Wednesday, May 3, 2006

PTD Tamatlah Hindia Belanda - Minggu, 30 April 2006


Menyusuri Jejak Kemerdekaan ke Rengasdengklok dan Kalidjati

irma agustina

Gelora Bung Karno rame sekali di Minggu pagi.  Taksi yang irma dan Wahyudi tumpangi jadi agak terhambat memasuki parkir timur.  Arloji Wahyudi menunjukkan pukul 6.55.  Agak panik nih.  Abisnya kata Adep bis akan berangkat dari parkir timur tepat jam 7.  Kalo ditinggal, mau nggak ya taksinya nanti antar kita nyusul rombongan ke Rengasdengklok ??

Pfuff, lega rasanya melihat sekelompok orang masih berdiri dekat dua bis Big Bird warna biru yang parkir dekat Hilton.  Berarti mereka belum berangkat.  Irma langsung melompat keluar begitu taksi berhenti, sementara Wahyudi masih menyelesaikan pembayaran.  Ada Bu Wisda yang lagi ngobrol dengan peserta PTD yang baru kali itu irma lihat.  ‘Pagi Bu,’ sapa irma.  Setelah itu irma mencari panitia yang lain untuk melaporkan kehadiran.

‘Naaa es krim strawberry udah datang,’ Deedee memberi tanda dalam daftar peserta yang dipegangnya.  ‘Es krim strawberry sama es coklat,’ katanya lagi saat melihat Wahyudi datang menyusul.  Wahyudi dibilang es coklat ?  Dia sih lebih pantas disebut es koffie, hihihi.  Selain karena kulitnya lebih gelap dari coklat juga karena dia penggemar kopi.  Belum bisa kerja dia kalau belum minum kopi.  Kopi hitam tanpa gula.  Ugh !

Cindi menunjukkan name tag irma dan Wahyudi yang digelar di rumput.  Masih banyak name tag yang ada berarti masih banyak juga peserta yang belum datang.  Lho ini ada name tag Wahyu dan Yudi.  Wahyudi dapat dua name tag ??  Oh bukan, ternyata name tag satu lagi buat Mas Wahyu dari Harian Kompas.

Irma minta tolong Wahyudi untuk ambilkan jatah sarapan sementara irma ke toilet umum.    ‘Ma, tampang lo galak banget sih ?’ tanya Maya waktu irma balik ke rombongan.  Haa, galak ya ?  Bukan lagi.  Ini tampang irma kalau belum ‘on’ otaknya.  Dahi berkerut-kerut seperti sedang berpikir keras.  Tadi pagi waktu dibangunin Wahyudi via telpon, irma nggak ingat kalau hari ini harus kumpul jam 6.30.  Jadi waktu Wahyudi bilang dia mau datang menjemput sebentar lagi irma langsung pontang-panting ke kamar mandi.  Masih untung sempat mandi.  Dan untung juga Wahyudi baru datang 30 menit kemudian J  Tapi ya itu, karena buru-buru – sama sekali belum makan dan minum - jadi otak irma belum sadar.

‘Belum on atau belum nyetor ?’ celetuk Rahmat.  Hahaha, karena irma keluar dari toilet umum ya jadi kalian berpikir begitu.  ‘Kayaknya dia nggak dapat tempat tuh jadi nyari rumput,’ goda Bangko.  Weeehhhh, enak aja.  Emangnya irma kucing ??  Kalo urgent banget dan nggak dapat tempat buat ke belakang, ya tentunya irma bakalan nyari semak-semak.  Kalo kalian yang cowok-cowok ini kan cukup di belakang pohon.

Sementara Maya, Rahmat dan Bangko masih bahas tentang rumput, irma gabung dengan Pak Amran yang lagi ngobrol dengan mamanya Adis.  Adis udah pernah ikut PTD sebelumnya, waktu Keliling Djakarta di bulan Agustus 2005.  Kali ini Adis bawa adiknya dan teman adiknya yang bernama Irma.  Wuiii… ada 2 irma di PTD ini.  Oh salah ternyata ada 3 !  Satu lagi Irma Tobing yang bulan lalu ikut ke Toraja.

Rupanya Adis dulu sekolah disain grafis di New York.  ‘Nggak enak ya Amerika, terlalu besar,’ komentar Pak Amran.  Pak Amran lalu bercerita tentang pengalamannya jalan-jalan di Amrik.  Waktu itu Pak Amran lagi tugas di Canada.  Saat Christmas break naik van menyusuri Amerika dari Utara ke Selatan.  Lima belas hari, 6000 mil, tujuh negara bagian.  Bahkan sampai ke Mexico !  Wow asyiknya jalan-jalan.  Bu Wisda ikut juga Pak ?

Terdengar Deedee mengajak peserta berkumpul membentuk lingkaran.  Seperti biasa Deedee memperkenalkan Adep juragannya Batmus dan Batmod yang hari itu datang dengan formasi lengkap : Deedee, Ninta, Maya dan Galuh.  Lalu perkenalan dari masing-masing peserta.  Tapi karena Deedee mengingatkan bahwa bis akan berangkat 15 menit lagi jadi kalau ada yang mau ke belakang silakan segera ke toilet, jadi bubar deh lingkarannya !  Para pesertanya pada lari dulu-duluan ke toilet umum.

