Wednesday, March 8, 2006

Cerita dari Yogya - 5 : Puri Mangkunegaran Solo


Hari kedua, Minggu 29 Januari 2006

Mas Barid mana ya ?  Janjinya jam 8 udah di Hotel Manohara.  Kiranya jam sembilan lewat ia baru datang.  Rupanya ada tetangganya yang sakit jadi Mas Barid ngantar dulu ke rumah sakit.  Setelah Mas Barid datang kita lalu bergegas menuju Solo.  Ealah ternyata Borobudur-Solo tuh dua jam lebih !  Tau gini baiknya kita ke Yogya aja ya, ke Solo nya besok.  Karena dengan waktu tempuh yang di luar perkiraan – ditambah start awal yang telat dari rencana - kita jadi banyak kehilangan waktu buat jalan-jalan di Solo L  Coba ya siapa yang bilang Borobudur-Solo cuma setengah jam ??  Itu sih Prambanan-Solo kalleee … 

‘Mbok, simbok !’ seru Mas Barid saat mobilnya tiba-tiba disalip motor dikendarai seorang ibu yang bawa buntelan gede di boncengannya.  Wuih, ngebut banget si ibu.  Ngeliat itu Ela jadi cerita waktu kecil dulu dia dibonceng Mamanya naik vespa. ‘Pegangan yang kenceng ya,’ Ela menirukan kata-kata Mamanya.  Ngebut juga nggak La ?  Kalo ngebut, ketahuan deh dari mana Ela dapat turunan kebiasaan ngebut, hehehe …

Sampai di Solo kita langsung ke Puri Mangkunegaran.  Puri ini menghadap Selatan dan dibangun oleh Pangeran Sambernyowo alias Pangeran Mangkunegara I di tahun 1757.  Berbeda dengan keluarga Kraton, Mangkunegaran tidak memiliki kekuatan politik karena mereka hanyalah Adipati, bukan Raja.  Pangeran yang sekarang adalah Mangkunegara IX yang bergelar lengkap Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara IX atau disingkat KGPAA Mangkunegara IX.  Istrinya bergelar Gusti Kanjeng Putri Mangkunegara atau disingkat GKP Mangkunegara.  Pak Soesilo yang mendampingi kita berkeliling sambil menerangkan tentang puri dan keluarga Mangkunegara.  Pemandu yang satu ini patut diacungi jempol banyak-banyak deh.  Orangnya ramah dan  neranginnya enak jadi betah deh irma di sana.

Area pertama yang kita masuki di puri ini adalah Pendopo Ageng, tempat pelaksanaan upacara tradisionil.  Begitu menjejakkan kaki di Pendopo Ageng ini kita harus melepaskan sepatu atau sandal.  Nggak usah khawatir, pihak puri menyediakan kantong plastik untuk tempat menyimpan alas kaki agar bisa dibawa-bawa.  Di sini setiap hari Rabu dari jam 10 – 12 dipentaskan pagelaran tari.  Masyarakat umum boleh menikmatinya.  Pendopo ini luasnya 3000 m2, merupakan pendopo terbesar di Indonesia (ck.. ck.. ck.. ck..).  Kayu jati yang menopang pendopo ini berasal dari hutan Donoloyo di Wonogiri.  Di pendopo ini juga terdapat gamelan peninggalan kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu kerajaan Demak.  Gamelan ini masih asli loh.  Hanya kulit kendang nya saja yang perlu diganti secara berkala.

Di langit-langit Pendopo Ageng ada lukisan Kumodawati.  Masing-masing warna lukisan ini mempunyai arti.  Kuning mencegah kantuk.  Biru menolak bencana.  Hitam anti lapar.  Hijau untuk menjauhkan diri dari pikiran buruk.  Putih berhubungan dengan nafsu.  Merah berkaitan dengan marah dan pink untuk menghilangkan takut.  Terakhir ungu, artinya apa ya ??  Wah, maaf lupa L  Nanti kalo ke sana lagi irma tanyain deh ya …

Di sebelah Barat Pendopo Ageng terdapat sekolah budaya Jawa.  Kalau mau belajar tentang Pakuwon (hitung-hitungan hari baik menurut adat Jawa), batik, wayang, bisa ke sini.  Sedangkan bangunan di sebelah Timur adalah gedung administrasi tempat masyarakat mencari tahu referensi atau silsilah Mangkunegaran.

