Tuesday, October 3, 2006

Catatan Perjalanan PTD Medan - Danau Toba , Part 3

Hari ke – 3, Minggu 20 Agustus 2006

 

Sarapan pagi jam 7.  Asik, ada kue lupis !  Ini kue khas Medan kesukaan irma.  Di Jakarta juga ada sih.  Tapi yang di Medan ini rasanya lain.  Lupisnya lebih gurih dan gulanya maniss sekali.  Mungkin karena gulanya lebih hitam.  Irma pernah berpikir, apa kue lupis ini diciptakan oleh seseorang bermarga Lubis ya ??  Kan meleset dikit namanya dari Lubis jadi lupis, hehehe …

Jam 7.30 kita siap-siap buat berangkat.  Tujuan pertama hari ini adalah Desa Lingga yang terletak sekitar 15 km dari Brastagi.  Berarti kita lewat jalan yang semalam dilalui.  Lewat tempat pesawat Boeing 737-200 milik Mandala yang jatuh di jalan Jamin Ginting.  Memasuki jalan menanjak berliku-liku menuju Brastagi, tampak serombongan orang bersepeda sedang rehat di pondok jagung bakar.  Haa sepeda ! Sepeda !  Girang banget irma melihat mereka.  ‘Iya tuh, temen kamu,’ komentar Wahyudi melihat kelakuan irma.  Hehe, irma emang selalu senang lihat orang bersepeda.  Sehat !

Satu bangunan SD kita lewati.  Di dindingnya ada tulisan ‘Sekolah Batak Doesoen Ngikoetken Bijbel’.  Kayaknya tuh sekolah udah lama ya ??  Abis gitu lewat Lapangan Perkemahan Bandar Baru Sibolangit, tempat dulu pernah dipake Jambore Nasional Pramuka.  Eh apa kabar Pramuka kita ya ??  Kok nggak pernah kedengaran lagi ceritanya.  Dulu waktu irma SMP, di mata irma yang namanya Pramuka tuh kereeeennn banget !  Baik hati dan tidak sombong, suka menolong, berjiwa petualang juga kreatif J

Kita singgah sebentar di Pondok Durian Ula Lupa.  Bukan untuk makan durian, tapi untuk numpang ke toilet.  Toiletnya cuma dua, sedangkan yang mau pake banyaaak banget.  Jadilah kita mengantri.  Hihihi jadi ingat ngantri toilet di Gunung Nona waktu PTD Makassar – Tana Toraja.  ‘Ah lama banget. Gue ke belakang sana aja kali ya ?’ kata seorang Batmusboy.  Di belakang pondok durian itu memang ada kebun dengan banyak pohon.  Hah, dasar cowok.  Nggak ada toilet, di balik pohon pun bisa.

Kita juga sempat berhenti di satu mesjid karena Deedee udah urgent harus ke toilet.  Deedee sempat mutar-mutar dulu.  Entah nyari pintu masuk atau nyari air.  Sambil nunggu Deedee, irma dan beberapa Batmus lain sempat turun dari bis.  Jalan-jalan dikit ngelemesin kaki.  Sambil foto Gunung Sinabung di hari yang cerah.  Irma perhatikan bagian atas gunung itu berpendar seperti fosfor.

Akhirnya kita sampai di Desa Lingga di Kabupaten Karo.  Nggak gitu jauh dari kota Kabanjahe.  Di sini kita disambut oleh Pak Darussalam Manik.  Pak Manik adalah pemandu Desa Lingga yang lulusan jurusan Pariwisata USU dan fasih tiga bahasa asing : Inggris, Jerman dan Perancis.  Karena terbiasa nerangin buat orang asing, pada saat nerangin ke Batmus pun beliau ngomongnya campur-campur antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.

Pak Manik bercerita tentang Desa Lingga, desa asal mula orang Karo.  Penduduk desa ini sekitar 250 jiwa.  Mereka memeluk agama Islam, Katolik, Kristen Protestan, atau kepercayaan tradisi nenek moyang Karo.  Umumnya mereka bermata pencaharian sebagai petani.  Ada 5 marga Karo, yaitu Karo-Karo, Tarigan, Ginting, Sembiring dan Perangin-angin.  Sekarang Desa Lingga ditetapkan sebagai cagar budaya.

Pak Manik mengajak kita berkumpul di depan Geriten.  Geriten adalah tempat menyimpan tulang kerangka leluhur.  Pada waktu-waktu tertentu masih dilakukan sembahyang dan ritual adat di Geriten.  Ini dilakukan terutama oleh penduduk yang masih menganut kepercayaan tradisi peninggalan nenek moyang Karo.  Oleh karena itu Geriten disebut juga rumah ibadah.

