Tuesday, July 15, 2008

PTD Spoorweg Station di Djakarta

Minggu, 13 Juli 2008

PTD Spoorweg Station di Djakarta

irma agustina

 

 

Pagi itu irma terbangun karena handphone bunyi-bunyi nandakan ada sms masuk.  ‘Lagi di jalan menuju Pejaten.  Maaf telat.  PTD nya mulai jam 7.30 kan ?’ gitu sms dari Wahyudi.  Waks, udah jam setengah tujuh kurang.  irma langsung loncat dari tempat tidur dan masuk kamar mandi.  Pas banget selesai mandi Wahyudi sampai.  Ganti baju, habiskan susu, lalu kita ke halte busway Jati Padang.  Lagi jalan di jembatan penyeberangan lihat bis TransJakarta nya dah mau masuk halte.  Kita pun lari-lari biar bisa naik bis yang itu.  Pfff … untung yang petugasnya lihat kita lari-lari.  Jadi dia tahan pintunya.  Untung juga bisnya kosong.  Duduk di belakang pramudi, irma sms Adep kasih tau kita masih di jalan.  Hiks, nggak dibalas.  Juragan lagi sibuk sekali ya sampai nggak sempat balas sms.  Nggak mungkin deh orang kayak Adep miskin pulsa.

 

Jam delapan lewat lima belas menit irma dan Wahyudi memasuki hall Stasiun Jakarta Kota.  Lihat spanduk Batmus terbentang di dinding dan Bang Ican di sebelahnya.  Dia nyengir lihat kita berdua lari-lari.  ‘Di dalam situ ya ?’ irma menunjuk pintu menuju lobby utama stasiun.  Bang Ican mengangguk.  Sampai di dalam lobby dengar Adep lagi bagi-bagi kelompok.  irma langsung lari ke meja pendaftaran untuk ambil nametag dan jatah sarapan.  Lho, kok yang jaga Bu Wisda sendirian ?  Ke mana para kapiten ?  Masih pada berlibur ya.  Ini kan hari terakhir libur anak sekolah.

 

‘Heh, ke mana aja ?  Kok nggak pernah ke rumah,’ sapa Bu Wisda seraya mencoret nama irma dan Wahyudi dalam daftar sementara irma menulis nametag untuk kita berdua.  Hihihi, iya udah lama nggak ke markas Batmus.  Terakhir ke sana waktu Ibu Wisda ulang tahun dua bulan yang lalu.  Nggak berapa lama Wahyudi datang bawakan teh untuk irma dan kopi untuk dirinya sendiri.   Bu Wisda memberikan dua roti anak buaya.  ‘Ini kalau nggak dimakan, dia hidup lho,’ ujarnya.  Ah masa’ sih ??

 

Terdengar Adep memanggil kelompok satu untuk berkumpul di salah satu sudut lobby.  irma dan Wahyudi gabung ke sana.  Adep memperkenalkan pendamping kelompok satu.  Mas Aditya dari Indonesian Railway Preservation Society (IRPS).  Lalu Mas Aditya bercerita tentang Stasiun Jakarta Kota.

 

Orang Betawi dulu kerap kali menyebut stasiun ini ; Stasiun Beos.  Nama tersebut berasal dari Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschaapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur) yang disingkat B-O-S.  Daripada mengeja singkatan mereka lebih suka mengucapnya dengan ‘Beos’.  BOS adalah perusahaan kereta api swasta yang membangun stasiun ini.

 

Ternyata, ini bukan stasiun pertama di Jakarta.  Stasiun pertama terletak di sebelah selatan Museum Sejarah Jakarta.  Namanya Stasiun Batavia Noord (Batavia Utara).  Sekarang sudah nggak ada lagi bekas-bekasnya.  Di area bekas Stasiun Noord Batavia sekarang jadi Kantor Pelayanan Pajak.  Sedangkan di tempat Stasiun Jakarta Kota sekarang, dulunya itu Stasiun Batavia Zuid (Batavia Selatan) yang dibangun tahun 1870.

 

Pada tahun 1926 Stasiun Batavia Zuid ditutup untuk dibangun menjadi bangunan stasiun yang sekarang.  Bangunannya bergaya art deco.  Dirancang oleh arsitek Belanda Ir. Frans Johan Lowrens Ghijsels dari biro arsitek terkenal saat itu, Algemeen Ingenieur Architectenbureau (AIA).  Pembangunan stasiun baru ini selesai pada tanggal 19 Agustus 1929 dan diresmikan penggunaannya oleh Gubernur Jenderal Jhr. A. C. D de Graef pada tanggal 8 Oktober 1929.  Karena nilai sejarahnya bangunan Stasiun Jakarta Kota ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.

 

Stasiun Jakarta Kota adalah stasiun terbesar di Indonesia berdasarkan jumlah jalur yang dimilikinya.  Dalam e-mailnya di milis beberapa hari yang lalu Adep kasih tau kalau jalur itu dalam bahasa Belanda disebut ‘spoor’.  Lidah pribumi menyebutnya sepur.  Jadilah orang Indonesia dulu menyebut kereta api dengan sepur.  Makanya sering kali dikira bahasa Belandanya kereta api adalah ‘spoor’.  Padahal yang betul, ‘trein’.  Dalam buku ‘Kissah Kereta Api Indonesia’ karangan R. Oerip Simeon, dijelaskan bahwa definisi ‘spoor’ sebenarnya dua batang rel sejajar yang dihubungkan dengan beberapa batang kayu bantalan.  Sedangkan ‘spoorweg’  adalah suatu jalan tetap yang terdiri dari beberapa ‘spoor’.  Dalam bahasa Inggris disebut ‘railway’.  Bahasa Indonesianya : jalan rel.  Tapi lebih ngetop disebut jalan kereta api. 

