Sebenarnya nama resminya adalah Museum Nasional Jakarta. Tapi masyarakat umum lebih mengenalnya dengan museum gajah karena di halaman depan museum ini terdapat patung gajah hadiah Yang Mulia Somdej Praparamintramaha Chulalongkorn, Raja Siam yang diberikan kepada pemerintah kota Batavia sebagai kenangan atas kunjungan beliau ke kota ini pada bulan Maret 1871M (sesuai yang tertulis di pedestal patung gajah). Patung ini ditukar dengan beberapa arca dari candi-candi di Indonesia, salah satunya adalah arca Ganesha dari candi Prambanan. Wow, alangkah mahalnya harga sebuah patung gajah dari Thailand …
Seharusnya pintong ini dimulai jam 8.30 seperti ditulis di milis Batmus. Tapi yah yang namanya pintong kan intinya suka-suka. Suka-suka mau ke mana, suka-suka mau ngapain, juga suka-suka mau mulai dan berakhir jam berapa. Jadi harap maklum jika sampai hampir jam 9 tidak ada tanda-tanda kehadiran panitia, itu karena mungkin juragan Batmus nya lagi ada keperluan di tempat lain. Tapi sepertinya peserta ok-ok aja acara bergeser dari rencana. Waktu menunggu dimanfaatkan untuk foto-foto di depan museum atau ngobrol antar sesama Batmus. Aryo, Risca, irma dan Wahyudi lagi berfoto nyobain tripodnya Wahyudi waktu seseorang menghampiri. ‘Eh, hai, ini dari mmm… Sahabat Museum itu ya ?’ ia bertanya sama irma. Iya, betul. Kamu siapa ya ? Kiranya itu Steeve, yang kemarin di milis wanti-wanti jangan sampai ditinggal pintong. Malah Steeve kasih tau no hp nya juga, minta dihubungi kalau acara mau dimulai. Tenang Steeve, juragannya Batmus juga belum datang kok.
Wah ternyata Adep kena macet waktu lewat Tanah Abang. Gitu katanya waktu membuka pintong. Selain memperkenalkan Sahabat Museum kepada peserta yang baru kali itu bergabung acara Batmus, Adep juga perkenalkan Pak Dwi Cahyono yang akan bercerita tentang arca-arca di museum gajah. Pak Dwi adalah dosen jurusan Sejarah (atau Arkeologi ya ??) di satu perguruan tinggi di Malang. Kebetulan Pak Dwi lagi ada acara ke Jakarta. Jadi diajak Adep untuk menjadi nara sumber pintong ini. ‘Ya sebenarnya saya dibajak lho,’ seloroh Pak Dwi karena permintaan Adep ini mendadak baru diterimanya waktu beliau akan berangkat ke Jakarta. Adep sang pembajak nyengir dengar candaan Pak Dwi.
Maya Hadi – yang kali itu tidak lengkap trio kwek-kweknya – membantu Adep menulis nama-nama peserta pintong di stiker pengganti name tag. Setelah pembukaan dan perkenalan tadi kita memasuki gedung utama museum. Pembelian tiket dilakukan oleh masing-masing peserta. Rp 750,00 untuk satu orang dewasa ditambah Rp 3.000,00 jika membawa kamera. ‘Haaa… zaman gini masih ada harga tiket masuk nggak sampe seribu ??’ Risca terbengong-bengong lihat tiket di tangannya. Hee… murah banget ya. Sepadan nggak dengan nilai heritage di dalamnya ??
Wahyudi yang baru berulang tahun berbaik hati menraktir irma, Risca dan Aryo dengan tiket masuk museum dan izin membawa kamera. Hehe, unik juga traktirannya. Lebih keren dikit lah daripada seorang batmus yang pernah traktir WC di museum kereta api Ambarawa waktu PTD Semarang-Ambarawa bulan Mei 2005 lalu, hihihi …
Pak Dwi mulai dari tiga patung Dhyanibuddha dari Borobudur yang ada di teras museum. Seharusnya ada empat, tapi yang satu entah kemana. Patung ini menggambarkan Budha dari tataran tertinggi dalam konsep Budhisme, yaitu yang bersahaja dan telah meninggalkan keduniawian. Budha digambarkan tanpa baju kebesaran dan mahkota. Rambutnya yang keriting searah jarum jam disanggul kecil di pucuk kepala. Namanya Ushnisa. Di tengah keningnya terdapat tonjolan kecil (kurna) seperti yang sering kita lihat pada orang India. Daun telinganya yang panjang menggambarkan Budha maha mendengar. Matanya setengah terpejam sebagaimana layaknya orang sedang beryoga. Di lehernya terdapat tiga guratan sebagai lambang kesabaran. Budha mengenakan jubah yang menutupi bahu kiri sampai pergelangan tangan dan panjangnya sampai mata kaki.
