Sunday, October 25, 2009

jangan lupakan teman

 

... dikutip dari milis theaddres-deluxe@yahoogroups.com ...

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 

Sebuah kapal karam di tengah laut karena terjangan badai dan ombak hebat. Hanya dua orang lelaki yang bisa menyelamatkan diri dan berenang ke sebuah pulau kecil yang gersang.

Dua orang yang selamat itu tak tahu apa yang harus dilakukan. Namun, mereka berdua yakin bahwa tidak ada yang dapat dilakukan kecuali berdoa kepada Tuhan. Untuk mengetahui doa siapakah yang paling dikabulkan, mereka sepakat untuk membagi pulau kecil itu menjadi dua wilayah. Dan mereka tinggal sendiri-sendiri berseberangan di sisi-sisi pulau tersebut.

Doa pertama yang mereka panjatkan. Mereka memohon agar diturunkan makanan. Esok harinya, lelaki ke satu melihat sebuah pohon penuh dengan buah-buahan tumbuh di sisi tempat tinggalnya. Sedangkan di daerah tempat tinggal lelaki yang lainnya tetap kosong.

Seminggu kemudian, lelaki yang ke satu merasa kesepian dan memutuskan untuk berdoa agar diberikan seorang istri. Keesokan harinya, ada kapal yang karam dan satu-satunya penumpang yang selamat adalah seorang wanita yang berenang dan terdampar di sisi tempat lelaki ke satu itu tinggal. Sedangkan di sisi tempat tinggal lelaki ke dua tetap saja tidak ada apa-apanya.

Segera saja, lelaki ke satu ini berdoa memohon rumah, pakaian, dan makanan. Keesokan harinya, seperti keajaiban saja, semua yang diminta hadir untuknya. Sedangkan lelaki yang kedua tetap saja tidak mendapatkan apa-apa.

Akhirnya, lelaki ke satu ini berdoa meminta kapal agar ia dan istrinya dapat meninggalkan pulau itu. Pagi harinya mereka menemukan sebuah kapal tertambat di sisi pantainya. Segera saja lelaki ke satu dan istrinya naik ke atas kapal dan siap-siap untuk berlayar meninggalkan pulau itu. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan lelaki ke dua yang tinggal di sisi lain pulau. Menurutnya, memang lelaki kedua itu tidak pantas menerima pemberian Tuhan karena doa-doanya tak terkabulkan. Begitu kapal siap berangkat, lelaki ke satu ini mendengar suara dari langit menggema, “Hai, mengapa engkau meninggalkan rekanmu yang ada di sisi lain pulau ini?”

“Berkahku hanyalah milikku sendiri, karena hanya doakulah yang dikabulkan,” jawab lelaki ke satu ini. “Doa lelaki temanku itu tak satupun dikabulkan. Maka, ia tak pantas mendapatkan apa-apa.”

“Kau salah!” suara itu membentak membahana. “Tahukah kau bahwa rekanmu itu hanya memiliki satu doa. Dan, semua doanya terkabulkan. Bila tidak, maka kau takkan mendapatkan apa-apa.”

“Katakan padaku,” tanya lelaki ke satu itu. “Doa macam apa yang ia panjatkan sehingga aku harus merasa berhutang atas semua ini padanya?” “Ia berdoa agar semua doamu dikabulkan!”

Kesombongan macam apakah yang membuat kita menganggap bahwa hanya harapan dan doa-doa kita yang terkabulkan? Betapa banyak orang yang tidak mengorbankan sesuatu demi keberhasilan kita. Tak selayaknya kita mengabaikan peran orang lain.....

Jòé

Friday, October 23, 2009

masakan istri

 

Kemarin sore dalam perjalanan pulang ke Cibubur irma terima sms dari Wahyudi, kasih tau kalau dia akan pulang lebih malam karena ada perpisahan salah satu anak buahnya yang habis masa kontraknya.  Sayang banget, padahal dia kerjanya bagus.  Tapi gimana, peraturan perusahaan nggak memungkinkan dia diangkat jadi karyawan tetap.

"Makan malam di rumah nggak ?" irma membalas smsnya.  Perkiraan irma sih, pada acara perpisahan itu tentunya termasuk makan-makan.  Jadi bisa aja Wahyudi udah makan malam di sana.  Kalau Wahyudi dah makan, irma nggak perlu nyiapin makanan lagi.  Kebayang sampai rumah nanti bisa santai ngedit photo-photo yang dah lama terbengkalai.

Nggak berapa lama kemudian masuk sms balasan dari Wahyudi.  Kata-katanya bikin irma tersenyum dan pipi merona.  "Iya.  Tetap pengen makan masakan istri."

ah, dia bisa aja nyenengin hati istri ...

 

 

Wednesday, October 21, 2009

lebih asik pake angkot

 

"ir, kenapa elo nggak bareng si xxx aja ?  kan dia pulangnya ke Cibubur juga."

Karena nggak diajak, jawab irma saat seorang rekan kantor bertanya demikian.  Meski dia tau irma tinggal di Cibubur, kita keluar kantor bareng, tapi dia nggak pernah ngajakin irma pulang bareng dengannya.  Padahal dia pake mobil.  Hiks,

Lha kalau nggak diajak trus masa' irma harus ngemis-ngemis kepadanya, memohon agar irma boleh nebeng mobilnya ?  Ya nggak lah.  irma kan bisa pulang naik kendaraan umum.  Seperti biasa yang irma lakukan selama ini.  Lagian lebih enak begitu, irma bisa baca atau tidur dalam perjalanan.  Mau singgah dulu juga bisa.

Kalau pulang sendiri tuh, lebih mandiri.  Lebih bebas.  Yah meski nggak sebebas waktu irma bersepeda pergi dan pulang kantor.  Tapi irma masih merasakan kebebasan yang sama : nggak tergantung orang lain.

 

 

aku berjalan pulang seperti Eca pergi naik gunung

 

Baca postingannya Eca  tentang perjalanan dia ke Gunung Gede , Eca bilang dia harus pake headlamp saat menuju puncak.  Jadi ingat kalau irma juga pake headlamp kalau berjalan pulang.

Bukan, bukan karena rumah irma di puncak gunung maka irma harus pake headlamp begitu.  Tapi karena jalan utama menuju komplek rumah gelap kalau udah lewat Maghrib.  Padahal itu boulevard utama.  Jalan masuk menuju cluster-cluster perumahan.

Sudah sebulan ini lampu jalan sepanjang boulevard itu hanya dinyalakan sebagian.  Dari 11 pasang lampu jalan (berarti 22 lampu ya) cuma 3 lampu yang nyala setelah Maghrib.  Katanya sih karena para warga penghuni cluster keberatan biaya penerangan lampu jalan tersebut dibebankan kepada mereka.  Mereka maunya biaya tersebut ditanggung pengembang.  Sedangkan pengembang ingin biaya ditanggung bersama antara pengembang dengan penghuni.

Baca di milis penghuni cluster, sepertinya sudah lama terjadi ketegangan antara penghuni dengan pengembang.  irma nggak tau masalahnya apa, atau sejarahnya bagaimana, yang jelas tiap kali bicara tentang pengembang selalu saja muncul makian, cacian dan kutukan dari warga ditujukan kepada pengembang.  Kaget juga tau para penghuni yang bekerja secara terhormat itu bisa berkata-kata sangat keji.  Tapi mungkin juga permasalahannya begitu berat sehingga pada sakit hati begitu.