 

Ada dua belas jalur kereta di stasiun ini.  Stasiun Jakarta Kota diutamakan untuk melayani kereta-kereta komuter dari Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, dan Serpong.  Stasiun ini merupakan stasiun buntu karena jalur kereta berakhir di sini.  Kondisi yang demikian berpotensi terjadinya kereta nyelonong keluar dari jalur dan memasuki ruang tunggu penumpang.  Hal ini pernah terjadi di bulan Juli 2007 karena ada yang iseng mengutak-atik sistem rem KRL.  Mas Aditya nggak bilang apakah pada kejadian tersebut ada korban jiwa atau luka-luka.

 

Keistimewaan lain Stasiun Jakarta Kota adalah stasiun ini juga merupakan kantor PT Kereta Api Daerah Operasi I Jakarta (disingkat Daop I Jakarta).  Banyak pembenahan yang dilakukan terhadap Stasiun Jakarta Kota.  Antara lain, hall tempat kita berkumpul hari itu akan disterilkan dari lalu lalang penumpang untuk dijadikan perpustakaan perkeretaapian.  Jadi penumpang keluar-masuk melalui pintu utara dan selatan.  Dulunya pada hall tersebut terdapat loket-loket penjualan karcis kereta.  Seingat irma, terakhir kali irma kumpul PTD di Stasiun Jakarta Kota, loket-loket itu masih di sana.

 

Stasiun ini memiliki dua selasar masing-masing di utara dan selatan.  Mas Aditya mengajak kita naik ke lantai atas dan menyusuri selasar selatan.  Sepanjang penyusuran tersebut banyak kita temui foto-foto kereta api tempo dulu.  Foto Stasiun Tanjung Priuk, Stasiun Bogor, arch bridge (jembatan), dan banyak lagi.  Di ujung selasar selatan kita sampai di ruang Arjuna.  Di sana kita diperkenalkan dengan Bapak Akhmad Sujadi, Kahumas Daop I Jakarta.  Beliau bercerita tentang program-program Daop I Jakarta dalam membenahi pelayanan kepada masyarakat.  Daop I Jakarta sedang melakukan perbaikan infrastruktur ke arah keasliannya.  Yang sedang dilakukan adalah restorasi Stasiun Jakarta Kota, Pasar Senen, dan Tanah Abang.  Upaya perbaikan ini dibantu oleh konsultan termasuk dalam hal penentuan jenis cat agar sesuai dengan bangunan aslinya.

 

Beberapa peserta PTD memberikan masukan kepada Pak Sujadi.  Karena masukannya berasal dari pengalaman pribadi, akhirnya malah jadi ajang curhat.  Peserta PTD curhat sebagai pengguna jasa PTKA, Pak Sujadi curhat selaku penyedia jasa.  Ternyata Pak Sujadi aktif menulis di lingkungan PTKA.  Beberapa kritik dan sarannya dimuat dalam media komunikasi internal PTKA.

 

Karena keasikan diskusi di ruang Arjuna itu kita jadi nggak sempat menyusuri selasar utara.  Deedee dan Ninta udah memanggil-manggil semua peserta untuk naik kereta  di jalur 11.  Kita akan ke Stasiun Manggarai. 

 

Pak Sujadi turut serta naik kereta ekonomi bareng kita.  Sepanjang perjalanan melewati Stasiun Jayakarta, Mangga Besar, Sawah Besar, Juanda, Gambir, Gondangdia, Cikini, hingga berhenti di Stasiun Manggarai, beliau tak henti-hentinya bercerita.  Hanya sayup-sayup aja irma dengar suaranya karena irma berdiri dekat pintu, bareng gerombolan para tukang nginceng (baca : Wahyudi, Dhani, dan Ipe) yang rame-rame duduk di pintu biar bisa ambil photo. 

 

Turun di Stasiun Manggarai.  Lalu kita jalan kaki menuju Balai Yasa Traksi Manggarai.  Mungkin Manggarai ini adalah komplek milik PTKA yang paling besar.  Luasnya mencapai 75 hektar.  Pak Sujadi bilang area tersebut akan dikembangkan menjadi Menteng Business Center.  Kok namanya pake Menteng, bukannya Manggarai ?  ‘Mungkin kalau pake nama Menteng lebih menjanjikan dari segi bisnis,’ jelas Pak Sujadi.

 

Pintu gerbang Balai Yasa Traksi Manggarai tertutup rapat saat kita tiba.  Tinggi sekali pagarnya.  Di pintu kecil untuk jalan keluar-masuk orang tertulis bahwa Balai Yasa tidak melayani tamu yang mencari sumbangan dan wartawan tanpa izin dari humas.  Umm, kalau masyarakat umum datang untuk melihat-lihat (dan photo-photo), bagaimana ?  Boleh masuk kah ??

