Wednesday, March 8, 2006

Cerita dari Yogya - 10 : Museum Kereta


Hari ketiga, Senin 30 Januari 2006

Dari Kraton kita jalan kaki ke Museum Kereta.  Di sini dipajang 22 kereta koleksi Kraton.  Di sini kita ditawari pemandu museum.  Bapak pemandu ini dengan senang hati menerangkan dengan rinci kereta-kereta ini beserta sejarahnya.  ‘Mau didengar aja atau sekalian dicatat ?’ tanyanya.  Dicatat dong Pak, kan buat bahan tulisan.  Lalu beliau mengajak irma duduk di kursi di depan replika kuda putih bernama Kyai Bimosari.  Kyai Bimosari adalah kuda kesayangan Hamengku Buwono I.  Ia menggunakan pelana bernama Kyai Cekathok yang kini menjadi salah satu pusaka Kraton.  Nanti sore Kyai Cekathok akan turut dalam kirab.  Oh ya, pelana yang digunakan replika Kyai Bimosari ini bukan Kyai Cekathok yang sebenarnya, tapi hanya tiruannya saja.

Sementara irma mendengar dan mencatat penjelasan bapak pemandu, yang lain berkeliling-keliling museum.  Sampai mereka selesai keliling irma masih belum selesai mencatat.  Wah, ini mereka yang kecepatan kelilingnya, atau irma yang kelamaan mencatatnya ?  Yang benar, bapak itu panjang banget bercerita, hehe.  Nggak pake contekan lho, hapal bener dia.  Ini ceritanya …

Kereta pertama bernama Kyai Jongwiyat, yang artinya Perahu Terbang.  Kyai Jongwiyat dibuat di Belanda pada tahun 1880 dan digunakan oleh Hamengku Buwono VII.  Kereta ini ditarik 6 ekor kuda dan digunakan oleh Manggoloyudo atau Panglima Perang.  Hamengku Buwono VIII pernah menggunakan Kyai Jongwiyat untuk memimpin gladi bersih upacara Grebeg.  Kyai Jongwiyat juga digunakan oleh Putri Pembayun – putri tertua dari Hamengku Buwono X – pada pernikahannya di tanggal 21 Mei 2002.  Pada waktu itu Kyai Jongwiyat ditarik oleh 6 ekor kuda putih yang disewa dari pasukan Kavaleri di Bandung.

Kereta kedua adalah Kyai Roto Biru.  Warnanya biru dan dibuat di Belanda pada tahun 1901.  Kereta ini peninggalan Hamengku Buwono VIII dan digunakan oleh Manggoloyudo.  Dulunya jok kereta ini terbuat dari sabut kelapa, sekarang sudah diganti dengan kulit.  Sama seperti Kyai Jongwiyat, Kyai Roto Biru juga ditarik oleh 6 ekor kuda.

Kereta ketiga bernama Kyai Rejo Pawoko.  Peninggalan Hamengku Buwono VIII dan dibuat di Belanda pada tahun 1905.  Ia digunakan oleh keluarga raja dan ditarik oleh 4 ekor kuda.

Yang keempat adalah kereta Kyai Jolodoro, peninggalan Hamengku Buwono IV dan dibuat di Belanda tahun 1815.  Dengan ditarik 2 ekor kuda kereta ini digunakan oleh Panglima Perang untuk mengontrol pasukan barisannya.  Kalo sekarang, seperti Presiden berkeliling naik jip bak terbuka saat memeriksa barisan dalam suatu upacara.  Roda besi kereta ini masih asli lho.

Premili adalah kereta yang kelima.  Nah, yang ini buatan lokal nih.  Tepatnya di Semarang tahun 1921.  Kereta ini peninggalan Hamengku Buwono VIII dan digunakan khusus untuk penari-penari kraton.  Jadi mereka sudah dandan cantik-cantik, berangkat pakai kereta ini dengan ditarik 4 ekor kuda.  Sama seperti Kyai Roto Biru, joknya yang terbuat dari sabut kelapa sudah diganti dengan jok kulit.