Sebelum memasuki pusat puri yang disebut Dalem Ageng, kita akan menemui lukisan-lukisan pangeran dan permaisuri Mangkunegaran.  Yang menarik adalah lukisan istri Mangkunegara VIII yang dilukis oleh Basuki Abdullah.  Ini adalah lukisan tiga dimensi, sehingga dari arah mana pun kita melihatnya seolah-olah permaisuri ini sedang memandangi kita.  Heee… jadi ingat lukisan Jalan Seribu Pandangan di Istana Tjipanas.  Lukisan itu juga lukisan tiga dimensi.

Di dalam Dalem Ageng kita tidak boleh memotret dan harus menanggalkan topi (kenapa ya tiap kali masuk kraton atau istana nggak boleh pake topi ??).  Dalem Ageng ini berbentuk limasan dan ditopang oleh delapan soko guru atau tiang utama.  Dalem Ageng ini juga merupakan museum tempat memajang peninggalan dan koleksi Mangkunegaran.

Di tengah-tengah Dalem Ageng kita akan melihat tempat seperti peraduan yang ditutupi kelambu.  Jangan salah, itu bukan tempat tidur lho !  Itu adalah Krobongan untuk menaruh sesaji.  Budaya sesaji ini adalah pengaruh Hindu, Budha dan Jawa.  Sampai sekarang masyarakat di pedesaan masih menyiapkan sesaji sebelum menanam padi.  Maksudnya agar tanamannya terlindungi hingga panen.  Di atas Krobongan terdapat Suryosumirat, lambang Mangkunegaran.  Di kiri dan kanan Krobongan ada Sentong yang merupakan tempat semedi.  Di depan Krobongan terdapat patung Dewi Sri dan saudaranya Sadana.  Dewi Sri dan Sadana ini adalah lambang kesuburan.

Setelah menerangkan Krobongan dan pernak-pernik di sekitarnya, Pak Soesilo mengajak kita berkeliling Dalem Ageng untuk melihat-lihat koleksi Mangkunegaran.  Kita mulai dari sebelah Timur.  Ada perlengkapan tari Bedoyo Srimpi yang terbuat dari perak.  Tari ini menggambarkan pertemuan penguasa Laut Pantai Selatan dengan keluarga Mataram.  Biasanya tari ini dipergelarkan saat ulang tahun Pangeran Mangkunegara yang sedang memimpin.  Tidak sembarang orang boleh menarikan Bedoyo Srimpi.  Syaratnya ialah masih gadis, tidak sedang berhalangan dan berasal dari keluarga Mangkunegara.  Jumlah penarinya selalu ganjil dan mereka diharuskan berpuasa beberapa hari sebelum pentas.

Ada banyak koleksi keluarga Mangkunegara.  Koleksi kristal Italia yang diperoleh sebelum Indonesia merdeka, uang kuno peninggalan zaman Majapahit yang digunakan sebagai alat pembayaran antar keluarga, gelang intan putih dari Martapura, koleksi medali dari luar negri, ukiran gading gajah dari Cina, kristal dan miniatur dari Belanda, pedang dari Eropa dan Jepang (termasuk pedang harakiri untuk bunuh diri !) , kristal dari Ratu Fabiola Belgia, kristal Prancis pemberian Napoleon III, dan masih banyak lagi.  Yang menarik di antara koleksi perhiasan mas 18 karat ada Badong, penutup alat kelamin pria peninggalan Mangkunegara III.  Maksud dari badong ini adalah agar pangeran tidak ‘macam-macam’ di luar istana karena badong dikunci dan kuncinya dipegang oleh istrinya.  Hihihi…  Juga ada perhiasan penutup alat kelamin perempuan yang sayangnya tinggal tiga.  Satu lagi lenyap diambil pencuri L

Di antara koleksi cincin ada cincin jempol kaki yang berfungsi sebagai stempel.  Zaman dulu surat-surat penting kan ditulis di atas lembar kulit hewan.  Nah agar stempelnya mantap maka dimanfaatkanlah berat badan makanya dibuat stempel cincin jempol kaki itu.  Jadi kalo mau nyetempel tinggal injek aja.  Jebret !