 

Sambil menunggu pintu gerbang dibuka kita berfoto bareng spanduk di depan gerbang.  Pas selesai photo, pintunya dibuka.  Tampak lokomotif uap seri TC1015 beserta kereta penumpang dari kayu di tengah-tengah halaman.  Seorang ibu dan anaknya bergegas mendatangi loko.  Maksudnya mau photo di sana.  Tiba-tiba ……… ‘Auk !  Auk ! Auk ! Auk ! Auk !’ seekor anjing menyalak-nyalak keluar dari kolong kereta.  Bukan cuma satu, berikutnya datang seekor lagi sambil menyalak-nyalak pula.  Whuaaaa … ibu dan anak itu langsung lari kembali ke rombongan.  Komentar irma dalam hati, ‘Wah bagus.  Anjing itu menjalankan tugasnya dengan baik : menjaga properti perusahaan.  Tidak membiarkan orang asing mendekatinya.’

 

‘Lho kenapa, ularnya dalam kandang kok !’ Pak Sujadi kira ibu dan anak itu takut sama ular.  Ular ?  Waks, ternyata di samping loko ada kandang ular !  Kenapa Balai Yasa memelihara ular ya ?  Selain ular di samping loko terdapat juga kandang burung Elang.  Kasihan, seharusnya Elang itu terbang bebas di angkasa.

 

Semua peserta PTD dipersilakan masuk ke satu ruangan.  Waktu di kereta tadi irma dengar Ninta telpon ke Balai Yasa, minta AC ruangan tersebut dinyalakan.  Jadi waktu kita masuk ke sana udah terasa sejuk.  Enak sekali.  Abisnya di luar panas banget.  Yah udah masuk musim kemarau.  Panas terik dan berdebu.  Mendekati Balai Yasa tadi terasa sekali banyak debu.  Beberapa peserta sempat terbatuk-batuk.

 

Duduk ngeleseh di lantai, kita menonton film djadoel tentang trem di Indonesia.  Adep bilang ada tiga jenis trem : trem kuda, uap, dan listrik.  Angkutan trem di Jakarta dimulai dengan beroperasinya Bataviasche Tramway Maatschappij (BTM).  Ketika itu masih berupa trem kuda.  Di tahun 1881 BTM diambil alih Nederlandsch-Indische Tramweg Maatschappij (NITM).  Tremnya pun diganti menjadi trem uap.  Trem listrik mulai dioperasikan di Jakarta oleh Batavia Electrische Tram Maatschappij (BETM) pada tahun 1899.  Di Indonesia trem bertahan hingga tahun 1960an.  Tapi Mas Aditya bilang, sampai tahun 1977 trem masih beroperasi di Surabaya.  Trem diputuskan tidak beroperasi lagi karena membahayakan.  Udah cukup banyak orang meninggal akibat ditabrak trem.  Bahkan Museum Nasional pun tidak mau menyimpan trem sebagai koleksinya (kata Adep).  Akhirnya trem dimuseumkan di Ambarawa.

 

Nonton film djadoel itu, jadi tau ternyata sejak dulu udah ada iklan yang dipasang di badan kendaraan.  Papan-papan iklan tersebut dipasang di bagian atas trem.  Hanya berupa tulisan saja, seperti ‘Nestle Caramels’ dan ‘Soesoe Tjap Nona’.  Beda sama sekarang yang udah pake gambar-gambar.

 

Saat satu trem melintas dengan tulisan BVM di bagian depannya, Adep menerangkan bahwa BVM itu cikal bakalnya PPD, Perusahaan Pengangkutan Djakarta.  BVM singkatan dari Bataviasch Verkeer Maatschappij.  BVM terbentuk dari penggabungan NITM dan BETM di tahun 1930.  Pada masa kependudukan Jepang BVM berganti nama jadi Seibu Rikuyo Batavia Shinden.  Namanya kembali jadi BVM setelah Jepang hengkang dari Indonesia.  Pada tahun 1954 BVM dinasionalisasi dan berganti nama jadi PPD.  Tugasnya mengelola transportasi umum di Jakarta.  ‘Nanti bisnya yang akan kita naiki waktu ke Tanjung Priuk,’ kata Adep. 

 

Usai pemutaran film, berikutnya Mas Aditya memaparkan kegiatan ‘Pelestarian Lokomotif Listrik Electrische Staatsspoorwegen (ESS) Seri 3200’ dari IRPS.  Lokomotif tersebut merupakan lokomotif listrik pertama yang dimiliki Indonesia.  Didatangkan secara bertahap ke Indonesia sejak tahun 1925 sampai 1928.  Sejak tahun 1926 sampai tahun 1976 beroperasi sebagai kereta langsam JakartaBogor.  Kereta langsam adalah kereta yang berhenti di setiap stasiun yang dilaluinya. 

 

Lokomotif ESS seri 3200 disebut juga loko Bonbon.  Lucu ya namanya, mengingatkan irma akan permen (bonbon = permen).  Ada beberapa versi kenapa loko tersebut dinamakan Bonbon.  Pertama, karena konfigurasi roda penggeraknya yang Bo-Bo (dooh Mas Aditya, apa tuh ya ?  irma nggak ngerti L  irma taunya Bo-Bo dibacanya Bobo).  Kedua, karena bentuknya yang kotak seperti kotak permen.  Dan ketiga, karena suara peluitnya yang berbunyi ‘Booooo ……………… boooooooooooo………’

 

Dari sekian banyak lokomotif Bonbon yang dimiliki Indonesia, kini hanya tinggal satu yang tersisa. Itupun nyaris dihancurkan.  Pertengahan tahun 2006 saat IRPS menemukannya teronggok di Balai Yasa Traksi Manggarai, ternyata sudah diterbitkan instruksi untuk membesituakannya empat belas hari kemudian.  Mengingat peran penting Bonbon dalam perkembangan industri dan transportasi di Indonesia, IRPS mengupayakan penyelamatan satu-satunya lokomotif Bonbon yang tersisa.  Dibentuklah komunitas Sahabat Bonbon (http://sahabatbonbon.com).

