Tuesday, September 16, 2008

Cerita jalan-jalan ke Pasir Pawon & Gua Pawon

Ini cerita sebenarnya udah lama mulai ditulis.  Sempat lama tertunda.  Mungkin karena irma nya banyak jalan-jalan jadi bingung mana yang mau ditulis dulu.  Baru sekarang lanjut nulis lagi.  Dan selesai.  Setelah sebelumnya panik karena filenya tiba-tiba rusak.  Meski perjalanannya dah lama, tapi nggak pernah telat kan untuk menikmati catatan perjalanan ?  Apalagi itu tulisannya irma, (hihihi pede sekali ya !)

 

 

photo-photonya ada di : http://eskrim.multiply.com/photos/album/57/Pasir_Pawon_Gua_Pawon

********************************************************************************************************************************************************

Sabtu, 23 Februari 2008

I have been to Pasir Pawon, … and Gua Pawon

irma agustina

 

 

“… main-main ke sini ya, kami senang sekali dikunjungi …”

 

 

Itu yang dibilang Siska sambil menyerahkan kartu nama Mahanagari  kepada irma saat kita berkenalan di ajang Gelar PKBL BUMN di JCC dua minggu yang lalu.  Tertulis di sana alamat website dan multiplynya.  Waktu irma melongok ke sana, hei ternyata Sabtu tanggal 23 Februari 2008 Mahanagari ngadain acara jalan-jalan ke Pasir Pawon dan Gua Pawon di Padalarang.    Langsung irma ajak Wahyudi untuk ikutan.  Sebenarnya kita udah ada acara mau ikut funbike pitapink hari Minggunya.  Tapi kayaknya acara jalan-jalan ini lebih menarik.  Funbike nya, kapan-kapan aja deh.

 

Karena hari-hari menjelang acara ini irma sibuk audit, jadi Wahyudi yang kontak-kontak Ulu dari Mahanagari untuk daftar dan bayar-bayar.  Juga ngurus transportasi Bandung – Jakarta.  irma cuma bagian beli tiket kereta Parahyangan Jakarta – Bandung.  Sabtu jam tiga pagi irma telpon Wahyudi, bangunkan dia yang malam sebelumnya baru balik dari tugas audit vendor di Cirebon.  Satu jam kemudian Wahyudi sampai di tempat kost irma dengan taksi.  Wadugh, supir taksinya ngantuk !  Berapa kali kita pergoki dia nyupir dengan mata terpejam.  Begitu sampai di Stasiun Gambir irma menghembuskan napas lega.  Kita mampir ke Dunkin untuk minum teh dan coklat hangat.  Lalu naik ke kereta Parahyangan di jalur satu.  Jam lima lewat lima belas menit kereta berangkat.

 

Sepanjang jalan Wahyudi tiduuuurrr mulu.  Dia baru sampai dari Cirebon jam setengah satu.  Cuma tidur dua jam lalu harus berangkat jemput irma. Terang aja sekarang dia ngantuk banget.  Sementara irma malah nggak bisa tidur.  Mungkin efek ngeteh ya.  Saat kereta berkelok-kelok memasuki Padalarang baru mata irma terpejam.  Nggak berapa lama kemudian irma terlompat kaget karena dengar orang-orang teriak, ‘Pak, Bu, keretanya udah sampai !’  Rupanya para porter stasiun Bandung berlompatan masuk ke dalam gerbong.  Terhuyung-huyung irma dan Wahyudi turun dari kereta.  Ke toilet dulu untuk cuci muka, lalu langsung naik angkot menuju Museum Geologi Bandung.

 

Alamak, menuju Gedung Sate jalan macet abizzz !  Ternyata ada kampanye pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat.  Para pendukung ketiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur memadati jalan.  Mereka naik motor, mobil, bahkan ada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang menyediakan bis untuk mengangkut para pendukungnya.  Juga truk tronton yang dijadikan panggung lengkap dengan sound system, perlengkapan musik dan penyanyi yang berjoget-joget.  Berisik banget !  Kendaraan lain nggak bisa melewati jalan.  irma pun mengomel, ‘Huh, baru jadi calon Gubernur dan Wakilnya aja udah bikin susah.  Gimana kalau nanti jadi Gubernur dan Wakil betulan ??!’

 

Karena angkot memutar jadi irma dan Wahyudi turun di jalan Cisangkuy lalu jalan kaki ke jalan Diponegoro.  Lewat Yoghurt Cisangkuy, kita mampir dulu ke sana.  Baru jam sembilan.  Masih ada waktu setengah jam untuk sarapan.  Wahyudi pesan gado-gado sedangkan irma makan pempek.  Hueheheheheee …… baru kali ini makan pempek cukanya manis banget kayak kuah kolak.

 

Tepat jam setengah sepuluh kita sampai di Museum Geologi Bandung.  irma pinta Wahyudi hubungi Ulu karena kita nggak tau harus kumpul di mana dan nggak ada tanda-tanda rombongan Mahanagari.  Rupanya Ulu udah di auditorium.  Kita diminta menunggu di lobby yang lengang.  Tumben, hari Sabtu begitu museum agak sepi.  Biasanya kan rame banget dengan rombongan anak sekolah.  Waktu irma ajak Wahyudi ke museum ini, dia terheran-heran lihat begitu banyak rombongan anak sekolah yang berkunjung.  Sampai berbis-bis banyaknya.  Rupanya waktu sekolah dulu Wahyudi nggak pernah ngalamin kunjungan ke museum seperti itu.  Kasihaaaaaannn …… deh lo Di !