Kereta keenam, namanya Kus No. 10 (hihi, aneh ya namanya ??).  Ia buatan Belanda tahun 1870 dan digunakan oleh Hamengku Buwono VIII untuk memperkenalkan menantu raja kepada rakyat.  Kus No. 10 ini ditarik oleh 4 ekor kuda.  Jendela kaca nya bisa dinaik-turunkan.  ‘Boleh dicoba nggak Pak ?’ tanya Wahyudi yang ingin tahu.  Heeee… nggak boleh !  Seluruh kereta di museum ini disentuh aja nggak boleh apalagi dicoba-coba …

Yang ketujuh, namanya Kapulitin.  Ia dibuat di Yogya pada tahun 1921, peninggalan Hamengku Buwono VIII.  Dengan ditarik seekor kuda kereta Kapulitin digunakan untuk berburu.  Atapnya bisa dilipat.

Yang kedelapan, kesembilan dan kesepuluh adalah kereta peninggalan Hamengku Buwono VIII yang digunakan khusus untuk istri-istri raja.  Mereka adalah Kyai Kutho Kaharjo (buatan Berlin tahun 1927), Kus Gading (buatan Belanda tahun 1901) dan Puspoko Manik (buatan Belanda tahun 1901).  Ketiga kereta ini masing-masing ditarik oleh 4 ekor kuda.

Sekarang kita memasuki ruang tengah tempat kereta-kereta istimewa.  Yang pertama adalah kereta kesebelas yang dinamakan Kangjeng Nyai Jimad.  Ini adalah kereta tertua milik kraton dan termasuk yang dikeramatkan.  Kereta ini buatan Belanda tahun 1750, dihadiahkan oleh Gubernur Jendral Jacoob Mossel kepada Hamengku Buwono I.  Kereta ini ditarik oleh 8 ekor kuda putih dan digunakan untuk penobatan raja dari Hamengku Buwono I sampai Hamengku Buwono V.  Setiap bulan Suro Kangjeng Nyai Jimad dimandikan dan airnya diperebutkan rakyat karena dipercaya membawa berkah.  Untuk tahun ini Siraman Pusaka akan dilaksanakan pada tanggal 7 – 8 Februari.

Yang kedua belas adalah kereta Kyai Mondro Juwolo, buatan Inggris tahun 1800.  Ia peninggalan Hamengku Buwono III yang merupakan ayah dari Pangeran Diponegoro.  Dengan ditarik oleh 6 ekor kuda, raja menggunakan kereta ini pada perang Pangeran Diponegoro 1825 – 1830.  kereta ini juga digunakan oleh Pangeran Diponegoro sebagai kendaraan dinas saat beliau menjadi wali Hamengku Buwono V.  Arti nama Mondro Juwolo adalah ‘Sinar menyala luas’ atau ‘Sinar Cemerlang’.

Kereta ketiga belas, Kereta Kyai Garuda Yeksa.  Inilah kereta kencana berlapis emas 18 karat !  Ia digunakan untuk penobatan raja mulai dari Hamengku Buwono VI hingga yang terakhir Hamengku Buwono X.  Kereta ini buatan Belanda tahun 1861 dan ditarik oleh 8 ekor kuda putih.  Sama seperti Kangjeng Nyai Jimad, Kyai Garuda Yeksa juga kereta yang dikeramatkan.  Trus lagi nih, pada saat penobatan raja tidak boleh didampingi oleh permaisuri atau istrinya karena sebenarnya di kereta ini raja didampingi oleh Ratu Pantai Selatan yang tidak bisa dilihat oleh sembarang orang …

Keempat belas, kereta Kyai Manik Retno yang artinya ‘Permata Manis’.  Memang manis benar ia, berwarna hitam dengan interior dalam warna merah (warna kesukaan irma J).  Kereta ini peninggalan Hamengku Buwono IV.  Ia buatan Belanda tahun 1815 dan digunakan untuk pesiar keluarga raja.

