Monday, December 28, 2009

Nightmare before Christmas

 

Hari itu Kamis tanggal 24 Desember 2009.  Satu hari menjelang Natal.  irma sampai rumah Mama menjelang jam satu siang.  Ketika itu Mama sedang berbaring di kamarnya.  Mama bilang tadi ketika memperhatikan anak-anak memanjat pohon kelapa di halaman tiba-tiba saja Mama merasa pusing.  Jadi Mama masuk ke dalam rumah dan beristirahat.

 

Perkiraan irma Mama pusing karena belum makan siang.  Jadi irma mengajak beliau makan bersama.  Sama seperti irma, Mama pun lebih suka makan kalau ada yang nemenin.  Nggak tau kenapa, beda aja rasanya dengan makan sendirian.  Meski makanan yang disantap biasa-biasa aja.

 

”Eh, irma pesan taksi dulu ya.”

 

Jam empat sore nanti irma akan kembali ke Cibubur pake travel.  Karena Bu Isna lagi ke Jakarta jadi irma pesan taksi untuk mengantar irma ke shuttle point di BTC.

 

Saat menutup telpon irma lihat tangan kanan Mama bergetar hebat.  Tangan Mama memang sering gemetar tapi baru kali itu irma lihat sekeras itu. 

 

”Ma, kenapa Ma ?”

 

Mama tidak menjawab.  irma perhatikan lebih seksama, mata Mama terbelalak ke atas, mulut bawahnya miring ke kiri.  Sungguh, itu adalah pemandangan paling mengerikan yang pernah irma lihat.

 

”Allahu Akbar !”

 

irma pun meloncat mendekati Mama.  Badan Mama yang semula bersandar ke lemari di belakang kursinya kini merosot ke kanan.  irma segera memeluknya.  Badan Mama lunglai jatuh ke dada irma.  Mama tak sadarkan diri.  Terdengar napasnya seperti orang mendengkur.  Keras sekali.  Keringat dingin mengucur di kening Mama.

 

Tangan gemetar, mulut mencong, napas mendengkur, irma tau semua itu adalah gejala awal serangan stroke.  Sambil memeluk Mama irma terus memanggil-manggil namanya.

 

”Ma, Mama, Mama.  Tahan Ma.  Kuat Ma.  Mama masih sama irma kan ?”

 

Mama tidak menjawab.  Hrrrkk ... hrrrkk ... dengkuran napasnya makin keras.

 

Saat itu yang terlintas di benak irma adalah, jangan-jangan ini adalah saat-saat terakhir Mama.  Sambil menyeret badan Mama berusaha membawanya ke kamar, irma pun terus mengucapkan nama Allah.

 

”Allahu Akbar.  Allahu Akbar.  Allahu Akbar.”

 

Tapi irma nggak kuat membawa Mama ke kamar.  Padahal berat badan Mama cuma setengah berat irma.  Akhirnya irma membaringkan Mama di lantai.  Meluruskan badannya, lalu menyangga kepalanya dengan lengan kiri irma.  Tangan kanan irma mengusap-usap kening Mama.  irma menunduk, berbisik di telinganya.

 

”Allah.  Allah.  Allah.  Allahu Akbar.”

 

Jika seandainya itu adalah saat-saat terakhir Mama, maka irma ingin kata terakhir yang Mama ucapkan adalah nama Sang Khalik.  Semoga Mama bisa mengikuti irma mengucapkannya.

 

Entah berapa kali nama Allah irma sebut hingga akhirnya irma dengar Mama berkata, ”Astaghfirullah.”

 

Alhamdulillah.  Mama siuman.  Dan bukan sekedar siuman karena berikutnya beliau berkata, ”Mama di lantai ya ?  Di depan kulkas ?”

 

Alhamdulillah.  Mama masih mengenali tempatnya berada.  Stroke itu tidak sampai merusak ingatannya.  irma pun memeluk Mama dan menangis.

 

Sungguh, kali itulah irma merasakan kelegaan yang teramat sangat.

 

***

 

Dan kemudian irma menghabiskan sisa hari itu dan malamnya di rumah sakit, menemani Mama berbaring dengan tensi terus meninggi.  Memandangi infus menetes pelllaaaannn sekali.  Di luar langit berselaput awan.  Hujan turun merintik.  Alangkah sunyinya Bandung. 

 

It’s really, really, really, a silent night.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Wednesday, December 16, 2009

our babies

 

“... si mpus mindahin anaknya ke rumah kita.  Sekarang di rumah pompa ...”