 

‘irma ya ?’ seorang perempuan berjilbab putih menyapa.  irma mengangguk.  Rupanya itu Ulu.  Walaahh …… tadinya irma kira Ulu itu cowok !  Hih, irma tertipu !  (Dan ternyata irma bukan yang pertama yang kecele.  Belakangan Ulu bilang udah ribuan orang yang tertipu.  Hihihi, namanya Ulu menyesatkan).  Ulu lalu mengajak irma dan Wahyudi ke auditorium.  ‘Sebenarnya kan pemutaran film untuk kita jam sepuluh ya.  Jadi sekarang kita nonton film yang lain dulu aja,’ kata Ulu.  Bareng rombongan anak sekolah kita nonton film tentang pembentukan Grand Canyon.

 

Bubar rombongan anak sekolah, auditorium dipake rombongan Mahanagari.  Nggak banyak pesertanya.  Mungkin sekitar dua puluh orang.  irma bersyukur banget turut dalam rombongan kecil seperti itu.  Abisnya kalau rame banyak orang malah jadi nggak fokus acaranya.  Kita saling berkenalan.  Seorang peserta – Tita , dosen Desain Produk ITB – irma kenali sebagai keponakannya Mama Oen.  Tapi irma nggak berani nyapa karena irma lupa nama panggilannya Mama Oen yang sebenarnya.  Masa’ mau nyapa, ‘Mbak, mbak, mbak ini sodaranya Ibu Nur Handoyoputro ya, istri dari Bapak Agni yang di Departemen PU ?’  Halah, resmi bener sapaannya ??!

 

Usai perkenalan kita menonton film pendek tentang pembentukan area Bandung dan sekitarnya.  Dulunya tuh, ada Danau Purba Bandung dikelilingi gunung-gunung.  (Heee … jadi ingat uga yang diajarin guru basa Sunda waktu SD dulu, ‘… Bandung dilingkung gunung, heurin ku tangtung …’ )  Salah satu gunung itu adalah Gunung Sunda Purba.  Satu waktu gunung ini meletus.  Letusannya begitu dahsyat hingga membentuk kaldera luas.  Di dalam kaldera ini kemudian tumbuh Gunung Tangkubanparahu.  Jadi seperti Anak Krakatau yang terbentuk setelah letusan ibunya di tahun 1883.

 

Selain membentuk Gunung Tangkubanparahu, letusan Gunung Sunda Purba mengakibatkan perubahan aliran sungai Citarum ke arah yang sekarang.  Sedangkan aliran sungai Citarum purba yang terputus oleh bendungan benda-benda vulkanik muntahan Gunung Sunda Purba kini menjadi sungai Cimeta.

 

Yang menarik pada film pendek tersebut juga ada kartun legenda Sangkuriang (Lucu gambar-gambarnya.  Mengingatkan irma akan kartun Jepang).  Alkisah zaman duluuuuuuu sekali ada seorang putra mahkota Kerajaan Pajajaran bernama Sungging Perbangkara.  Suatu hari ia pergi berburu ke hutan larangan.  Di tengah perburuan ia kebelet pipis.  Nggak ada toilet umum kan di tengah hutan (hmm, mungkin juga waktu itu belum ditemukan toilet !) , jadi air seninya ditampung dalam tempurung kelapa bekas ia dan para pengawalnya minum air kelapa saat rehat.  Ternyata kemudian air seninya itu diminum oleh seekor celeng betina bernama Celeng Wayungyang.  Akibatnya celeng tersebut hamil.  (Kok bisa ??  Jangan tanya, namanya juga cerita rakyat !).  Hingga akhirnya ia melahirkan seorang bayi perempuan.

 

Saat Sungging Perbangkara berburu ke hutan larangan lagi, ia bertemu dengan bayi perempuan tersebut.  Ia bawa bayi itu ke istana dan dinamakan Dayang Sumbi.  Setelah dewasa Dayang Sumbi menjadi kembang kerajaan.  Karena asal-usulnya yang tidak jelas banyak orang yang menyalahkannya atas musibah yang dialami rakyat.  Ia lalu dibuang ke hutan larangan.  Ditemani seekor anjing jantan bernama Tumang.

 

Di hutan larangan Dayang Sumbi menenun untuk mengisi waktu.  Sekali waktu alat tenunnya yang disebut taropong jatuh dari rumah panggung tempat ia menenun.  Dasar malas, Dayang Sumbi pun berkata, ‘Wahai siapakah yang mengambilkan taropongku, jika ia perempuan akan kujadikan saudara.  Jika ia laki-laki ia akan kujadikan suamiku.’  Ternyata yang mengambilkan taropongnya adalah ……… si Tumang !

 

Janji harus ditepati.  Dayang Sumbi menikah dengan Tumang.  Dari pernikahan itu mereka mempunyai seorang anak lelaki bernama Sangkuriang.  Sangkuriang tumbuh menjadi pemuda yang cakap dan gemar berburu.  Persis seperti kakeknya, Sungging Perbangkara.

 

Sekali waktu Dayang Sumbi ingin makan hati rusa.  Ia meminta Sangkuriang untuk mencarikannya.  Pergilah Sangkuring berburu rusa didampingi si Tumang.  Heran, hari itu ia sama sekali tidak menemukan seekor rusa pun.  Karena kesal, Sangkuriang kemudian membunuh si Tumang.  Selama ini ia tidak tau bahwa Tumang adalah ayahnya.  Hatinya Tumang ia ambil dan diberikan kepada Dayang Sumbi.  Kepada ibunya ia mengaku itu adalah hati rusa.

 

Curiga karena Sangkuriang pulang seorang diri, Dayang Sumbi menanyakan ke mana si Tumang.  Karena tersudut oleh pertanyaan-pertanyaan ibunya akhirnya Sangkuriang mengaku bahwa hati yang ia bawa adalah hati si Tumang.  Bukan main marahnya Dayang Sumbi.  Sangkuriang ia pukul di kepala lalu ia usir dari hutan larangan.

 

Pergilah Sangkuriang mengembara.  Setelah bertahun-tahun ia kembali ke hutan larangan.  Di sana ia bertemu dengan Dayang Sumbi.  Ternyata, sejak ia pergi dari hutan larangan Dayang Sumbi sama sekali tidak bertambah tua.  Dan ia tidak mengenali bahwa Dayang Sumbi adalah ibunya.  Malah ia jatuh cinta dan bermaksud menikah dengannya.

