Wednesday, January 24, 2007

When you’re already on top, you want to be back at bottom

‘Karir pertama akan menentukan karir berikutnya,’ gitu irma dengar seorang tamu hotel berbicara dengan temannya waktu sarapan tadi pagi.  Oh, gitu ya ?  irma jadi teringat kemarin audit perusahaan yang bergerak di bidang fabrikasi.  Fabrikasi tuh pembuatan alat-alat berat, seperti boiler, turbin, penukar panas, dan bejana bertekanan lainnya.  QA Manager yang jadi wakil client ini cerita kalau dia udah bekerja di berbagai bidang selama 20 tahun.  Latar belakang pendidikannya sebenarnya sarjana informatika, tapi dia udah melanglangbuana mencoba berbagai bidang pekerjaan.   Mulai dari programmer, sales & marketing, IT engineer perusahaan minyak, fabrication manager dan terakhir di bidang quality.   


 


Dari setiap jenis pekerjaan selalu banyak yang dia dapatkan.  Ya ilmu, ya pengalaman, dan yang utama : pendapatan makin tinggi.  Yang paling berat tapi sekaligus menarik adalah sewaktu ia ditawari menjadi fabrication manager.  Bidang yang sama sekali beda dengan pendidikannya.  Tapi dia jalani juga.  Ketika itu sebagai fabrication manager ia tak ubahnya seorang wakil pemilik perusahaan.  Ia harus mengurus perizinan, persiapan pembukaan pabrik – waktu itu perusahaan tersebut belum punya pabrik di Indonesia – instalasi mesin, rekruitmen, cari order, kontrol produksi, pemastian jaminan mutu, menangani keluhan pelanggan, … pokoknya banyak deh !  irma pikir kalau dia punya modal yang cukup, bisa deh dia bikin pabrik sendiri.


 


Irma kira dengan berpindah-pindah pekerjaan dan jabatan makin tinggi – otomatis pendapatan juga naik dong – ia sudah cukup senang.  Apalagi ia telah menjabat posisi cukup tinggi di manajemen.  Gajinya pun dibayar dalam dollar atau nilai yang setara.  Tapi apa coba komentarnya ?  ‘Lebih enak jadi bawahan,’ gitu dia bilang.  ‘Jadi manager kayak gini malah susah !’  Komentar yang bikin irma tercengang.  Astaga !  Setelah meniti karir begitu tinggi dan berada di puncak, kini ia mengharapkan kembali berada di posisi bawah.  Mungkin, dia harus mendaki begitu tinggi untuk mengetahui bahwa sesungguhnya ia merasa nyaman di bawah.


 


Jadi ingat, beberapa tahun yang lalu ketika irma memutuskan untuk melepas kualifikasi sebagai auditor otomotif dan kembali menjadi auditor biasa.  Banyak yang menyayangkan keputusan irma.  Bahkan boss bule kasih tawaran irma untuk jadi manager – jelas gaji naik berlipat-lipat !  Tapi irma malah mengajukan resign.  Akhirnya setelah tarik ulur beberapa waktu, diputuskan irma ‘turun grade’ menjadi auditor biasa.  Gaji juga disesuaikan.  Turun … berapa persen gitu.


 


‘Kenapa sih, kan jadi manager gitu lho !’ sesal Teteh waktu irma cerita.  Pendapat yang bikin irma sebel.  Orang cuma lihat bahwa kalau jadi auditor otomotif itu gajinya gede, tugasnya keluar negri.  Tapi apa mereka nggak lihat bahwa kalau audit irma juga harus turut shift malam.  Kadang jam dua dini hari terkantuk-kantuk dan kedinginan kembali ke pabrik untuk audit shift tiga.  Belum lagi laporannya yang ribet dan certifier yang reseh, juga client yang nggak mau tau pengen dapat sertifikat padahal sebenarnya sistem dia belum layak untuk direkomendasikan.  Bukan cuma client sih, tapi boss di kantor juga pengennya cuma tau beres aja.  Waktu irma ngalamin kesulitan dan hambatan antara client dan partner audit, mereka nggak peduli.  Pokoknya order dilaksanakan dan client harus dapat sertifikat.  Apapun kondisinya.


 


Dua tahun irma bertahan dalam kondisi yang tidak menyenangkan itu sampai akhirnya irma putuskan that’s enough.  Irma nggak mau jadi auditor otomotif lagi.  Meskipun banyak yang menyayangkan karena sebenarnya prestasi irma cukup bagus.  Pada saat ujian sertifikasi auditor otomotif, irma salah satu dari sedikit yang straight pass.  Langsung lulus pada ujian pertama.  Yang lain ?  Dua kali, tiga kali, ada juga yang udah empat kali ujian masih belum lulus juga.  Padahal sungguh, nggak ada niat dan keinginan irma untuk menjadi auditor otomotif.