Ketiga Budha ini (atau seharusnya empat) duduk bersila di atas padmasana - singgasana teratai merekah - dengan sikap tangan yang berbeda. Sikap tangan ini disebut mudra. Waramudra ditandai dengan tangan kanan terbuka menggambarkan Budha memberi anugrah kepada manusia. Bumispara mudra menunjukkan Budha berhasil mengatasi godaan, ditandai dengan tangan kanan memanggil bumi sebagai saksi. Dan Abhayamudra yang menunjukkan Budha menangkal bahaya ditandai dengan telapak tangan kanan menghadap ke depan. Sedangkan pada patung Budha yang tidak ada di tempatnya itu sikap tangannya adalah Dhyana mudra atau Amitaba yang menunjukkan Budha sedang mengheningkan cipta. Dari mana tau sikap tangannya kalau patungnya tidak ada ?? Kan judul patungnya tetap ada di sana.
‘Pak, ke sebelah sini dulu ya,’ Adep mengajak Pak Dwi dan peserta lain belok kiri melihat suatu tugu batu dengan lambang bola dunia di atasnya. Itulah Padrao, peninggalan Portugis di Batavia yang menunjukkan perjanjian kerja sama bangsa Portugis dengan Kerajaan Sunda dalam hal perdagangan di abad ke 16. Perjanjian itu juga sebagai upaya Kerajaan Sunda memperoleh bantuan dalam menangkal serangan Kerajaan Islam Demak yang akan menguasai Sunda Kelapa. Batu peringatan itu ditemukan di jalan Cengkeh, Jakarta yang dulunya bernama Prinsen Straat. ‘Ini kan suatu peninggalan penting yang menunjukkan sejarah Jakarta tapi kok ditaronya begini aja,’ keluh Adep. Letak Padrao memang agak nyempil di pojok, nyaris nggak kelihatan orang yang masuk museum.
Dari Padrao kita bergerak masuk ke pelataran dalam museum dan bertemu dengan arca Ganesha. Tau kan, Ganesha adalah dewa berkepala gajah. Pak Dwi menunjukkan Ganesha dalam posisi duduk dan berdiri. Karena perutnya gendut Ganesha tidak dapat bersila. Ia duduk seperti seorang bayi. Dalam posisi berdiri, Ganesha mengangkat satu kakinya. Ini menunjukkan Ganesha sedang menari. Maklum, ia anak Siwa yang juga merupakan raja penari. Bedanya tarian Siwa serius untuk pemujaan, sedangkan tarian Ganesha jenaka dan disukai perempuan.
Ganesha (lambang sekolah irma nih J) adalah putra dewa Siwa dan dewi Parwati. Rambutnya disanggul tinggi hingga membentuk mahkota yang disebut jathamakuta. Di mahkota ini ada lambang tengkorak di atas bulan sabit yang disebut candrakapala. Di tengah dahinya terdapat mata ketiga yang disebut trinetra. Jathamakuta, candrakapala dan trinetra juga ada pada Siwa.
Belalai Ganesha selalu digambarkan berbelok ke kiri. Seorang batmus mengatakan di arca yang lain ada juga belalai yang belok ke kanan. Kata Pak Dwi itu adalah semacam arca yang rijek karena tidak sesuai dengan silvasastra atau pakem dalam perarcaan. Ternyata tidak boleh sembarangan dalam membuat arca.