Kalau tadi di sisi Timur ada perlengkapan tari Bedoyo Srimpi yang dimainkan para gadis, maka di Dalem Ageng sisi Barat kita akan menemukan perlengkapan tari Langendrian yang dimainkan para laki-laki.  Tarian ini menggambarkan peperangan antara baik dan buruk.  Perhiasan yang dipakai antara lain hiasan kepala, kelat bahu dan simping yang digunakan di telinga.  Simping adalah lambang kebijaksanaan.

Wah pokoknya banyak sekali koleksi Mangkunegaran ini.  Dan di antaranya ada benda-benda unik yang baru kali ini irma lihat.  Seperti cengkal yang digunakan untuk melindungi alat kelamin anak laki setelah dikhitan.  Juga cermin abad ke 10 yang menggunakan air sebagai kacanya.  Trus ada barang-barang ampilan, yaitu barang-barang yang khusus dipinjamkan untuk upacara-upacara tertentu seperti Jumenengan.  Barang-barang ini terdiri dari antara lain tempat sirih, tempat cerutu, tempat minuman keras, dan penutup makanan.  Oh iya, ada juga sandal anak laki-laki (kecil) yang dipakai hanya setahun sekali !  Ini adalah sandal calon pengganti pangeran yang digunakan saat ia menghadiri ulang tahun ayahnya.

Sebelum meninggalkan Dalem Ageng kita akan bertemu dengan koleksi keris dan kepala keris.  Ada dua jenis keris, yaitu keris lurus dan keris luk.  Keris lurus adalah keris sebelum abad ke 13, bentuknya lurus tanpa modifikasi.  Sedangkan keris luk adalah modifikasi keris lurus menjadi berbentuk kelok-kelok.  Keris luk ini mulai dibuat setelah abad ke 13.  Keris luk banyak dibawa oleh orang Jawa yang merantau ke Malaysia.  Karena itu bangsa Eropa mengira keris berasal dari Malaysia karena di sana lah pertama kali mereka melihat keris.  Keris adalah sesuatu yang sakral bahkan bisa digunakan untuk menggantikan kehadiran seseorang di suatu acara penting.  Misalnya di undangan atau mewakili mempelai pria pada pernikahannya.  Tapi kebayang nggak sih pada saat menikah duduk berdampingan dengan keris, bukannya dengan mempelai pria ??  Hehehe… kalo buat irma sih kayaknya aneh deh J

Keluar dari Dalem Ageng, kita boleh pakai sepatu dan foto-foto lagi.  Di selasar luar kita bisa melihat koleksi topeng yang konon jumlahnya mencapai seribu !  Topeng ini dikumpulkan dari berbagai daerah.  Topeng Jawa memiliki ciri khas mulut tersenyum, hidung mancung dan untuk topeng perempuan matanya lebih sipit.  Dulu topeng berfungsi untuk menutupi wajah orang yang akan dikebumikan.  Jika yang meninggal dari kalangan bangsawan, topengnya terbuat dari perunggu.

Terakhir kita masuk ke Balai Peraci Moyoso, tempat keluarga Mangkunegara menjamu tamu-tamu.  Balai ini bisa disewa masyarakat umum lho.  Konon rapat-rapat persiapan pemilu dan pilkada pernah dilaksanakan di sini.  Di jendelanya terdapat gambar-gambar kaca patri tentang budaya Jawa, antara lain gambar pemain gamelan.  Ternyata di gamelan Jawa yang jadi pimpinan itu pemain kendang.  Ia yang menentukan cepat-lambat nya permainan.  Ya seperti drummer dalam suatu band, kan pemain alat musik lain mengikuti beat yang dimainkannya. 

Kita juga bisa menikmati keteduhan taman di belakang Dalem Ageng.  Ada kembang Soka, Anggrek, trus apa lagi yah ?  Nani dan Tety puas banget motretin bunga-bunga.  Di taman ini ada lingga dan yoni yang melambangkan Dewa Siwa dan istrinya, Dewi Parwati.   Pertemuan lingga dan yoni akan menghasilkan keturunan.  Di sini juga ada burung Nuri dan Kakaktua.  Tapi kasihan mereka hanya bisa duduk terkurung dalam sangkarnya yang kecil L

 

1 comment: