Saturday, March 3, 2007

dear rose ...

 


Tak bisa kah kau bertanya akan hal lain ? Tentang buku ku, misalnya. Atau tentang keponakanku yang sudah pandai membuat resume buku padahal usianya belum juga genap 11 tahun. Selain, ‘Kapan kau menikah ?’




Aku capek Rose. Capek dikejar pertanyaan itu sejak tiga, oh bukan empat tahun yang lalu. Aku tidak tau mana yang lebih buruk, ditanya, ‘Kenapa kau belum punya kawan (dekat) ?’, atau ‘ Kenapa kau tak kunjung menikah ?’ Rasanya kondisiku di matamu tak pernah ada yang benar. Jomblo, salah. Udah punya pacar, masih salah juga.




Kenapa Rose, kau selalu menanyakan hal itu ? Jawabannya tak dapat aku temukan di satu literatur pun. Kenapa kau - dan juga mereka – sering kali menjudge aku lah yang menunda ? Tak pernah kah terlintas dalam benakmu, ada hal-hal yang tak bisa aku kendalikan. Aku sedih Rose, kenapa selalu aku yang kau salahkan.




Baiklah Rose, kalau kau ingin tau yang sebenarnya sini aku ceritakan. Dengarlah apa yang kukatakan dan please, jangan kau sela sebelum aku usai.




Aku bertemu Dee tahun 2003. Aku menyukainya, Rose. Ia baik. Memang ia tidak alim-alim amat. Tapi ia konsisten melaksanakan rukun Islam kedua, ketiga, dan keempat (artinya keluarga kita tidak akan ada masalah dengannya. aku ingat kegemparan yang terjadi saat anakmu memutuskan untuk menikah dengan pria yang berlainan keyakinan. tapi … yah begitulah cinta). Yang kelima baru tercantum dalam daftar cita-citanya. Ia juga serius dengan ku. Sejak awal kita jalan bareng ia bilang begitu. Dengan kata lain, ia ingin menikah denganku.




Aku senang sejak awal ia sudah punya tujuan. Tidak seperti lelaki lain yang mendekatiku hanya sekedar untuk teman jalan bareng atau hang out. Aku bukan tipe orang yang suka nongkrong di café atau music room. Bagiku kegiatan yang menyenangkan untuk bersantai adalah ke toko buku, nonton di bioskop, atau olahraga kesukaanku yaitu renang dan bersepeda. Untuk melakukan semua itu aku tidak perlu teman jalan.




Dee tidak mundur meski aku cerita tentang ibuku, yang tiba-tiba membenci pacar anaknya karena berkata, ‘Ibu, saya dan irma mau menikah. Kapan kira-kira orang tua saya bisa datang dan ketemu Ibu ?’ Dulu ibuku begitu baik sama Ari. Tapi ketika Ari bilang kepadanya seperti itu sikap ia langsung berubah 180o. Bahkan Ari ke rumah pun tak lagi disapanya. Ia tidak katakan apa alasannya tapi sejak itu tiap kali aku bertanya kapan aku boleh menikah ia hanya menjawab, ‘Pokoknya bukan sekarang !’ Setelah itu mulutnya terkatup rapat. End of discussion.




Ari memutuskan untuk pergi. Kadang aku pikir ia pergi karena capek menghadapi sikap ibuku yang nggak jelas. Tapi lebih sering lagi aku berpikir kalau seandainya aku lebih keras berusaha untuk ‘membuka’ hati ibuku untuk Ari, mungkin ia tak akan pergi. Seandainya saja aku lebih mendukung ia dalam usahanya mendekati ibuku, mungkin ia yang di sini bersamaku. Tapi sudahlah. Itu sudah lewat. Delapan tahun yang lalu.




Pengalaman antara Ari dan ibuku membuatku lebih hati-hati dalam menghadapi beliau. Aku berhati-hati saat bercerita tentang Dee. Aku juga bercerita tentang keinginan Dee untuk menikah denganku tapi aku tegaskan bahwa aku tak akan melangkah tanpa restunya. Aku katakan bahwa aku tidak terburu-buru dan aku ingin ibuku mengenal Dee lebih dalam. Dee pun berhati-hati menghadapi ibuku. Saat pertemuan pertama mereka aku bisa rasakan aku begitu tegang dan was-was. Thanks God, semua berjalan baik. Ibuku bisa menerima Dee dengan baik. Hingga hari ini.




Dan bahkan ibuku yang bercerita kepada Mamak – kakak lelaki ibuku, orang yang paling dituakan di keluarga besar kami – tentang Dee dan rencana kami berdua. Tapi ternyata ketika ibuku bermaksud mengenalkan Dee kepada abangnya seperti yang Mamak pinta, tiba-tiba Dee yang mundur. ‘Aku belum siap. Aku ragu-ragu. Kamu tau, kalau aku salah menentukan langkah sekarang, seumur hidup aku akan menyesal,’ katanya setelah aku desak bertanya kenapa ia mundur.