Jadi selama tidak ada kejelasan siapa yang menanggung biaya listrik lampu jalan maka sepanjang boulevard utama tersebut penerangan dibuat seminim mungkin.  Nggak pernah lebih dari 3 lampu yang dinyalakan.  Heran deh, kok nggak ada yang mempertimbangkan masalah keamanan.  Sejak boulevard gelap begitu di sana jadi tempat nongkrong nggak jelas malah pernah dipake kebut-kebutan tanpa lampu.  Serem.

Kadang irma pikir apa para penghuni cluster itu pada pake kendaraan semua ya ?  Pada pake mobil dan motor, nggak ada yang jalan kaki seperti irma makanya mereka nggak peduli boulevard itu gelap atau terang.  Memang nggak terlalu jauh sih, satu ruas jalan itu paling cuma 500 meter.  Tapi gelap ya tetap aja gelap. 

Memang sih, ada alternatif jalan lain buat ke cluster.  Lewat perkampungan.  Tapi lebih serem lagi karena melintasi pemakaman.  Bisa juga naik ojek tapi karena irma pernah punya pengalaman buruk dengan ojek maka irma lebih suka jalan kaki.  Atau naik ojek pribadi alias suami sendiri.  Tapi Wahyudi pulang lebih malam daripada irma.  Jadi jarang kita bisa pulang bareng.

Ya sudah, yang bisa dilakukan adalah irma berangkat sepagi mungkin agar sore bisa pulang tepat pukul empat.  Kalau pulang jam segitu jalan pulang sepanjang boulevard utama masih cukup terang.  Tapi untuk berjaga-jaga irma selalu bawa headlamp dalam tas.  Jadi kalaupun udah keburu gelap irma masih bisa berjalan pulang diterangi lampu dari atas kepala.  Dan itu pernah irma lakukan beberapa kali.

Begitulah, aku berjalan pulang tak ubahnya Eca pergi naik gunung.  Hhhhh ...

 

 

 

kisah uang seribu dan seratus ribu

 

Hihihihi, ceritanya nyepet banget.  Dikutip dari milis Historia-Indonesia

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kiriman seorang sahabat.....

Konon, uang seribu dan seratus ribu memiliki asal-usul yang sama tapi
mengalami nasib yang berbeda. Keduanya sama-sama dicetak di PERURI
dengan bahan dan alat-alat yang oke. Pertama kali ke luar dari PERURI,
uang seribu dan seratus ribu sama-sama bagus, berkilau, bersih, harum
dan menarik..

Namun tiga bulan setelah keluar dari PERURI, uang seribu dan seratus
ribu bertemu kembali di dompet seseorang dalam kondisi yang berbeda.

Uang seratus ribu berkata pada uang seribu :

“Ya, ampiiiyuunnnn. ………..dari mana saja kamu, kawan? Baru tiga bulan
kita berpisah, koq kamu udah lusuh banget? Kumal, kotor , lecet dan……
bau! Padahal waktu kitasama-sama keluar dari PERURI, kita sama-sama
keren kan ….. Ada apa denganmu?”

Uang seribu menatap uang seratus ribu yang masih keren dengan perasaan
nelangsa. Sambil mengenang perjalanannya, uang seribu berkata :

“Ya, beginilah nasibku, kawan. Sejak kita ke luar dari PERURI, hanya
tiga hari saya berada di dompet yang bersih dan bagus. Hari berikutnya
saya sudah pindah ke dompet tukang sayur yang kumal. Dari dompet tukang
sayur, saya beralih ke kantong plastik tukang ayam. Plastiknya basah,
penuh dengan darah dan kotoran ayam. Besoknya lagi, aku dilempar ke
plastik seorang pengamen, dari pengamen sebentar aku nyaman di laci
tukang warteg. Dari laci tukang warteg saya berpindah ke kantong tukang
nasi uduk, dari sana saya hijrah ke ‘baluang’ Inang-inang. Begitulah
perjalananku dari hari ke hari. Itu makanya saya bau, kumal, lusuh,
karena sering dilipat-lipat, digulung-gulung, diremas-remas. …….”

Uang seratus ribu mendengarkan dengan prihatin.:

“Wah, sedih sekali perjalananmu, kawan! Berbeda sekali dengan
pengalamanku. Kalau aku ya, sejak kita keluar dari PERURI itu, aku
disimpan di dompet kulit yang bagus dan harum. Setelah itu aku pindah ke
dompet seorang wanita cantik. Hmmm… dompetnya harum sekali. Setelah dari
sana , aku lalu berpindah-pindah, kadang-kadang aku ada di hotel
berbintang 5, masuk ke restoran mewah, ke showroom mobil mewah, di
tempat arisan Ibu-ibu pejabat, dan di tas selebritis. Pokoknya aku
selalu berada di tempat yang bagus. Jarang deh aku di tempat yang kamu
ceritakan itu. Dan…… aku jarang lho ketemu sama teman-temanmu.”

Uang seribu terdiam sejenak. Dia menarik nafas lega, katanya : “Ya.
Nasib kita memang berbeda. Kamu selalu berada di tempat yang nyaman.Tapi
ada satu hal yang selalu membuat saya senang dan bangga daripada kamu!”

Apa itu?” uang seratus ribu penasaran.

“Aku sering bertemu teman-temanku di kotak-kotak amal di mesjid atau di
tempat-tempat ibadah lain. Hampir setiap minggu aku mampir
ditempat-tempat itu. Jarang banget tuh aku melihat kamu disana…..”

Monday, October 19, 2009

dipanggil boss besar

 

"Bu Irma bisa ke tempat saya ?  Ada yang perlu saya bicarakan."

Glek.  Di saat irma asik baca graphic diary "Cerita si Lala", Boss besar menelpon suruh irma datang menghadapnya.  Dooohhh ... ada apa nihh ?  Jangan-jangan beliau tau irma sering korupsi waktu kerja dengan baca komik dan blogging.

Dag dig dug irma masuk ruangan si Boss.  Dan hasilnya ....... yeah, dia bilang per January 2010 nanti irma bakalan pindah posisi jadi QMM.  Quality Management Manager.  Bukan assistant manager lagi.

ih, di saat irma berpikir tentang resign justru dapat tawaran begini.

 

 

Sunday, October 18, 2009

nama anak

 

Sabtu pagi kemarin ada tetangga ngundang aqiqah anaknya.  Baru terima undangannya Jumat malam waktu irma sampai di rumah.  Telpon Teteh, kalau datang ke aqiqahan bawa apa siihh ?  Teteh bilang sih bawa kado buat keperluan bayi aja.  Kasih disposable diaper alias popok sekali pake juga boleh.

Karena nggak sempat pergi keluar rumah buat beli kado jadi baby towel gambar bayi pooh, tigger, dan eeyore yang irma simpan dijadiin kado.  Dua tahun yang lalu handuk itu irma beli bersamaan dengan kado untuk kelahiran Aska, cucunya Ibu Amin dari Dede Rufi.  irma beli handuk itu karena irma penggemar karakter pooh terutama eeyore.  Sampai sekarang belum pernah dipakai malah masih terbungkus dalam kotaknya.  Mungkin suatu saat nanti irma akan punya bayi sendiri.  Tapi karena urgent begini jadi handuk itu dikadoin buat bayi lain.  Ya udah lah, mudah-mudahan handuk itu masih ada yang jual jadi irma bisa beli lagi.

Berjalan kaki menuju rumah tetangga tempat aqiqah, irma dan Wahyudi tebak-tebakan bayi itu laki atau perempuan.  Abis dari namanya nggak kelihatan jelas dia anak laki atau perempuan.  Pertama kali dengar namanya yang terlintas di benak irma adalah Bezita, nama tokoh dalam kartun Dragon Ball, hehehe.  Tipikal anak-anak sekarang, orang tuanya memberi nama pake bahasa Arab.  irma sendiri heran, kayaknya sekarang jarang banget dengar anak bernama khas Indonesia seperti Dian, Joko, Budi, Nani, dll.