Ganesha memiliki empat tangan. Tangan kanan depan memegang patahan gadingnya yang digunakan sebagai senjata. Ini menunjukkan bahwa Ganesha bertindak sebagai penghalau angkara murka atau kekuatan jahat. Karena gadingnya cuma satu maka Ganesha disebut ekadanta (bergigi tunggal). Tapi kalo Ganesha di sekolah irma, dibilangnya gadingnya dipatahkan sebagai pengorbanan yang harus dilakukan untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Tangan kiri depan Ganesha memegang mangkuk atau batok kepala yang dibelah untuk menghisap otak isi kepala. Karena itu Ganesha disebut dewa pendidikan. Nah, ini sama seperti yang diajarkan di sekolah irma bahwa mangkuk itu lambang sumber ilmu pengetahuan yang tidak habis-habisnya. Tangan kanan belakang Ganesha memegang tasbih dan tangan kiri belakang memegang senjata. Di leher Ganesha terpasang tali yang disebut upawita. Sedangkan di belakang kepalanya ada lingkaran yang disebut sirascakra. Sirascakra hanya dimiliki para dewa. Dari tubuh dewa juga memancar cahaya yang disebut Prabawali.
Apakah Ganesha memiliki kendaraan atau tunggangan ? Ya, tunggangannya adalah tikus. Haaa…. kontras banget badan segitu gede punya tunggangan mungil gitu ?? Bukannya kalau di cerita-cerita tuh gajah takut sama tikus ?? Mungkin benar begitu. Tapi sebagai dewa perang Ganesha harus memiliki pasukan perusak maka dalam hal ini tikus adalah yang paling pas. Tau sendiri kan, tikus suka nggerogoti barang-barang sampai rusak. He eh, sebenarnya pasukan Ganesha adalah para gana yang merupakan prajurit dewa Siwa. Karena itu Ganesha disebut ganapatya atau pemimpin para gana. Ganesha juga disebut dewa penyingkir rintangan.
Oh ya, tau nggak kenapa Ganesha berkepala gajah ? Kalau mau tau baca aja kitab Smaradhana …
Di sebelah arca Ganesha yang berdiri di atas satu kaki ada arca seorang lelaki tua berperut gendut. Perut gendut seperti ini disebut kumbayoni. Artinya berperut seperti jambangan. Katanya nih, istilah kumbayoni ini berasal dari peristiwa dewa-dewa meminum air sungai sampai kering agar bisa nyebrang. Saking banyaknya air yang diminum maka perut jadi buncit. Peristiwa ini terjadi saat mereka pindah dari India Utara ke Selatan dalam rangka penyebaran agama Hindu.
Nama arca pria berperut buncit ini sudah tidak ada. Entah benar entah tidak, Pak Dwi bilang namanya dicopot karena arca ini adalah bahan ujian. Pak Dwi mengajarkan cara mengetahui nama arca tersebut berdasarkan ciri-cirinya. Pria pada arca itu memiliki jathamakuta, perut kumbayoni, tangan kiri memegang guci berisi air kehidupan yang disebut amertha, tangan kanan memegang tasbih, di bahu kiri tersampir camara (alat pengusir lalat) dan trisula di bahu kanan. Itu adalah Siwa Mahaguru atau Siwa Mahayogin.
‘Nah ini adalah patung yang unik karena biasanya figur ini digambarkan dalam bentuk relief bukan patung,’ Pak Dwi memegang patung lelaki berkaki burung. Itu adalah Kinara, manusia setengah dewa. Kinara selalu digambarkan bersama pasangannya, Kinari. Mereka merupakan musisi yang menghibur dewa-dewa dengan alat musik semacam siter yang disebut wina. Kinara-Kinari banyak digambarkan di relief-relief candi dari wangsa Syailendra di Jawa Tengah. Di Jawa Timur Kinara-Kinari hanya ada di Candi Badut (di manakah itu ??)
Kita bergeser ke arca Durga Mahisasuramandiri. Arca ini menggambarkan adegan dewi Durga membunuh raksasa bernama Asura yang menjelma dalam kerbau bernama Mahisa. Tangan kiri Durga menjambak rambut Asura dan tangan kanannya memegang ekor Mahisa. Dewi Durga ditugaskan para dewa untuk membunuh Asura. Untuk melaksanakan tugasnya itu Durga dibekali perlengkapan perang seperti pedang. Beberapa perlengkapan diberikan oleh dewa lain, seperti cakra dan sangka (terompet dari cangkang siput) pemberian dewa Wisnu. Konon Durga memiliki tangan hingga seribu. Tapi mungkin kalau bikin seribu tangan pematungnya nggak sanggup karena udah keburu kecapean, maka digambarkan Durga hanya memiliki delapan tangan.