Aku merasa hatiku patah. Aku tidak menyangka ternyata ia masih meragu. Sejak itu aku tak mau lagi membicarakan masa depan dengannya. Hingga suatu hari di tahun 2005 Dee berkata bahwa orang tuanya ingin bertemu dengan ibuku. Di rumah ibuku di Bandung. Rencananya pada tanggal 5 Desember. Pontang-panting aku siapkan segalanya. Ibuku pun sudah menghubungi saudara-saudaranya untuk temani ia saat keluarga Dee datang ; Mamak, Minto, dan kau Rose, adiknya. Aku minta tolong kakakku untuk membantu ibuku menyiapkan rumah karena aku harus bertugas ke Philippine.




Aku senang sekali ketika itu. Tugas audit di Phils jadi terasa begitu menyenangkan bagiku. ‘His parents are coming to see mine !’ ceritaku pada Karen, temanku di sana. ‘Oh great ! You’re getting married soon !’ ia melompat-lompat dan bertepuk tangan, ‘Maybe next year ?’ ‘I hope so !’ seruku. Tapi berita yang kudapat saat Dee menjemputku di bandara membuat lututku lemas hingga aku terduduk di troli pengangkut bagasi. Orangtua Dee tidak jadi ke Bandung. Adiknya sakit. Untuk kedua kalinya aku kecewa.




Setiap kali Dee membatalkan rencananya membawa orang tuanya menemui ibuku, ia tidak pernah memberitahu kapan rencana berikutnya. Aku mengubur impian akan masa depanku bersama Dee. Mungkin aku tidak akan menikah dengannya. Mungkin aku dan dia hanya sekedar teman jalan. Lebih baik aku nikmati saja saat aku masih bisa bersamanya, sekarang. Kita tidak tau apa yang akan terjadi besok. Dengan demikian aku jadi lebih santai. Meskipun pertanyaanmu – dan juga mereka – membuatku senewen. Jadi jangan salahkan kalau aku tidak pernah mau datang ke acara keluarga. Aku tidak mau ditanya-tanya lagi Rose. Apapun jawabanku, selalu aku yang salah di mata kalian.




Rose, kau pernah bertanya kepada Dee kenapa ia – seperti yang kau sering bilang – tak kunjung mengambil langkah maju. Aku ingat kau tanyakan itu tahun lalu di malam sepulang kita dari resepsi pernikahan anak bungsumu seharga puluhan juta (puluhan juta Rose ! puluhan juta ! dengan uang segitu aku bisa bayar DP rumah kecil yang aku idam-idamkan sejak SMP). Kau dengar sendiri jawaban Dee, ‘… saya dengan irma sudah tidak ada masalah lagi. Kami cocok satu sama lain. Saya hanya tidak ingin irma kesulitan nanti. Saya masih mencari-cari tempat yang nyaman untuk kami tinggal setelah menikah …’ Kau dengar sendiri Rose ? ia tidak ingin aku kesulitan. Hati dan air mataku meleleh dengar kata-katanya.




Kemudian kau pun ber blaaa bla blahhh nasehatin bahwa dulu waktu kau baru menikah tinggal di rumah orang tua, terus kontrakan, baru kemudian tinggal di rumah sendiri. Bahwa yang penting nikah dulu aja terus urusan uang bisa nanti belakangan. Sorry Rose, kami bukan seperti itu (dan kami juga bukan seperti anak-anakmu yang bela-belain berutang demi resepsi seharga rumah sederhana di pinggir Jakarta). Kami tidak ingin menyusahkan orang lain. Dee dan aku sudah pernah merasakan nggak enaknya tinggal menumpang. Makanya aku bersikeras untuk kost sejak pertama kali aku kerja.




Tahukah kau Rose, tahun lalu sekali lagi Dee bermaksud membawa orang tuanya ke Bandung untuk menemui ibuku. Aku tidak memberitahu ibuku, bahkan kakakku yang selama ini menjadi tempatku curhat juga tidak kukasih tau (sejak kejadian 5 Desember 2005 itu aku bilang pada Dee kalau nanti ia mau pertemukan orangtuanya dengan ibuku, harus dia sendiri yang bilang kepada ibuku).  Dalam hati aku berkata, paling nanti nggak jadi lagi .  Dan ternyata perasaanku benar. Orang tua Dee tidak jadi ke Bandung. Karena beberapa malam sebelumnya abangnya Dee bermimpi aneh. Tiga malam berturut-turut ia mimpi menerima pakaian pengantin dari Dee.  Seseorang menyimpulkan sesuatu yang buruk akan terjadi sehingga baiknya Dee dan keluarganya tidak pergi-pergi jauh dulu. Termasuk ke Bandung menemui ibuku.   Pada hari rencananya mereka ke Bandung terjadilah gempa di Yogya.  Bencana alam yang tak terduga karena saat itu orang-orang justru bersiap menghadapi 'batuk-batuk' Merapi yang kian intensif.




Nah Rose, masihkah kau menyalahkan aku ? Masihkah kau bilang aku yang menunda ? Tak dapatkah kau biarkan aku bersenang-senang dengan kehadiran Dee di sampingku, saat ini ? Dia begitu baik Rose. Sikapnya manis pada semua orang, bahkan kepada orang tua pun ia begitu santun. Aku tau kau jatuh hati akan budi pekertinya saat pertama kali bertemu. Aku tidak yakin calon mantu mu dulu memegangi tanganmu ketika kau turun dari mobil.