 

 

Ada seekor kucing putih belang hitam suka main ke rumah kami.  Ia tidak marah saat kami membelai-belainya.  Malah ia suka menggesek-gesekkan badannya ke kaki kami, bermanja-manja.  Kami panggil ia, ”Mpus”.

 

Wahyudi bilang Mpus itu cantik.  (Heran deh, kucing dia bilang cantik sedangkan istri sendiri nggak  *keluh*)  Sekali waktu ketika kami akan berangkat kerja, ia terdiam lama di atas motor.  irma heran kenapa motor nggak jalan-jalan juga padahal irma udah siap sejak tadi.  Ternyata Wahyudi sedang memandangi si Mpus yang lagi duduk di teras rumah kami.  ”Cantik ya,” katanya.  Sementara dalam hati irma bilang, ”Aaaarrrgggghhhhh ........ telat lagi deh gw sampai kantor !”

 

Pertama kali si Mpus ke rumah dia masih kurus.  Beberapa lama kemudian perutnya menggelembung.  Dooh, mo punya anak nih.  Karena nggak tega sama ibu-ibu hamil maka irma pun membelikan makanan kucing untuknya.  Si Mpus jadi makin sering ke rumah.  Tiap pagi sebelum kami berangkat kerja ia sudah duduk manis di teras.  Sore atau malam saat motornya Wahyudi menderu masuk halaman, ia akan berlari-lari menghampiri.  Ia hapal kapan kami ada di rumah. 

 

Sekali waktu si Mpus datang bawa teman.  Seekor kucing jantan loreng-loreng hitam.  Pacarnya ya ?  Bukan.  Anak rumah sebelah bilang si loreng itu anaknya si Mpus.  Anak-anak komplek memanggilnya ”Imut”.  Tapi kami panggil ia ”Loreng”.

 

Selain Mpus dan Loreng, ada satu lagi kucing betina belang tiga yang suka ikut nimbrung makan ke rumah kami.  Kami panggil ia si Emak karena tampangnya tua.  Si Emak tidak suka disentuh.  Malah ia selalu ber ”Shahhh !  Shahhh !” menunjukkan gigi-gigi runcingnya tiap kali didekati.  Sepertinya ia pernah ngalamin kejadian tidak menyenangkan dengan manusia.

 

Beberapa waktu lalu si Mpus lama tidak ke rumah.  Anak rumah sebelah bilang ia melahirkan di satu rumah kosong dalam komplek.  Mungkin karena itu jadi dia nggak main-main ke rumah.  Kan nggak mungkin anaknya ditinggal lama-lama. 

 

Hingga bulan lalu ketika irma sedang tugas audit di Balikpapan, irma menerima sms dari Wahyudi yang hari itu berdiam di rumah.  “Si mpus mindahin anaknya ke rumah kita.  Sekarang di rumah pompa.”

 

Whueeee ... ??  irma terkejut.  Begitu pulang ke rumah irma bergegas melihat anak-anaknya si Mpus.  Ada empat ekor semuanya.  Satu warna putih belang hitam seperti dirinya, satu belang tiga dominan hitam, dua lagi belang tiga dominan coklat.  Perempuan semua.  Wahyudi pun berkomentar, ”Di sini ini auranya planet Venus kali ya ?  Anak-anak tetangga kebanyakan perempuan.  Bahkan kucing pun anaknya perempuan semua.”

 

Meski si Mpus senang tinggal di rumah pompa bersama anak-anaknya tapi tidak mungkin kami membiarkan ia di sana.  Kalau kami berangkat kerja, bagaimana ?  Ia bisa kelaparan terkurung di halaman belakang.  Jadi kami menempatkan anak-anaknya di teras depan dalam kotak bekas tempat AC.  Untuk melindungi dari hujan kami beri penutup kardus yang dilapisi plastik.

 

Ternyata si Mpus kurang suka tinggal di teras depan.  Ia memindahkan anak-anaknya ke halaman samping di bawah jendela kamar.  Di sana memang lebih terlindungi dari hujan dan panas.  Kami pun pindahkan kotak bekas tempat AC itu ke sana untuk tempat tidur anak-anaknya.

 

Semua baik-baik saja.  Anak-anak tetangga pun senang si Mpus dan anak-anaknya di sana, jadi mereka bisa bermain-main dengannya.  Hingga beberapa hari yang lalu Wahyudi menerima sms dari ibu rumah sebelah.