Berikutnya kita bertemu dengan arca Brahma yang memiliki empat kepala. Brahma adalah dewa pencipta. Suatu waktu ia mencipta bidadari cantik bernama Supraba yang kemudian ditaksir Newatakawaca dalam cerita Arjuna Wiwaha. Saking cantiknya Supraba, Brahma yang menciptanya pun terkagum-kagum hingga melihatnya dari segala penjuru. Karena itu Brahma memiliki empat kepala. Betul tidak ya ??
Trus kita ketemu dengan Padmapani. Padmapani adalah Dhyanibodisatwa yang membawa padma atau bunga teratai. Dhyanibodisatwa adalah Dhyanibuddha yang belum mencapai tingkat tertinggi pemahaman Budha. Ia digambarkan duduk dengan kaki menjejak tanah dan mengenakan mahkota (lambang duniawi).
Abis gitu Pak Dwi menerangkan arca Kuwera, dewa kekayaan. Ia duduk dengan kaki kanan menginjak pundi-pundi atau guci berisi uang. Di tangan kirinya ada tupai. Apa hubungannya kekayaan dengan Tupai ya ? Pak Dwi sendiri juga heran. Kuwera adalah salah satu dari arca dewa yang dipasang di delapan penjuru mata angin.
‘Sekarang saya akan menerangkan salah satu maestro museum ini,’ Pak Dwi mengajak kita pindah ke ruangan tengah. Di sana ada arca terbesar koleksi Museum Nasional. Itu adalah arca Siwa sebagai Bhairawa yang ditemukan di Sumatra Barat. Bhairawa berdiri menginjak mayat di atas singgasananya yang terdiri dari tengkorak-tengkorak. Bhairawa ini adalah perwujudan Raja Adityawarman. Dalam tantrayana Hindu, Bhairawa adalah dewa yang paling dipuja. Upacara pemujaannya dilakukan dalam kuburan (kusetra) dan peserta upacara dilumuri abu jenazah. Ada 5M dalam upacara ini, antara lain mudra (sikap tangan), matsin (ikan), maituna (berhubungan seks) dan madan (mabuk dengan darah). Semua itu bertujuan untuk untuk mempercepat mendapat kekuatan magis. Hiiii…
Tangan kanan Bhairawa pada arca ini memegang pisau pengoyak daging dan mangkuk penampung darah di tangan kanan. Sebenarnya tangan Bhairawa ada empat, tangan yang dua lagi memegang tasbih dan kendang kecil bernama damaru. Satu lagi yang tidak digambarkan dalam arca ini adalah kendaraan Bhairawa yang berupa serigala. Halah, halah, serem amat semua yang berhubungan dengan dia L
Maestro lain yang diterangkan oleh Pak Dwi adalah arca Ratu Shinta yang pernah dibawa ke pameran di Amrik. Arca ini berasal dari masa Majapahit dan ditemukan di situs Jebuk, Tulung Agung. Situs Jebuk adalah situs pemujaan dewi Suhita putri dari Hayam Wuruk. Arca ini menggambarkan istri dewa Siwa yang bernama Parwati. Parwati mengenakan pakaian kebesaran dan banyak perhiasan. Ada kalung, cincin di jari-jari tangan dan kaki (walah, trend pake toe ring ternyata udah ada sejak djadoel !), anting, gelang kaki, sampur, upawita berupa rangkaian manik-manik, dan selendang yang diselempangkan seperti yang dipakai pada kontes putri-putrian. Arca dewi ini digambarkan tanpa penutup dada tapi bukan berarti gaya berpakaian di zaman dulu seperti itu lho ! Ya namanya juga arca pemujaan, jadi dibuat seindah-indahnya termasuk bentuk tubuh. Pada sisi belakang arca ini ada teratai yang tumbuh dari air. Cuma satu komentar untuk arca ini : Cantik.