Ya sudah tidak jadi perkenalan antar pesertanya jadi kita yang nggak ke toilet diminta naik ke atas bis.  Pengganti bis yang kecil sudah datang.  Bis itu diganti karena tidak sesuai pesanan, yaitu nggak ada fasilitas DVD player.  Padahal di jalan nanti kita mau nonton film dokumenter sejarah.  Untung pihak Big Bird segera mengirim bis yang sesuai.  Tapi bis nya warna ungu.  ‘Bis gue tuh !’ Tety yang maniak warna ungu berseru riang.  Tety, setau irma ungu tuh warna janda.  Jadi itu bis buat para janda apa ??  Hehehe, nggak deng.  Kata Adep sehari-hari bis itu dipakai oleh JIS.

Yippiiii… dapat tempat duduk yang enak tepat di depan pintu.  Itulah gunanya berlari duluan naik ke atas bis J  Setelah duduk nyaman baru irma makan nasi uduk jatah sarapan dari panitia.  Deedee mengabsen peserta bis 1, bis yang warna ungu itu.  ‘Yak ok, lengkap,’ kata Deedee kepada panitia di bis 2 melalui handsfree handy-talkie.  Cieee… Deedee punya mainan baru.  Bangga banget tadi dia pamer HT baru warna biru ke Wahyudi.  Tapi komentar Wahyudi, ‘Di kantor gue yang pake kayak gituan tuh Satpam.’  Hihihihihi kacian deh Deedee ….

Udah selesai makan, kenyang, ngantuk deh.  Ditambah jalan bis yang lancar irma serasa dibuai-buai.  Belum juga masuk tol Cikampek irma udah tidur.  Waktu bangun bis udah berhenti di tanah lapang dengan monumen perjuangan di hadapan.  Oh rupanya kita udah sampai di Rengasdengklok.  Kita lalu turun dari bis dan berjalan masuk dalam gang hingga sampai di sebuah rumah bercat putih dengan tiang warna hijau.

Itulah rumah peninggalan Djiaw Kie Siong.  Ke rumah itu para pemuda pejuang menculik Bung Karno dan Bung Hatta di hari 16 Agustus 1945.  Pada waktu itu para pemuda sudah mengetahui bahwa Jepang telah menyerah kalah kepada Sekutu di Kapal USS Missouri di teluk Tokyo pada 15 Agustus 1945.  Walaupun saat itu radio-radio dilarang, tetapi dengan sembunyi-sembunyi mereka bisa mengetahui berita kekalahan Jepang tersebut.  Selama itu Jepang selalu menyebarkan berita bohong di Indonesia, bahwa mereka menang di mana-mana.  Padahal sih, ugh hancur lebur … !

Para pemuda menganggap bahwa inilah saat yang tepat untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia, tidak perlu menunggu ‘hadiah’ dari Kaisar Jepang.  Oleh karena itu mereka menculik Bung Karno dan Bung Hatta dan membawanya ke rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok.  Di sana Bung Karno dan Bung Hatta ‘diindoktrinasi’, didesak agar segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.  Malam harinya Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Jakarta untuk rapat dengan anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).  Semula rapat akan dilaksanakan di Hotel Des Indes.  Tetapi karena ada larangan untuk berkumpul di atas jam sepuluh malam, jadi rapat pindah ke rumah Laksamana Maeda.  Di sana lah naskah proklamasi ditulis.  Sekarang rumah itu menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI.  Letaknya di Jl. Diponegoro di sebelah gedung Bappenas.

Di rumah itu kita disambut oleh Pak Daniel, cucu Djiaw Kie Siong.  Sebenarnya rumah itu rumah pindahan.  Dulu letaknya di tepi kali Citarum.  Tapi karena khawatir akan erosi dan banjir maka pada tahun 1958 rumah itu dipindahkan ke tempat yang sekarang.  Bisa ya rumah dipindah ?  Ya karena rumah itu terbuat dari kayu.  Jadi bisa dibongkar pasang, kan pake sistem knock-down.

Sewaktu masih di tepi kali Citarum rumah itu lebih besar dari yang sekarang.  Oh ya, cuma bagian depan dan pendopo saja yang dibawa dari rumah yang asli.  Semua bagiannya masih orisinil.  Tiang, dinding, lantai, langit-langit dan genting.  Hanya sebagian genting saja yang pernah diganti karena pecah.  Perawatan dan perbaikan rumah itu semua dilakukan dengan biaya dari keluarga anak dan cucu Djiaw Kie Siong  Tidak ada dana dan campur tangan dari pemerintah. 

Kenapa dulu rumah Djiaw Kie Siong ini yang dipilih para pemuda ya ?  ‘Engkong saya cerita, dulu di sekitar sini banyak rumah bagus-bagus. Besar. Milik Pak Haji. Tapi yang dipilih rumah Engkong. Mungkin karena rumah Engkong di pinggir kali. Jadi strategis untuk lari menyelamatkan diri kalau terjadi apa-apa,’ cerita Pak Daniel.  ‘Mungkin juga karena supirnya – Mang Iding - yang bawa mobil ke sini, dia itu asli orang Rengasdengklok sini.’