"Cewek," jawab sang ibu waktu irma dan Wahyudi melihat bayinya dan bertanya jenis kelaminnya.  irma memandang Wahyudi dan bilang, "Nah, betul kan tebakanku." 

Berjalan kaki pulang ke rumah kami membahas orang tua sekarang yang cenderung memberi nama ribet untuk anaknya.  Seperti nama bayi yang baru diaqiqah tadi.  "Kamu kalau punya anak nanti jangan kasih nama yang ribet ya.  Apalagi kalau anak perempuan.  Kasihan nanti calon suaminya kesusahan waktu ngucapin ijab kabul," irma bilang.

Komentar Wahyudi, "Bukannya kalau nggak ribet, nggak keren ?"

Haa, maksudnya makin ribet bin aneh, makin keren gitu ??  Emang, nama anak tuh harus keren ya ?  Bukannya yang penting nama itu mengandung doa ??

 

 

Friday, October 16, 2009

weekend@tidung

 

Sabtu pagi tanggal 3 Oktober 2009 lalu irma dan Wahyudi berangkat dari rumah di Cibubur menuju pelabuhan Muara Angke.  Kami mau ikutan trip ke Pulau Tidung yang diadakan Mas Teguh cs dari Penulis Pengelana.  Meski Mas Teguh kasih informasi angkutan umum menuju Muara Angke namun demi kepraktisan kami memilih naik taksi.  Yaelah, ternyata supir taksinya nggak tau jalan !  Dia malah membelokkan mobil ke arah Sunda Kelapa.  ”Bapak sebenarnya tau nggak sih Muara Angke itu di mana ?” kesal Wahyudi menegurnya.  Weitttsss, sabar Om Bewok, sabar.  Pagi-pagi gini dah bete, bisa rusak mood seharian nanti.

 

Akhirnya sampai juga kami di Muara Angke.  Terlihat banyak yang mau nyeberang menuju Kepulauan Seribu.  irma celingak-celinguk mencari tanda-tanda sekumpulan traveler writer.  Kalau Adep bikin acara kan dia selalu membentangkan spanduk Batmus ya, jadi mudah dikenali.  Tapi untuk komunitas Penulis Pengelana ini irma belum tau bagaimana identitas mereka.

 

”Irma,” seseorang berkaus kuning ngejreng menyapa.  Hai, Opang !  Tumben kali ini dia menyapa irma dengan nama yang benar.  Biasanya kan dia panggil irma ”Eskrim”, hihihi.  Setelah bersalaman Opang lalu menunjukkan kapal yang akan mengantar kami ke Pulau Tidung.  irma dan Wahyudi bergegas masuk ke dalamnya.

 

”Rombongannya Opang ya ?” tanya seorang ibu berkerudung saat kami udah di dalam kapal.  Iya.  Kami pun berkenalan.  Ibu tersebut akrab disapa Mama Reny.  Mama Reny lalu mengajak kami duduk di sebelahnya.  ”Pegang nih satu,” ia menepuk life jacket warna jingga menyala di hadapannya.  Yak betul, kalau naik kapal seperti ini memang kita harus memastikan piranti keselamatan tersedia.  Dan tentunya berfungsi.

 

Jam tujuh pagi kapal bertolak meninggalkan pelabuhan Muara Angke.  Baru juga jalan sebentar kapal berhenti.  Wah, ada apa nih ?  irma melongok keluar jendela.  Seorang awak kapal mengenakan google terjun ke dalam air.  Setelah beberapa saat ia muncul kembali.  Tangannya memegang lembaran besar plastik.  Oh rupanya baling-baling kapal tersangkut sampah plastik.  Makanya, jangan buang sampah ke laut !  Eh ternyata setelah dilepas dari baling-baling, lembaran plastik itu ia lempar lagi ke laut.  Gimana sihh, kan nanti bisa nyangkut lagi di kapal yang lain.  Mungkin juga malah di kapal dia sendiri.

 

”Tidur aja.  Perjalanannya lama.  Tiga jam,” Mama Reny rebahan di lantai kapal yang dialasi tikar plastik.  irma dan Wahyudi turut tiduran.  Seorang awak kapal menurunkan terpal penutup jendela di samping kami.  Matahari di luar mulai pancarkan cahaya panas.  Nggak berapa lama irma dan Wahyudi pun tertidur.  Meski tidur di kapal begitu ternyata kebiasaan Wahyudi kalau tidur di rumah tetap terbawa : ia menggandeng tangan irma.  Hihihi, takut hilang ya ??

 

Nggak tau udah tidur berapa lama tiba-tiba aja irma terbangun karena seorang bapak yang duduk di atas berseru, ”Nyampeeeeee ... !”  Beberapa penumpang lain pun terbangun.  Irma melongok keluar jendela.  Nyampe di mana ?  Nggak kelihatan satu pulau pun di sekitar kapal.  ”Nyampe di tengah laut,” kata bapak yang berseru tadi.  Ealahhhh ... iseng banget sih ngebangunin orang lagi tidur ?

 

Ternyata kapal kami berhenti karena berpapasan dengan kapal lain dari arah berlawanan.  Rupanya kapal tersebut mengalami gangguan.  Ia dari Pulau Tidung hendak menuju Muara Angke.  Nggak berapa lama kemudian datang satu kapal lagi dari Pulau Tidung.  Para penumpang kapal yang rusak lalu pindah ke kapal yang baru datang itu.  Wahyudi tertawa melihat proses pemindahan sepeda motor.  Setelah para penumpang dan bawaan mereka dipindahkan, kapal yang rusak itu lalu diikat ke kapal kami.  Ia akan kembali ke Pulau Tidung.

 

Sekitar jam setengah sebelas kami berlabuh di dermaga Pulau Tidung Besar.  Seorang pemuda berseragam SMK menghampiri Wahyudi.  Ia mengulurkan selembar kertas bertuliskan paket wisata seputar Pulau Tidung.  Wahyudi bilang kami datang bersama rombongan dan sudah ada panitia pengaturnya.  Pemuda itu mengucapkan terima kasih lalu menghampiri penumpang lain.  irma pikir bagus juga di Pulau Tidung ini ada yang bikin paket wisata begitu.  Seperti di Pulau Untung Jawa.

 

”Irmaaaaaa ... !” berdiri di hadapan irma Eca membentangkan tangan lebar-lebar.  Hai, kangen ya sama irma ?  Hihihi.  ”Ugh, kamu tadi di dalem ya ?  Eca di atas.  Panasss,” Eca menunjuk atap kapal.  Banyak memang yang memilih duduk di sana.  Seandainya perjalanan tadi singkat saja, irma pun ingin duduk di atas seperti itu.  Pengen ngerasain angin laut menerpa wajah.  Beda dengan anak perempuan lain yang umumnya takut kulit hitam atau rusak, irma malah senang sekali beraktifitas di alam terbuka.

 

Opang memandu kami menuju penginapan.  Barang-barang dinaikkan ke atas dua becak.  Berbondong-bondong kami jalan kaki melewati Puskesmas dan kantor kelurahan.  ”Kelurahannya bagus ya, nggak kayak kelurahan Pisangan Lama Timur,” irma ingat rasa kesal waktu mengurus surat keterangan pindah Wahyudi sebelum lebaran lalu.  Kelihatannya bangunan kantor lurah Tidung ini sih bagus.  Tapi nggak tau pelayanannya gimana.

 

Kemudian kami melewati satu rumah dengan banyak sepeda di pekarangannya.  Rupanya itu adalah bengkel sepeda.  Tercengang irma waktu melihat ternyata teknisinya ... seorang ibu-ibu !  Ia sedang mengganti ban becak.  irma jadi ingat teman-teman para lady biker yang nggak kalah dengan pesepeda laki-laki.