‘Tadi ada yang nanya Bima ya,’ Pak Dwi beranjak ke arca pria bermahkota supit urang (udang) yang sering kita lihat di cerita pewayangan. Ciri khas Bima adalah kuku pancanaka nya. Ia memiliki banyak rambut dan kumis yang diplintir. Bima memiliki phalus (alat kelamin pria) yang sangat besar sehingga menonjol dari pakaiannya. Karena itu Bima dianggap lambang kejantanan. Katanya nih, sungai Serayu terbentuk karena phalus Bima yang tidak proporsional itu.
Dari Bima kita berpindah ke arca Kartikeva atau Skanda. Skanda adalah saudaranya Ganesha, anak dewi Siwa dan dewi Uma. Kendaraan Skanda adalah burung unta yang bisa berlari kencang dan sangat berguna dalam perang. Skanda tidak terlalu terkenal seperti Ganesha karena dia hanya memiliki satu fungsi, yaitu dewa perang yang memimpin para gana. Kalau Ganesha kan selain dewa perang juga dewa pendidikan dan penyingkir rintangan.
Uma, Parwati, Durga, itu semua adalah nama-nama istri dewa Siwa. Tapi itu bukan berarti bahwa Siwa beristri banyak. Istrinya cuma satu, tapi namanya berganti-ganti sesuai sifat dan perwujudannya. Uma dan Parwati digambarkan sebagai perempuan berwajah teduh menenangkan, sedangkan Durga galak dan agresif. Buktinya Durga kan yang berhasil membunuh raksasa Asura ??
Siwa sendiri bisa digambarkan berbagai macam. Sebagai Siwa Mahadewa, Siwa Mahaguru dan yang sering digambarkan di pintu-pintu masuk sebagai penjaga adalah Siwa Mahakala dan Siwa Nandiswara. Siwa Mahakala memegang gada sedangkan Siwa Nandiswara memegang trisula. Kendaraan Siwa adalah lembu jantan bernama Nandi. Di tengah-tengah halaman museum terdapat arca Nandi sedang duduk sebagaimana layaknya seekor lembu alias sapi. Katanya pose Nandi ini menunjukkan kedamaian.
Pak Dwi mengajak kita keluar, melihat sederet arca pengiring Budha di candi Jago, Tumpang, Malang. Para pengiring itu adalah Syamatara, Sudhanakumara, Bhrkuti dan Hayagriwa. Mereka semua dinamakan Budha Tantrayana. Ada keunikan pada arca ini yaitu digunakannya huruf pra-nagari yang hanya dipakai di masa Syailendra dan Singosari. Biasanya arca dan prasasti yang ditemukan di Indonesia menggunakan huruf Palawa. Arca Budha Tantrayana ini berasal dari masa Singosari. Arca-arca dari masa itu indah, bagus dan digambarkan secara proporsional.
Di sebelah arca Budha Tantrayana ini ada prasasti Anjukladang. Prasasti ini terbuat dari batu, makanya disebut linggoprasasti. Prasasti bisa dibuat dari berbagai material ; batu, tembaga, dan pohon tal yang tentunya tidak bisa bertahan melalui pergantian zaman. Prasasti Anjukladang ini dibuat pada tahun 929, bercerita tentang kemenangan Mpu Sendok atas musuhnya. Ada yang mengatakan musuhnya ini adalah Malayu. Tapi kebenaran ini diragukan karena tidak ada disebut-sebut Malayu dalam prasasti ini. Nama Anjuk pada prasasti ini yang kemudian menjadi Nganjuk, nama kota di Jawa Timur.
Dari prasasti Anjukladang itu kita menyusuri selasar museum. Melihat relief bergambar buaya di atas punggung kerbau. Ini cerita tentang buaya yang hendak melahap kerbau setelah dibantu kerbau menyebrang. Nggak sopan banget ya, udah dibantu malah berbuat jahat sama yang membantunya. Cerita-cerita fabel seperti ini ada dalam Tantrikamandaka.