 

Dayang Sumbi pun jatuh cinta kepada Sangkuriang.  Hingga ia melihat luka di kepala Sangkuriang.  Ingatlah ia bahwa Sangkuriang adalah putranya, yang ia gebuk di kepala hingga luka lalu ia usir pergi.  Tentu saja ia tidak dapat menikah dengan anaknya sendiri.  Namun karena Sangkuriang ngotot tetap ingin menikahinya, Dayang Sumbi pun mencari akal agar pernikahan itu batal.

 

Diajukanlah syarat yang tak mungkin dipenuhi Sangkuriang.  Yaitu membuat danau beserta perahu hanya dalam semalam.  Ternyata dugaannya salah.  Sangkuriang sangat sakti.  Dibantu teman-teman silumannya Sangkuriang berhasil membendung sungai hingga terbentuk danau.  Tinggal perahunya yang belum rampung.

 

Cemas melihat keberhasilan Sangkuriang, Dayang Sumbi lalu mengibar-kibarkan selendangnya yang berwarna kuning di sisi Timur.  Hal ini mengakibatkan ayam-ayam jago bangun dan berkokok.  Dikiranya fajar telah menyingsing.  Ibu-ibu pun menumbuk padi.  Kehidupan pagi telah dimulai.  Sangkuriang gagal memenuhi syarat pernikahan yang diajukan Dayang Sumbi.

 

Karena gagal, Sangkuriang marah lalu menendang perahu yang sedang ia buat.  Perahu tersebut jatuh menelungkup membentuk Gunung Tangkubanparahu.  Di gunung itu ada Kawah Ratu.  Konon ke dalam kawah itu Dayang Sumbi menceburkan diri agar tidak dikejar-kejar Sangkuriang.  Lalu, ke manakah Sangkuriang ?

 

Ngggg ……… nggak tau.  Yang jelas, Danau Purba Bandung dan Gunung Tangkubanparahu tidak terbentuk dalam semalam seperti yang dibuat Sangkuriang dan teman-teman silumannya.  Setelah pemutaran film pendek tadi, Pak Budi Brahmantyo dari Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) menjelaskan tentang terbentuknya Danau Purba Bandung berdasarkan penelitian geologis.  Ternyata dulu sebelum terbentuk Pulau Jawa, sekitar 25 juta tahun yang lalu, ada daratan Sunda Purba.  Di sebelah utaranya ada perairan Palung Cimandiri.  Sekarang perairan tersebut jadi Padalarang.  Antara Palung Cimandiri dengan daratan Sunda Purba terdapat perairan dangkal yang dinamakan Paparan Rajamandala.  Di paparan ini tumbuh terumbu karang. 

 

Dengan berjalannya waktu dan pergerakan lempeng bumi, kepulauan terumbu karang tersebut terangkat ke permukaan laut menjadi pegunungan kapur Rajamandala seperti sekarang.  Hiii … aneh juga ya, dari laut yang rendah jadi gunung yang tinggi hingga 700 meter di atas permukaan laut.  Tapi ya gitulah namanya juga peristiwa geologi.  Bekas-bekas terumbu karang dan makhluk-makhluk laut di zaman itu sekarang bisa terlihat di bebatuan yang terserak di Pasir Pawon.

 

Pergerakan lempeng bumi juga mengakibatkan pembentukan Gunung Sunda Purba dan gunung-gunung lain di sekitarnya seperti Gunung Burangrang dan Gunung Malabar.  Juga terbentuk cekungan yang kemudian menjadi Danau Purba Bandung.  Saat Gunung Sunda Purba meletus, gunung tersebut runtuh dan terbentuk kaldera Gunung Sunda Purba.  Di kaldera tersebut kemudian terbentuk Gunung Tangkubanparahu.  Sedangkan Danau Purba Bandung lama kelamaan mengering hingga akhirnya menjadi Kota Bandung yang sekarang.

 

Sekitar jam sebelas acara kita di auditorium usai.  Berikutnya acara bebas keliling-keliling Museum Geologi.  Berhubung irma udah beberapa kali ke museum ini dan juga irma ngaantuuukk banget, jadi irma nggak semangat tuk keliling museum.  Akhirnya irma ngejogrok di ruang Sejarah Kehidupan, ngeliatin fosil-fosil binatang purba kesukaan irma.

 

Pukul dua belas siang kita kumpul di mesjid samping museum untuk sholat dan makan siang.  Sebenarnya di sana tertulis dilarang makan dan minum di area mesjid.  Tapi mungkin panitia udah dapat izin dari pengurus mesjid, jadi kita bisa makan di teras samping.  Sengaja dipilih tempat itu biar nggak terlihat banyak orang.

 

Selesai makan kita bersiap-siap naik bis.  Melihat pin Bike to Work di ransel Wahyudi, seorang lelaki menyapanya.  Ia kira Wahyudi dari Bike to Work chapter Bandung.  ‘Nggak.  Saya dari Jakarta.  Ini pin saya dapat dari irma.  irma dapat dari Nirwana,’ papar Wahyudi.  Lalu kita pun kenalan.  Cowok itu bernama Gustar.  Ternyata dia juga kenal sama Nirwana.  ‘Nirwana pernah minta tolong saya cariin komponen sepeda yang murah.  Tapi saya belum sempat,’ katanya.