Pindah ke ruang tengah yang di seberang nih.  Kita akan ketemu dengan kereta kelima belas yang disebut kereta Roto Praloyo atau kereta jenazah.  Kereta ini dibuat di Kraton Yogya pada tahun 1938.  dari sejak dibuat sampai sekarang kereta ini baru digunakan dua kali.  Yaitu pada pemakaman Hamengku Buwono VIII dan Hamengku Buwono IX.  Seharusnya kereta ini ditarik oleh 8 ekor kuda putih.  Tetapi pada pemakaman Hamengku Buwono IX di tanggal 8 Oktober 2002, karena kesulitan memperoleh kuda putih maka digunakan kuda kraton yang punggungnya ditutupi kain putih.  Kereta berjalan dari Kraton ke pemakaman raja-raja di Imogiri dengan jarak tempuh sekitar 20 km.  Karena seluruh pengawal berjalan kaki maka perjalanan ditempuh dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore !

Yang keenambelas adalah kereta Kyai Jetayu.  Kereta ini buatan Yogya tahun 1931 dan merupakan peninggalan Hamengku Buwono VIII.  Dulu kereta ini digunakan untuk putri-putri raja menyaksikan pacuan kuda di alun-alun (sekarang masih ada nggak ya, pacuan macam itu ??).  atap kereta bisa dibuka dan ia ditarik oleh 4 ekor kuda.  Keunikan dari kereta ini ialah tidak ada tempat kusir, jadi kusir duduk di atas kuda.

Kereta ketujuh belas bernama Kyai Harsunoto.  Namanya diambil dari nama Harsuba, tokoh babad legenda.  Kereta ini dipesan oleh Hamengku Buwono VI dari Belanda tahun 1870, tapi yang menggunakannya pertama kali adalah Hamengku Buwono VII.  Kyai Harsunoto ditarik oleh 4 ekor kuda dan digunakan oleh pangeran atau putra raja dari selir.  Karena yang menggunakan putra selir, maka lambang kraton di atas atap nya kecil saja.  Putra selir ini tidak dapat menggantikan ayahnya menjadi raja.

Yang kedelapan belas adalah kereta Kyai Wimono Putro, buatan Belanda tahun 1860.  Ia peninggalan Hamengku Buwono VI.  Dengan ditarik oleh 6 ekor kuda, kereta ini digunakan oleh putra mahkota, calon pengganti raja.  Ini adalah kereta kencana sebelum Kyai Garuda Yeksa.  Coba lihat di foto sebelah, kelihatan nggak perbedaan lambang kraton di atap Kyai Wimono Putro (kiri) dengan Kyai Harsunoto (kanan) ?  Pasti nggak deh, abis kecil sih fotonya hehe … (eh, sorry lagi, fotonya nggak ada di sini ...)

Keluar dari ruang tengah kita akan bertemu dengan tiga kereta yang digunakan untuk antar-jemput tamu mancanegara.  Mereka adalah kereta Landower Wisman warna merah maroon, Landower Surabaya warna hitam  dan Landower warna hijau (pasti Nani sukanya sama kereta yang terakhir ini deh J).  Ketiga kereta ini buatan Spyker Amsterdam tahun 1901 dan merupakan peninggalan Hamengku Buwono VIII.  Masing-masing ditarik oleh 4 ekor kuda dan atapnya bisa dilipat.  Mungkin aslinya kereta ini bernama Land Rover kali ya.  Tapi berhubung lidah Jawa susah nyebutnya jadi namanya berubah menjadi Landower. 

Terakhir, kita akan menemui kereta Kyai Notopuro buatan Belanda tahun 1870.  Kereta ini peninggalan Hamengku Buwono VIII dan digunakan oleh Manggoloyudo dengan ditarik 6 ekor kuda.

Nah, habis sudah semua kereta diceritain !  Panjang bener ya.  Tapi senang jadi bisa tau detilnya.  Sekarang kita jalan-jalan keliling museum.  Selain kereta, di museum ini juga dipajang benda-benda yang berkaitan dengan kereta dan kuda.  Di dinding dipajang foto-foto kereta saat Siraman Pusaka dan pernikahan Putri Pembayun.  Pada pernikahan itu digunakan semua kereta yang terletak di luar ruang tengah kecuali kereta Kyai Kutha Kaharjo.  Putri Pembayun menggunakan kereta Kyai Jongwiyat dan diiringi kereta-kereta lain.  Kata bapak pemandu, pernikahan Putri Pembayun dengan iring-iringan kereta kuda ini lebih menarik daripada pernikahan adiknya yang menggunakan iring-iringan mobil mewah.