Oh begitu ya.  Pak Daniel sendiri tidak tau pasti alasan rumah Engkong nya yang dipilih para pemuda pejuang itu.  Demikian juga Pak Oemar dan Pak Oesman.  Mereka berdua kakak-beradik turut serta dalam PTD ini.  Ayah mereka adalah wakil wedana Rengasdengklok yang saat itu menjabat ketika penculikan terjadi.  ‘Mungkin bapak saya tau. Tapi beliau diam saja. Tidak pernah cerita,’ kata Pak Oemar.  Meskipun demikian Pak Oemar kenal dengan Kapten Suharyana yang turut berjaga-jaga saat Bung Karno dan Bung Hatta di rumah itu.  Kapten Suharyana adalah teman sekolah Pak Oemar di HIS.  Pada saat penculikan itu Pak Oemar berusia 16 tahun sedangkan Pak Oesman umurnya 14 tahun.

Pak Daniel mempersilakan kita masuk ke dalam rumah melihat-lihat peninggalan Engkong nya.  Meja sembahyang itu masih asli lho.  Demikian juga dengan kursi-kursinya.  Di dinding di atas meja sembahyang terpasang foto-foto Bung Karno dan Djiaw Kie Siong yang meninggal di tahun 1964.  Di kiri-kanan ruang tengah ada kamar tidur.  Kamar yang sebelah kiri pernah dipakai Bung Karno beristirahat.  Masih ada tempat tidur yang pernah dipakainya.

Sementara yang lain melihat-lihat dalam rumah, panitia menyiapkan projector dan layarnya.  Eh ini projector baru Adep beli minggu lalu.  Jadi Batmus nggak perlu pinjam punya Papa Oen lagi kalau mau putar film ya J 

Film yang dipasang siang itu adalah film dokumenter tentang kedatangan Bung Karno ke Istana Merdeka di tahun 1944 untuk menjumpai pimpinan Jepang di Indonesia.  Jepang telah menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, tetapi hanya dikatakan ‘… di kemudian hari …’  Oleh karena itu Bung Karno datang ke Istana Merdeka menanyakan kepastiannya.  Betul itu di Istana Merdeka ya ?  Abisnya irma sama Ela bingung karena bangunan yang disorot dalam film itu seperti Gereja Immanuel di depan Stasiun Gambir.  Bedanya di depan kubahnya terpasang bendera Jepang, Hinomaru.

Comro dan Pisang Goreng diedarkan selama film diputar.  Selain film kedatangan Bung Karno ke Istana Merdeka itu, dipasang juga film Bung Karno menyampaikan pidatonya yang membakar semangat rakyat Indonesia.  Itu lho, pidato dengan kata-katanya yang terkenal, ‘Hancurkan Amerika. Hancurkan Inggris. Amerika kita setrika. Inggris kita linggis. Amerika kita setrika. Inggris kita linggis. Amerika kita setrika. Inggris kita linggis.’  Bung Karno memang pandai merangkai kata-kata yang mempengaruhi emosi pendengarnya.

Terakhir dipasang film ‘Latihan Membela Desa’, tentang rakyat desa latihan perang-perangan untuk mempersiapkan diri jika desa diserang.  Lalu setelah itu rencananya mau diputar film kartun Jepang tempo doeloe tentang perang.  Tapi karena kita harus segera ke Kalijati jadi film itu diputarnya nanti di sana.

Seperti biasa sebelum berangkat kita dikasih kesempatan untuk ke toilet.  Toiletnya terletak di belakang rumah.  Keluar dari toilet, irma nggak balik lagi ke ruang depan.  Tapi memutar lewat halaman belakang.  Heee… ternyata di sana ada Rahmat lagi bantu Bu Wisda petik jeruk nipis !  Hahaha inilah efek samping PTD.  Bukan sekedar dapat pengetahuan tentang tempat-tempat bersejarah, tapi bisa pulang bawa oleh-oleh hasil kebun orang J  ‘Buat bikin sambal,’ ujar Bu Wisda waktu irma ledekin ngembat hasil panen tetangga.  Hihihi sambalnya pasti kecut tuh.

Sampai halaman depan, ternyata masih banyak peserta yang belum beranjak ke bis.  Lagi pada makan dan minum di warung di halaman rumah.  Wahyudi nawarin es krim.  Hiii… tau aja dia kesukaannya irma J  irma pilih es krim strawberry-coklat bertuliskan Didi di bungkusnya.  Tau namanya seperti itu, Deedee jadi kepengen foto si es krim Didi itu.  ‘Es krim gue nih,’ kata Deedee.  Dee, mau foto kamera digital irma juga nggak ?  Kamera irma namanya Deedee.  Eits, jangan salah.  Kamera ini sudah irma beri nama seperti itu jauh sebelum irma kenal sama Deedee lho …

Ninta sweeping ke dalam rumah, memastikan tidak ada lagi peserta yang tertinggal.  Setelah berpamitan dengan Pak Daniel kita balik ke bis.  Tety perhatikan ada dua nomor rumah yang terpasang.  ‘Kok nomornya ada dua ya ?’ Tety bingung.  Um, mungkin yang no 1533 itu nomor rumah yang lama.  Kalau yang satu lagi barangkali hasil sensus.  Kan di situ tertulisnya lengkap : No 41, RT 001, RW 09, Desa Rengasdengklok Utara, Kecamatan Rengasdengklok.

Waktu jalan ke bis irma sempat ketemu Anton Bambi.  Anton adalah peserta termuda PTD ke Cepu akhir tahun lalu.  Masih SMA.  ‘Anton, kamu kan masih belajar sejarah di sekolah ya. Ingat nggak siapa-siapa aja nama pemuda yang culik Bung Karno dan Bung Hatta ke sini ?’ tanya irma.  ‘Wah nggak ingat.  Tapi besok memang ujian sejarah sih,’ jawab Anton.  Antooooonnnnnn, gimana seehhh kamu ini ??  Kalo irma yang lupa ya wajar.  Kan udah lebih dari 15 tahun yang lalu belajar sejarahnya (huuu… dasar si irma ngeles !).