Di halaman tengah tempat arca Nandi banyak terdapat yoni. Pak Dwi menerangkan beda yoni dengan pedestal. Yoni biasanya dipakai dalam upacara-upacara, tempat dialirkan air suci dan terdapat lubang berbentuk persegi sebagai tempat pasangannya, lingga. Sedangkan pedestal adalah alas atau pondasi arca yang ditandai dengan lubang berbentuk lingkaran pengunci arca agar arca di atasnya tidak bergeser-geser.
Pak Dwi juga menunjukkan jaladwara yaitu arca pancuran untuk mengalirkan air yang berbentuk kepala naga (wah pak, tadinya irma kira itu ular slytherin, hihihi… maklum baru abis baca harry potter J), relief Arjuna digoda perempuan pada saat sedang bertapa, dan Nawasinga yang merupakan penjelmaan atau awatara dari Wisnu yang turun ke bumi dalam bentuk manusia setengah singa. Selintas Nawasinga ini seperti tokoh Hanoman versi Thailand. Eh tapi di situ juga ditulisnya Hanuman kok, bukan Nawasinga. ‘Iya, saya kurang setuju ini disebut Hanuman karena profilnya lebih menyerupai Nawasinga, salah satu dari dasa awatara Wisnu,’ kata Pak Dwi.
Di ujung selasar, di pojok, ada arca Siwa dan istrinya yang disebut Recomanten. Di sebelahnya Peripih. Peripih terdiri atas kotak-kotak berjumlah ganjil untuk menyimpan abu jenazah dan benda-benda keduniawian seperti biji-bijian. Peripih disimpan di bagian bawah candi, di atasnya ada sumuran, baru kemudian arca. Pada saat pemujaan, arca ini memperoleh cahaya dari atas sebagai spirit sehingga seolah arca itu memperoleh roh dan menjadi hidup. Abu jenazah yang disimpan di peripih berasal dari orang yang dipuja, misalnya raja atau ratu.
Sedang Pak Dwi menerangkan relief pemandangan pedesaan seperti yang ada di Trowulan, Steeve menghampiri irma. ‘Ma, gue mau tanya tapi takutnya OOT. Sebenarnya dulunya ini bangunan apa sih ?’ tanyanya. Mmm… setau irma sejak dulu bangunan ini memang peruntukannya buat museum. Tadi Adep sempat singgung tentang Batavia Genootschap yang mengelola museum ini di zaman Belanda dulu. Batavia Genootschap van Kunsten en Wetenschappen adalah perhimpunan yang didirikan di Batavia pada tanggal 24 April 1778. Mereka memiliki motto Ten Nutte van het Algemeen yang kurang lebih berarti ‘untuk kepentingan publik’. Anggota perhimpunan mengumpulkan berbagai koleksi zoologi, buku, naskah kuno, alat musik, mata uang, flora, tanaman kering, arkeologi, sejarah, etnografi, geologi, seni rupa, keramik, dan banyak macam lagi. Tapi pada akhirnya mereka fokus di bidang arkeologi, sejarah, numismatik dan etnografi. Koleksi-koleksi lain dihibahkan ke Arsip Nasional (naskah kuno), Perpustakaan Nasional (buku), Galeri Nasional (karya seni rupa), dan lembaga-lembaga lain yang relevan. Beberapa koleksinya malah ada yang dibawa ke Rijksmuseum voor Volkenkunde Leiden (RMV). RMV yang didirikan di abad ke-19 mendeklarasikan dirinya sebagai museum tertua di dunia meskipun sebenarnya mereka lebih muda daripada Batavia Genootschap. Memang Batavia Genootschap semula tidak berawal sebagai museum, tapi perhimpunan kolektor. Gedung museum nasional ini mulai ditempati Batavia Genootschap sejak tahun 1868.
Weitttsss…. Pak Dwi udah pindah lagi. Sekarang beliau menerangkan Yupa, prasasti tertua dari masa pemerintahan Mulawarman di Kutai, Kalimantan Timur. Ternyata untuk menulis prasasti itu sebelumnya ditoreh dulu titik-titik di batu untuk menandakan tempat menaruh huruf-huruf sehingga menjadi rangkaian tulisan. Wah, Maya h2co4borneo76 langsung berseri-seri mukanya waktu Pak Dwi bercerita tentang Kutai. Maklum, itu daerah asalnya meskipun Maya sudah melanglang buana ke mana-mana. Mungkin Maya bisa bercerita lebih banyak lagi tentang prasasti Yupa ini.