Seperti umumnya rumah adat Karo, pada atap Geriten terdapat segitiga dengan kepala kerbau menunduk.  Segitiga itu disebut ayo-ayo.  Kepala kerbaunya berupa patung.  Tapi tanduknya asli berasal dari kerbau.  Kenapa harus kepala kerbau sih ?  tanya Bu Wisda.  Kata Pak Manik kepala kerbau itu untuk menolak bala.  Tapi dari satu artikel yang irma baca di www.pikiran-rakyat.com, kepala dan tanduk kerbau itu sebagai bentuk persembahan (penambun page) agar padi mereka tumbuh subur. Artikel itu juga bilang bahwa tanduk kerbau yang digunakan tidak boleh berasal dari kerbau yang mati karena sakit.  Kerbau adalah hewan yang sakral bagi masyarakat Karo.

Karena hari sangat terik, Pak Manik mengajak kita ke Jambur.  Jambur adalah bangunan luas tanpa dinding yang biasa digunakan untuk tempat musyawarah.  Tapi waktu kita ke sana lagi dipakai sekelompok orang main bulutangkis.  Di beberapa tempat ada tulisan istilah adat seperti ‘anak boru’.  Kata Ninta itu untuk menandakan posisi orang berdiri saat musyawarah atau sidang.

Kita cuma sebentar di Jambur.  Pak Manik lalu mengajak kita melihat Kantur-Kantur (?).  Dulu bangunan ini digunakan untuk kantor atau tempat kerja Raja.  Lantai atas digunakan sebagai penjara.  Tapi sekarang bangunan ini dipakai untuk tempat tidur anak lelaki lajang.  Menurut adat Karo, anak lelaki yang beranjak dewasa tidak lagi tinggal di rumah adat.  Sedangkan anak perempuan, selama belum menikah ia tetap tinggal bersama orang tuanya di dalam rumah adat.

Pak Manik bercerita bahwa anak lelaki tidak boleh begitu saja menemui anak gadis di rumah adat.  Untuk memanggil anak gadis keluar dari rumah, ia harus memainkan seruling.  Jika gadis itu berkenan, ia akan keluar dan menemuinya di ture.  Ture adalah serambi di depan pintu rumah adat.  Karena Pak Manik mengambil contoh anak gadis yang mau ditemui itu bernama Linda, kita jadi ketawa.  Di rombongan Batmus kali ini juga ada yang bernama Linda.  Tapi Linda yang ini orang Padang.

Dari sana Pak Manik mengajak kita ke Rumah Merga, rumah raja zaman dulu.  Raja terakhir memimpin sampai tahun 1938 (eh, atau 1928 ya ? aduh maaf nih, catatan irma nggak jelas maklum nulisnya buru-buru L).  Rumah itu bisa memuat 10 keluarga.  Usia rumah ini hampir 400 tahun tapi masih berdiri kokoh.  Sama seperti rumah adat Batak dan Simalungun, rumah adat Karo juga dibuat dari kayu tanpa paku dan beratap ijuk.  Di sampingnya terdapat beren-beren, kebun yang berisi aneka tanaman untuk obat-obatan.  Kalau istilahnya ibu-ibu PKK sih, apotik hidup.

Di depan rumah Merga Pak Manik menerangkan arti ornamen di dinding rumah.  Ternyata ornamen yang irma kira cicak itu adalah Beras Pati, hewan yang dipercaya memberikan perlindungan.  Kata Pak Manik kalau di jalan kita ketemu Beras Pati, kita akan selamat di perjalanan.  Sayang sekarang Beras Pati sudah jarang ditemukan.  Pak Manik lalu naik ke atas ture atau serambi di muka pintu.  Untuk naik ke atas ture kita harus pake tangga.  Jumlah anak tangganya harus ganjil.  Ada dua jenis tangga.  Pintu depan menggunakan 5 anak tangga yang menunjukkan lima marga Karo.  Pintu belakang pakai 3 anak tangga yang memiliki arti tiga tuhan dalam ajaran Dalihan Na Tolu.  Tiga tuhan adalah tuhan tanah, tuhan tengah dan tuhan atas.  Jika dijumlahkan jumlah anak tangga pintu depan dan belakang, 3 + 5 = 8.  Delapan, sama dengan jumlah keluarga yang menempati rumah adat.

Satu rangka pembentuk tangga harus lebih panjang dari yang lain.  Artinya orang Karo harus menghormat kepada tuhan atas.  Karena pintu masuk rumah adat rendah, maka orang harus membungkuk untuk masuk ke dalam rumah.  Ini menunjukkan penghormatan kepada tuhan tengah.  Dan jika hendak turun dari ture ia akan membungkuk menghadap tanah, artinya orang Karo menghormati tuhan tanah.