Dari Rengasdengklok kita menuju Subang.  Di jalan dipasang film dokumenter National Geography tentang serangan Jepang ke Pearl Harbor.  Setelah filmnya habis ternyata belum nyampe juga ke Subang.  Nggak ada film lagi ya ?  Wahyudi lalu pasang CD John Denver.  ‘Haaa… masa’ pasang lagu kayak ginian ?’ protes batmus cowok yang duduk di belakang irma.  Maya trio kwek-kwek dan Deedee juga nggak suka dengan musik pilihan Wahyudi itu.  Cuma Ela aja yang bisa menikmati.  Akhirnya John Denver diganti dengan Samson.  Hahaha, baru dipasang lagu country oldies gitu udah pada protes.  Gimana kalau Wahyudi pasang Toto Salmon nyanyikan langgam keroncong ya ?  Bisa pada ngaduh-ngaduh kali.  Ternyata (music) generation gap nya begitu besar antara Wahyudi dengan batmus yang lain.  Memang Wahyudi djadoel abizzzzzzzzz.

Jam setengah satu kita sampai di rumah makan Saung Luhur di Subang.  Slurp, slurp, langsung netes air liur lihat makanan yang tersaji.  Ikan bakar, empal daging, ayam goreng, lalap sayur, ulukutek leunca, pepes oncom, sayur asem.  Tanpa disuruh dua kali kita langsung berbaris rapi antri makanan.  Beruntunglah irma yang tangannya panjang, jadi bisa ambil nasi biarpun ada di barisan belakang, hehehe.  Sebelumnya udah ngambil lauk duluan dari jalur antrian seberang.

Makan di pojok duduk dekat Bangko.  Bangko cerita beberapa hari yang lalu dia baca tentang irma dan aktifitas bike2work nya di majalah Femina.  ‘Gue baru tau ternyata lo kepala 3,’ Bangko tercengang.  Haaa… nggak kelihatan ya ??  Tenaaang, bukan cuma Bangko yang tertipu.  Waktu di pameran Inacraft lalu ada seorang pengrajin tenun ikat Dayak Sintang mengira irma murid sekolah menengah.  ‘Emang lo tampang penjaga toilet anak SMA,’ celetuk Deedee yang rupanya ikutan nguping.   Hahaha Deedee masih ingat aja kejadian waktu PTD Tana Toraja kemarin.

Hmmm… makanannya enak.  Irma sampai menjilat-jilat sendok saking enaknya.  Tapi empalnya susah banget diiris L  ‘Ada ikatannya,’ Vira kasih tau.  Haaa ngapain juga empal diikat-ikat segala.  Nggak akan lari ke mana-mana lagi.  ‘Uh, sapinya nggak rela kali dipotong,’ irma bilang.  Akhirnya tangan irma turun tangan langsung, jadi makannya nggak pake sendok lagi.  ‘Sapinya yang nggak rela, atau yang masaknya yang usil ?’ Bangko juga kesulitan makan empal.  Hahaha, mungkin juga kali ya J

‘Ngapain dulu ya. Bingung nih. Mau makan, ngantri. Ke toilet juga ngantri,’ Cindi perhatikan antrian di meja makan yang masih panjang.  Mau yang nggak ngantri Cin ?  Sholat di mushola.  Kalau sekarang ini mushola lagi kosong.  Abis makan nanti pasti penuh mushola nya.  Akhirnya Cindi mengikuti saran irma.  Sementara itu Bu Wisda mengusir para batmus yang sedang merokok.  ‘Kalau mau ngerokok, di saung sana,’ kata Bu Wisda.  ‘Hihi, emang enak ? Emang enak ?’ Ninta joget-joget keliling meja ngeledek batsmoker yang diusir Bu Wisda.  Padahal yang diledeknya adalah teman sendiri.

Waktu irma selesai makan ternyata Wahyudi justru baru mau makan.  Lho ke mana aja tadi ?  ‘Foto-foto,’ jawabnya.  Rupanya Wahyudi ikutan Ela dan Tety ke sawah di belakang rumah makan.  Hah, dasar fotografi mania.  Kalau udah ketemu obyek foto lupa deh semua L  Termasuk makan.

‘Kamu mau cuci tangan kan ? Sekalian nih cuciin,’ irma mengangsurkan piring bekas makan tadi kepada Wahyudi yang lagi antri wastafel.  Sebenarnya becanda sih.  Tapi ternyata beneran piring kotornya diambil Wahyudi.  Lalu dia juga ambil lap yang tergantung dekat situ dan menyampirkannya di bahu kiri.  Hiiiii…. Wahyudi main jongos-jongos an ya ??  Tety yang lagi cuci tangan jadi ketawa.  ‘Difoto dong,’ pintanya lihat gaya Wahyudi itu.  Nggak tau akhirnya Wahyudi jadi apa nggak nyuci piring kotor itu karena irma bergegas ke mushola sambil ketawa-ketawa.