 

Pada tanggal 12 Juli 2007 perbaikan lokomotif Bonbon 3201 pun selesai.  Hanya badannya saja yang bisa direstorasi.  Saat membetulkannya IRPS menemukan ada dua identitas di dalam Bonbon tersebut.  Bodinya bernomor 3202 sedangkan di bagian dalamnya ada yang bernomor 3201.  Diperkirakan dulunya pernah dilakukan ‘kanibalisasi’, penggunaan part dari loko Bonbon 3201 untuk mengganti part yang rusak dalam Bonbon 3202.

 

Restorasi Bonbon telah selesai.  Sekarang sedang diupayakan penempatannya.  IRPS mengusulkan Bonbon 3201 ini dijadikan monumen.  Ada tiga alternatif penempatan monumen Bonbon :

1)       Stasiun Depok, karena di sana terdapat dipo KRL

2)      Stasiun Bogor, karena dulu Bonbon melayani rute Jakarta – Bogor

3)      Kawasan Manggarai

 

Kemudian IRPS memperoleh kabar bahwa Pemerintah Kota Jakarta Utara sedang melakukan revitalisasi kawasan Kota Tua Jakarta.  Diputuskan monumen Bonbon akan ditempatkan di Taman Stasiun Kota, antara terminal busway dan Stasiun Jakarta Kota.  Ada tiga alternatif penempatan ; dua di Taman Stasiun Kota dan satu di halaman parkir utara Stasiun Jakarta Kota – BNI.  Monumen Bonbon tersebut kelak akan terintegrasi dengan fasilitas publik lainnya.

 

Setelah presentasi pelestarian lokomotif Bonbon oleh Mas Aditya, kita dikenalkan dengan Pak Agung.  Beliau adalah penanggung jawab KRL di Balai Yasa Traksi Manggarai.  Pak Agung bilang meski teamnya tetap berusaha merawat dan membersihkan Bonbon 3201 yang sudah diperbaiki, tak urung masih banyak debu dan sarang laba-laba pada Bonbon.  Hal ini disebabkan karena sumberdaya yang tersedia terbatas sedangkan tugas dan tanggung jawab yang diemban Balai Yasa sangatlah banyak.

 

Balai Yasa Traksi Manggarai bertugas merawat sarana kereta penumpang, KRL, dan gerbong (sejak tahun 2007).  Ternyata ada perbedaan definisi gerbong pada masyarakat umum dan PTKA.  Di lingkungan PTKA, gerbong adalah kereta pengangkut barang.  Jadi selama ini kalau kita bertanya ke petugas kereta api, ‘Ini gerbong nomor berapa ya ?’ , ternyata itu tidak tepat.  Jadi bagaimana seharusnya kita bertanya Pak ?

 

Kereta pengangkut ternak juga termasuk kategori gerbong.  Meski kini sudah agak jarang membawa ternak menggunakan kereta api.  Sekarang ternak-ternak dari Sumbawa lebih sering diangkut dengan kapal laut.  Kalau mau tau lori kereta pengangkut ternak, kita bisa melihatnya di Stasiun Cipinang.  Tidak semua stasiun melayani pengangkutan ternak.   Ternak hanya boleh diturunkan di stasiun yang memiliki fasilitas karantina hewan.

 

Pak Sujadi cerita, di tahun 1974 terjadi tabrakan antara kereta Gaya Baru dengan gerbong ternak di daerah Kapas.  Hal itu terjadi karena petugas tidak memastikan semboyan 21 sudah sudah terpasang di akhir rangkaian, padahal masih ada empat gerbong ternak yang terlepas.  Akibat tabrakan tersebut masyarakat di sana selama beberapa hari pesta daging ternak.  Hahahaha.

 

Puas ngadem di ruangan ber-AC itu kemudian kita jalan-jalan keliling komplek Balai Yasa Traksi Manggarai.  Luas komplek sekitar 17 hektar.  Pertama-tama kita melihat loko uap TC1015.  Di dekatnya ada crane untuk mengangkut kereta.  Juga roda-roda kereta berikut gardanya.  Melihat itu kita pun becanda, ‘Siapa nih yang sanggup ngangkut barbel segede gini ?’

 

Lalu Pak Sujadi mengajak kita melihat-lihat unit KRL.  Sedih deh, lihat banyak KRL teronggok begitu saja.  Pemeliharaannya tidak bisa dilakukan karena sparepartnya nggak ada.  Padahal baru dipakai sekitar sepuluh tahun.  Selain itu, kereta-kereta komuter di Jakarta sekarang telah beralih menggunakan KRDE.  KRDE memiliki diesel pembangkit listrik sendiri.  Jadi dia tidak tergantung pada pasokan listrik dari pusat.