Di bawah pintu masuk rumah terdapat pijakan untuk naik ke dalam rumah.  Ternyata pijakan itu juga berfungsi sebagai tempat ibu melahirkan !  Di kusen pintu terdapat pegangan kayu tempat tangan ibu bertumpu untuk memudahkannya melahirkan.  Tentu saja pada saat ia hendak melahirkan itu ture ditutupi kain atau tirai agar tidak terlihat orang lalu-lalang.  Ture dialasi daun pisang untuk menaruh bayi dan plasenta.  Nantinya plasenta akan ditanam di samping rumah. 

Pak Manik mengajak kita naik ke atas ture dan masuk ke dalam rumah adat.  Anak tangga yang kita naiki jumlahnya tiga.  Ketahuan kan, berarti kita masuk lewat pintu belakang.  Seharusnya kita masuk lewat pintu depan.  Tapi karena jalan menuju pintu depan banyak terhalang, jadi boleh lah ada pengecualian kita lewat belakang.   Serambi belakang namanya ture jahe, pintunya disebut pintu jahe dan menghadap barat.  Sedangkan serambi depan disebut ture julu.  Pintunya yang menghadap timur dinamakan pintu julu.   Posisi pintu masuk dan keluar ini disesuaikan dengan perjalanan matahari. 

Karena di luar panas terik dan terang benderang, jadi begitu masuk ke dalam rumah Merga kita langsung merasa seperti dalam gua.  Gelap gulita.  Tapi setelah beberapa saat mata sudah beradaptasi sehingga kita bisa melihat dengan normal.  Berbeda dengan di rumah adat Batak di Ambarita dan Rumah Bolon Simalungun, ternyata di dalam rumah Merga ini kita merasa sejuk !  Mungkin karena langit-langitnya yang tinggi ya, sehingga udara mengalir lancar.  Pak Manik bilang di dalam rumah adat Karo, pada siang hari yang terik kita akan merasa sejuk.  Sebaliknya di malam hari yang dingin kita akan merasa hangat di dalamnya.

Tidak ada penyekat antar ruangan di dalam rumah Merga.  Kecuali untuk tidur ibu dan bapak, ada bilik tertutup yang menempel pada dinding sisi kiri dan kanan.  Tengah-tengah ruangan memanjang dari depan ke belakang sebagai tempat bersosialisasi antar sesama penghuni rumah adat.  Seperti dibilang tadi, rumah adat biasanya dihuni oleh 8 keluarga.

Sebenarnya nggak harus 8 keluarga sih, lebih juga boleh.  Tapi jumlahnya harus selalu genap.  Kenapa ?  Karena di dalam rumah adat terdapat dapur-dapur yang dipakai bersama oleh 2 keluarga.  Jadi kalau jumlah keluarga di sana ganjil, berarti ada dapur yang digunakan hanya oleh 1 keluarga.  Keluarga yang sendirian pake dapur seperti ini akan dianggap tidak memiliki teman dan sanak keluarga.  Istilahnya ‘melumang’.  Ini merupakan hal yang tabu dalam adat Karo.

Rumah adat Karo yang dihuni oleh 8 keluarga disebut siwaluh jabu.  Jabu adalah bagian ruangan dari rumah adat.  Terdapat 4 dapur dalam rumah adat, masing-masing digunakan oleh 2 keluarga yang tinggal bersebelahan atau istilahnya ‘sedapuren’.  Setiap dapur memiliki 5 tungku, sebagai tanda 5 marga Karo.  Tergantung di atas tungku berturut-turut dari bawah ke atas adalah tempat untuk mengeringkan padi, menyimpan lauk-pauk, menaruh perlengkapan memasak dan paling atas kayu bakar.  Multi fungsi banget ya.  Panas dari tungku dimanfaatkan untuk mengeringkan padi dan perlengkapan dapur seperti panci, wajan dan ceret atau teko.  Udah gitu tidak menyita tempat lagi.  Praktis bener.

Abis dari rumah Merga Pak Manik mengajak kita melihat souvenir shop.  Katanya di sana dijual suling khas Karo, yang digunakan oleh anak lelaki untuk memanggil anak gadis keluar dari rumah adat dan menjumpainya.  Tapi irma nggak ikut ke sana karena irma sama Wahyudi, Ela dan Tety asik memotret rumah-rumah lain di sekitar rumah Merga.  Ela bertemu dengan seorang ibu sedang berjalan, mungkin dari ladang karena ia membawa arit.  Ia mengenakan kain penutup kepala khas inang-inang.  Ela ingin memotretnya.  ‘Foto ? Kasih uang dulu !’ pinta ibu.  ‘Kasih uang ? Gampang itu,’ jawab Ela.  ‘Lima ribu !’ kata ibu itu lagi.  Yah bu, lima puluh ribu juga Ela mau kasih.  Kapan lagi coba bisa motret desa adat begini lengkap dengan penduduk aslinya.