Abis sholat irma gabung dengan batmus duduk-duduk di tangga dekat kolam.  Ada kandang kancil di situ.  Banyak yang terheran-heran melihat kancil.  ‘Haaa… ini yang namanya kancil, yang suka mencuri timun ? yang suka menipu pak tani itu ?’ gitu komentarnya.  Iya.  Pasti semula membayangkan kancil itu besar ya, seperti rusa.  Padahal kancil tuh kecil, tingginya paling cuma sekitar 40 cm.  Memang seperti rusa sih, tapi rusa yang dibonsai kalau Rahmat bilang.  Kalau nipu, memang iya.  Kancil suka pura-pura mati kalau mau ditangkap.  Jadi orang urung untuk membawanya.  Setelah orang itu pergi, kancil lalu bangkit dan kabur.

Selesai makan bis kembali ke jalan yang tadi dilalui.  Nggak sampai setengah jam kita udah sampai di Lapangan Udara Suryadarma Kalijati.  Sebelum masuk pangkalan kita harus lapor di pos jaga.  Seorang perwira naik ke atas bis 1.  Weeeeiiiii…. Kita bersorak dan bertepuk tangan.  ‘Bapak yang ngawal kita ya ?’ tanya Deedee.  Deedee paling nggak bisa deh lihat uniformed man.  ‘Bukan saya, nanti yang lain yang ngawal,’ kata perwira itu.  Lalu dia turun.  Nah lo, grogi kali dia dikelilingin segitu banyak batgirl yang manis-manis J

Seorang perwira naik motor dan memimpin rombongan kita ke Rumah Sejarah.  Di sini kita disambut oleh Pak Tamsir.  Di rumah inilah Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942.  Baru sejak tahun 1986 rumah ini dijadikan museum.  Tapi tidak banyak yang mengunjunginya karena letaknya yang terpencil di dalam pangkalan udara TNI – AU.  Selain itu untuk masuk ke dalam komplek pangkalan udara ini harus mendapat izin dari Komandan Lanud.  Padahal sebenarnya Rumah Sejarah ini terbuka untuk masyarakat umum.

Di dalam rumah ini kita bisa membaca sejarah singkat masuknya Jepang ke Indonesia yang dirangkum oleh Sumardjo.  Pada tanggal 1 Maret 1942 balatentara Jepang mendarat di pulau Jawa di bawah pimpinan Vice Admiral Takahashi.  Ada tiga tempat yang menjadi tempat pendaratan.  Letnan Jendral Imamura beserta stafnya mendarat di Teluk Banten.  Brigade Sakaguchi memimpin pasukannya mendarat di Kranggan, Jawa Tengah.  Dan Kolonel Shoji beserta Angkatan Udara yang dipersiapkan untuk menyerang Pangkalan Udara Kalidjati mendarat di pantai Eretan Wetan, pantai utara Jawa Barat.

Tanpa kesulitan Jepang dapat mengalahkan Belanda di ketiga tempat tersebut.  Sebanyak 3000 serdadu pasukan Kolonel Shoji bergerak menuju Kalidjati dilengkapi dengan panser dan sepeda (haa ! sepeda pun dipake perang !).  Pasukan ini terdiri dari Batalyon Infantri dengan komandan Mayor Wakamutsu dan Mayor Egashira.  Mereka bergerak sangat cepat hingga pada hari Jumat 1 Maret 1942 rakyat Kalidjati dikejutkan dengan munculnya serdadu Jepang di mana-mana.  Terjadi pertempuran antara serdadu Belanda dengan Jepang.  Jepang didukung oleh bantuan udara yang membom pangkalan sehingga dengan cepat Jepang dapat menguasai Kalidjati.  Pasukan Belanda yang terdesak akhirnya mundur ke Bandung.

Setelah menguasai Subang dan Kalidjati, Kolonel Shoji bermarkas di Pusat Perkebunan Pamanukan, Ciasem.  Dari sini pasukan Jepang terus memburu Belanda ke Bandung.  Sebelum mencapai Bandung mereka berhasil menghancurkan kubu-kubu Belanda di Ciater.  Meriam-meriam yang dipersiapkan Belanda di sepanjang jalan untuk menggempur Jepang tidak banyak bermanfaat karena pasukan Jepang melalui jalan setapak dalam kebun teh.  Pada tanggal 6 Maret 1942 Ciater jatuh ke tangan Jepang.  Dengan dikuasainya Ciater dan juga pertahanan Belanda di Lembang, maka jatuhnya Bandung hanya tinggal menunggu waktu.

Pada tanggal 5 Maret 1942 Gubernur Jendral Tjarda van Starkenborgh menyerahkan pimpinan tinggi tentara kepada Legercomandant yang kemudian mengeluarkan ketentuan bahwa tidak dibenarkan Bandung dijadikan ajang pertempuran karena penduduk sipilnya sudah begitu padat.  Tjarda juga menyerahkan pimpinan Angkatan Perang Hindia Belanda kepada Jendral Ter Poorten.  Kondisi Angkatan Perang ini sudah kritis karena Belanda telah mengalami kekalahan di mana-mana.

Untuk menyelamatkan muka Tjarda di hadapan rakyat maupun dunia luar, pimpinan tentara mengirim Preman menghubungi Komandan Tentara Jepang di Bandung untuk merundingkan kapitulasi atau perhitungan pasukan Preman.  Sore tanggal 7 Maret 1942 Kolonel Shoji menerima utusan Belanda yang membawa bendera putih.  Shoji mengatakan bahwa Preman dapat berunding dengan utusannya atau utusan pribadinya saja yaitu Mayor Yamashita di Hotel Isola Bandung.  Sementara itu Shoji akan melapor ke Jendral Imamura di Jakarta.  Untuk sementara waktu kedua belah pihak menghentikan tembak-menembak.

