Monday, October 8, 2007

pokayoke untuk busway

 

Hari Minggu kemarin abis nonton di Djakarta Theatre pulang ke Pejaten naik busway.  ‘Kok sekarang nggak dibacain lagi (nama) haltenya,’ komentar Wahyudi, saat menyadari nggak ada lagi pemberitahuan, ‘Pemberhentian berikutnya …’ 

 

Mungkin rekamannya rusak.  Mungkin juga pengemudinya lupa memencet tombol biru saat menuju pemberhentian berikutnya.  Setau irma, rekaman pemberitahuan itu dinyalakan secara manual.  Tiap kali menjelang halte, pengemudi harus memencet satu tombol biru di dashboard.  Baru kemudian terdengar, ‘Pemberhentian berikutnya …’  Kalau dia kelewat nggak mencet sekali aja, bisa dipastikan nama halte yang diumumkan bakalan salah.  Seperti waktu itu pernah irma dengar, ‘Pemberhentian berikutnya : Pejaten.’  Padahal busway udah mau sampai di Warung Jati dalam perjalanan menuju Halimun.

 

‘Kalau gitu pengemudinya yang salah.  Dia nggak bekerja sesuai prosedur,’ komentar Wahyudi lagi.  Ya, dia salah.  Tapi apa penyebab ia bertindak nggak sesuai prosedur ?  Mungkin dia capek.  Dari pagi duduk di kursi pengemudi terus.  Bolak-balik menyusuri koridor yang sama.  Mungkin juga dia konsentrasi dengan supirannya.  Stress lho, ngadepin mobil, motor dan kendaraan pribadi yang nyelonong masuk jalur busway.  Belum lagi pejalan kaki yang tiba-tiba nyeberang melintas. 

 

Kenapa ya, nggak dibuat satu program yang akan membuat rekaman pengumuman itu beroperasi secara otomatis.  Program tersebut dihubungkan dengan alat penunjuk jarak yang ditempuh bus.  Jadi saat mendekati halte, rekaman tersebut udah tau nama halte yang harus dibacakan.  Kan jarak tiap halte selalu tetap.  Yah, selama busway berjalan di jalurnya.

 

‘Tapi kan bikin program gitu mahal,’ Wahyudi nggak setuju.  Ya, mungkin mahal.  Tapi coba hitung berapa banyak yang bisa diselamatkan ?  Kan nggak semua penumpang busway itu hapal halte.  Daripada dia kebablasan, jadi harus balik lagi, kan buang waktu.  Belum lagi kalau nunggu busway ke arah berlawanannya lama.  Trus lagi, kan banyak juga penumpang yang tidur di bis.  Kalau nggak ada pemberitahuan gitu, ya bisa kebablasan juga.  Juga untuk penumpang yang tuna netra.  Penumpang disable seperti itu kan mengandalkan informasi via pendengaran.

 

‘Nggak, seharusnya pengemudinya konsisten nyalain rekaman secara manual,’ Wahyudi bersikeras.  ‘Itu memang tugas dia.’  Hhh, iya deh.  Tapi kan orang juga bisa salah.  Faktor capek, stress, dll mempengaruhi pekerjaan.  Makanya perlu dibuat metoda untuk meminimkan kemungkinan ia berbuat salah.  Kalau di manufaktur istilahnya ‘Pokayoke’.  Kan kalau di pabrik juga Wahyudi selalu berpikir, ‘Gimana pokayokenya biar nggak salah ?’ , tiap kali dia ketemu anak buahnya melakukan kesalahan yang seharusnya bisa dihindari.

 

Wahyudi terdiam.  Entah dia berpikir, entah dia nggak setuju dengan pemikiran irma.  Hhhh, dia memang selalu begitu.  Nggak pernah mau mengakui kalau irma benar.  Seperti dia nggak pernah mau mengakui kalau irma bisa nulis.  Dasar, tipikal cowok banget !  Segala sesuatu dilihat sebagai suatu kompetisi.  Padahal kan dalam hidup ini kita nggak nyari pemenang.

 

…… hmm, kira-kira ada nggak ya yang mau buatin pokayoke untuk busway ?  Biar busway makin oke pelayanannya.  irma cuma punya idenya aja, nggak bisa bikinnya.  Mungkin teman-teman di bidang IT atau programmer yang ahlinya ……

 

 

2 comments:

  1. hehehe.. gue jg udah kepikiran sejak lama.. kenapa si supir harus pencet tombol.. kadang telat.. kadang terlalu cepat.. dan mungkin skrg dia lupa?!
    kalo mau otomatis, memang harus ada sensor baik itu di bis dan di masing-masing halte, dan berarti harus ada "komputer" atau minimal chip yang bisa memuat memory database halte yang mereka lewati, jadi smua halte dan bis punya ID yang unique dan tidak boleh salah.
    Harusnya dengan metode seperti ini juga bisa jadi alat evaluasi, berapa banyak bis yang lewat dalam rentang waktu tertentu, seberapa lama bis itu berhenti di halte pada rentang waktu tertentu.. *huah panjang deh* bisa jadi sarana utk Business Intelligence dll.. utk pengambilan keputusan berapa unit harus diturunkan pada jam-jam sibuk dll..

    Tapiii.... merhatiin nggak? layar LCD yang ada di halte itu kan pake komputer.. kemana itu komputernyaaa? ada yg masih ada tp nggak beroperasi, ada yg udah nggak ada..
    Yaa... mungkin bisa lah diadakan untuk proyek taun 2008 nih, Ma.. :))

    ReplyDelete
  2. Bisa aja sih gak usah pake program-program segala, kasih aja sensor untuk gantiin tombol manual di setiap 100 atau 200 meter sebelum halte. Atau kalao enggak petugas yang jaga di dalem busway dikasih TOA / PA untuk gantiin sang sopir kalo udah bosen bolak balik mencetin tombol.

    ReplyDelete