Monday, June 2, 2008

calon mahasiswa

 

Beberapa hari yang lalu yah, irma nelpon Mama.  Mengingat udah menjelang tahun ajaran baru irma nanya apa ada di antara keluarga besar yang akan masuk perguruan tinggi.  Denger-denger masuk perguruan tinggi sekarang biayanya mahaaall sekali.  Apalagi kalau lewat jalur khusus yang diadakan PTN-PTN favorit.  Seorang client cerita ia harus menyediakan uang 200 juta rupiah kalau anaknya lulus masuk fakultas kedokteran via jalur khusus.  Glek.

 

’Ada,’ Mama menyebut nama salah seorang keponakan irma.  ‘Tapi dia nggak mau masuk ITB, Unpad, atau perguruan tinggi negeri.’  irma heran mendengarnya.  Setahu irma orang tuanya seorang pengusaha kaya.  Mereka bisa sediakan uang berapaa aja untuk nyekolahin dia.  Apa dia mau kuliah di luar negeri ?

 

’Nggak juga.  Dia maunya kuliah di ...’ Mama menyebut perguruan tinggi swasta di Bandung dan Jakarta.  Lalu Mama tertawa terkekeh-kekeh, ’Dia nggak mau masuk ITB.  Katanya takut diospek.’

 

’Hah, ITB pun belum tentu mau menerima dia !’ seru irma.  irma tau keponakan yang satu itu kurang bagus adatnya.  Manja.  Semua keinginannya harus dituruti.  Kalau nggak, dia akan marah-marah.  Dia nggak segan-segan memukuli adiknya kalau iri melihat adiknya memperoleh sesuatu yang dia nggak punya.  Pernah sekali waktu irma lihat dia marah-marah sama ibunya dan berteriak, ’Biar.  Biar aja Mama mati !  Biar mampus sekalian !’

 

Astaghfirullah al adzim.  Bagaimana bisa kata-kata sekeji itu dia ucapkan kepada ibunya ?  Yang irma heran, keluarganya membiarkan saja kelakuannya yang negatif itu.  Neneknya – adiknya Mama – mengakui kalau mereka salah mendidik dia.  Maklum, cucu pertama.  Laki-laki pula.  Diperlakukan laksana raja.  Semua keinginan dituruti.  Semua kata-katanya adalah perintah.  Tapi masa’ sih dibiarini aja dia bersikap kasar gitu ??

 

Di keluarganya nggak ada satupun yang berani menegurnya.  Semua tindakannya adalah benar.  Semua kelakuannya adalah mulia.  irma yang geram melihatnya nggak pernah mau main dengannya.  Kepada keponakan-keponakan yang lain irma ingatkan untuk berhati-hati dengannya.  irma tau, dia orangnya licik.  Ia menggunakan segala cara untuk memperoleh keinginannya.  Waktu kita berlibur di Bali irma pernah melihat bagaimana ia mendorong anak yang lain agar ia bisa menguasai TV dan Play Station.  Ia nggak mau ngepel lantai yang basah akibat air yang ia tumpahkan.  Ia malah menyalahkan orang lain.

 

Bahkan ayahnya sendiri pun menyesal.  ’Aku nggak dianggap lagi oleh anakku sendiri,’ pernah ia berkata begitu.   Anak itu nggak ada rasa takut atau hormat kepadanya.  Tapi, ibunya selalu membela dia.  Meskipun anaknya memperlakukan ia dengan kasar dan keji.  irma pikir, kayaknya ya ibu ya anak sama-sama ’sakit’ deh.

 

Karena nggak menyukainya maka irma nggak peduli dengannya.  Ini nih sifat jelek irma.  irma pun nggak rela ia mendapat sesuatu yang seharusnya orang lain lebih layak mendapatkannya.  Seperti kuliah di ITB.  Meski ibunya lulusan perguruan tinggi itu.  Salah satu lulusan terbaik malahan.  Lulus dengan predikat cum laude.

 

irma juga lulusan ITB.  Bukan lulus cum laude, tapi ke laut aja.  Hehehe.  irma akui, irma bukan mahasiswa berotak cemerlang.  Sering ngulang kuliah.  Nilainya pun kebanyakan C.  Jadi kalau orang lain lulus dengan 'C’ maksudnya lulus cum laude, irma lulus dengan ’C’ rantai karbon.  Alias nilai C berderet sepanjang transkrip.  Hehehehehe.