Dalam pesannya kepada Shoji, Jendral Imamura menginginkan kapitulasi seluruh pasukan Belanda di Jawa.  Imamura pun mau berunding dengan Panglima Tentara dan Gubernur Jendral Belanda yang akan dilaksanakan di Jl. Cagak Bandung.

Perundingan antara Jepang dengan Belanda akhirnya dilaksanakan di Pangkalan Udara Kalidjati.  Jepang memilih tempat ini karena Pangkalan Udara Kalidjati adalah pangkalan kuat di Jawa Barat yang diperkuat dengan pesawat tempur dan pembom.  Maksudnya, kalau seandainya perundingan gagal dan terjadi pertempuran, maka Jendral Hitoshi Imamura dapat mengontrol langsung pertempuran.  Selain itu secara psikologis menunjukkan kepada Belanda bahwa Jepang mempunyai pesawat-pesawat yang siap tempur dan dapat digunakan sewaktu-waktu. 

Dari Jakarta Jendral Imamura berangkat ke Kalidjati tanpa pengawalan.  Gubernur Jendral Tjarda dan Jendral Ter Poorten berangkat dari Bandung.  Di ruang tengah Rumah Sejarah ini kedua pihak yang bersengketa duduk berhadapan.  Dengan suara keras Jendral Imamura meminta Panglima Ter Poorten menyerah tanpa syarat dan menyerahkan seluruh Hindia Belanda kepada Jepang.  Jika menolak, Ter Poorten dipersilakan kembali ke Bandung dan pertempuran akan segera dimulai.  Pada pertempuran berikut Jepang akan menghujani kota Bandung dengan bom.

Ter Poorten hanya diberi waktu 10 menit untuk berpikir.  Akhirnya Ter Poorten menandatangani naskah penyerahan kekuasaan dan kekuatan Hindia Belanda tanpa syarat.  Naskah ini telah disiapkan oleh pihak Jepang sebelumnya.  Tjarda yang merasa tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan memilih untuk keluar dari ruangan.  Ter Poorten menandatangani naskah penyerahan kekuasaan setelah Tjarda keluar dari ruangan.  Sebelum keluar ruangan, beberapa kali Tjarda meminta pihak Jepang untuk mengusir ‘juru foto’ yang berdiri di pintu untuk keluar dari ruangan.  Percakapan antara Tjarda, Ter Poorten dan Imamura dapat kita baca di Rumah Sejarah ini.

Usai perundingan utusan Belanda kembali ke Bandung.  Tanggal 8 Maret 1942 pukul 10 malam Ter Poorten menelpon Markas Tentara Inggris memberitahukan bahwa ia baru saja menandatangani penyerahan kekuasaan Hindia Belanda kepada Jepang.  Ia minta agar seluruh tentara Sekutu meletakkan senjata.  Mayor Jendral Sitwell - Komandan Tentara Sekutu di Jawa – merasa tidak enak karena tidak diajak berunding terlebih dahulu tetapi tetap menerima keputusan tersebut.  Yah, habis dia mau ngapain lagi ya.

Keesokan harinya melalui radio di kota Bandung Ter Poorten mengumumkan penyerahan Hindia Belanda.  Kemudian tanggal 12 Maret 1942 seluruh Komandan Kesatuan Belanda, Inggris dan Australia secara resmi menandatangani penyerahan pasukan kepada Komandan Tentara Jepang di sekitar Bandung, Letnan Jendral Maruyama.  Dengan demikian berakhirlah penjajahan Belanda di Indonesia.  Dalam sejarah Belanda, Ter Poorten dinyatakan sebagai tawanan perang sedangkan Gubernur Jendral Tjarda dianggap sebagai pahlawan.

Pertempuran hebat di Kalidjati mengakibatkan banyak korban baik di pihak Belanda maupun Jepang.  Ada sebuah monumen yang dibangun oleh pihak Jepang untuk mengenang pasukannya yang gugur di sini.  Setiap tahun dari Jepang selalu ada yang berziarah ke Kalidjati.  Monumen Sejarah Tentara Jepang ini dibangun di tempat dikuburkannya Sersan Kinoshita.  Pada saat makam ini dibongkar, ditemukan kain kafan, tulang-belulang dan paku.  Ada cerita serem nih.  Pada waktu pembongkaran makam itu, penggalinya kesurupan dan berbicara bahasa Jepang.  Padahal orang itu sama sekali nggak bisa bahasa Jepang.

Puas keliling-keliling Rumah Sejarah dan berfoto dengan spanduk - kali ini spanduknya warna hitam – kita bergerak ke Wisma Budaya.  Wisma Budaya dulunya digunakan oleh serdadu-serdadu militer baik Belanda maupun Jepang untuk bersantai.  Mungkin semacam Societet Militaire ya.  Santai di sini artinya makan, minum (minum sampai mabok lho !), dan mungkin juga main kartu.  irma ngebayangin setelah Jepang menguasai Kalidjati mungkin mereka berkumpul di rumah ini, berdiri mengangkat tangan dan berseru, ‘Banzai ! Banzai !’  Abis itu minum sake tapi sebelumnya bilang, ‘Kanpai ! Kanpai !’  Kanpai itu ucapan orang Jepang sebelum bersulang. 