 

Kami pun tiba di Losmen Lima Saudara.  Wuiiiii ... halamannya asri sekali.  Banyak pohon.  Losmen itu memiliki lima paviliun atau rumah kecil.  Tiap rumah mempunyai nama, bukan nomor.  Opang membacakan pembagian kamar.  Seperti yang sudah irma duga, irma dan Wahyudi ditempatkan pada rumah terpisah.  Wahyudi bersama para peserta cowok di rumah Irfan.  Sedangkan irma dan keenam peserta perempuan lainnya di rumah Rizky BR.  Ternyata rumah itu paling asik di antara kelima rumah Losmen Lima Saudara.  Bagian belakang rumah Rizky ada taman kecil menghadap laut.  Beberapa peserta langsung duduk-duduk di sana, memandang laut sambil rasakan hembusan angin sepoi-sepoi.  Adeeeemm bangett.

 

Makanan sudah tersedia.  Hmmm ... sayur asemnya enak.  Segar.  Setelah makan siang kami bersiap-siap melancong seputar Pulau Tidung.  ”Irma udah pilih sepeda ?” tanya Wahyudi.  Weittss, udah disuruh milih sepeda tho ??  irma nggak dengar ada pengumuman itu.  ”Nih aku udah pilihin yang warna merah,” Wahyudi menunjuk sepeda merah di samping sepeda hitam yang sudah dipasangi stiker namanya.  Asiiiiikkkk ... dipilihin yang merah, warna kesukaan irma.  MTB lagi.  irma perhatikan peserta lain lebih memilih city bike yang ada keranjangnya.  Mungkin biar nggak perlu nggemblok barang bawaan di punggung.

 

Wahyudi bilang irma harus minta stiker nama kepada Eca.  Waktu irma minta ke Eca, Eca bilang, ”Tulis ’Eskrim’ aja ya ?”  Eca usul begitu karena ada peserta lain bernama Irma.  irma mengangguk mengiyakan.  Karena stiker nama tersebut berikutnya para peserta lain memanggil irma, ”Eskrim”.  Bahkan Wahyudi pun kemudian panggil irma demikian.

 

Sambil menunggu peserta lainnya bersiap-siap irma mencoba sepeda merah tersebut.  Wakss, remnya ngeloss !  Baik rem depan maupun rem belakang.  Harus dibenerin nih.  irma celingak-celinguk.  Seingat irma tadi ada yang bawa sepeda sendiri dari Jakarta.  Biasanya kalau pemakai sepeda begitu – MTB lagi – ia selalu bawa perlengkapan untuk perbaikan sepeda.

 

Akhirnya irma dapat pinjaman tools.  Tapi nggak ada ukuran kunci L yang cocok dengan baut rem yang mo dibetulin.  ”Coba pake ini,” seorang peserta laki-laki menyodorkan pisau swiss warna biru.  Belakangan irma tau namanya Wisnu.  Bersama-sama Wahyudi, Wisnu bantu betulkan rem sepeda irma.  Nggak benar-benar betul sih, rem depannya masih tetap ngeloss.  Tapi rem belakangnya lumayan kenceng.  Cukup lah untuk medan yang nggak ekstrim.  Makasih ya Wisnu.  Sedihnya, Wisnu malah belum dapat sepeda.  Mas Teguh bilang sedang dicarikan pinjaman sepeda lagi.

 

Opang pun tidak dapat sepeda.  Tapi mungkin memang panitia nggak perlu pake sepeda karena sebelumnya udah pernah bersepeda di Pulau Tidung.  Opang naik motor.  ”Itu motor tinggal pake aja.  Emang kayak gitu nggak ada kuncinya,” ujar Mas Teguh.  Beberapa kali distater, mesin motor nggak mau nyala juga.  Opang pun kebingungan.  Sementara Eca bergumam, ”Opang sebenarnya bisa naik motor nggak ya ??”

 

Akhirnya motor berhasil dihidupkan.  Waktu dicoba Opang berseru, ”Weleh, ini motor nggak ada remnya ya ??!”  Hahahaha, nggak heran Wahyudi pun berkomentar, ”Di Pulau Tidung ini kayaknya rem merupakan barang langka ya ?  Nggak sepeda, nggak motor, pada nggak pake rem semua !”  Karena bukan cuma sepeda irma aja yang ngeloss remnya.  Beberapa sepeda lain pun demikian.  Apakah karena medannya yang landai aja makanya di Pulau Tidung nggak perlu pake rem ??  Tapi kan itu berbahaya.

 

Hari makin siang.  Mas Teguh menyuruh kami bergegas pergi.  Tiga orang lagi yang belum dapat sepeda akan menyusul kemudian.  Kami pun bersepeda beriring-iringan.  Awal perjalanan kami masih menyusuri jalan kecil berkonblok.  Kemudian memasuki jalan tanah.  Di sini banyak peserta yang turun dari sepeda lalu berjalan di sampingnya.  Karena banyak pasir pantai gitu jadi sepeda pun sulit digowes.  Seingat irma Aki Supri pernah bilang kalau untuk medan berpasir seperti ini ada ban sepeda khusus.  Cekikikan Eca melihat ban sepeda irma kembali ambles dalam pasir.  ”Ma, sepeda digowes atau didorong ?” tanyanya.  Jawab irma, ”Dituntun.”

 

Pertama-tama kami bersepeda ke ujung barat Pulau Tidung Besar.  Sayang sekali sepanjang jalan kami banyak dihadang asap.  Heran deh, kenapa di pulau ini banyak sekali lahan yang dibakar.  Kirain kebakaran hutan cuma di Sumatera dan Kalimantan aja.  Ternyata di sini pun demikian.  Nggak asik banget lagi enak-enak gowes gitu tiba-tiba napas sesak dan terbatuk-batuk.  Seorang peserta menggerutu, ”Ini sih bukan biking in paradise.  Tapi biking with smoke !”  Whadughhh ...

 

Dari ujung barat kami lanjut bersepeda ke pantai pasir putih.  Di sini kami berhenti lumayan lama karena banyak peserta rehat bermain-main air.  Sambil photo-photo tentunya.  Siang itu langit cerah.  Bagus buat bikin photo.  Tapi nggak enaknya, udara panas jadi bawaannya haus mulu.  Bekal air minum irma habis dalam sekejap.

 

Lanjut nyepedah lagi.  Seperti biasa kalau nyepedah irma suka bernyanyi-nyanyi.  Kali itu lagu ”Naik Becak” karya Ibu Sud irma parodikan jadi begini,

 

Saya hendak tamasya

Berk’liling Pulau Tidung

Hendak melihat lihat Tidung Besar dan Kecil

Saya naik sepeda, warna merah menyala

Awas !  Awaaaassss !  S’peda nggak pake rem !

 

Wahyudi terkekeh dengar nyanyian irma. 

 

Selama bersepeda keliling Pulau Tidung Besar itu kadang-kadang rombongan kami berhenti karena photo-photo.  Satu saat ketika rombongan akan lanjut gowes lagi seorang peserta berseru, ”Tas siapa nihh ??!”  Ia menunjuk satu travel bag warna biru tua.  Seingat irma tas itu tadi digemblok sama peserta yang bawa sepeda sendiri dari Jakarta.  Karena nggak tau namanya irma pun bilang, ”Itu tasnya ... Mas Polygon !”  Polygon adalah merk sepedanya.  Sang pemilik tas tertawa mendengar seruan irma.  Belakangan irma tau namanya Happy.  Abis ketawa ia bilang, ”Kayaknya lebih gagah dipanggil ’Mas Polygon’ ya.”  Deeeuuuu ......