 

Naik ke atas bis.  Seperti biasa irma pilih tempat duduk di sini kanan.  Dapat di kursi nomor dua dari depan.  Di depan kita duduk Hanafi – Chief Designer nya Mahanagari – beserta istrinya Hilda dan putranya Maliki.  Di depan Opa Felix duduk membelakangi jalan sehingga menghadap kita-kita para peserta acara ini.  Opa Felix – nama lengkapnya Felix Feitsma - adalah tour guide special interest, pemandu wisata untuk objek yang nyeleneh alias nggak umum.  Bahkan cara beliau berpakaian pun unik.  Ala Sunda Buhun.  Mengenakan ikat kepala khas Sunda, baju kampret putih ditutupi semacam surjan warna biru, bawahan kain lurik biru sebatas lutut, dan bakiak kayu.  Bakiak tersebut tidak dilengkapi dengan tali yang menahan punggung kaki.  Ada semacam tuas yang harus dijepit oleh jempol dan telunjuk kaki agar bakiak tetap menempel pada kaki.  Punggung Opa Felix menggemblok keranjang dari anyaman.  Pada bahunya menggantung tas dari buah maja yang dikeringkan.  Tiap kali beliau jalan terdengar suara kletrek-kletrek dari tas itu, akibat goyangan aneka gantungannya yang terbuat dari biji-bijian.

 

Sepanjang jalan Opa Felix bercerita tentang tempat-tempat yang kita lewati.  Tapi mungkin karena beliau juga seorang pengajar, jadi beliau sempat juga ngajar tentang kiat-kiat dalam memandu.  ‘Bis merupakan kendaraan untuk tour yang paling nyaman.  Kita bisa berkumpul bersama-sama.  Tapi ini tidak dibutuhkan,’ beliau menunjuk televisi di atasnya.  ‘Sebaliknya, ini sangat penting,’ Opa Felix mengetuk microphone yang dipegangnya.  Oh, mungkin tv tersebut untuk menonton film ‘A Journey to Forgotten Past’ seperti dibilang dalam rundown acara jalan-jalan ke Pasir Pawon dan Gua Pawon.  Eh, ngomong-ngomong filmnya jadi diputar nggak sihh ??

 

Banyak lagi cerita Opa Felix tapi mungkin karena kekenyangan setelah makan siang irma jadi ngantuuuuuukkk sekali dan tertidur.  Wahyudi pun demikian.  Duh, jadi nggak enak dengan Opa Felix.  Tapi mata ini nggak bisa diajak kompromi.  irma baru terbangun saat bis melewati Situ Ciburuy.  ’Situ Ciburuy yang kata lagu Bubuy Bulan lauknya hese dipancing,’ Opa Felix mengutip syair satu lagu Sunda yang ngetop banget.  Opa Felix bilang memang benar ikan di sana susah dipancing.

 

Memasuki Tagogapu, Padalarang.  irma ingat dulu kalau mau ke Jakarta selalu lewat sini.  Duluuuuu waktu irma SD.  Jauh sebelum ada jalan tol Purbaleunyi.  Ingat kalau memasuki daerah ini ada tiga hal yang selalu irma temui : (1) jalan berkelok-kelok yang bikin mabok, (2) pabrik kapur kiri-kanan sepanjang jalan, (3) JAMBU AIR !

 

Iya, dulu di sini banyak sekali yang jualan jambu air.  Hampir setiap halaman rumah ada pohon jambu air di halaman.  Dan di bawah pohon itu pemilik rumah ngegelar meja buat jualan jambu air.  Jambunya merah-merah.  Ngeliatnya aja udah kebayang manis dan banyak airnya.  Seger banget.  Tapi itu dulu.  Sekarang rumah-rumah itu malah pada habis halamannya.  Nggak ada lagi pohon jambu air di pekarangan.

 

Bis berhenti.  Kita turun lalu jalan kaki mendaki.  Jalan tersebut merupakan tempat lalu lalang truk pengangkut batu-batu kapur.  Opa Felix menunjuk ke kejauhan, ’Tuuuh ... dari sini kita bisa lihat jalan tol.’  Oh rupanya itu jalan tol Purbaleunyi yang menghubungkan Bandung dengan Jakarta.  Saat jalan yang kita lalui berbelok dan makin menanjak kita diminta berhenti.  Ada apa nih ?

 

Oh rupanya Pak Budi bercerita tentang Karang Panganten.  Di seberang sana  ada pegunungan kars membentuk orang-orang sedang beriring-iring.  Sambil memandang pegunungan tersebut kita dengarkan Pak Budi bercerita.  Konon itu adalah iring-iringan orang yang akan mengiringi Sangkuriang dan Dayang Sumbi saat pernikahannya.  Makanya disebut Karang Panganten.  Tapi apakah karena pernikahan itu gagal lalu mereka jadi batu ?  Kok seperti legenda Malin Kundang ya ??

 

Pak Budi bilang, di balik Karang Panganten terdapat penggalian batu gamping besar-besaran.  Ternyata mudah saja melakukan penggalian di sini.  Cukup bermodalkan izin dari Camat setempat !  Batu gamping hasil penambangan diangkut ke pabrik-pabrik kapur untuk diolah menjadi kapur tohor (CaO).  Bukan kapur barus ya, karena kapur barus berasal dari naphtalene, salah satu fraksi minyak bumi.  Kapur tohor merupakan bahan baku industri.  Banyak digunakan dalam pembuatan cat, bahan pelapis, semen, kosmetik bahkan juga untuk pakan ternak.  Karena banyaknya permintaan maka banyak pegunungan kars ditambang untuk diambil batu gampingnya.  Pak Budi cerita satu pegunungan gamping di Yogya sudah habis ditambang.  Menyedihkan.  Apakah pegunungan kars Rajamandala akan mengalami nasib yang sama ??  Hiks. 

 

Hujan turun rintik-rintik.  Kita bergegas kembali ke bis.  Bis kembali menyusuri jalan raya Padalarang.  Kemudian berbelok masuk jalan tanah berbatu-batu dan berhenti di depan satu pabrik kapur.  Dari sana kita berjalan kaki ke Pasir Pawon.  Dalam bahasa Sunda ’Pasir’ itu artinya bukit.  Kebayang dong berarti kita akan mendaki lagi.  irma perhatikan Opa Felix sudah mengganti bakiak kayunya dengan sandal jepit.  He eh, ta’ kirain beliau akan mendaki dengan tetap memakai bakiak.