Buka cuma difoto, ibu juga menunjukkan kepada Ela rumah anaknya.  Ela memotretnya di depan rumah itu.  Sementara irma berdiri beradu punggung dengan Ela memotret … sapi !  Hehe, abis sapinya aneh sih.  Hitam legam dari ujung hidung sampai ujung ekor.  Baru kali ini irma ketemu sapi sehitam itu.  Dan irma perhatikan sepanjang perjalanan menuju Desa Lingga tadi, sapi hitam begini banyak terdapat di tanah Karo.  Apa mungkin karena terik matahari ya, jadi sapinya gosong begitu ??  Huehehehehehehee …

Deedee memanggil agar yang jalan paling belakang segera berger(ak).  Sudah waktunya kita menuju tempat lain.  Waktu irma sampai di tempat parkiran bis di depan gapura masuk Desa Lingga, ternyata yang lain sedang duduk mengaso di warung makan rujak Karo.  Katanya rujaknya pedas.  Tapi enak.  Segar.  Selain itu di sana kita juga bisa membeli jeruk.  Jeruknya kecil-kecil tapi manisss sekali.  Harganya ??  Seratus rupiah per butir !  Elena terkaget-kaget tau harga jeruk di sana semurah itu.  Katanya sih, harga jeruk lagi jatuh karena panen yang melimpah tapi biaya petiknya lebih mahal daripada harga jual.  Jadi banyak jeruk yang dibiarkan rusak membusuk jatuh sendiri dari pohon.  Daripada rugi !

Dari Desa Lingga kita kembali ke Brastagi.  Waktu meninggalkan Desa Lingga irma baru lihat ternyata nggak jauh dari gapura masuk desa ada Museum Karo.  Ternyata hampir setiap rumpun suku Batak memiliki museum sendiri.  Museum Batak di Samosir, museum Simalungun di Pematang Siantar, dan museum Karo di Desa Lingga.  Museum Pakpak dan Mandailing, ada nggak ya ??

Kita sampai di Brastagi pas waktunya makan siang.  Kali ini kita makan di rumah makan muslim Garuda.  Tadinya irma kira ini satu grup dengan rumah makan Garuda di Medan yang terkenal dengan hidangan khas Melayu.  Ternyata lain.  Di sana makanan dihidangkan secara prasmanan yang Adep bilang istilahnya di Brastagi adalah ‘makan jalan’.  Hehe, memang di Sumatra Utara ini banyak istilah yang bikin Batmus terheran-heran.  Seperti kata ‘semalam’ yang artinya sama dengan kemarin.  Trus kalau mau pesan es teh manis di sini bilangnya ‘manis dingin’.  Kalau teh tawar disebutnya ‘teh tong’.

Irma makan satu meja dengan Maria dan Elena.  Setelah makan irma pesan teh manis panas.  Elena sekali lagi terkaget-kaget waktu tau teh yang datang benar-benar panas sampai gelasnya susah dipegang.  Beda dengan di Jakarta, kalau kita bilang minta teh panas kan dikasihnya yang hangat suam-suam kuku.  Haha Elena, kalau di sini memang begitu.  Panas tuh berarti air yang dipakai air yang baru mendidih.  Makanya di sini minuman panas dihidangkan pakai pisin atau piring kecil sebagai tatakan.  Fungsinya untuk menuangkan minuman ke situ biar lekas dingin.  Di Sumatra Utara ini nggak aneh kalau orang menyeruput minuman dari piring kecil, bukan dari gelas.

Selesai makan Wahyudi sama Pak Amran jalan kaki ke mushola untuk sholat.  Irma jalan-jalan di sekitar rumah makan Garuda.  Selang beberapa toko dari rumah makan ada souvenir shop.  Irma lihat-lihat ke sana.  Lagi irma di sana datang Adep mau tunjukkan kepada Galuh uang kuno yang dijual di sana.  Rupanya itu toko cendera mata Pak Ginting yang Adep kunjungi waktu survey ke sini.  Waktu itu Adep dapat uang PRRI.

Tapi ternyata Galuh nggak beli uang kuno.  Melihat irma beli dua helai kain ulos, Galuh jadi tertarik untuk beli ulos juga.  Tapi yang dibelinya lebih kecil.  Sementara Wahyudi yang menyusul kemudian beli … hasapi lagi !  Katanya hasapi yang dia beli itu beda dengan yang dibeli di Ambarita.  Yang ini khas Tanah Karo, di ujungnya ada ukiran kepala orang berambut gondrong.  Halah, halah, halaaah … gimana cara bawa 2 hasapi balik ke Jakarta nanti ??  Lama-lama Wahyudi buka gallery alat musik tradisional di rumahnya.  Kenapa nggak sekalian beli gondang aja Di ??

Dari rumah makan Garuda di jalan Veteran, Berastagi (di sini penulisan nama kota yang berlaku seperti itu) kita ke rumah pengasingan Bung Karno.  Rumah pengasingan ini baru diresmikan waktu Adep survey ke sini.  Di halaman depan rumah terdapat patung Bung Karno sedang duduk, satu kakinya bertumpu pada kaki lain.