 

Eca bilang sekarang kita ke jembatan.  Setelah menyusuri pantai kita memasuki jalan dalam pemukiman.  Asiiiikkk ... nggak ambles lagi karena jalan ini dilapisi konblok.  Kita sempat mampir di salah satu toko yang jual minuman dingin.  Kulkasnya langsung diserbu para peserta yang kepanasan.  Bahkan teh kotak yang membeku dalam freezer pun habis diborong.

 

Sampai di jembatan.  Yah, ternyata jembatannya sedang diperbaiki.  Jadi kita nggak bisa nyepedah nyeberang ke Pulau Tidung Kecil.  Tapi panitia sudah menyiapkan perahu kecil yang akan mengantar kita ke tengah-tengah jembatan.  Hanya bagian jembatan yang di Pulau Tidung Besar saja yang rusak.  Bagian jembatan lainnya nggak apa-apa.

 

Tukang perahu yang menyeberangkan kita ramah bercerita.  ”Ini tempat pembiakan ikan kerapu dan ikan napoleon,” ia menunjuk tambak-tambak di sekitar jembatan.  Sebenarnya disebut tempat pembiakan kurang tepat sih.  Ikan kerapu dan ikan napoleon tersebut ditangkap dari laut lalu disimpan di tambak-tambak itu hingga cukup besar untuk dijual.  Karena harganya yang mahal maka tambak harus selalu dijaga.  Tukang perahu bilang pernah terjadi pencurian ikan di sana.  Nggak kebayang sama irma bagaimana caranya orang mencuri ikan dari tambak.

 

Tiba di bagian jembatan yang nggak rusak.  Kita berjalan kaki ke rumah persinggahan di tengah-tengah jembatan.  Di sana kita menunggu peserta lain yang sedang diseberangkan.  Karena kapasitas perahu terbatas jadi sedikit-sedikit yang bisa diangkutnya.  Sampai di rumah persinggahan irma langsung nggeletak tiduran. Enak banget ngelurusin badan gitu sambil ngadem kena angin laut sepoi-sepoi.  Wahyudi ikutan nggeletak.  Nggak berapa lama terdengar dengkurannya.  Hihihi, dia sih emang begitu.  Mudah sekali tertidur di mana pun.

 

Mas Teguh bilang di Pulau Tidung Kecil udah disediakan kelapa muda.  Para peserta lanjut berjalan menyusuri jembatan menuju Pulau Tidung Kecil.  Kecuali irma dan Wahyudi.  Karena kami berdua bukan penggemar kelapa muda.  Wahyudi bilang kalau minum air kelapa muda kakinya jadi pegal.  Padahal saat itu badan dia udah capek dan nyeri nggak karuan karena bersepeda sepanjang Pulau Tidung Besar.  Gimana kalau ditambah minum air kelapa muda ?

 

Beruntung juga kami tetap di rumah persinggahan karena berikutnya Opang datang bawa perbekalan makanan.  Horeeee ... !!  Ada kacang rebus, pisang, dan singkong goreng.  Juga ceret berisi teh manis dan termos air panas untuk bikin kopi.  Duh, asiknya.  irma langsung menyerbu singkong goreng.  Juga menuang teh ke dalam gelas.  Lalu irma bangunkan Wahyudi, tawarkan apakah dia mau minum teh atau kopi.  ”Kopi,” jawabnya masih dengan mata terpejam.  Ealah ... Opang baru ngeh ternyata kopinya ketinggalan di penginapan !

 

Beberapa peserta yang tadi ke Pulau Tidung Kecil kembali ke rumah persinggahan di tengah jembatan.  ”Di sana ada apa ?” tanya irma.  ”Sama aja sih dengan di Tidung Besar,” jawab salah seorang peserta.  ”Tapi di ujungnya ada balai pembibitan mangrove.”  irma lalu bangunkan Wahyudi, mengajaknya ke Pulau Tidung Kecil. 

 

Karena Wahyudi kebelet pengen pipis jadi di Pulau Tidung Kecil irma dan Wahyudi tidak berjalan sampai ke balai pembibitan.  Wahyudi pergi ke semak-semak di pinggir pantai.  Tadi Mas Teguh bilang di sekitar jembatan penghubung Tidung Besar dan Tidung Kecil ini nggak ada toilet.  Walhasil kalau ada ”panggilan alam” seperti itu ya ke balik semak-semak ajalah.  Selesai urusan buang air kecilnya Wahyudi lalu bergabung dengan irma yang sedang melihat-lihat mangrove kecil.

 

Di sekitar perairan Pulau Tidung Kecil banyak ditanam bibit mangrove.  Mangrove itu benar-benar masih kecil.  Lebih kecil daripada yang dulu irma lihat di Pulau Untung Jawa.  Wahyudi khawatir apakah batangnya yang kecil itu bisa menahan ombak.  Tapi Tuhan kan menciptakan alam ini penuh keseimbangan.  Mungkin batang mangrove yang kecil itu justru membuatnya fleksibel saat diterpa ombak.  Seperti pohon kelapa yang fleksibel terayun-ayun angin.

 

Hari menjelang sore.  irma dan Wahyudi kembali ke rumah persinggahan di tengah jembatan bergabung dengan para peserta lain.  Beberapa peserta sedang snorkling.  Tapi lebih banyak lagi yang duduk-duduk di jembatan, menunggu sunset sambil berphoto.  Beberapa kali dilakukan sessi photo loncat.  Dalam hati irma berdoa semoga jembatannya nggak ambruk akibat loncatan beberapa orang dalam waktu bersamaan.  Berulang-ulang lagi photonya.

 

Matahari terbenam di balik Pulau Tidung Besar.  Sayangnya sunset kali itu kurang sukses diphoto karena matahari tertutup awan.  Namun kemudian muncul purnama di atas Pulau Tidung Kecil.  Kecil memang bulan itu.  Tapi cantik cahayanya.  Dan terang.

 

Terang purnama itu mengiringi langkah kami pulang.  Tukang perahu menjemput di tengah jembatan.  Setelah mengambil sepeda yang tadi diparkir di tepian jembatan Pulau Tidung Besar yang sedang diperbaiki, beramai-ramai kami pun gowes ke losmen.  Bersyukur sekali irma pake headlamp jadi irma bisa tetap bersepeda dalam gelap sepanjang tepi pantai.  Memasuki pemukiman baru dijumpai penerangan jalan. 

 

Sampai di rumah Rizky BR Losmen Lima Saudara.  Karena banyak peserta yang istirahat melepas lelah jadi irma bisa pakai kamar mandi duluan.  Enak sekali abis mandi gitu.  Meski airnya payau sehingga sabun nggak banyak berbusa.  Tapi lumayan lah daripada badan lengket keringat plus debu hasil nyepedah sepanjang hari.

 

Makan malam sudah tersedia di depan kantor losmen saat irma selesai mandi.  Wuiiii ... ada ikan bakar dan cumi kecap !  Juga tumis kangkung.  Enak sekali.  Ikannya besar-besar sebesar lengan bawah irma.  Karena nggak yakin apakah irma bisa menghabiskan satu ekor ikan sendirian jadi irma ambil tumis kangkung dan cumi aja.  Waktu itu Wahyudi masih di kamar mandi jadi irma nggak bisa berbagi ikan.  Biasanya kalau makan ikan, kepalanya irma kasih ke Wahyudi.  irma bukan penggemar kepala.

