Ini bukan maaf yang kita ucapkan jika kita terlambat datang ke suatu rapat penting. Juga bukan sekedar ‘sorry’ yang kita ucapkan jika secara tak sengaja menyenggol seseorang. Tapi ini adalah maaf yang diucapkan penuh penyesalan karena mengomel-omel pada orang yang salah.
Tadi malam saya menelpon ke rumah di Bandung, mau bicara dengan kakak saya mengenai buku ‘Album Bandoeng Tempo Doeloe’ yang saya minta tolong padanya untuk belikan. Tapi tiap kali telpon di sana diangkat, pembicaraan selalu terputus. Awalnya saya dapat mendengar keponakan saya yang mengangkat telpon ucapkan ‘Halo’, tapi kemudian yang terdengar suara kresek-kresek. Tiga kali saya telpon, tiga kali pula seperti itu yang terjadi. Kesal, telpon saya tutup.
Sepuluh menit kemudian, Mama telpon. Beliau baru pulang tarawih. ‘Maaf ya, tadi telponnya putus-putus. Tadi kamar Mama kunci,’ kata beliau. Mama gunakan telpon paralel yang terletak dalam kamar beliau. Telpon yang kresek-kresek tadi adalah telpon yang terletak di ruang makan. Telpon yang ini dapat digunakan oleh siapa saja, termasuk anak-anak kost. Tapi menggunakan telpon ini tidak nyaman karena suara kresek-kresek itu.
Udah tau telpon kresek-kresek begitu kok bukannya dibetulkan. Kerusakan ini sebenarnya sudah lama terjadi. Kalau tidak salah, sejak tiga tahun lalu. Sejak dibuat sambungan telpon paralel di kamar Mama. Sudah sering pula saya dan kakak-kakak ingatkan Mama untuk memperbaikinya. Tentu maksudnya bukan Mama sendiri yang perbaiki, tapi panggil teknisi yang memang ahlinya. Tapi entah mengapa, beliau selalu menunda-nunda. Beliau lebih suka minta tolong pada supir tetangga yang memang sering dimintai tolong untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan di rumah. Genteng bocor, mesin mobil ngadat, kabel listrik putus, saluran air tersumbat, dan gangguan telpon seperti ini. Tapi kalau sudah seperti ini, kan tidak mungkin hanya mengandalkan pengetahuan dan keahlian supir itu. Seharusnya Mama menghubungi Telkom agar teknisinya datang memeriksa.
Jadi, begitulah saya mengomel-omel pada Mama. Beliau minta maaf dan janji besok akan minta tolong supir tetangga untuk datang perbaiki sambungan telpon. Mendengar jawaban itu saya jadi semakin kesal. Akhirnya percakapan saya akhiri setelah sebelumnya menitip pesan untuk kakak.
Sejurus kemudian saya merasa menyesal. Kenapa saya harus mengomel-omel seperti itu ? Sama Mama pula. Beliau ibu saya. Yang melahirkan saya, mengasuh dan membesarkan saya hingga seperti ini. Hingga kini beliau selalu membangunkan saya sahur, meskipun beliau di Bandung dan saya di Jakarta. Tentu bangunkannya dengan telpon yang kresek-kresek itu.
Jadi kenapa saya harus mengomel-omel pada beliau ? Bukan salah beliau jika beliau segan menghubungi Telkom. Pengalaman beliau yang sudah lama berhadapan dengan birokrasi instansi pemerintah selalu tidak menyenangkan. Diping-pong lah, disuruh ke sana, diminta kemari, hubungi bapak ini, cari bapak itu, ujung-ujungnya diminta duit. Lalu apakah dengan saya mengomel-omel, telpon itu menjadi baik ? Tidak. Dia tetap kresek-kresek. Apakah saya merasa lebih baik, puas setelah mengomel-omel ? Tidak juga. Yang ada penyesalan.
Saya raih handphone, buka phonebook dan telpon rumah Bandung lagi. ‘Hai, ada apa ir ?’ sapa Mama di sana. Suaranya tetap ceria, padahal sebelumnya sikap saya padanya kurang menyenangkan. Saya jadi makin merasa tidak enak. Suara saya terhambat di tenggorokan. Setelah menarik napas beberapa kali baru saya bisa berkata, ‘Ma, maaf ya tadi irma ngomel-ngomel. Seharusnya irma nggak begitu walaupun kesal.’ Di sana Mama tertawa, seolah-olah itu bukan hal yang penting. ‘Kan Mama udah minta maaf,’ kata beliau. Salah. Beliau tidak salah apa-apa. Saya yang seharusnya minta maaf.
Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mata saya berkejap menahan air mata yang sudah siap jatuh. Sepertinya di sana Mama tau saya merasa tidak enak, meskipun beliau tidak bisa melihat saya. Ibu memang punya ikatan batin dengan anaknya. ‘Udah ya, sekarang irma tidur. Biar besok nggak kesiangan sahur,’ lembut beliau berkata. Telpon saya tutup setelah kami saling mengucapkan salam.
Sebelum tidur, satu permintaan saya tambahkan dalam doa. Tuhan, maafkan saya atas sikap saya kepada Mama tadi. Dan berilah saya kesempatan untuk memperbaiki sikap saya kepada beliau.
Mama, maafkan irma ya …
No comments:
Post a Comment