 

Ibu itu tidak suka anak-anak kucing tersebut berada di sana.  Karena mereka suka nyelonong masuk halaman rumahnya bahkan ke dalam rumah.  Ia tidak suka kucing.  Ia tidak suka karena ada anak-anak kucing gitu jadi pintu rumahnya harus selalu tertutup.  Ia tidak suka aroma kucing menguar sampai ke rumahnya.  Ia ingin anak-anak kucing itu dipindahkan dari sana.  Ia ingin membuang mereka ke restoran.

 

Wahyudi pun berkata, ”Emang itu kucing siapa sih ?  Cuma karena si Mpus sukanya main di rumah kita jadi dia bilang kucing-kucing itu tanggung jawab kita ?  Lha yang suka main sama kucing itu juga kan anak-anaknya sendiri !”

 

Benar.  Anak-anaknya ibu itu yang suka main-main dengan si Mpus, menggendong-gendong anaknya bahkan pagi-pagi baru bangun tidur yang dicari duluan adalah anak-anak si Mpus.

 

Tapi kita males ribut sama tetangga.  Nggak mutu banget.  Jadi kami pindahkan anak-anak si Mpus ke halaman belakang.  Nggak tega membuangnya karena mereka masih terlalu kecil untuk hidup mandiri.  Kalau mau dibuang, ya harus sama induknya juga.  Heran deh, ibu itu apa nggak mikir ya ?  Gimana kalau anaknya dibuang sendirian tanpa ibunya ?  Emang bisa hidup ? 

 

Sekarang kami punya tugas baru : tiap pagi memasukkan si Mpus ke halaman belakang dan sore hari sepulang kerja mengeluarkannya ke halaman depan.  Jadi seharian si Mpus di halaman belakang bersama anak-anaknya, malam ia tidur di teras depan.  Saat di halaman belakang ia kami bekali dengan makanan dan air minum.  Pagi sebelum kami berangkat ia minum susu bareng keempat anaknya.

 

Kerjaan tambahan sih.  Tapi kami terhibur dengan tingkah lucu anak-anak si Mpus.  Mereka senang melompat-lompat di antara tanaman (meski akibatnya  tanaman di halaman belakang jadi berantakan porak poranda).  Kadang mereka saling bergelut sampai jatuh berguling-guling.  Yang belang tiga dominan coklat senang adu cepat manjat pintu hingga ujung kusen.  Wahyudi sampai berniat beli camcorder buat merekam tingkah lucu tersebut. 

 

”Ini si Lili,” Wahyudi menunjuk anak kucing yang putih belang hitam (eh ternyata ada belang coklatnya juga sedikit).  ”Yang itu Lala, Lele, Lolo.”

 

Dih, nggak kreatif amat kasih nama.  Itu nama zaman kapan.  Lala, Lili, dan Lulu adalah nama kucing-kucing irma 25 tahun yang lalu.  

 

irma beranjak dari tempat duduk dan menghampiri keempat anak kucing yang saling bergulat di rumput halaman belakang.  ”Kalau aku yang kasih nama ya, nih : Lily, Maggie, Robbie, dan Charlie.”

 

Lily, si putih belang hitam (dan sedikit coklat).

Maggie dan Robbie yang belang tiga dominan coklat.

Charlie yang belang tiga dominan hitam.

 

”Kok cewek namanya Robbie sih ?” protes Wahyudi.

Dih, siapa bilang Robbie nama cowok ?    

 

Besok paginya waktu memberi susu untuk keempat anak kucing, irma dengar Wahyudi memanggil lain lagi kepada mereka.  ”Putri, sini.”

 

Putri ?

 

”Yang putih kan cewek banget,” Wahyudi memberi alasan.  ”Minum susunya juga rapi nggak berantakan.  Kalau yang lain biar cewek tapi pada ajrut-ajrutan mulu nggak kayak cewek.”

 

Deeeeeuuuh ............ Putri !  Sekalian aja panggil dia ”Princess” !

 

 

 

 

the checker

 

Karena Wahyudi pelupa maka tiap kali ia mau berangkat naik motor dari rumah selalu irma mengingatkannya akan barang-barang yang harus ia bawa.

 

”Dompet !”

”Handphone !”

”SIM !”

”STNK !”

”Pas card !”

 

Tiap kali irma menyebutkan satu item, Wahyudi akan memeriksa lalu menjawab, ”Udah !”

 

Dulu, irma cukup mengingatkan dompet dan handphone saja.  Tapi pernah satu waktu Wahyudi berangkat tanpa membawa SIM dan STNK yang ia letakkan di kotak barang-barang penting.  Dooh, untung nggak kena pemeriksaan Pak Polisi !  Sejak itu irma menambahkan item SIM dan STNK dalam cek point sebelum berangkat.