Bung Karno, H. Agus Salim dan Sutan Sjahrir oleh Belanda diasingkan ke Brastagi pada tahun 1948 selama 12 hari.  Ada foto mereka bertiga saat di rumah ini pada tanggal 22 Desember 1948.  Foto ini tergantung di ruang tamu, hasil foto ulang atau repro dari foto lama. 

Ada 3 ruang tidur di dalam rumah.  H. Agus Salim dan Sutan Sjahrir tidur di kamar no 3 atau yang terletak di depan.  Sedangkan Bung Karno tidur di kamar belakang yang no 2.  Kamar no 1 di sebelah kamar no 2 adalah ruangan tambahan yang dibangun pada tahun 1957.  Pada tahun 1965 rumah ini direnovasi.  Lantainya yang semula semen diganti jadi ubin.  Tapi perabot dalam kamar 2 dan 3 – lemari, tempat tidur, meja, kursi, bahkan gantungan baju di balik pintu – masih asli peninggalan masa Bung Karno tinggal di sini.

Batmus berfoto dengan spanduk bersama patung Bung Karno di halaman.  Abis itu pada bergantian foto berdua dengan patung.  Terutama Joseph yang rupanya pengagum Bung Karno.  Berapa kali dia foto narsis bersama patung Bung Karno.  Tapi irma lebih tertarik berfoto di dalam pondok di ujung depan halaman.  Kata Ninta, di pondok itu dulunya Bung Karno suka duduk-duduk memandang Gunung Sibayak.  Tapi sekarang pemandangan ke Gunung Sibayak terhalang oleh ruko warna-warni di seberang rumah pengasingan.  Huh, menyebalkan L

 

Sambil foto bersama patung Bung Karno itu kita ngebahas kenapa sih Belanda seneng banget mengasingkan para pejuang kita jauh-jauh ?  Pangeran Diponegoro ke Makassar, Tuanku Imam Bonjol ke Manado, Cut Nyak Dien ke Sumedang.  Rupanya tadi malam Adep udah bahas itu sama Wahyudi.  Selama PTD ini mereka memang sekamar, bertiga dengan Bang Idrus.  Wahyudi bilang, tujuan diasingkan itu agar pejuang dijauhkan dari massa pendukungnya.  Jadi diharapkan massa itu kehilangan semangat juang karena sudah tidak ada lagi yang memimpin.  Kepada pejuangnya sendiri diharapkan mentalnya runtuh karena terasing begitu.

 

Kunjungan ke rumah pengasingan Bung Karno ini bikin Adep ada ide untuk ngadain PTD rumah pengasingan Bung Karno.  Wah, berarti banyak banget dong.  Dari Indonesia bagian barat sampai timur.  Bengkulu, Ende, … kalau nggak salah ke Digul juga Bung Karno pernah diasingkan ya ??  Wah, bakalan berapa lama tuh PTD nya.  Berapa pula biayanya ?  Bakalan mahal banget deh.  Bisa nggak ya, dapat sponsor dari Yayasan Bung Karno ?  Hehehe

Usai kunjungan di rumah pengasingan Bung Karno di Berastagi, kita kembali ke Medan.  Dengan berat hati Joseph naik ke atas bis.  Dia masih ingin berlama-lama di sana.  Tapi gimana ya, kan udah waktunya kita balik. 

Sore kita sampai di Medan.  Langsung menuju kantor Badan Warisan Sumatra – atau nama Inggrisnya ‘Sumatra Heritage Trust’ - di jalan Sei Selayang, Medan Baru.  Dekat kantor irma di Medan yang lama nih.  Dulu pernah keliling-keliling daerah sini pake sepeda.  Banyak rumah-rumah model lama di sini.  Rumah yang dijadikan kantor BWS ini juga rumah lama.  Bang Hardi bilang, model rumah seperti ini disebut rumah jengki.  Rumah itu dibangun pada masa model jengki lagi ngetrend – sepeda jengki, celana jengki – pada tahun 1950 – 1960an.  Makanya rumahnya juga disebut rumah jengki.  (Kalau dengar kata ‘jengki’, yang terlintas di benak irma tuh ‘jengkol’ , hehehe ).

Badan Warisan Sumatra (BWS) adalah organisasi kemasyarakatan bersifat nirlaba yang didirikan oleh beberapa orang yang peduli dan prihatin akan pelestarian bangunan tua di kota Medan.  Kegiatan BWS meliputi konservasi, publikasi & dokumentasi, Jaringan Sumatra untuk Pelestarian Warisan Budaya, edukasi publik, pencarian dana, dan pembinaan sumber daya manusia dalam bidang pelestarian warisan budaya.  Sejak didirikan pada tanggal 29 April 1998, banyak hal yang telah dicapai BWS.  Antara lain memperbaiki Jembatan Kebajikan di Medan, menerbitkan katalog berjudul ‘Foto-foto Medan Tempo Doeloe’, dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan internasional di Australia, Singapura, Malaysia, Tiongkok, Belanda, Amerika Serikat dan Kanada .  Sekarang BWS sedang melakukan renovasi Titi Gantung di Medan dan menerjemahkan buku ‘Medan, Beeld van een Stad’ (Medan, Kisah Sebuah Kota).