 

Selesai makan irma kembali ke rumah Rizky BR.  Baru terasa badan capek banget.  Mata juga berat karena mengantuk.  irma dan Mama Reny dapat kehormatan tidur di tempat tidur dalam kamar, sedangkan penghuni rumah Rizky BR lainnya memilih tidur rame-rame di ruangan tengah beralaskan kasur lipat dan tikar.  Saat irma berbaring dan memejamkan mata terdengar mereka ramai mengobrol di luar.  Katanya abis makan malam akan ada acara ngumpul-ngumpul.  Tapi sungguh saat itu badan irma udah nggak sanggup lagi untuk diajak beraktifitas.

 

***

 

Keesokan harinya – Minggu, 4 Oktober 2009 – waktu Subuh pintu rumah Rizky BR diketok-ketok dari luar.  Tadi malam Mas Teguh bilang pagi ini kita akan ke jembatan lagi untuk melihat sunrise.  irma bergegas mandi.  Sebagian penghuni rumah Rizky BR memilih untuk lanjut tidur dan nggak ikutan lihat sunrise.  Sebelum keluar rumah irma membereskan ransel dan barang-barang bawaan.  Mas Teguh bilang jam 10 nanti rumah Rizky BR mau dipakai tamu lain.  Jadi barang bawaan agar dirapikan dan dititip di rumah lain. 

 

”Yang udah siap jalan duluan aja.  irma sepeda kamu udah di luar,” seru Mas Teguh waktu irma keluar dari rumah Rizky BR.  irma lalu menitip ransel di rumah Irfan, tempat Wahyudi menginap.  Kemudian bersama beberapa orang peserta irma dan Wahyudi gowes menuju jembatan.  ”Tinggal luruuuuuusssss aja,” Mas Teguh memberi pengarahan.  ”Nanti jam tujuh kapal datang untuk nyeberangin kita.”

 

Di perjalanan menuju jembatan Mey yang bersepeda jauh di depan irma sempat jatuh.  irma mengajak Wahyudi untuk bergegas menyusulnya.  ”Mey, nggak pa-pa ?” tanya irma setelah berhasil menjejerinya.  ”Nggak apa-apa,” kata Mey, ”anggap aja rezeki sarapan pagi.”  Tebakan irma Mey jatuh akibat polisi tidur yang nggak terlihat karena gelap.  Di sepanjang jalan dalam pemukiman itu banyak sekali polisi tidur.  Kayaknya tiap lima meter ada polisi tidur melintang di tengah jalan.

 

Tiba di tepi jembatan.  Kita memarkir sepeda di sebelah rumah panggung pada ujung jembatan.  Lalu berjalan ke dermaga di samping bagian jembatan yang sedang diperbaiki.  Di sana kita duduk-duduk menunggu matahari terbit.  Jika kemarin sore matahari terbenam di balik Pulau Tidung Besar, maka pagi ini matahari akan terbit dari balik Pulau Tidung Kecil. 

 

”Nggg ... tebakanku, kita nggak bakalan dapat lihat sunrise deh,” irma menengadah, lihat langit masih tertutup awan.  ”Nanti tau-tau aja hari udah terang.”

 

Dan ternyata tebakan irma benar.  Beberapa peserta mengeluh nggak dapat sunset dan sunrise.  ”Ya gimana ya, abis mataharinya nggak bisa dibooking,” kata Opang.  Huehehehehehehe ... Opang bisa aja.

 

Ya udah jadi kita bermain-main aja di sekitar jembatan sambil menunggu perahu yang akan menyeberangkan.  Mas Teguh dan beberapa peserta berjalan hingga ke ujung pemecah ombak.  irma yang pagi itu ingin leyeh-leyeh bermalas-malasan memilih untuk tidur-tiduran di dermaga.  Ransel merah kecil yang dibawa-bawa sejak nyepedah kemarin irma jadikan bantal alas kepala. Enak rasanya tidur telentang menatap langit begitu. 

 

Terdengar Eca memanggil.  Rupanya sarapan sudah disiapkan di rumah panggung sebelah parkiran sepeda.  Pagi itu kita sarapan nasi pakai ayam goreng, tahu dan tempe goreng, beserta kerupuk udang.  Juga teh manis yang rasanya lebih dominan gulanya daripada aroma tehnya.  Tapi lumayan lah.  Usai makan kita bermain-main lagi sambil menunggu perahu datang.

 

Satu kapal motor datang ke dermaga.  Kirain itu kapal yang akan menyeberangkan kita ke tengah jembatan.  Karena Mas Teguh bilang pagi itu sepeda-sepeda akan dibawa nyeberang juga, jadi kita kira kapal yang dipake adalah kapal besar.  Ternyata kapal itu mengangkut semen dan bahan bangunan lainnya.  Mungkin material buat memperbaiki jembatan ya ?  Nggak berapa lama kapal itu pergi.

 

Perahu yang kemarin menyeberangkan kita tiba dan merapat ke dermaga.  Tukang perahu bilang yang akan diangkut duluan adalah sepeda-sepeda.  Kita mengambil sepeda masing-masing lalu mengantri di samping perahu.  Satu per satu sepeda dinaikkan ke atas perahu oleh tukang perahu dan asistennya.  Opang dan peserta yang cowok turut membantu.

 

irma agak cemas melihat sepeda-sepeda ditumpuk memenuhi perahu.  Ada yang di depan, di tengah, belakang, bahkan atap.  Kalau sepedanya jatuh kecebur masuk laut, bagaimana ?  ”Kalau kecebur, ya udah jadi rumpon aja,” kelakar bapak yang tadi mengantarkan sarapan ke jembatan.  Kalau nggak salah namanya Pak Wardi.

 

Wahyudi memutuskan turut menyeberang bersama sepeda.  Biar di sana ia bisa membantu tukang perahu dan asistennya menurunkan sepeda.  ”Daaagghhh,” ia melambaikan tangan seiring perahu melaju meninggalkan dermaga.  ”Ini perahu jurusan Pasar Rumput,” candanya.  Pasar Rumput di Jakarta terkenal sebagai tempat jual dan beli sepeda bekas.

 

Beres urusan penyeberangan sepeda, perahu pun kembali lagi.  Kali ini hanya membawa para peserta.  ”Huuu ... curang !  Sapa tuh udah naik sepeda duluan ?!” seru Mey melihat Wahyudi bersepeda sepanjang jembatan.  He eh, kayaknya asik bener nyepedah begitu.

 

Tapi ternyata nyepedah di jembatan nggak seasik yang terlihat.  Karena kayu penyusun jembatan nggak rata jadi jalan sepeda ajrut-ajrutan.  Mana ada kayu yang bolong lagi.  Tiap kali ketemu kayu jembatan yang lepas irma turun dari sepeda lalu menuntunnya hingga tiba di bagian yang kayunya lengkap.  Wahyudi bilang sih selama nyepedahnya lurus aja nggak bakalan sepeda terperosok nyebur ke laut.  Tapi tetep aja irma takut.

 

Kita bersepeda menyusuri jembatan sampai ke Pulau Tidung Kecil.  Di sana gowes nyusurin jalan konblok sampai ke balai pembibitan mangrove.  Kemudian memasuki jalan tanah.  ”Bisa kok pake sepeda asal ngebut,” kata Mas Teguh.  Sebenarnya nggak perlu ngebut sih, tapi melaju dengan kecepatan gowes yang konstan.  Konsisten. 

 

Makin lama jalan tanah makin sempit.  Di kanan kiri jalan banyak rumpun dan ilalang.  ”Yak, gowes Cikepuh versi dua !” seru Wahyudi saat menyibak ilalang yang menghalangi jalan.  Hahaha, iya kayak waktu kita gowes dari Ujung Genteng ke Cikepuh dulu.  Bedanya, gowes kali ini nggak pake ketemu area uka-uka.  Dan nggak ada yang terkapar di tengah jalan karena sakit mendadak.  Juga kita selalu bersama-sama, nggak terpisah.