 

Sekali waktu Wahyudi pamit berangkat sholat Jumat.  Nggak nyampe 5 menit dia balik lagi.  Ada apa ?  ”Pas card nya ketinggalan,” ia bilang.  Kendaraan masuk keluar komplek kami memang harus menggunakan pas card.  Tidak terkecuali penghuni.  Sejak kejadian ini irma tambahkan pas card dalam cek point sebelum berangkat.

 

Tadi pagi, sebelum berangkat seperti biasa irma membacakan cek point.

 

”Dompet !”

”Udah !”

”Handphone !”

”Udah !”

”SIM !”

”Udah !”

”STNK !”

”Udah !”

”Pas card !”

”Udah !  Siap berangkat !”

”Lhoo kok nggak pake helm ??!”

”Oh iya lupa,” Wahyudi cengengesan.  ”Tolong ambilin dong.”

 

irma masuk lagi ke dalam rumah untuk mengambil helm.  Beberapa saat kemudian irma udah kembali ke halaman, bertepatan waktunya dengan Wahyudi jatuh terguling dari atas motor.  Seandainya ia nggak segera berguling ke samping, motor tersebut akan jatuh menimpanya.  Hih, kebayang beratnya.

 

”Lho ?  Kenapa ?” irma berjongkok menghampiri.

Wahyudi meringis.  Tapi bukan karena kesakitan.  ”He eh, aku lupa kunci gandanya masih terkunci di roda depan.”

 

Ampuuuun deh.  Segitu pelupanya.  Kayaknya besok daftar cek point yang irma bacakan akan makin panjang.

 

Heran deh, Pak Wahyudi itu pinter banget bikin check list di pabrik tempat ia bekerja.  Tapi untuk dirinya sendiri, aku yang harus jadi checkernya !

 

 

 

 

Thursday, December 3, 2009

ikhlas nan jauh

 

Kemarin lihat postingannya seorang teman photo-photo saat dia ikutan PTD Ternate - Tidore.  Dan juga catatan perjalanan seorang teman di Bandung saat mengikuti Geotrek II.

Honestly, I feel jealous.  Envious.

Waktu Adep buka pendaftaran PTD Ternate - Tidore, irma bilang ke Wahyudi kalau irma ingin sekali mengikuti trip tersebut.  Kebetulan di tanggal-tanggal segitu irma nggak ada jadwal audit.  Lagipula kalau minta izin ke kantor jauh-jauh hari nggak bakalan susah dapat cuti.

Tapi Wahyudi bilang biaya trip itu terlalu mahal.  Kalau berdua.  Lalu irma bilang kalau irma aja yang pergi bagaimana, irma bayar pakai uang irma sendiri jadi nggak akan ngeberatin kas rumah tangga.

Ternyata Wahyudi nggak kasih irma pergi sendiri.

Satu hal yang irma heran, kenapa kami harus selalu pergi berdua.  Karena irma lihat Mama dan Papa tidak selalu begitu.  Sama seperti irma, Mama juga suka jalan-jalan.  Tapi kalau Papa nggak bisa nemenin, nggak masalah Mama pergi sendiri.  Ya nggak sendirian sih, ada teman-temannya.  Bersama mereka Mama pernah jalan-jalan ke Bali dan Yogya.  Juga Pangandaran.

Tapi Wahyudi bukanlah Papa.  Meski mereka berdua sama-sama family man.  Pria yang nggak bisa jauh dari keluarga.

Faktor keluarga ini pula yang membuat kami nggak jadi ikutan Geotrek II, padahal Bu Isna sudah bantu mendaftarkan kami jauh-jauh hari.  Nggak bisa pergi, karena harus berlebaran ke rumah orang tuanya Wahyudi.  Jadi ya Ulu, ketinggalan kereta sebenarnya bukan alasan yang tepat karena sebenarnya irma udah punya tiket ke Bandung (well, I spent two hours standing in queue to get the tickets !).  Tapi hingga waktunya kereta berangkat irma masih harus duduk manis di hadapan mertua.

Kemarin, untuk pertama kalinya sejak menikah, irma merasa iri pada lajang.  Dulu ya, tidak ada yang menghalangi tiap kali irma mau jalan-jalan.  Kecuali kalau uang nggak ada.  Atau terhalang jadwal audit.  Tapi kini meski ada uang belum tentu juga bisa pergi.  Sekarang irma ngerti perasaan seorang teman, yang berkeluh di blognya saat hasrat travelingnya terbelenggu semenjak menikah (but I think she has a stronger excuse as she has just had a baby girl).