 

Pak Sujadi menerangkan kode-kode yang tertulis di badan kereta.  MD artinya tanggal kereta tersebut mulai dipakai.  PA MRI, itu tanggal pemeliharaan akhir yang terakhir dilaksanakan oleh Balai Yasa Traksi Manggarai.  Sedangkan PA YAD jadwal pemeliharaan akhir berikutnya.  Setelah beroperasi dua tahun kereta harus masuk Balai Yasa untuk pemeliharaan akhir atau general over houl.  Oh ya bedanya pemeliharaan yang dilakukan Dipo dengan Balai Yasa adalah, Dipo melaksanakan pemeliharaan rutin harian dan perbaikan yang kecil-kecil.  Sedangkan Balai Yasa menangani pemeliharaan akhir dan perbaikan besar.  Balai Yasa juga bisa melakukan modifikasi kereta.

 

Ternyata komplek Balai Yasa Traksi Manggarai ini luas banget.  Berderet-deret los untuk perawatan dan perbaikan kereta.  Dulunya Balai Yasa ini bernama Hoofd-Werk plaatsen Te Manggarai.  Dibangun oleh Staatspoorwegen pada tahun 1920.  Staatspoorwegen ini yang kelak menjadi Djawatan Kereta Api. Sekarang namanya PT Kereta Api.

 

‘Nah, ini dia Bonbon,’ seru Pak Sujadi saat kita sampai di salah tempat parkiran kereta di seberang deretan los.  Di sana sudah menunggu Mas Rizky dari IRPS.  Selanjutnya sambil melihat-lihat – dan tentunya juga photo-photo – Bonbon,  kita mendengarkan Mas Rizky bercerita tentang Bonbon.

 

Jadi sejak tahun 1871 pemerintah kolonial Belanda telah mempersiapkan infrastruktur jaringan KRL.  Termasuk pembangkit listriknya.  Diawali rangkaian listrik Kota – Gambir, akhirnya berkembang sampai ke Bogor.  Juga Tanjung Priuk dan Jatinegara.  Pada tahun 1926 didatangkan lokomotif Werkspoor Hemaf 202 yang kemudian dikenal dengan Bonbon.  Dua didatangkan dari Jerman, enam dari Belanda.  Lokomotif ini menggantikan lokomotif uap D14 yang dianggap tidak lagi efisien dan ramah lingkungan.  Wuiii …… hebat ya, zaman segitu pemerintah kolonial Belanda sudah memikirkan masalah pelestarian lingkungan, tanpa mengabaikan kepentingan massa.

 

Berat Bonbon 75 ton dengan panjang 15 meter.  Memiliki empat pasang roda penggerak dengan roda penyeimbang yang idle satu pasang di depan, satu pasang di belakang.  Kecepatan maksimum 75 km/jam.  Didesain universal untuk mengangkut penumpang maupun barang, dan bisa beroperasi di pegunungan maupun dataran landai.  Masa tugas Bonbon berakhir di tahun 1976 setelah didatangkan kereta listrik dari Belanda.

 

Lagi dengarkan Mas Rizky bercerita tentang Bonbon, eh datang Maya ngerekam pake handycam.  Cieeee …… sekarang dah nggak pake kamera lagi ya !  Itu handycam hasil angpau pernikahan ?  Hahahahaha.  Maya itu baru nikah di Balikpapan.  Payah deh, sebelumnya dia nggak mau ngaku.  Ih, ngapain sih (status pernikahan) ditutup-tutupi ?  Hayooo, pengen tetep ngaku single ya ………

 

‘Gimana, masih ngantuk ?’ tanya irma kepada Maya.  Sejak nikah Maya harus bangun lebih pagi.  Masak air panas.  Bikin sarapan.  Makanya Maya selalu bilang dia lagi ngantuk.  Hahaha, ketahuan deh waktu masih gadis bangunnya siang mulu !  Maya lalu cerita kehidupannya selaku pengantin baru.  Lagi nyimak cerita Maya tiba-tiba irma dengar Deedee berseru, ‘Hei, hei, keretanya jalan !’  Langsung irma melompat dan berlari ke arah Deedee.  Wuehehehehe, sorry ya May, dicuekin.

 

Rupanya yang bergerak adalah rollwegen.  Itu adalah jembatan yang menghubungkan los dengan parkiran kereta.  Rame yang naik ke atas rollwegen.  Bapak yang mengoperasikan rollwegen ramah sekali.  Ia tak henti-henti senyum.  Setelah irma perhatikan seksama, hmm kayaknya itu bapak yang photonya masuk ke majalah kereta api Jepang deh.  Di ruang ber-AC tempat Mas Aditya presentasi tadi irma dan Wahyudi lihat ada artikel dalam bahasa Jepang dipajang di dinding.  Tulisan itu dilengkapi dengan photo seorang karyawan PTKA tersenyum lebar.  ‘Senyumnya khas Indonesia sekali,’ komentar Wahyudi.  Tau kita perhatikan artikel itu Pak Agung bilang, ‘Orangnya ada di belakang.  Nanti kalau mau kita bisa ketemu.’

 

Bersama peserta lainnya yang belum merasakan naik rollwegen irma melompat ke atas rollwegen.  Dari ruang operasinya yang bertuliskan ‘Eksekutif 6’, bapak yang ramah tersebut menjalankan rollwegen sampai ke ujung los.  Di sana kita turun dan berjalan ke tiga bis PPD yang sudah siap membawa kita ke Tanjung Priuk.  Sebelumnya kita mengucapkan terima kasih kepada bapak yang ramah itu.  Beberapa orang malah photo bareng dengannya.  irma perhatikan ia selalu tersenyum lebar tiap kali diphoto.  Wajahnya berseri-seri.  Senang rasanya ketemu orang seperti beliau.