Rumah jengki yang ditempati kantor BWS ini milik Ibu Hesti Tarekat, salah seorang pendiri BWS yang dikenal Bang Hardi di Bandung Heritage Society.  Sekarang Ibu Hesti tinggal di Belanda bersama suaminya.  Tapi Ibu Hesti tetap aktif dalam kegiatan pelestarian pusaka.

Kak Chaerul yang berasal dari Bengkulu menyambut kita dengan hidangan aneka gorengan dan minuman hangat.  Wuiiiihhh … enak banget.  Irma langsung menyerbu hidangan sementara beberapa Batmus ke kamar mandi.  Kamar mandinya gede banget.  Sama luasnya dengan kamar kost irma yang berukuran 4m x 4m !  Padahal isinya cuma bak air dan toilet.  Kamar mandi seluas itu buat apa aja ya, selain mandi ?  Nyuci baju ?  Nyuci sepeda atau motor juga bisa.  Hehehe

Begitu kita datang staff BWS langsung menggelar aneka merchandise ; mug, gantungan kunci, postcard, baju kaus.  Ada juga katalog ‘Foto-foto Medan Tempo Doeloe’ dan buku ‘Sejarah Medan Tempo Doeloe’.  Wahyudi beli ketiga baju kaus yang ditawarkan ; gambar Balaikota Medan & Gedung Bank Indonesia, rumah Tjong A Fie, dan Jembatan Kebajikan.  Dia juga beli gantungan kunci gambar Titi Gantung dan postcard foto-foto tua Medan.  Kalau untuk pelestarian sih, Wahyudi nggak segan-segan keluar uang.  Irma sendiri nggak beli apa-apa di BWS.  Katalog  ‘Foto-foto Medan Tempo Doeloe’ udah punya, sebelum berangkat PTD ini sempat ke Gedung Arsip Jakarta dan beli di sana.  Buku ‘Sejarah Medan Tempo Doeloe’ karangan Tengku Luckman Sinar SH juga irma udah punya.  Dulu minta tolong Pak Leo beliin di Istana Maimoon waktu beliau ke Medan.  Nggak beli apa-apa tapi irma dapat satu kaus yang Wahyudi beli.  Hehe, makasih ya J

Hasil penjualan merchandise digunakan sebagai sumber dana operasional BWS.  Selain itu mereka juga dapat pemasukan dari donasi pribadi dan iuran anggota.  Ada lima jenis keanggotaan BWS ; anggota biasa, anggota seumur hidup, anggota konsesi, anggota bersama dan anggota afiliasi.  Tiap jenis keanggotaan ini berbeda besar iurannya.  Anggota yang tinggal di Indonesia bayar dalam rupiah, luar Indonesia pake US$.  Iuran anggota biasa Rp 60.000/tahun.  Iuran anggota seumur hidup lima juta.  Nggak terlalu mahal kan ??  Yuk jadi anggota yuk, untuk membantu pelestarian J

BWS punya perpustakaan berisi buku-buku kuno.  Bukan cuma tentang Medan, tapi juga Sumatra tempo doeloe.  Ada buku ‘Stations en spoorbruggen op Sumatra 1876 – 1941’.  Kayaknya itu buku tentang stasiun dan jembatan kereta api di Sumatra yang dibangun pada tahun-tahun segitu ya ??  Ada juga artikel-artikel tentang aktivitas BWS dan pencapaiannya.  Di dinding dipasang guntingan artikel koran tentang perbaikan Jembatan Kebajikan.  Irma nggak masuk lebih jauh ke dalam perpustakaan abisnya baru sampai pintunya aja irma udah bersin-bersin dan gatal-gatal.  Gini nih kalau badannya sensitif sama debu.  Padahal yang namanya perpustakaan dengan buku-buku tua pasti selalu ada debu.  Ya sudah, irma nggak jadi deh lihat-lihat buku di sana L  (Sssstt … kata Wahyudi waktu dia mau foto rak buku di dalam perpustakaan, tiba-tiba pintu kaca lemari buku itu terbuka sendiri !  wuuussshh … )

irma kembali ke ruang tengah aja.  Bang Hardi lagi memutar film dokumenter tentang pelelangan tembakau di Jerman.  Kalau nggak salah nama tempatnya ‘Bremen Tabakborse’.  Film ini diperoleh dari PT PN 2.  Abis itu gantian Adep pasang film djadoel tentang Danau Toba.  Ada tuh adegan dukun Batak nari-nari ngelilingin kerbau yang mau disembelih.  Dukun itu megang tongkat dengan rambut di ujungnya.  Mungkin itu tongkat Tunggal Panaluan.  Galuh yang menterjemahkan isi film bilang dukun itu sedang melakukan upacara minta hujan.  Bahasa Belanda yang digunakan dalam film itu bahasa Belanda yang sekarang udah jarang digunakan.  Galuh sempat mengalami kesulitan dalam menterjemahkan.  Tapi garis besar ceritanya kita bisa ngerti kok.  Yah paling kalau nggak ngerti, ngarang sendiri aja.