 


Memang dengan kembali menjadi auditor biasa pendapatan irma turun.  Tapi secara kualitas hidup, jadi lebih baik.  Irma merasa lebih santai, bisa kerjakan hal-hal lain yang irma suka.  Irma punya cukup banyak waktu luang untuk baca, nulis, main sepeda, atau ngelencer ke tempat-tempat yang irma suka atau bahkan mungkin belum pernah irma kunjungi.  Tentu untuk hidup dan lakukan kesukaan irma tetap perlu uang.  Sejak pendapatan menurun irma jadi lebih menghargai uang.   Uang yang ada dihemat-hemat, diatur-atur prioritasnya, ditabung untuk masa depan.  Kalau ada barang yang nggak perlu-perlu banget, ya nggak usah dibeli.  Kalau ngikutin keinginan sih nggak ada habisnya.


 


Bicara tentang uang dan pendapatan, jadi ingat seorang teman auditor yang sibuuuukk audit mulu.  Hampir tiap hari dia keluar kantor.  Hampir tiap minggu dia ke bandara.  Saking seringnya terbang kategori frequent flyer nya bukan lagi gold, tapi udah mencapai platinum.  Kalau ketemu dia di kantor irma sering becandain, ‘Wah tumben nih, menjejak daratan !’  Orangnya senyum-senyum aja.  Irma kira dia senang dengan kondisinya, karena makin sering audit otomatis pendapatan dia makin tinggi.  Di kantor irma, seorang auditor akan mendapatkan daily allowance tiap kali ia keluar kantor untuk audit.  Makin sering dia audit, makin banyak allowance yang diperolehnya.


 


Tapi apakah benar uang banyak yang dia dapat itu membuat hidupnya menyenangkan ?  Karena seringnya audit maka makin banyak report yang harus dia selesaikan.  Nggak jarang dia lembur di kantor sampai tengah malam karena dikejar deadline laporan dari boss dan client.  Bahkan saat weekend pun laptop dia bawa pulang untuk kerjakan laporan di rumah.   Sering juga irma dengar teman yang satu ini berkeluh kesah dirinya sakit-sakitan.  Bukan hanya dia tapi juga anak-anaknya.  Tiap akhir tahun premi makin tinggi excess claim dari asuransi kesehatan yang harus dia ganti.


 


Kalau udah begini, apakah sepadan yang dia dapat ?  Apakah yang dia peroleh, setimpal dengan yang hilang dari dirinya ?  irma ingat satu waktu dengan mata berkaca-kaca dia cerita anaknya ‘menolak’ dirinya ketika ia hendak memeluk sepulang tugas audit luar kota.  ‘Nggak bu, nggak.  Aku mau mbak.  Mbaaaakkkk …’   Alangkah sedihnya.


 


 


di atas, di bawah, … yang bikin enak, ya diri kita sendiri …


 


 


Nagoya Batam, 24 Januari 2007


ketika hujan di pagi hari


 


 

7 comments:

  1. wah lagi di batam ya? sekalian nyebrang ke singapur aja, aku nitip oleh2;)
    btw, ttg kerjaan yg paling penting kita bisa nikmatin. kita ngoyo kerja demi dapat penghasilan yg lebih besar, tapi badan jadi sakit2an, sama aja boong kan. yg penting, enjoy ur life!

    ReplyDelete
  2. udah di jakarta lagi, ni. dan aku nggak pernah nyeberang ke singapur abisnya selesai audit langsung balik.
    iya, pekerjaan emang penting. tapi yang lebih penting sikap kita dalam menghadapi hidup :)

    ReplyDelete
  3. setuju banget irma.. aku juga baru mengambil keputusan untuk pindah kerja sejak agustus kemarin.. tujuan utamanya adalah mengurangi tekanan pekerjaan.. aku sangat beruntung bisa punya pilihan.. banyak yang sedang sibuk tapi tidak punya kesempatan untuk mengurangi kesibukannya :-( sekarang, sore-sore sudah bisa telpon ke rumah: "bian, mama pulang sekarang ya nak.. mau temani mama belanja gak?" duh, bahagianya aku :-)

    ReplyDelete
  4. iya, beruntung banget. so sekarang lebih enjoy dong ya :D

    ReplyDelete
  5. Emang bnr.. Pas kerja kita harus berpatokan pd enjoy ga kita kerja.. Bukan keuangannya.. Nurutin duit mah ga akan ada abiznya..

    ReplyDelete
  6. Tidak selalu. banyak hal lain yg membuat hidup kita terasa menyenangkan.

    ReplyDelete
  7. yak tul ! hal-hal yang sederhana, seperti menikmati rintik hujan di pagi hari :D
    *tadi pagi pergi ngantor diiringi hujan*

    ReplyDelete