Di pojok belakang malah ada replika kuda kraton yang berwarna hitam.  Di istal di halaman museum juga ada dua ekor kuda.  Kuda-kuda ini digunakan untuk menarik kereta pada upacara Grebeg.  Pada saat itu 500 orang prajurit keluar dari kraton untuk melaksanakan upacara di alun-alun lalu berjalan menuju Mesjid Gede.  Berbeda dengan kota-kota lain, di Yogya tidak ada Mesjid Agung, adanya Mesjid Gede.  Punakawan menggotong gunung-gunungan buah dan sayur yang akan diperebutkan oleh rakyat untuk disimpan di atas pintu rumah sebagai tolak bala.    Kita sempat menjenguk kuda-kuda kraton tersebut.  Bapak pemandu menawarkan irma untuk memegang seekor kuda yang berwarna hitam berusia sekitar dua tahun.  ‘Pegang aja Mbak, nggak apa-apa, jinak kok,’ bapak itu mengelus-elus kepala kuda itu.  Haaa… nggak berani L  ‘Ayo Ma, lu pegang kudanya gue foto, buat bukti otentik,’ Ela udah siap-siap dengan kameranya.  Irma coba beranikan diri.  Tapi baru tangan irma terulur, kuda itu melirik dan mendengus.  Hiiiii… takut !  Nggak jadi deh ngelusnya.  Lihat aja.  Heran, padahal waktu kecil dulu kan tiap hari Minggu irma naik kuda di jalan Ganesha depan ITB.  Kok udah gede gini malah jadi takut …  

Dari museum kereta bapak pemandu tadi mengajak kita lihat-lihat koperasi abdi dalem kraton yang menjual batik.  Dari museum kereta kita jalan keluar, belok kiri melewati tukang tambal ban (tukang ini punya dua ekor kucing yang lehernya dikasi tali rapia dan diikat ke roda gerobaknya, seperti anjing peliharaan aja hihi), lalu belok kiri lagi masuk gang.  Di koperasi ini dipajang batik-batik buat hiasan dinding.  Ada juga dipajang foto-foto Sultan mulai dari Hamengku Buwono III sampai yang terakhir Hamengku Buwono X.  Kok dua Sultan yang pertama nggak ada fotonya ?  Katanya sih, ini karena kepercayaan orang dulu yang katanya kalo difoto bakalan berkurang umurnya.

Mau beli batik ?  Batik-batik di sini ada garansinya.  Jadi kalau sebelum 5 tahun batik yang kita beli rusak, kita bisa kembali ke koperasi ini untuk memperoleh gantinya.  Asalkan dapat menunjukkan bukti pembeliannya.  Di koperasi ini irma sempat berpose pura-pura sedang membatik lalu difoto Tety.  Hiiii… jadi malu deh sama pembatik beneran (baca : Tety).  Koperasi ini didirikan untuk kesejahteraan abdi dalem.  Asal tau aja, bapak yang tadi itu memperoleh gaji dari kraton hanya Rp 6.000,00 setiap bulannya !   Bisa ya, di masa susah seperti ini hidup dengan gaji segitu ??

‘Ya Mbak, yang namanya rezeki sih adaaa aja.  Seperti yang mbak-mbak kasih ke saya tadi,’ katanya bapak pemandu museum kereta.  Memang kepada museum kita hanya berkewajiban membayar tiket masuk dan izin memotret.  Sedangkan tip untuk pemandu diberikan berdasarkan kerelaan.  Dengan gaji dari kraton dan pemasukan sampingan sebagai pemandu museum bapak itu berhasil menyekolahkan ketiga putrinya hingga tamat kuliah.  Kerja dia sebagai abdi dalem berat juga lho.  Tiap hari stand-by di museum dari pagi sampai sore, Senin sampai Minggu.  Justru malah di hari libur lebih banyak pengunjungnya.

 

No comments:

Post a Comment