 

Kita tiba di tanah agak lapang.  Di sana ada satu gubuk sederhana.  Seorang bapak duduk-duduk di depannya.  Tangannya membelai-belai seekor kucing warna kuning di pangkuan.  Kucing itu besar sekali.  Di seberang gubuk ada dua makam.  Salah satunya bertuliskan ”Panglima Hitam” di nisannya.  irma terheran-heran melihat makamnya begitu panjang, lebih panjang dari makam pada umumnya.  Apakah orangnya tinggi sekali ?  ”Nggak.  Itu bentuk penghormatan.  Seperti makam-makam di Mesjid Demak.  Orangnya sih biasa aja, tapi untuk menghormati dia makamnya dibuat besar dan panjang,” papar Wahyudi. 

 

Mas Teguh menyuruh kita memarkir sepeda di seputar makam Panglima Hitam tersebut.  Lalu kita berjalan kaki melewati kebun hingga tiba di tepi pantai.  Dari sana kita menyusuri pantai sampai ke ujung Pulau Tidung Kecil.

 

Asiiiiikkkk ..... susur pantai lagi.  Tapi beda dengan Susur Pantai Garut, pantai di sini pendek jadi saat berjalan kita harus blusukan dalam air.  Sepanjang jalan irma dan Wahyudi banyak menemukan benda-benda menarik.  Wahyudi dapat beberapa kerang cantik untuk menghiasi meja tamu rumah kami.  Sementara irma temukan potongan kayu yang pas untuk ganjal pintu.  Selain itu kami juga ketemu dompet berisi kartu perpustakaan Akademi Perawat, boneka plastik Doraemon yang sudah kempis, dan sisa jenazah sapi.  Hiiiii .....  pantas sempat tercium aroma amis. 

 

Akhirnya kita tiba di ujung Pulau Tidung Kecil.  Di sana tempat yang enak untuk bermain-main air karena ombak nggak terlalu besar dan perairan nggak terlalu dalam.  Air paling dalam hanya setinggi pinggang irma.  Opang dan beberapa peserta berjalan kaki ke Pulau Gosong di seberang Pulau Tidung Kecil.  irma dan Wahyudi bermain-main air di sekitar mangrove kecil yang banyak terdapat di ujung Pulau Tidung Kecil.  Wahyudi ketemu tengkorak kerbau di antara pasir putih tempat akar mangrove kecil menancap.  Tapi irma nggak berani melihatnya.  Jadi irma memilih main air di sekitar mangrove kecil yang lain.  Mangrove kecil ini memiliki tiga dahan.  Bentuknya mengingatkan irma akan mahkota yang disebut ”Tiara”.

 

Puas main air kami pun kembali ke tempat parkir sepeda melalui jalur yang sama.  Sepeda sudah banyak berkurang waktu irma dan Wahyudi sampai di sana.  Sepertinya beberapa peserta sudah kembali ke jembatan.  Kami lalu gowes di antara ilalang.  Enak sekali kami meluncur menyusuri jalan setapak.  Kali ini nggak ada hambatan sama sekali.  Nggak seperti waktu berangkat tadi, sebentar-sebentar terhenti karena peserta yang di depan banyak berhenti untuk berphoto.  Karena nyepedah pulang kali itu begitu enak, sempat terpikir oleh irma untuk mengulangnya.  Tapi waktu irma ajak Wahyudi kembali ke makam Panglima Hitam dan gowes lagi dari sana, Wahyudi menolak.  Yaaahhh ...

 

Tiba di balai pembibitan mangrove.  Di sana Mas Teguh sedang minum kelapa muda.  Ia memanggil kami untuk bergabung.  Karena bukan penggemar kelapa muda jadi kami tidak ikutan minum.  Tapi Wahyudi tertarik dengan buah jambu air yang meranum di pohon.  ”Minta ya,” katanya kepada mas-mas yang menyiapkan kelapa muda.  Wahyudi bilang enak makan jambu air langsung dari pohon seperti itu.  Akhirnya irma pun turut loncat-loncat memetik jambu air.  Jambunya manis.  Tapi airnya sedikit.  Mungkin karena ditanam di pinggir pantai.  Wahyudi perhatikan hampir di setiap halaman rumah di Pulau Tidung Besar ada pohon jambu air.  Sepertinya jenis pohon itu yang dipilih untuk gerakan penghijauan di sana. 

 

Kemudian datang Rudi, Bekti, Uni, Beb, dan Wisnu.  Mereka langsung menyerbu kelapa muda.  Karena sudah puas makan jambu air maka irma dan Wahyudi beranjak dari halaman balai pembibitan mangrove.  Rudi terheran-heran melihat Wahyudi menaruh bantal angin di atas sadel sebelum diduduki.  ”Biar nggak sakit.  Lumayan lho,” Wahyudi menerangkan.  Rudi mengangguk-angguk sementara beberapa peserta perempuan memandangnya dengan tatapan bertanya.  ”Ah, elo sihh nggak ngerasain jadi cowok,” ujar Rudi pada mereka.  Sementara Rudi, Wahyudi, dan beberapa peserta membahas efek nyepedah seharian kemarin pada organ tubuh cowok, irma mencatat dalam hati kayaknya lain kali kalau mau pake sepeda sewaan mending bawa tools dan sadel sendiri.  Kalau perlu bawa rem cadangan juga, hehehe.

 

irma dan Wahyudi nyepedah ke jembatan.  Ternyata nggak banyak peserta di sana.  Cuma ada Mas Teguh yang lagi jadi photographernya Dewi.  Kami lalu berkumpul di rumah persinggahan di tengah jembatan.  Tukang perahu dan asistennya sudah menunggu di sana.  Selain itu ada seorang bapak yang lagi mancing.  Ia sudah berhasil mendapat dua ekor cumi-cumi dan seekor ikan napoleon.  Baru tau kalau cumi-cumi segar yang baru ditangkap begitu warna kulitnya bisa berubah-ubah.  Wahyudi memain-mainkan gigi ikan napoleon yang tajam.  Kalau masih hidup belum tentu berani pegang karena ikan itu kalau nggigit sakiiiitttt sekali.  ”Di sini ikan itu disebut ’Ikan Gigi Jarang’,” ujar tukang perahu.

 

Para peserta lain berdatangan dari Pulau Tidung Kecil.  Mas Teguh mengajak kembali ke penginapan.  Kali ini tukang perahu menyeberangkan kita beserta sepeda masing-masing.  Sampai di seberang irma langsung gowes sepeda kenceng-kenceng sampai Losmen Lima Saudara.  Bukan apa-apa, tapi kebelet pengen pipis ...

 

Sampai penginapan Wahyudi langsung ke rumah Irfan untuk mandi.  irma yang udah lega keluar dari kamar mandi nggeletak tiduran di rumah sebelah rumah Rizky BR (apa ya nama rumahnya ?  lupa nih).  Sempat ketiduran irma di sana.  Sampai Wahyudi membangunkan mengajak makan siang.  Hmmm ... kali ini menunya udang !  Kesukaan irma.  Dari kemarin di sini makannya enak-enak mulu.  Benar-benar berlibur rasanya.

 

”Yang udah selesai, udah rapi, langsung ke kapal ya,” seru Eca.  Justru saat itu irma baru melihat Opang.  irma bertanya ada apa aja di Pulau Gosong.  ”Ya nggak ada apa-apa, cuma pulau kosong gitu aja,” jawab Opang.  ”Tadi waktu udah hampir sampai di sana Devi nanya, ’Mas di sana ada apa ?  Kalau nggak ada apa-apa, ya udah balik lagi aja.’  Saya bilang, ’Ya nggak bisa gitu dong.  Sama aja dengan naik gunung.  Kalau belum sampai ke puncaknya, ya belum naik gunung namanya.’  Akhirnya tadi sampai juga kita ke Pulau Gosong.”