 

Seorang lelaki menghampiri Opa Felix dan Ute, asistennya.  Rupanya ia dari Snapling.  Di Museum Geologi tadi Opa Felix sempat bercerita tentang Snapling.  Snapling adalah komunitas pemuda pencinta alam dari sekitar Pasir Pawon.  Awal kegiatan mereka adalah panjat tebing.  Tau kan, di Padalarang ada Citatah yang terkenal sebagai tempat panjat tebing.  Sekarang Snapling telah menjadi Kompepar – Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata.  Bersama-sama Opa Felix dan Ute, Snapling mempopulerkan Pasir Pawon agar selamat dari penggalian habis.

 

Pendakian kita ke Pasir Pawon didampingi beberapa personal Snapling.  Mereka telah memasang bendera-bendera Snapling warna jingga cerah sebagai penanda jalan.  Kata Opa Felix, tadi mereka juga mempertimbangkan untuk membuat WC darurat terutama untuk para peserta perempuan (he eh kalau laki-laki mau pipis kan tinggal cari belakang pohon aja, hahahaha).  Begitu perhatiannya Snapling sehingga mereka sampai memikirkan hal-hal semacam itu.  Terima kasih ya.

 

Di puncak Pasir Pawon kita menjumpai stone garden alias taman batu.  Disebut demikian karena di sana banyak tonjolan-tonjolan batu sisa karstifikasi.  Hujan yang terjadi selama beribu-ribu tahun mengakibatkan erosi batuan gamping pada Pasir Pawon.  Air hujan melarutkan sebagian material dalam batuan.  Akibatnya terbentuk tonjolan-tonjolan batu seperti menhir atau stonehenge di Inggris.  Bedanya stonehenge dibangun oleh manusia, taman batu di Pasir Pawon terbentuk oleh alam.

 

Pada batu-batu di taman batu ini kita bisa melihat fosil koral dan hewan laut yang terperangkap dalam batu.  Hal ini menunjukkan bahwa jelas bahwa dulu daerah ini merupakan laut.  Tapi sekarang ?  Ia berada pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut.  Alangkah kontrasnya.  Seperti yang Tita bilang dalam blognya, 'What a weird feeling … being on top of a hill and under the sea at the same time.’ 

 

Lanjut berjalan.  Opa Felix ingatkan kita untuk berhati-hati jangan sampai menginjak tanaman.  Di Pasir Pawon itu banyak kebun milik penduduk setempat.  Opa Felix mencabut satu tanaman kacang, menunjukkan bunga dan bijinya.  ’Ini pohon kacang bogor,’ Opa Felix menunjuk tanaman kacang di tangannya.  Kacang bogor ?  Tapi ini kan kita di Padalarang ?  Opa Felix pun terkekeh, ’He he iya.  ini kacang bogor yang tumbuh di Padalarang.’

 

Hujan kembali turun.  Beberapa orang dari rombongan numpang berteduh dalam bilik-bilik bambu yang ada di kebun-kebun milik penduduk setempat.  Mungkin itu tempat mereka rehat saat kerja di kebun.  irma dan Wahyudi pun sempat masuk ke dalam salah satu bilik saat irma perlu mengganti batere kamera yang soak.  Di sana balai-balai dan potongan-potongan ranting bekas dibakar.  Mungkin bilik ini digunakan pemiliknya untuk berteduh dan menghangatkan diri saat kehujanan di kebun.  Setelah hujan agak reda kita lanjut berjalan.

 

Sebenarnya hujan cuma rintik-rintik.  Tapi cukup mengganggu perjalanan.  Kurang praktis pake payung karena kita memerlukan kedua tangan untuk berpegangan.  Jalan tanah yang kita lalui licin sekali.  irma putuskan untuk tidak memakai payung.  Sebagai ganti irma pake jas hujan.  Tapi karena hujan turun berhenti turun berhenti dan juga ternyata make jas hujan tuh ternyata malah bikin badan gerah dan keringatan, jadi jas hujannya cuma irma sampirkan di kepala.  Kayaknya lain kali mendingan pake jas hujan model ponco aja deh. 

 

Sebelum menuruni Pasir Pawon kita singgah ke satu makam yang dikeramatkan.  Tidak jelas siapa yang dimakamkan di sana tapi makam tersebut sering kali dikunjungi orang.  Biasalah, memohon berkat.  Opa Felix cerita, satu waktu saat menjelaskan tentang makam itu beliau berdiri di atas temboknya.  Tidak ada maksud apa-apa hanya sekedar agar para peserta tournya bisa melihat beliau lebih jelas.  Siapa sangka ternyata malam harinya Opa Felix ’diganggu’.  Perlu bantuan seorang paranormal untuk menghilangkan gangguan tersebut.  ’Maka dari itu sekarang saya berdiri di sini,’ Opa Felix menunjuk tempatnya berdiri.  Baru irma perhatikan alas kaki Opa Felix sudah diganti lagi.  Kali ini beliau pakai sepatu kain hitam yang membungkus kaki hingga tinggi sebetis.  Seperti sepatu yang dipakai ninja.

 

Lanjut berjalan.  Senangnya, kita berangkat dalam satu rombongan yang kompak.  Saling bantu dalam kesulitan.  Kita berpegangan tangan saat menuruni jalan yang licin.  Tessi di depan irma kerepotan karena satu tangan berpegangan pada Mila, satu lagi mengamankan kameranya.  Mungkin caranya Wahyudi bisa ditiru.  Ia memasukkan kamera ke dalam jaket.  Akibatnya perut dia jadi membuncit seperti ibu hamil, hihihi.