Di sekitar Yupa terdapat arca dari masa Majapahit yang ditandai dengan ukiran teratai yang tumbuh dari jambangan. Kalau yang dari masa sebelumnya teratai digambarkan tumbuh dari tanah atau air seperti pada arca Ratu Shinta tadi. Ada arca Harihara yang merupakan perwujudan Raden Wijaya sebagai Siwa dan Wisnu. Harihara memegang sangka, ciri khas Wisnu. Tapi Pak Dwi tidak menjelaskan apakah Harihara ini menunggang Garuda (kendaraan Wisnu) atau lembu Nandi (kendaraan Siwa).
Kita lalu menelusuri selasar lagi, balik ke ruangan depan melewati sederet arca Durga Mahisasuramandiri bersenjata ketaka atau tameng, dagoba (tempat penyimpanan bagian tubuh seperti kulit dan rambut), Siwa yang duduk di bahu Nandi manusia berkepala lembu, dan arca dengan huruf kudarat yang berkembang di kerajaan Kediri pada abad ke-12. Sampai depan kita masuk ruang pamer. Arca-arca di sini diberi lampu sehingga kesannya gimanaa… gitu.
Pak Dwi menerangkan cerita dari arca Samudramenthana. Arca ini bercerita tentang usaha dewa-dewa dan raksasa memperoleh air suci amertha dari dasar samudra. Puncak gunung Mandara dipotong dan ditaruh di atas punggung kura-kura. Seekor naga melilit gunung ini. Ekornya dipegang dewa-dewa dan kepalanya dipegang para raksasa. Ekor dan kepala ini ditarik bergantian sehingga samudra teraduk dan laut bergolak. Amertha memancar keluar tapi raksasa yang mendapatkannya. Raksasa ini bersifat jahat. Dewa-dewa khawatir kejahatan akan merajalela karena amertha membuat raksasa bersifat abadi. Untuk itu amertha harus direbut. Dewa-dewa berhasil merebut amertha tapi karena sebagian amertha ini sudah terminum oleh raksasa maka akhirnya kejahatan selalu ada di muka bumi.
‘Terakhir nih,’ Pak Dwi beranjak ke suatu prasasti dengan beberapa kepala kobra di atasnya. Itu adalah prasasti Telaga Batu yang ditemukan di pulau Bangka. Prasasti itu berisi kutukan. Pada masa itu Bangka baru dikuasai kerajaan Sriwijaya. Untuk menakut-nakuti rakyat agar mereka tidak memberontak maka dibuatlah prasasti persumpahan itu.
‘Satu lagi ya,’ Pak Dwi rupanya masih semangat bercerita, ‘ini bonus nih.’ Pak Dwi menunjukkan arca Amoghapasha yang dikirim untuk melaksanakan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 atas perintah Kertanegara. Setelah itu selesai sudah acara pintong kali ini. Wah, banyak sekali cerita Pak Dwi ya. Pantas beberapa batmus mengatakan beliau adalah ensiklopedi hidup J
Referensi :
- Warisan Budaya Bersama, Endang Sri Hardiati dan Pieter ter Keurs, Katalog Pameran Mewarisi Bersama Makna Masa Singhasari dan Makna Koleksi, Museum Nasional Jakarta 15 Agustus – 13 November 2005 dan Amsterdam 17 Desember 2005 – 17 April 2006, kerja sama Rijksmuseum voor Volkenkunde Leiden, Museum Nasional Jakarta dan Stichting Projecten De Nieuwe Kerk Amsterdam
- Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut, Aiaz Rajasa, 2005
- Candi Borobudur Selayang Pandang, Sutanto, 2005
- Penjelasan Pak Dwi Cahyono selama pintong
Jakarta, 16 Maret 2006
waktu SMA dulu irma pernah punya cita-cita jadi sarjana kimia lalu kerja di Museum Gajah karena baca di koran museum itu butuh ahli kimia buat merawat koleksinya
nice article :)
ReplyDelete