 

irma mengangguk-angguk dengar cerita Opang.  Kalau seandainya tadi nggak dibatasi waktu, irma juga pengen ikutan jalan kaki ke Pulau Gosong.  Tapi irma ingat pesan seorang teman katanya kalau balik dari Kepulauan Seribu menuju Jakarta, jangan terlalu sore.  Karena makin sore ombak bakalan makin tinggi.  Bisa-bisa perjalanan pulang ke Jakarta serasa naik Kora-Kora.

 

Jam satu siang kami meninggalkan Losmen Lima Saudara.  Beruntung sekali irma dan Wahyudi termasuk yang terakhir meninggalkan penginapan.  Karena Pak Wardi menawarkan kami untuk ke pelabuhan pakai sepeda.  ”Ini sepeda yang punyanya tinggal di depan pelabuhan.  Jadi nanti tinggalin aja sepedanya di sana,” Pak Wardi menyorongkan dua sepeda.  Asiiikkkk ... nggak perlu jalan kaki di panas terik siang bolong.  Selain itu kami pun dikasih bungkusan berisi ikan bakar yang tadi malam tidak habis dimakan.  Banyak sekali ikannya.  Tujuh ekor !  Lumayan buat lauk makan nanti malam.  Kalau nggak habis bisa dibagi sama si Mpus dan teman-temannya.  Mpus adalah kucing yang suka mampir ke rumah kami.

 

Berbeda dengan kedatangan kemarin di pelabuhan besar, kapal yang akan mengantar kita pulang merapat di pelabuhan kecil.  Ternyata bukan irma dan Wahyudi yang terakhir naik ke atas kapal.  Masih ada beberapa peserta yang belum datang.  Mereka tidak menginap di Losmen Lima Saudara tapi di penginapan lain dekat mesjid. 

 

Eca bolak-balik melihat arlojinya dengan resah.  Sama seperti irma, ia pun ingin segera berangkat.  Akhirnya jam setengah dua kapal baru berangkat meninggalkan Pulau Tidung Besar.  Kita mampir dulu ke Pulau Payung.  Pulau ini milik pribadi namun irma nggak tau nama pemiliknya.  Pemilik kapal yang kita tumpangi mengingatkan kita untuk minta izin saat kapal merapat di dermaga Pulau Payung.  Kita meminta izin kepada penunggu pulau.  Setelah diizinkan kita pun berjalan-jalan di sana.

 

Sepertinya Pulau Payung sedang disiapkan untuk menjadi resort.  Ada teluk yang hampir menyerupai danau karena kedua tanjung di ujungnya nyaris menyatu.  Di sana dipasang portal dan menara pengawas.  Pada teluk berair tenang itu ada kapal yang sudah diubah fungsinya menjadi tempat bersantai.  Di luar teluk tersebut air laut mengombak.  Tapi sepertinya perairan di luar teluk tidak dalam karena irma lihat ada beberapa orang berdiri memancing.  Tinggi permukaan air hanya mencapai pinggang mereka.

 

Setelah mengitari teluk kami kembali ke dermaga.  irma duduk-duduk di samping tambak kecil yang menempel pada dermaga tersebut.  Di dalamnya ada aneka ikan laut yang unik.  Ada ikan pari kecil dengan sisik keemasan di punggungnya, ikan berbadan pipih belang-belang hitam putih, dan ikan buntal belimbing.  Baru kali itu irma lihat ikan buntal seperti itu.  Selama ini di benak irma yang namanya ikan buntal tuh yang badannya penuh duri dan jika kaget akan menggembung.  ”Nggak.  Ikan buntal tuh ada banyak macamnya.  Yang seperti itu namanya ikan buntal duren.  Yang di sini ikan buntal belimbing,” kata seorang lelaki di dermaga saat irma utarakan keheranan irma melihat ikan buntal di dalam tambak kecil itu.

 

Jam tiga kurang seperempat Opang memanggil semua peserta kembali naik ke atas kapal.  Kali ini para peserta berkumpul tepat waktu sesuai instruksi panitia.  Mungkin karena nggak banyak yang bisa dilakukan di sini jadi nggak ada yang beranjak jauh dari dermaga.  Satu-satunya hal yang menarik bagi irma di Pulau Payung adalah tambak kecil di sebelah dermaga yang irma lihat tadi.  Sepertinya tambak itu tempat memelihara ikan unik hasil tangkapan di laut.  Jadi dibuat semacam akuarium.

 

Kapal bertolak menuju Jakarta.  Hampir semua peserta tidur rebahan di lantai kapal.  Demikian juga dengan irma dan Wahyudi.  Kami tidur bersisian dekat pintu.

 

irma nggak tau udah tidur berapa lama ketika tiba-tiba irma terbangun.  Goyangan kapal makin keras.  Di awal perjalanan tadi rasanya seperti dibuai-buai.  Tapi saat itu seperti diguncang-guncang.  Dari pintu kapal yang terbuka irma melihat langit.  Oh tidaaaakkk !!!  Langit gelap sekali !

 

Apa yang irma khawatirkan pun jadi kenyataan.  Hujan deras.  Angin kencang.  Ombak meninggi.  Kapal bergoyang makin keras ke kiri dan ke kanan.  Peserta yang semula tidur pada terbangun.  Semua merapat duduk berkumpul di tengah kapal dengan wajah tegang.  Beberapa peserta mulai mabuk laut.  Wahyudi dan Vero sempat berlari ke pintu kapal dan memuntahkan isi perut ke laut. 

 

”Nggak ada pelampung ya ?” Mama Reny menjawil lengan irma.  Dooohh ... pertanyaan itu makin bikin irma tegang ketakutan.  Apalagi kemudian irma teringat kapal yang tenggelam di perairan Pulau Edam Kepulauan Seribu beberapa waktu yang lalu.  Huuuu ... takuttt.  Dalam hati irma terus berdoa dan berdzikir.  Biar nggak melihat ombak laut yang tinggi irma putuskan untuk berbaring dan memejamkan mata.  Ternyata kalau tiduran begitu jadi nggak terlalu mabuk laut.

 

Rasanya cukup lama kapal diayun-ayun ombak tinggi begitu.  Hingga akhirnya irma merasa ayunan ombak melemah dan kapal melaju tenang.  irma membuka mata lalu menoleh ke samping.  Tampak air laut warna hitam kecoklatan.  Oh kiranya kapal memasuki perairan Muara Angke.  Alhamdulillah, selamat sampai di Jakarta, irma bersyukur dalam hati.  Kelegaan pun tampak di wajah para peserta lain.  Beberapa di antara mereka malah sudah kembali bercanda tertawa-tawa.

 

Aaahhh ... leganya saat kapal merapat ke dermaga.  Badan yang menggigil karena baju irma basah kena air hujan nggak terlalu irma permasalahkan.  Yang penting selamat kembali pulang.  irma mengucapkan terima kasih kepada nakhoda kapal.  Bapak itu tertawa, ”Tegang tadi ya ?  Tapi udah nggak takut kan ?  Jangan kapok ke Kepulauan Seribu lagi ya.”

 

Nggg ... kapok sih, nggak.  Tapi kayaknya lain kali kalau ikutan trip melaut lagi mending bawa life jacket sendiri deh.

 

 

 

Menara Karya, 16 Oktober 2009

senangnya, akhirnya bisa bikin catatan perjalanan lagi J