempe yang disumbang Ela dan Nani. Irma lalu jalan ke belakang. Di depan joglo tampak batik-batik yang tadi dicelup sedang dijemur. Punya irma udah ketemu. Punya Wahyudi mana ya ?
Nggak ketemu. Nyerah deh. Irma balik lagi ke gedung utama. Nggak ada Di, betul tadi celupnya warna merah ? ‘Iya, merah kok,’ Wahyudi menjawab pasti. Ok, irma coba cari lagi ya. Balik lagi ke joglo. Di jalan ketemu Mama Oen yang juga mau ambil batiknya. Mama Oen punya batiknya warna coklat.
‘Lho ini tho, punya Wahyudi ?’ Mama Oen menunjuk batik coklat. Irma mendekat. Ah iya, betul itu yang Wahyudi buat tadi. Jelas-jelas ada namanya. Coba ya, tadi siapa yang keukeuh batiknya warna merah ??
Sekarang ngapain lagi nih ? Keliling museum, udah. Ngebatik, udah. Udah jadi lagi batiknya. Makan nasi langgi, udah. Berarti selesai sudah acara hari ini. ‘Irma, Ela mau ke Bogor,’ Tety ingatkan irma untuk ambil tas yang dititip di mobil Ela. Setelah ambil tas lalu kita berpisah. Trio Power Puff Girl Batmus itu pergi duluan. Sebelumnya Tety diajak ngobrol lamaaaa banget sama cogan bule tapi Ela yang katanya ada keperluan mau ke Bogor nggak protes. ‘Nggak apa-apa, gue dukung kok,’ kata Ela. So, gimana tuh kelanjutannya Ty, kan dia minta kartu namamu …
Nggemblok ransel di punggung dan sandang tas kerja di bahu, irma dan Wahyudi berjalan meninggalkan museum tekstil. Tujuan berikutnya adalah stasiun Gambir. Sore ini irma harus berangkat ke Bandung untuk audit kebun teh di Rancabali, Ciwidey besok. Sementara itu kloter kedua yang mau ngebatik baru bergerak ke joglo. ‘Tanganku udah gatel, nggak sabaran mau ngebatik,’ kata Elvi. Hm yah, mudah-mudahan gatelnya segera hilang ya Vi …
(catatan : foto dari Nani Muliyani)
abisnya gue kan anak metal, dan nggak tau gimana salam nya B2W, hehe.
ReplyDeleteBtw, cerita PTD Ngebatiknya boleh gue posting di milis BatMus nggak ?
boleh, apa sih yang nggak buat lu anak metal ?? metal man, metal ! huahahahahaha ....
ReplyDeletelengkap banget nih laporannya. jadi serasa ikutan juga.
ReplyDeletemenarik...menarik storynya....jadi kepingin kesana....Cari waktu kosong tuk kesana dech....Thanks buat info-nya....
ReplyDeletecheers