Semula irma nontonnya sambil duduk bersila di atas karpet bergambar Winnie the Pooh.  Tapi lama-lama … kayaknya enak nih rebahan.  Jadi irma tiduran di atas karpet.  Kepala irma sangga dengan tas.  Nggak disangka-sangka, Kak Chaerul datang bawakan bantal-bantal bersarung kain batik.  Geee … asik bener.  Makin mantap aja irma tiduran di situ.  Niken dan yang lain pada ketawa ngeliat kelakuan irma.  Tapi irma ajak mereka untuk tiduran di karpet juga, pada nggak mau.  Padahal masih muat lho.  Bantalnya juga ada.  Aaah, pada jaim ya …

Hari mulai gelap ketika kita meninggalkan kantor BWS menuju Kedai Makan & Minum Tempo Doeloe  untuk makan malam.  Masih di area Medan Baru juga, dekat dari kantor BWS tepatnya di Jl. Sei Wampu.  Di bis Bang Hardi bagi-bagikan postcard tentang Medan kepada Batmus sebagai kenang-kenangan dari BWS.  Sampai di kedai kita disambut oleh para pelayan yang mengenakan atasan putih dan bawahan batik.  Pelayan yang perempuan cantik sekali kenakan bunga di telinga.

Waaah … tapi sayang, cantik-cantik pelayanannya kurang memuaskan L  Semula irma pesan kunyit asam, salah satu jenis minuman yang tercantum dalam daftar menu untuk Batmus.  Ternyata habis !  Jadi irma minta ganti dengan jus alpukat.  Lamaaaaa … jus nya nggak datang-datang.  Sampai selesai makan bahkan irma udah wira-wiri beredar dari satu ruangan ke ruangan lain untuk memotret, jus alpukatnya nggak datang juga.  Waktu irma tanya, kakak pelayan malah bawain jus melon.  Dia bilang tadi irma pesan itu.  Yeeee … yang pesan jus melon tuh Wahyudi !  Karena katanya beras kencur yang dia pesan habis, jadi Wahyudi ganti pesan jus melon.  Ternyata beras kencurnya datang, jus melon juga tetap diantar.  Lha jus alpukat irma mana ?  ‘Kakak minum ini aja ya Kak,’ pelayan tadi menyorongkan gelas berisi jus melon.  Sebel !  irma mengibaskan tangan lalu pergi meninggalkan dia.  Mending irma gabung dengan yang lain, nonton Deedee, Alice, Tia, bing! dan Linda nyanyi-nyanyi diiringi piano.  

Sementara Bat Idol Medan bernyanyi, Bu Wisda mengobrol dengan Ibu Poppy, pemilik kedai makan ini.  Bu Wisda pengen tau resep ayam goreng tempo doeloe yang tadi kita makan.  Ayam goreng ini dihidangkan dengan dedaunan gurih.  Tadinya irma kira itu daun salam.  Ternyata daun kemangi yang diberi bumbu.  Ada yang bilang, namanya seharusnya ayam goreng di balik semak-semak, hahaha.  Yang irma tau, namanya ayam goreng Aceh.  Mendengar itu seorang Batmus nyeletuk, ‘Wah, jangan-jangan pake ganja. Pantas enak.’  Kenapa ya masakan Aceh selalu saja  dikonotasikan memakai ganja ??

Ada satu jenis masakan yang baru kali ini irma temui, yaitu Urap Jantung Pisang.  Rasanya kesat-kesat di lidah.  Kalau masakan lainnya, udah pada tau lah.  Gulai asam padeh, tempe mendoan.  Sebenarnya suasana dan masakan di Kedai Makan & Minum Tempo Doeloe ini enak.  Tapi waktu kita lagi makan, listriknya turun.  AC lalu pada mati !  Haaa … jadilah kita makan sambil kipas-kipas.  Tapi tetap aja keringatan.  Katanya akhir-akhir ini memang di Sumatra sering sekali listrik mati, terutama di malam hari.  Gini nih, kalau pasokan listrik tidak mencukupi.  Terpaksalah oglangan, alias pemadaman listrik secara bergilir.