Di bawah Wisma Budaya ini ada bunker.  Dulunya bunker ini sampai ke base off, tempat pesawat tinggal landas.  Namanya juga bunker,   ya fungsinya untuk menyelamatkan diri.  Kita turun ke bunker (Adep, lain kali bilang dong kalau kita akan masuk bunker jadi siap-siap bawa senter. Biar nggak kesandung-sandung dalam gelap gini. Huh !).  Tapi sekarang akses hingga ke base off sudah ditutup jadi bunkernya cuma di bawah wisma aja L  Wahyudi mencoba keluar dari pintu bunker yang kecil.  ‘Stop ! Stop ! Foto dulu !’ seru Ela.  Jadi Wahyudi ‘nyangkut’ dulu di pintu kecil itu dan setelah selesai difoto Ela baru keluar ke halaman.  Abis gitu banyak batmus lain turut mencoba keluar bunker lewat pintu itu.

Dari Wisma Budaya kita ke hanggar.  Maya numpang motor perwira yang mengawal kita jadi dia puas bisa foto-foto sepanjang jalan.  ‘Maya memang aneh,’ komentar Adep, ‘ingat nggak waktu di Ambarawa dia naik di loko ?  trus waktu ke Surabaya dia masuk ke cockpit.’  Iya, terus waktu PTD Keliling Djakarta, di Monas Maya jadi sais delman.  Untung kudanya nggak stress dikusiri Maya, hihihi J

Sampai di hanggar.  Disambut oleh Kepala Museum Amerta Dirgantara Mandala.  Amerta artinya hidup.  Museum ini diresmikan oleh KSAU pada tanggal 10 April 1992.  Dulunya hanggar ini bengkel untuk perbaikan dan perawatan pesawat.  Sesuai dengan namanya, koleksi museum ini diharapkan tetap ‘hidup’.  Maksudnya tetap aktif terbang.  Bekerja sama dengan FASI – Federasi Air Sport Indonesia – setiap hari Sabtu diterbangkan beberapa pesawat koleksi museum.  Pesawat-pesawat di sini diberi nama-nama burung, seperti Perkutut, Emprit, Parkit, Kuntul, Blekok, Bangau, Gelatik, dan Goose-Albatros.  Dinamakan seperti itu karena pesawat identik dengan burung (sama-sama bisa terbang ya J).   Pesawat tertua di sini adalah Piper L – 4J dengan nomor registrasi R 370.  Pesawat ini buatan Amerika tahun 1952.  Dengan kecepatan 140 KmH, pesawat latih dasar ini bisa menjelajah hingga sejauh 350 km.  Beratnya 553 kg, kapasitas 2 orang.  Tadi pagi sebelum batmus ke sini pesawat ini diterbangkan.  Sayang ya kita tidak sempat melihatnya beraksi L

Selain museum ini, TNI AU juga memiliki museum lain di Yogya.  Namanya Museum Dirgantara Mandala.  Koleksi pesawat di Yogya lebih banyak dan lebih tua, termasuk pesawat –pesawat peninggalan Belanda.  Ada juga pesawat buatan Uni Sovyet.  Yang belum masuk museum adalah Hercules.  Karena Hercules masih aktif digunakan hingga saat ini.  Hm, kapan ya Batmus ke Museum Dirgantara Mandala di Yogya ?  Pengen liat pesawat nih !

Selesai mendengarkan cerita Pak Kepala Museum, kita nonton film dokumenter lagi.  Sambil makan roti dan minum teh atau kopi.  Irma nggak ikutan duduk ngeleseh di atas tikar bersama teman-teman yang lain.  Tapi duduk di pijakan kaki truk yang parkir di sebelah tempat kita nonton.  Bareng sama Dini yang kakinya lagi nggak bisa ditekuk karena asam uratnya lagi kambuh.  Tapi hebat lho kamu Din, sakit-sakit gitu tapi tetap ikut PTD J

Karena filmnya berbahasa Belanda jadi sebentar-sebentar filmnya di-pause biar Galuh bisa menerjemahkan ceritanya.  Film dokumenter kali ini tentang aksi Belanda dalam menghadapi Jepang di perang Pasifik.  Salah satunya adalah pembuatan amunisi di Hindia Belanda.  Sebelum perang, Eropa memandang remeh terhadap Jepang.  Negara apa tuh, orangnya pendek-pendek dan bermata sipit, gitu komentar mereka.  Tapi yang dianggap remeh ini ternyata malah bikin negara-negara barat kalang-kabut.  Terutama setelah Jepang memporak-porandakan Pearl Harbor di hari Minggu pagi, 7 Desember 1941.  Waktu itu Amerika tidak mengira Jepang akan menyerang pangkalan lautnya di sana.  Karena selama ini Eropa dan Amerika tidak pernah kalah dalam perang laut.  Keberhasilan Jepang menggempur Pearl Harbor adalah karena ia menggunakan pasukan udara.  Selain itu ya karena Amerika menganggap remeh Jepang jadi kurang siaga.  Makanya … jangan suka anggap remeh orang lain !

Maya turut menjelaskan tentang strategi Jepang dalam perang Pasifik seperti yang ditulis dalam buku Ong Hok Kam.  Untuk memudahkan kita memahami strategi gurita yang diterapkan Jepang, ibu dosen gadungan yang juga peri loko itu menggunakan peta.  ‘Jepang ‘mencengkram’ Indonesia melalui barat dan timur, west octopus dan east octopus,’ cerita Maya.  Saking serunya bercerita Maya sampai perlu asisten untuk memegangi megaphone.