Selain sikapnya yang – pinjam istilah kakakku – maju mundur alias plin plan atau lama memutuskan, aku melihat tidak ada yang salah pada dirinya. Dia perhatian padaku. Kecuali saat ia tenggelam dalam hobi fotografinya. Saat itu yang ada di benaknya hanya lensa, diafragma, speed, dan oh entah apa lagi aku tak tau. Menyebalkan ! Bila ia memegang kamera lebih baik aku menyingkir dari hadapannya daripada sakit hati karena terabaikan. Tapi di luar itu, ia baik padaku. Ia temani aku di rumah sakit. Dua kali dalam setahun ini. Ia temani aku jalan-jalan, jauuuuhhhh hingga ke Banda Neira di Maluku sana. Dan ia selalu datang ke tempat kost ku di malam Minggu meskipun berulang kali aku bilang kita bukan lagi pasangan anak SMA yang wajib apel tiap malam Minggu. Maksudku kalau ia lelah setelah terpaksa kerja lembur di hari Sabtu lebih baik ia beristirahat saja, kita bisa ketemu dan jalan-jalan hari Minggu pagi.




Aku bisa cerita lebih banyak lagi tentang dia, tentang kegemarannya yang sama denganku yaitu membaca, tapi aku tau kau pasti bosan karena aku selalu bercerita tentang dia tiap kali kita ketemu. Intinya aku hanya ingin kau tau Rose, bahwa aku merasa begitu nyaman bersamanya. Yah, meskipun beberapa kali ia buat aku kecewa. Kadang ia buat aku melambung tinggiiiiiiiii dengan pembicaraan yang mengarah ke masa depan kami (aku senang sekali ketika ia ajak aku mencari rumah). Tapi kemudian ia membantingku dari ketinggian karena tidak berikan kepastian kapan itu akan terwujud (mungkin sekarang ia sudah lupa akan rumah yang kami pilih). Meskipun demikian, itu bukan alasan yang cukup kuat untuk aku meninggalkannya. Kenapa aku harus pergi ? Kami klop dan nyambung satu sama lain. Maka tak bisakah kau biarkan kami menikmati kebersamaan ini tanpa dikejar-kejar pertanyaanmu yang menyebalkan itu ? Ibuku saja tidak pernah mempermasalahkan kapan aku akan menikah. Umur bukan masalah baginya. Begitu juga Dee. Demikian pula aku. Bukankah kau pun melahirkan di usia 41, Rose ? Padahal ketika itu teknologi kedokteran belum maju seperti sekarang.




Mungkin memang belum saatnya. Seperti yang sering mereka katakan kepadaku, kalau memang ia jodohku maka jalanku bersamanya akan dimudahkanNya. Bila saatnya tiba maka itupun akan terasa begitu indah. Everything happens with a reason, kata temanku Ela saat aku terpuruk atas kejadian 5 Desember 2005.


Link


Aku punya waktu tak terbatas sebanyak yang Tuhan beri padaku. Aku ingin mengisinya akan hal yang tak akan aku sesali kemudian. Sudahlah Rose, pertanyaanmu hanya membuatku sebal dan uring-uringan. Lagipula untuk apa buru-buru menikah kalau kemudian buru-buru juga bercerai (I’m talking about your son, who got divorced in his fourth year of marriage). Ok ?? Mari kita berbicara hal yang lain. Ngomong-ngomong, kau masak apa tadi ? Aku lapar sekali …


 


 


The hardest thing I’ve ever done is keep believing


there’s someone in this crazy world for me


the way that people come and go thru temporary lives


my chance could come and I might never know




I used to say ‘No promises, let’s keep it simple’


but freedom only helps you say good-bye


It took a while for me to learn


that nothin’ comes for free


the price I’ve paid is high enough for me




I know I need to be in love


I know I’ve wasted too much time


I know I ask perfection of a quite imperfect world


and fool enough to think that’s what I’ll find




so here I am with pockets full of good intentions


but none of them will comfort me tonight


I’m wide awake at four a.m.


without a friend in sight


Hanging on a hope but I’m alright




(‘I Need to be in Love’ – the Carpenters)








7 comments:

  1. semua kesabaran akan berbuah kebaikan ....

    ReplyDelete
  2. lingkaran setan...
    that's what I call it
    soalnya pertanyaan nya akan muter2 di situ2 ajah

    kalo blom punya pacar, ditanya kapan punya pacar
    kalo udah punya pacar, ditanya kapan kawin
    kalo udah kawin, ditanya kapan punya anak

    cape deeeehhh...

    ReplyDelete
  3. duduk dulu dee kalau capek, sambil ngeteh-ngeteh :D

    ReplyDelete
  4. semua ada waktunya.. dan sudah ada skenarionya..
    kadang kita yang nggak cocok sama waktu atau skenarionya.. :)

    ReplyDelete
  5. nah tuh, denger nih omongannya orang yang udah married ;)

    ReplyDelete