Jam sembilan malam kita kembali ke Garuda Plaza Hotel.  Deedee kasih tau kalau mau ikutan pintong duren ditunggu di lobby jam setengah sepuluh.  Waks, cuma ada waktu tiga puluh menit !  irma dan Galuh langsung buru-buru mandi.  Irma mandi seadanya aja, pulang nanti mandi lagi yang tuntas.  Kan pake air hangat ini.  Abisnya kalau nggak mandi, nggak enak banget.  Gara-gara kepanasan di kedai makan tadi, badan jadi lengkeeeett banget ! Saking lengketnya baju serasa udah jadi kulit kedua di badan.

Waktu sampai di lobby …, lho kok sepi ?  Pada ke mana ?  ‘Sssstt …’ Deedee berbisik memanggil irma dan Wahyudi untuk bergabung dengan yang lain di tepi kolam renang.  Ada apa sih ?  Oh rupanya ada surprise buat Adep.  Hari ini Adep ulang tahun ke 30.  Diam-diam Ibu Paulina dan anaknya – Raymond - pesan kue ultah.  Kuenya gedeeee banget !  Berbentuk buku terbuka dengan tulisan ‘August 20, 2006.  Dear Diary, today is my birthday. My friend and family had a big party for me.’  Adep kelihatan terharu waktu tau ada kejutan untuknya.  Potongan kue pertama diberikan kepada Ibu Paulina.  Met ultah Adep, semoga semakin sukses ya bersama Batmus J

Kue ultah Adep nggak langsung dihabiskan malam itu.  Besok pagi mau dibagi-bagikan sama peserta yang lain.  Sekarang kita menuju jalan Iskandarmuda untuk pintong duren.  Konon Adep udah siapkan budget 5 juta buat makan durian sampai mabok !  ‘Kalau nggak nyampe 5 juta, kalian tanggung sendiri !’ katanya.  Wah, bener nih ??  Kalau lima juta, gerobaknya si mamang juga bisa dibeli sekalian.  Hehehe

Ternyata cuaca kurang bersahabat malam itu.  Pas sampai di jalan Iskandarmuda, hujan lebat turun !  Bolak-balik pak kondektur mengantar kita ke tempat makan durian di halaman sebuah ruko.  Satu per satu dipayunginya.  Beruntung sekali kita.  Pak supir dan asistennya berkenan mengantar-jemput kita pintong duren.  Jadi kita nggak perlu susah lagi memikirkan kendaraan.  Kebayang deh kalau hujan-hujan gini harus cari kendaraan sendiri L

Karena hujan jadi rombongan pintong duren ini terbagi dua duduknya.  Yang satu di bawah tenda, dekat tempat durian dipajang.  Satu lagi duduk berderet di depan ruko.  Irma dan Wahyudi termasuk rombongan kedua.  Kita duduk di bangku paling ujung.  Tukang durian mulai membuka durian dan mengantarnya kepada kedua rombongan.  Hujan ternyata tidak menyurutkan semangat Batmus untuk menyantap durian.  Tiap kali tukang datang mengantar durian, pasti selalu diserbu.

Rombongan di bawah tenda seru sekali berpesta.  Tapi kelihatannya Jenny dan Josep tidak turut makan durian.  Irma bingung kenapa sejak tadi Jenny selalu memanggil Joseph dengan sebutan ‘Ayah’.  Adep bilang menurut Jenny kelakuan Joseph tuh kayak bapak-bapak makanya dia panggil seperti itu.  Kalau irma malah berpikir Jenny yang kayak ibu-ibu abisnya sejak di pesawat menuju Medan kemarin dia selalu kenakan selendang menutupi kepalanya.  ‘Mungkin minggu-minggu ini sebenarnya jadwal dia pengajian,’ Adep asal berujar.  Jenny, pengajian ?  Huahahahaha

Adep lalu pindah, gabung dengan yang lain duduk di bawah tenda.  Nggak berapa lama Tia datang lalu berdiri di samping irma dan Wahyudi.  ‘Aku baru kedua kali ini makan durian. Dan aku masih tetap nggak ngerti kok bisaa ya orang suka sekali sama durian,’ Tia berkata.  Hehe sama dong.  Irma juga nggak ngerti kok bisa-bisanya orang segitu tergila-gila sama durian.  Karena kalau menurut irma durian tuh bikin pusing.  Wahyudi juga nggak suka durian.  Padahal waktu dia di dalam kandungan, ibunya sukaaa sekali makan durian.  Eh ternyata anaknya malah anti durian !  ‘Udah eneg kali, waktu dalam perut ibu dicekokin durian mulu,’ Wahyudi bilang. 

Jam dua belas malam kita balik ke hotel.  Deedee masih ngajakin lanjut pintong nongkrong di pinggir kolam renang.  Kenapa Dee, mau ngadem ya ?  Kebanyakan makan durian memang bikin badan jadi panas.  Kasihaaan deh kamu Dee.  Kalau masih gerah juga nyemplung aja ke dalam kolam, hehehe.

... to be continued to part 4 ...

No comments:

Post a Comment