 

Wahyudi juga menemukan cara efektif untuk melalui turunan licin tanpa terjatuh.  Dia jalan mengangkang sehingga kakinya menjejak rumput di pinggiran jalan tanah.  Dengan demikian dia tidak akan menginjak tanah licin.  Jadi dia nggak perlu bergaya skating seperti irma dan yang lainnya.  Nggak terhitung berapa kali ada yang jatuh.  Olivier – satu-satunya peserta bule – malah sempat bermain perosotan.  Ia terpeleset lalu nggelungsur sepanjang jalan menurun.  Tapi dia malah ketawa-ketawa.  Tidak ada yang mengeluh dalam rombongan kita.  Bahkan Teh Ririn yang bawa anak kecil tetap semangat berjalan.  Juga menyemangati anaknya, peserta termuda dalam rombongan ini.  ’Lihat Kak, sepatu Kakak jadi bersih lagi kan,’ ujarnya kepada putranya.  Rumput yang basah karena hujan membersihkan sepatu kita dari lumpur.

 

Akhirnya kita sampai di jalan besar.  Di sini rombongan terbagi dua.  Satu rombongan kembali ke bis untuk diantar ke Gua Pawon.  Rombongan satu lagi menuju Gua Pawon dengan berjalan melalui turunan frustrasi.  irma dan Wahyudi memilih rombongan kedua.  Kapan lagi coba kita menjajagi turunan frustrasi ?

 

Sebenarnya namanya tanjakan frustrasi.  Tapi karena kita menuruninya jadi kali itu kita sebut turunan frustrasi.  Dinamakan tanjakan frustrasi konon karena medannya yang curam dan panjang.  Sehingga yang menyusurinya pun merasa frustrasi, kok nanjaknya nggak habis-habis.  Untuk keamanan Snapling telah memasang tali untuk kita berpegangan.

 

Ternyata irma duluan yang berjalan menuju turunan frustrasi.  ’Terus aja ikutin jalan ini.  Nanti ketemu tali yang udah dipasang Snapling,’ Opa Felix menunjuk jalan setapak di hadapan irma.  Pelan-pelan irma jalan menurun menyusuri jalan tersebut.  Di beberapa tempat yang kelihatannya licin irma akan mengubah posisi badan agak menyamping jadi bergaya skating.  Setelah beberapa saat berjalan tampaklah tikungan beserta tali merah yang dibilang Opa Felix.  irma berseru gembira.  Tapi mungkin karena terlalu gembira maka irma jadi pecah konsentrasi dan tidak memperhatikan jalan.  irma pun terpeleset jatuh ngegelungsur dengan kepala di depan.  Tidak sempat meraih semak atau rerumputan.  irma meluncur cepat dengan dengan posisi badan tengkurap.  Terdengar teriakan Wahyudi dari belakang, ’IRMAAAAAAAAAAA ...... !!!’

 

Hupppp ...... tepat sebelum meluncur melewati tikungan irma berhasil menangkap tali merahnya Snapling.  ’I got it !  I got it !  I’m okay !’ irma membalas seruan Wahyudi.  Sok keren banget ya, pake bahasa Inggris.  Hehehehehe.  Pada saat yang bersamaan dari balik tikungan muncul seorang personal Snapling membantu irma berdiri.  Pada kemeja denimnya disulam nama ’Deni Rimba’. 

 

Selanjutnya Deni menuntun irma menuruni turunan frustrasi.  Bukan, Deni bukan memegang tangan irma karena kedua tangan irma berpegangan pada tali.  Tapi Deni menjejakkan kakinya di hadapan kaki irma lalu ia bergeser selangkah demi selangkah mundur.  Jadi ke mana kaki ia melangkah, ke sana kaki irma mengikuti.  Deni berjalan mundur, irma bergerak maju.  Demikian cara ia menuntun irma melewati turunan frustrasi.  Berikutnya irma sadari ternyata untuk menuruni turunan curam seperti ini lebih enak berjalan mundur seperti yang Deni lakukan.  Kalau maju malah cenderung mau jatuh.

 

Kiranya bukan cuma Deni yang menuntun irma.  Di satu tempat (masih di turunan frustrasi) sudah menunggu personil Snapling yang lain.  Ia lanjut menuntun irma turun sementara Deni mendaki tanjakan frustrasi untuk menuntun peserta lain di belakang irma (atau yang memerlukan bantuannya).  Personil Snapling berikutnya akan menuntun irma hingga bertemu personil Snapling lainnya.  Setelah menyerahkan irma kepada personil tersebut, ia akan mendaki dan menuntun anggota rombongan berikutnya yang dituntun Deni Rimba.  Begitu seterusnya hingga terakhir irma diserahkan kepada seorang personil Snapling yang paling muda.  Ia berjaga di pos paling bawah dari turunan frustrasi.  Usianya mungkin lebih muda dari Abang Kiddie.  Ia memegang tangan irma.  Bergandengan tangan kita menuruni bagian akhir turunan frustrasi.  Saat akhir turunan sudah terlihat, ia pun berkata, ’Teh, kayaknya kalau dari sini bisa sendiri kan yah ?’  irma pun mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepadanya.  Lelaki kecil itu lalu mendaki.  Jas hujan ponconya yang warna biru tua berkibar-kibar di balik punggungnya. 

 

Di akhir turunan frustrasi ada saung.  Di sanalah irma duduk, melihat satu demi satu anggota rombongan menyelesaikan turunan frustrasi dengan berbagai gayanya.  Wahyudi berlari-lari nyaris nabrak saung karena nggak bisa ngerem.  Pak Budi juga berlari-lari turun, tapi pas irma photo kok jadinya seperti beliau sedang berjoget.  Beliau mengajak irma toss saat sampai di akhir turunan.  Sedangkan Deni dan Tika yang nyampe barengan bersorak gembira saat berhasil menyelesaikan turunan.  Oh ya, ini bukan Deni Rimba dari Snapling.  Tapi Deni yang satu kantor dengan Tika kerja di Combiphar. 