Terakhir diputar Japanse Tekenfilm, film kartun Jepang tempo doeloe yang bercerita tentang perang.  Lucu filmnya.  Rupanya dari dulu memang Jepang suka membuat film kartun lucu.  Lalu setelah itu Deedee menutup acara PTD Tamatlah Hindia Belanda ini.  Eh tunggu dulu !  Rupanya hari ini ada seorang peserta PTD yang berulang tahun.  Pak Oemar !  Pak Oemar pun didaulat maju ke depan dan disalami oleh panitia.  Ulang tahun yang keberapa Pak ?  ‘Tujuh puluh tujuh,’ jawab Pak Oemar.  Wah selamat ya.  Lalu kita bernyanyi ‘Selamat Ulang Tahun’ untuk Pak Oemar.  Di akhir nyanyian Pak Oemar dapat kecupan di pipi.  Hayoooo … sapa tuh yang cium Pak Oemar ??  J

Sebelum pulang, kita masih diberi kesempatan untuk foto-foto di sekitar hanggar.  Wahyudi ke mana ya ?  irma mau minta tolong difotoin dalam pesawat.  Ugh, rupanya Wahyudi lagi motret di luar.  Asyik dengan kamera barunya.  Pantas ditelpon pun nggak nyahut.  Sebel deh.  Punya pacar yang doyan fotografi ternyata tidak menjamin bisa difoto kapan pun irma mau L  Padahal kesempatan berfoto dengan pesawat terbang dengan jarak dekat seperti ini kan jarang sekali.  Kapan lagi coba bisa masuk hanggar ?  Lain kali ingatkan irma untuk selalu bawa tripod ya.

Menjelang jam lima sore kita kembali ke Jakarta.  Langit mulai mendung.  Katanya di Jakarta pun hujan deras.  Ela, Tety, Victor, Ika dan Alex minta dijemput di tanah lapang dekat hanggar.  Waktu kita nonton film tadi mereka malah kabur ke sana buat foto-foto ilalang.  Pasti Tety nih yang ngeracunin, Tety kan penggemar ilalang hehehe.  ‘Yah, kalau ilalang gini sih di belakang pabrik gue juga ada,’ kata Wahyudi.  Iya tapi kan bukan di pangkalan udara seperti ini.  Oh iya, pangkalan udara Kalijati ini adalah salah satu lapangan terbang tua peninggalan Belanda.  Dibangun pada tahun 1914.  Lapangan terbang kuno lainnya adalah lapangan udara Andir di Bandung (sekarang lapangan udara Husein Sastranegara), lapangan udara Tjililitan di Jakarta (sekarang lapangan udara Halim Perdanakusuma) dan lapangan udara Kalibanteng Semarang (sekarang dipakai Puspenerbad).  Foto-foto lapangan udara tempo doeloe ini tadi kita lihat di Rumah Sejarah Kalidjati.  Sampai sekarang semua lapangan terbang ini masih aktif dipakai.  Pangkalan Udara Kalidjati sekarang digunakan untuk latihan penerbangan dengan pesawat kecil seperti Kolibri.  Nama burung lagi J  Kolibri itu burung kecil penghisap madu dengan kepakan sayap cepat sekali.  Katanya bisa mencapai 500 kepakan dalam satu menit.

Setelah rombongan ilalang itu naik ke atas bis, kita pun pulang.  Di bis pasang film lagi.  Tapi kali ini film Pearl Harbor dengan aktor dan aktris Ben Affleck, Josh Hartnett, Kate Beckinsale dan Cuba Gooding, Jr.  Jadi ingat dulu ngantri beli tiket panjaaaang banget waktu film ini baru diputar di bioskop.  Tahun berapa itu ya ??

Perjalanan ke Jakarta berlangsung lancar.  Nggak terasa jam tujuh malam kita udah sampai di parkir timur Senayan.  Yah, filmnya belum habis.  Nanggung banget, paling tinggal setengah jam lagi.  ‘Ya udah kalau gitu bisnya disuruh muter-muter dulu aja, keliling Senayan sampe filmnya tamat,’ usul Wahyudi.  Ah nggak ah, mau cepet pulang.  Capeeeeeekkkk.  Tapi senang tentunya J  Kapan-kapan nanti kita pelesir lagi ya …

Jakarta, 3 Mei 2006

di saat buruh rame demo menentang revisi UU Ketenagakerjaan

Jakarta, 5 Mei 2006

baru ingat belum cerita tentang Kolibri

Referensi :

-          Buku Sejarah SMA

-          Tulisan Sumardjo di Rumah Sejarah Pangkalan Udara Suryadarma Kalijati

-          Nara sumber selama PTD : Pak Daniel, Pak Oemar, Pak Oesman, Pak Tamsir, ibu pendamping di Rumah Sejarah Kalijati, bapak kepala museum Amerta Dirgantara Mandala

3 comments:

  1. seru dan panjang yaa critanya..

    ReplyDelete
  2. sik asik asiiikk..Irma udah posting...gue copy laporan nya yah untuk ditaro di blog gueeee...
    ma aciiihh...:-)

    ReplyDelete
  3. Thank you for your complete and detail story.

    ReplyDelete