 

irma bukan mahasiswa yang gemar nongkrong di perpustakaan, kecuali untuk nyari literatur buat ngerjain tugas.  Belajar ??  Nggg ... inilah lemahnya irma.  irma belajar karena ingin mengetahui.  Bukan untuk lulus ujian.  Jadi irma semangat belajar saat di awal semester, saat kuliah baru mulai.  Begitu memasuki tengah semester dan ujian-ujian, mulai deh maleeessss banget.  Walhasil itulah hasilnya.  Rantai karbon.

 

Juga, irma bukan mahasiswa yang gemar turut demonstrasi.  Nggak pernah ikut-ikutan mereka yang berorasi di pinggir lapangan basket tiap hari Jumat menjelang sholat Jumat.  Yang berteriak-teriak menggugat pemerintah dan merasa lebih tau apa yang harus dikerjakan pemerintah.  Mungkin karena irma muak melihat mereka yang saat kuliah berteriak-teriak menghujat, tapi setelah lulus dan bekerja justru mereka sendiri menjadi bagian dari yang mereka hujat dulu.  Menuntut nasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing, tapi begitu lulus justru perusahaan-perusahaan asing itu yang mereka segera kejar untuk melamar pekerjaan.  Yang berteriak-teriak menuntut adili para koruptor, tapi saat bekerja di BUMN mereka sendiri menjadi bagian dari yang korupsi.

 

Mungkin karena itu maka dosen-dosen irma dulu pada kalem aja menanggapi mahasiswa-mahasiswa yang berdemo itu.  ’Paling juga kalau udah lulus mereka lupa dengan idealismenya,’ gitu komentar mereka.  Mereka lebih mendorong irma dan teman-teman untuk mempelajari dan menguasai teknologi.  Teknologi untuk kebaikan manusia, bumi, dan lingkungan.  Di bangku kuliah dulu, dosen irma udah mengingatkan tentang bahaya efek gas-gas rumah kaca dan global warming.  Mereka mengajak kami mahasiswanya untuk mencari alternatif sumber energi yang lebih ramah.  ’Kita nggak bisa seterusnya bergantung pada minyak bumi,’ gitu kata seorang dosen bidang lingkungan dulu.  Dulu, 15 tahun yang lalu.  Jauh sebelum sekarang saat pemerintah dan swasta gencar-gencarnya berkoar-koar soal global warming.  Berkoar doang.  Tindakannya, yaaaaah ... masih jauh perjuangan kita !

 

Karena pendidikan dosen-dosen itulah maka irma nggak rela anak-anak yang ancur kelakuan seperti keponakan tadi masuk almamater irma.  Nggak yakin deh, dia bisa tegar berdiri saat mahasiswa-mahasiswa senior berseru menyambutnya, ’We will, we will ROCK you !’  Nggak pantas rasanya ia menyanyikan ‘We are the champion, we are the champion, no time for losers ‘cause we are the champion … of the WORLD !’ saat masa orientasi studi usai.  Ia – dan orang tuanya – bisa bayar berapapun tinggi biaya pendidikan.  Tapi apa iya, ia bisa memahami pesan dan tujuan dari pendidikan itu sendiri ?  Bukan cuma mencetak orang pintar dan nilai bagus.  Tapi yang penting, sikap mental dan budi pekerti luhur. 

 

Kampusku, rumahku

Kampusku, negeriku

Kampusku, kebebasanku

Kampusku, wahana kami

Di sana kami dibina

Menjadi manusia dewasa

Tapi kini apa yang terjadi

Kami ditindas semena-mena

Berjuta rakyat menanti tanganmu

Mereka lapar dan bau keringat

Kusampaikan salam, salam perjuangan

Kami semua cinta, cinta Indonesia

(satu lagu yang diajarin waktu ospek dulu, tahun 1992)

 

 

4 comments:

  1. Bener tuh dan itu memang kenyataan yg terlihat sehari2.
    Saat orang2 yg sewaktu jd mahasiswa senang berdemo trus berhadapan langsung dengan kenyataan hidup, luntur semua idealisme yg mereka bangga2kan :D. Makan tuh idealisme :)

    ReplyDelete
  2. nggak harus di ITB kan untuk sekolah ?? aku dulu milih ITB karena itu dekat rumah. kalau Unpad kan musti kudu ke Jatinangor :D

    ReplyDelete
  3. belajar seperti ini malah yang masuk ke otak..... :D

    ReplyDelete