 

Sesuai dengan pembagian kelompok irma naik ke atas bis nomor 1.  Setelah bis hampir penuh baru Wahyudi naik.  ‘Ih, aku keliling-keliling nyariin kamu,’ katanya.  Oh maaf.  Abis biasanya kalau lagi acara jalan-jalan gini kita seringkali terpisah karena beda minat.  Wahyudi pengennya motret, sementara irma maunya mendengar penjelasan dari nara sumber.  Makanya Wahyudi seringkali tertinggal jauuuuhhh di belakang.  Sedangkan irma ngintilin nara sumber.

 

Ninta naik ke atas bis 1 untuk mengabsen peserta.  Beres urusan absen lalu Ninta gabung dengan Deedee di bis 3.  ‘Ayo Pak, kita jalan aja,’ kata Adep kepada Pak Haryono, supir bis 1.  Tapi Pak Haryono menunjuk bis 3 dan bilang, ‘Biar dia aja yang jalan duluan.  Supirnya lebih tau jalan-jalan daerah sini.’  Adep lalu kasih tau Ninta agar bisnya segera berangkat.  Tau supir di bis 1 nggak bisa jalan sebelum bis 3 berangkat, di ambang pintu bis Ninta jingkrak-jingkrak ngeledekin Adep.  Sementara Wahyudi komentar, ‘Emang nggak boleh ngedahuluin.  Tetap aja Batak yang nguasain bis.’  Hahahahaha, irma, Maya, Dhani, dan Ipe yang duduk di belakang Pak Haryono jadi pada ketawa dengar ucapannya Wahyudi.

 

Perjalanan ke Stasiun Tanjung Priuk berlangsung lancar.  Kita lewat jalan tol.  Sepanjang jalan irma, Wahyudi, Ipe dan Dhani becandain Maya sang pengantin baru.  Maya bilang pesta nikah di Balikpapan nggak ada pake angpau.  Jadi kemarin dapat apa aja ?  ‘Empat puluh seprei, dua magic jar, satu kompor gas, panci, wajan, …’ Maya merinci kado pernikahan yang dia dan Rahmat terima.  Waks, empat puluh seprei ?  Sampai tua jadi kakek nenek nanti mereka nggak perlu beli seprei lagi dong !  Tapi Maya bilang kebanyakan kado-kado itu dia tinggal di Balikpapan.  Abisnya kalau mau dibawa ke Jakarta malah menuh-menuhin bagasi malah kena biaya tambahan.  ‘Nyokap gw bilang, dijual lagi aja ya May ?  Gw bilang, iya deh jual lagi aja,’ papar Maya.  Hahahahaha.

 

Sampai di Tanjung Priuk.  Pak Haryono sempat bingung di mana harus parkir bisnya.  Kan nggak mungkin di terminal bis depan stasiun.  Pak Sujadi bilang masuk aja ke dalam halaman stasiun.  Tapi ternyata kedua bis di depan kita jalan terus sampai ke samping stasiun.  Jadi bis kita mengikuti.  Di depan pintu gerbang bertuliskan ’Tanjung Priuk’ bis berhenti.  Kita turun.

 

Bau tidak sedap langsung menyambut kita saat memasuki Stasiun Tanjung Priuk.  irma lihat lembaran-lembaran plastik telah digelar di depan kantor kepala stasiun, menghadap layar projector.  Kotak-kotak berisi nasi Padang berjejer di sampingnya.  Oh rupanya kita akan makan siang di sini.  Tapi melihat kondisi stasiun nya yang kumuh begitu irma jadi nggak selera makan.

 

Jadi sementara yang lain duduk makan nasi Padang, irma keliling-keliling stasiun.  Nggak berani jauh-jauh dari peron tempat yang lain makan abisnya serem ngeliat suasana stasiun yang suram.  Stasiun itu banyak ditempati kaum tunawisma.  Mereka memperhatikan para peserta PTD dari peron seberang.  Sempat irma dengar percakapan mereka, ’Mau ada shooting ya ?  Wah kita bisa jadi pemeran figuran nih.’  Rupanya di stasiun ini pernah ada shooting, entah itu shooting film atau video clip.

 

Dari dua orang bapak yang irma temui di mushola, irma tau kalau ternyata Stasiun Tanjung Priuk ini sering dipakai shooting.  Mereka bertanya acara apa yang sedang kita lakukan di sana.  irma terangkan kalau kita dari komunitas yang suka jalan-jalan ke tempat-tempat djadoel seperti stasiun ini.  ’Kenapa nggak ke terowongan ?  Di sana masih ada mobil-mobil tua.  Juga ballroom tempat orang-orang Belanda dulu dansa-dansi,’ kata mereka.

 

Terowongan ?  Rupanya di bawah stasiun ada terowongan yang menghubungkan stasiun dengan pelabuhan Tanjung Priuk.  Penumpang kapal yang akan berlayar ke Eropa atau datang dari sana, akan singgah di stasiun ini.  Di atas stasiun terdapat hotel.  Mereka dapat menginap di sana.  Di Stasiun Jakarta Kota tadi irma lihat photo djadoel Stasiun Tanjung Priuk saat masih banyak dikunjungi tuan, nyonya, dan noni-noni Belanda.