 

... aku bisa menerima sekarang aku tidak lagi bersepeda ke kantor, tapi aku belum bisa menerima aku tak lagi bisa traveling sesuka hatiku.  belum, untuk yang satu ini aku belum rela.  hhh, alangkah sulitnya bersikap ikhlas ...

 

 

Wednesday, December 2, 2009

memanggil Acip

 

... bumi memanggil Acip, bumi memanggil Acip, ... coming Cip, please coming ...

 

Enaknya jadi Wahyudi, di akhir tahun dia libur panjang karena produksi terakhir tanggal 24 Desember.  Setelah itu jalur off untuk overhaul.  Mulai produksi lagi 5 Januari tahun depan.  Asik ya.

Selain itu dia juga dapat bonus.  Berdasarkan bocoran dari bagian PGA katanya bonus tahun ini nyampe tiga kali gaji.  Doohhh ... enak bener !

"Jalan-jalan yuk !  Udah lama kita nggak berlibur."

Tercengang irma mendengar ajakannya.  Ha-a, nggak salah ?  Tanggal segini baru ngajakin jalan-jalan akhir tahun ??  Whoaaa ... emang masih bisa dapat tiket ?  Juga hotel ?

Ternyata Wahyudi sudah punya ide ke mana akan berlibur.  Bukan Bali, Yogya, Solo, atau tempat-tempat wisata terkenal.

"Kita ke Jambi aja.  Ke situs Muara Jambi.  Kan ada Acip.  Bisa nyepedahan lagi," usulnya via email.

Usulan yang sudah irma duga.  Sejak melihat pameran Titik Temu - Jejak Peradaban di Tepi Batanghari  di Bentara Budaya tiga tahun yang lalu, Wahyudi ingin sekali ke Situs Muara Jambi.  Memang menarik sih.  Apalagi ada teman kami di Jambi.  Setelah lulus jadi dokter gigi kan Acip balik pulang ke Jambi.

Tapi masalahnya kita kehilangan jejak Acip.  Terakhir ketemu waktu  Lava Tour di akhir Oktober lalu.  Itu pun nggak sempat ngobrol banyak apalagi nanya-nanya alamat dia di Jambi.  Dan sepertinya Acip juga udah jarang akses ke MP.  Keasikan di FB kali ya.  Atau di Jambi nggak bisa internetan ?

Jadi, di mana kah Acip ?

 

 

he broke my heart

 

Minggu lalu dalam acara Kick Andy special edition dalam rangka ulang tahun MetroTV ke 9, Andy sang pembawa acara bagi-bagi sepuluh kamera digital Canon G10 !  Waaaaaaaa ......... bikin ngiler aja.  Sayangnya itu cuma buat penonton di studio.

Besoknya irma cerita ke Wahyudi tentang pembagian kamera tersebut.  "Pasti kamu mau ya, jadi penonton di sana biar dapat kamera itu ?" komentar Wahyudi.  He eh, iya.  Tau aja.  Tapi kan meskipun irma di sana belum tentu juga dapat.  Tergantung nasib karena pemenangnya diundi.

"Mending G10 ya daripada G11 ?" irma balik nanya.  Waktu ngajuin proposal minta dibeliin kamera daripada Wahyudi upgrade laptop irma, irma cetak perbandingan beberapa kamera digital hasil browsing di internet.  Meski G11 merupakan produk baru keluaran tahun ini tapi menurut Wahyudi spesifikasinya lebih bagus G10.  Padahal G10 tuh produk tahun kemarin.

"Hmmm ... kalau menurut aku sih, kamu mendingan pake DSLR," jawab Wahyudi.

Dan aku pun jadi patah hati.

Karena dengan menjawab begitu berarti Wahyudi nggak akan ngebeliin G10 untuk irma.  Karena menurut dia, jika dengan harga yang sama bisa dapat DSLR, ngapain juga beli kamera pocket semi-pro begitu. 

Sementara aku berpikir, kenapa aku harus berpaling ke DSLR jika aku nyaman dengan yang semi-pro ?  Ngapain juga beli barang yang over spec, nanti malah nggak kepake.  Seperti rekan-rekan kantor yang berbondong-bondong beli EOS 1000D tapi abis gitu kameranya ngejogrog di kotak aja.  Sayang banget.  Itulah akibatnya kalau belanja karena ngikutin kata orang, bukan karena kebutuhan.

Hhhhh ... nggak jadi deh dapat hadiah di akhir tahun.  Hiks