 

Lagi kita duduk-duduk di saung, tampak dua orang perempuan pake payung berjalan mendaki tanjakan frustrasi.  Santai sekali mereka berjalan.  Tapi cepat.  Tahu-tahu saja mereka sudah di puncak bukit.  Hah, kok bisa.  Nggak kelihatan kepayahan seperti kita lagi.  Pak Budi pun nyeletuk, ’Kata teteh-teteh itu, siapa bilang ini tanjakan frustrasi ?  Ini saya santai aja kok naiknya.’  Hahahaha.  Lalu Pak Budi menunjuk Pasir Masigit di kejauhan.  Tampak sebagian dari bukit tersebut sudah dikerok untuk diambil batu kapurnya.  ’Nggak tau berapa lama lagi itu bisa bertahan,’ Pak Budi bilang.  Sedih ya. 

Ternyata di saung inilah titik temu kita dengan rombongan yang naik bis.  Saat semua rombongan yang melewati turunan frustrasi telah sampai di akhir turunan, bersamaan pula dengan datangnya rombongan dari bis.  Yang pertama irma lihat adalah Hanafi menggendong Maliki dalam ransel kangoroo warna kuning di punggungnya.  Berikutnya Olivier yang menyapa, ’Ada yang lebih kotor dari saya ?’  Hahahahaha, kayaknya kita semua pada dekil belepotan lumpur.

 

Tapi meski dekil begitu nggak ada yang nggak senang.  Semua gembira.  Apalagi waktu diberitahu kalau Gua Pawon sudah di depan mata.  Kita jadi makin semangat.  Ternyata dari turunan frustrasi itu tinggal belok kanan aja.  Berjalan sekitar 100 meter, sampailah kita di Gua Pawon.  Tapi sebelum ke sana kita photo bersama dulu.  Abis itu kita jalan ke Gua Pawon.  Di depan gua ada papan nama Gua Pawon beserta penjelasan bahwa gua tersebut termasuk benda cagar budaya yang dilindungi Undang-undang no 5 tahun 1992.

 

Snapling sudah menyiapkan tali untuk membantu kita naik ke Gua Pawon.  Abis naik, lalu nyeberang pake jembatan anyaman.  Yang pertama kita temui di dalam gua adalah satu ruang besar dengan langit-langit tinggi.  Di satu dinding gua terpasang papan putih bertuliskan, ‘Ruang Utama’.  Hehehe, kayak rumah aja ya.  Tapi emang diperkirakan gua itu dulunya dipake untuk tempat tinggal Manusia Pawon.

 

Ruang utama itu gelap dan berbau guano, kotoran kelelawar.  Jika kita mendongak, tampaklah kelelawar-kelelawar itu tidur bergelantungan di langit-langit gua dengan kepala di bawah.  Kita diingatkan untuk tidak berisik karena kelelawar-kelelawar itu akan bangun dan beterbangan jika mendengar kegaduhan.  Dalam buku ’Amanat Gua Pawon’ Pak Hanang Samodra menulis ada 5 jenis kelelawar yang hidup di dalam Gua Pawon dan sekitarnya.  Mereka adalah kelelawar jenis Lalai Kembang, Cecadung Besar, Tayo Kecil, Tomusu Australi, dan Lelanai Hardwick.  Makanan mereka adalah serangga, madu, dan serbuk sari.  Kelelawar pemakan madu dan serbuk sari membantu penyerbukan tanaman, sedangkan kelelawar pemakan serangga mengendalikan penyebaran penyakit malaria karena mereka memakan nyamuk penyebar penyakit tersebut.  Namun sayang, kelelawar-kelelawar ini sering diburu untuk dibuat lauk atau obat asma.  Huukkkk ...... irma juga pengidap asma tapi sampai sekarang irma nggak pernah mau disuruh makan kelelawar !

 

Dari ruang utama kita berbelok masuk ke dalam ruang terbuka yang terang karena langit-langit gua telah runtuh.  Dindingnya coklat kemerahan seperti oker.  Cantik sekali tertimpa matahari sore.  Ada satu kamar di ruang terbuka ini, tepat di sebelah kanan dari pintu yang kita lalui dari ruang utama.  Di dalam kamar tersebut terdapat replika kerangka Manusia Pawon.  Sayang pintu pagarnya terkunci sehingga kita tidak bisa melihat replika itu.  Opa Felix berusaha mengoprek-oprek gemboknya tapi hasilnya nihil.

 

Jadi kita duduk-duduk saja di ruang terbuka itu, yang ternyata oleh penduduk setempat disebut Gua Kopi karena dulu dipakai sebagai lahan produktif bertanam kopi.  Sampai sekarang pun di sana masih banyak pohon.  Opa Felix mengeluarkan sebatang rokok.  Yang unik cara beliau menyalakan api.  Bukan dengan korek api atau lighter, tapi pakai cara manusia zaman batu.  Opa menggesek dua batu sehingga terbentuk percikan api.  Percikan tersebut akan menyambar lembaran-lembaran halus warna coklat yang sudah beliau siapkan.  Lembaran-lembaran halus tersebut dinamakan lum-lum, terbuat dari rambut-rambut halus pelepah aren yang sudah tua.  Kita asik memperhatikan Opa Felix membuat api ala purba begitu.

 

Sambil duduk-duduk Pak Budi bercerita tentang Manusia Pawon.   Pada tahun 2000, Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) melakukan pemindaian geomagnet di dalam Gua Kopi.  Pertimbangan pemilihan gua tersebut adalah karena ruangan itu paling strategis sebagai ruang hunian dan penyimpanan dibandingkan ruang-ruang lain di dalam Gua Pawon.  Hasil pemindaian menunjukkan terdapat benda-benda diamagnetik (tidak mempunyai sifat magnet) pada lapisan sedimen Gua Kopi.  Artinya, di dalam sedimen tersebut terdapat benda-benda bukan logam, seperti kayu, arang, tulang, atau benda organik lainnya. 