 

Di masa pemerintahan kolonial Belanda dulu stasiun ini melayani kereta listrik dari Stasiun Jakarta Kota.  Sejak tahun 2000 PTKA menghentikan pengoperasian stasiun ini sebagai stasiun penumpang.  Melihat kondisinya sekarang irma nggak yakin apakah sampai sekarang stasiun ini masih berfungsi sebagai stasiun.  Katanya sih masih dipakai untuk kereta angkutan barang.  Tapi lingkungannya rawan sehingga harus pakai pengawalan.

 

Sayang lho padahal stasiun ini begitu megah.  Meski jumlah jalurnya tidak sebanyak Stasiun Jakarta Kota tapi peronnya luaaaasss sekali.  Yang unik peron tersebut terletak di bawah atap melengkung panjang membentuk terowongan.  irma bayangkan dulu di peron itu banyak orang lalu lalang naik dan turun kereta.  Tuan-tuan bertopi necis, noni-noni bergaun panjang semata kaki dengan payung mungil di tangan.  Tuuuuuuuuttttttttttttttttt ………… peluit kereta berbunyi.  Jesss jess jesss jesss jessss ...... roda kereta bergerak meninggalkan Stasiun Tanjung Priuk.

 

Kembali ke peron tempat yang lain makan siang.  Di layar projector tampak film djadoel.  irma kira film tentang kereta api.  Hanya awal-awalnya aja ada cerita tentang trem, kereta api, dan arch bridge yang cantik.  Berikutnya film itu bercerita tentang kehidupan Indonesia di masa perang dunia kedua.

 

Karena film itu udah pernah irma tonton di PTD-PTD sebelumnya, irma putuskan untuk gabung dengan Ipe, Dhani, dan Wahyudi duduk di atas hamparan plastik biru.  Mereka udah selesai makan.  Sekarang lagi bahas photo, kamera, dan lensa.  Berhubung nggak ngerti ya udah irma tidur-tiduran aja.  Ransel irma gunakan sebagai bantal.  Dengan posisi tiduran seperti itu irma nyaman memandang konstruksi baja yang membentuk kerangka atap stasiun.  Sinar matahari menembus atap yang bolong bikin pemandangan di depan mata irma ... cantik.

 

Stasiun Tanjung Priuk dibangun tahun 1916.  Merupakan karya Ir. C. W. Koch.  Bangunannya beraliran art deco seperti Stasiun Jakarta Kota.  Katanya dibutuhkan 1700 orang tenaga kerja untuk membangun stasiun ini.  Seratus tiga puluh orang di antaranya berasal dari Eropa.  Stasiun Tanjung Priuk menghubungkan pelabuhan Tanjung Priuk dengan Kota Batavia.  Karena saat itu wilayah sekitar Tanjung Priuk merupakan hutan dan rawa-rawa berbahaya, maka transportasi yang aman adalah dengan kereta api.  

 

Selesai acara nonton film djadoel kita dikenalkan dengan kepala Stasiun Tanjung Priuk.  Beliau berterima kasih atas kedatangan kita ke sana.  Diharapkan kunjungan kita ini akan mendorong PTKA untuk mengaktifkan kembali Stasiun Tanjung Priuk.  ’Silakan Bapak dan Ibu tulis surat saja, ditujukan langsung kepada Bapak Menteri,’ katanya.  Ummm, bapak menteri apa ya Pak ?

 

Selanjutnya kita berkeliling dipandu Pak Harjono.  Diawali dengan memasuki ruangan bekas restoran.  Di sana masih ada meja bar yang terbuat dari kayu.  Tapi ruangan itu sekarang penuh debu dan sarang laba-laba.  Sinar matahari menembus masuk ruangan melalui celah di langit-langit.

 

Lalu Pak Harjono mengajak masuk ke satu ruangan di samping ruangan bekas restoran tersebut.  Gelap banget di sana.  Karena tadi berangkat terburu-buru, jadi irma lupa nggak memasukkan senter ke dalam ransel.  Padahal biasanya senter selalu dibawa tiap kali irma jalan-jalan.  Akhirnya irma nggak ikutan masuk ke dalam ruangan gelap itu.  Cuma Pak Harjono yang bawa senter.  Padahal peserta PTD yang ngikutin Pak Harjono lumayan banyak.

 

Ya udah, irma balik lagi ke hall stasiun.  Hall itu sekarang dipake para penghuni Stasiun Tanjung Priuk untuk main bulutangkis atau futsal.  Di sana ada Dhani sama Ipe yang lagi photo ray of light dari jendela dekat atap.  Anak-anak penghuni stasiun yang sejak tadi merhatiin kita, mereka pinta untuk bergaya di bawah sinar matahari.  Ternyata anak-anak itu pada banci photo.  Senang sekali mereka disuruh berpose.  Pake acara lompat-lompatan segala lagi.

 

irma sempat kehilangan Wahyudi.  Ternyata dia ngikutin Pak Harjono hingga ke atas stasiun.  Yah, tau gitu tadi irma tetap ngintil deh.  Karena Maya bilang untuk naik ke atas bukan lewat ruangan yang gelap itu, jadi irma keluar dari sana dan menunggu rombongan yang akan ke atas.  Ternyata justru dari sana mereka ke atas.  Yaaah ...... L

 

’Ada apa sih di atas Di ?’ tanya irma saat Wahyudi menghampiri.  ’Ada pohon,’ jawab Wahyudi.  ’Nggak tau dari mana.  Tapi kan pohon itu akar-akarnya akan merusak bangunan.’  Aneh ya.  Semula irma kira di atas kita bisa lihat kamar-kamar bekas hotel.  Atau melihat-lihat ke arah pelabuhan.  Tapi Wahyudi bilang dari atas nggak ada pemandangan bagus.

 

Semula Pak Harjono akan memandu kita ke terowongan penghubung stasiun dengan pelabuhan Tanjung Priuk.  Tapi karena terowongan itu sekarang gelap, bau, ada genangan air, dan katanya juga pernah ditemukan ular, jadi nggak ada yang mau ke sana.  Wahyudi bilang kalau mau masuk ke dalam terowongan itu harus pake persiapan, pake sepatu boot anti air, bawa senter, dan juga tabung oksigen.  Oksigen ?  ‘Iya.  Di terowongan-terowongan bawah tanah yang udah lama nggak dipake gitu kan bisa aja ada gas-gas berbahaya.  Atau gas yang bikin orang berhalusinasi,’ papar Wahyudi.

 

Jam setengah tiga kita meninggalkan Stasiun Tanjung Priuk.  Di depan pintu masuk stasiun, sebelum naik ke atas bis PPD yang akan mengantarkan kita kembali ke Stasiun Jakarta Kota, Deedee menyampaikan kata-kata penutupan atas nama panitia PTD dan Sahabat Museum.  Terima kasih semua, sampai jumpa lagi di PTD berikutnya ya !

 

 

 

Referensi :

  • R. Oerip Simeon, ‘Kissah Kereta Api Indonesia’, Pengurus Besar Persatuan Buruh Kereta Api, Bandung, 1953
  • M. Yanuarika, ‘Be-O-S : Satu Stasiun, Lima Nama’, Majalah Kereta Api edisi 03/Oktober 2006
  • Dian Pujayanti – M. Yanuarika, ‘Si Putih Susu Bonbon’ , Majalah Kereta Api edisi 03/Oktober 2006
  • Widoyoko, ‘Trem Jakarta, Icon Transportasi Modern Tempo Dulu’ , Majalah Kereta Api edisi 17, Desember 2007
  • Tim Majalah KA, ‘Balai Yasa Manggarai, Spesialis Kereta & KRL’ , Majalah Kereta Api edisi 22, Mei 2008
  • Penjelasan nara sumber selama PTD : Bapak Akhmad Sujadi (KaHumas Daop I Jakarta), Mas Aditya (IRPS), Mas Rizky (IRPS), Ade Hadika Purnama (Sahabat Museum)

 

 

 

 

 

12 comments:

  1. gue jg masih sempet beli tiket di sana, Ma :D
    dan.. kalo gasalah, itu waktu baru beli kamera di Mangdu.. hihihi..
    *rasanya baru kemaren*

    ReplyDelete
  2. Lengkap bangettttttt... Pantes aja kalo referensinya bejibun, Ma. Kalo jagoanku baca, pasti dia maksa emaknya buat nganter ke Jakarta. Dia emang suka banget sama kereta dan stasiun. Langganannya aja majalahnya PJKA. Masak, kemaren minta naik kereta langsam sama babarandek. Mana ada di Semarang

    ReplyDelete
  3. Bo-Bo mungkin maksudnya si Bonbon punya 2 set gandar penggerak, masing masing gandar punya 2 traksi motor dan 1 idle axle

    CMIIW

    ReplyDelete
  4. wah, lengkap banget. nyesel juga ga ikut PTD kemarin. PTD selanjutnya kemana?

    ReplyDelete
  5. belum tau. kemarin Adep bilang dia mau berlibur dulu sebulan karena speaker karang taruna pecah :D

    ReplyDelete
  6. karena ke kuburan malem2 ngga izin dulu sama hantunya :D

    ReplyDelete
  7. "Hal itu terjadi karena semboyan 21 sudah dibunyikan padahal ada empat gerbong ternak masih terlepas dari rangkaian"

    Koreksi dikit, sebenarnya petugas tidak memastikan keberadaan semboyan 21, sebagai tanda akhiran rangkaian. Jadi bukan dibunyikan.

    Semboyan 21 bentuknya papan/pelat merah yang dipasang di kereta/gerbong terakhir, ditambah dengan lampu berwarna merah

    ReplyDelete
  8. makasih infonya. itu tulisan saya di atas udah saya ganti. asiiikk ... ada pakarnya :D

    ReplyDelete
  9. Irmaaaaa.......... hatur nuhun udah sharing cerita. yang gak ikut jadi bisa membayangkan ......

    ReplyDelete
  10. Irma tengkyu..
    Ceritanya lengkap n informatif sekali..
    :-D

    ReplyDelete
  11. gileeeeeeee............ lengkap banget.....

    oyah aku ingin bertanya sesuatu. diartikelmu dikatakan kamar hotel ada di bagian atas stasiun tanjung priok. tapi aku mendengar dari sahabat kamar hotel bisa saja ada di bawah (bagian yang terendam air yang diprediksi juga merupakan tempat pesta)

    boleh tahu mana yang benar?

    ReplyDelete
  12. bisa jadi betul dua-duanya. di antara ballroom dan ruangan lain di terowongan penghubung ke pelabuhan, mungkin ada kamar-kamar hotel. tapi untuk memastikannya tentu kita harus turun langsung ke sana :D

    ReplyDelete