 

Penelitian dilanjutkan dengan penggalian parit uji.  Pak Budi bilang, penggalian ini ala geologi.  Biasa dilakukan untuk mengetahui kandungan material dalam sedimen.  Hasilnya adalah penemuan aneka perkakas dan benda budaya seperti alat batu, alat tulang, pecahan tulang binatang, gerabah, arang, dan bagian dari hewan laut seperti kepiting dan cangkang siput.  Alat batu yang ditemukan berbeda dengan batu-batuan di sekitar Gua Pawon.

 

Hasil temuan tersebut dilaporkan kepada para ahli arkeologi untuk ditindaklanjuti.  Pertengahan tahun 2003 Balai Arkeologi Bandung melakukan penggalian secara sistematik di dalam Gua Kopi.  irma ingat dulu penjelasan dari seorang guru besar arkeologi UI, penggalian ala arkeologi dilakukan secara hati-hati dan selapis demi selapis agar tidak merusak objek.  Pada setiap lapisan dilakukan pengamatan dan pencatatan.

 

Penggalian yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung menghasilkan temuan kerangka manusia lengkap dengan posisi meringkuk.  Semuanya ada dua buah tengkorak lengkap dengan rahang gigi, dan dua kerangka lengkap yang masih utuh dari kepala hingga tulang kaki.  Selain itu ditemukan pula perhiasan dari gigi ikan hiu dan taring hewan.  Pada saat penggalian Pak Lutfi Yondri – Ketua tim penggalian Balai Arkeologi Bandung – memperkirakan kerangka manusia itu berasal dari masa 11 – 10 ribu tahun yang lalu dan merupakan generasi pertama manusia mongolid.  Namun hasil uji karbon menunjukkan fosil kerangka tersebut berusia sekitar 9 ribu tahun. 

 

Tentu temuan kerangka Manusia Pawon itu menggembirakan.  Karena selama ini belum pernah ditemukan jejak manusia purba di Jawa Barat.  Selama ini sisa-sisa manusia purba banyak ditemukan di Jawa Tengah terutama Sangiran.  Tau kan, Phytecanthropus erectus yang terkenal itu ?  Diharapkan penemuan kerangka Manusia Pawon tersebut bisa menjawab pertanyaan akan karuhun urang Sunda.

 

Sekarang fosil kerangka Manusia Pawon yang asli disimpan di Balai Arkeologi Bandung.  Yang disimpan di Gua Pawon – tepatnya Gua Kopi – adalah replikanya.  Mungkin sebenarnya lebih banyak lagi fosil di Gua Pawon ini.  Cuma sayang belum dilakukan penggalian lagi.  Selama ini para ahli hanya bisa mengira-ngira kehidupan Manusia Pawon dulu.  Apakah mereka bercocok tanam, berburu berpindah-pindah, atau penjelajah.  Penemuan alat batu yang berbeda dengan batu-batuan sekitar Gua Pawon dan perhiasan gigi hiu menunjukkan bahwa Manusia Pawon telah mengadakan hubungan dengan manusia di daerah lain.  Mereka melakukan pertukaran barang. 

 

Selanjutnya kita pindah ke ruangan lain yang disebut kamar tujuh.  He eh, memang ada banyak kamar di dalam Gua Pawon.  Makanya Opa Felix bilang bisa aja gua ini dijadikan semacam hotel.  Tapi yang nginap di sana mesti hidup ala manusia gua, hehehe.

 

Di kamar tujuh ada jendela menghadap bentang alam Cibukur.  Indah pemandangannya.  Nggak heran banyak yang betah berlama-lama duduk di sana.  Gua Pawon memang banyak dikunjungi, tapi banyak pula pengunjungnya meninggalkan jejak dalam bentuk coretan-coretan di dinding.  Hih, merusak banget !  Kenapa sih orang-orang tuh nggak bisa menahan tangannya untuk berbuat iseng ?  Kalau emang gatal pengen nulis, ya kayak irma gini dong, nulis catatan perjalanan.

 

Cibukur adalah daerah yang subur dengan sumber mata air yang nggak pernah kering meski di musim kemarau.  Konon menurut legenda Sangkuriang, setelah gagal menikahi ibunya Sangkuring pun mengamuk.  Apa saja yang ada di hadapannya ia tendang sehingga porak-poranda.  Perahu yang hampir selesai jadi gunung Tangkuban Parahu.  Dapur menjadi Pasir Pawon.  Kukusan menjadi Pasir Kukusan.  Tempat beras menjadi Pasir Pabeasan.  Lumbung menjadi Pasir Leuit.  Sedangkan sisa-sisa makanan berserakan membentuk aliran sungai Cibukur.  Mungkin sisa-sisa makanan itu yang membuat Cibukur menjadi subur ya.  Di sana banyak sawah dan lahan pertanian.

 

Banyak di antara kita yang memotret pemandangan Cibukur dari jendela kamar tujuh.  Konon katanya spot ini bagus untuk bikin photo prewedding.  Tapi kebayang ribetnya manjat-manjat ke atas Gua Pawon pake kebaya.  Sampai sana pasti udah lecek dan dekil seperti sekarang ini, hehehe.  Tapi biar kucel gitu kita tetap pada semangat untuk photo-photo.  Mita yang semula menjadi model photonya Tessi malah beberapa kali diminta bergaya oleh para tukang photo lainnya.  Hihihi, Mita sampai jadi grogi sendiri.  Tapi dia bilang, ‘Asiiiiiikkkk …… banyak yang photo aku !’  Lalu Mita bergaya lagi.

 

Sambil menikmati pemandangan Cibukur tersebut kita mendengarkan Opa Felix memperkenalkan satu per satu personal Snapling yang sejak tadi mendampingi kita dari Pasir Pawon.  Opa cerita bagaimana Snapling yang semula merupakan perkumpulan pemuda (setempat) pencinta alam kemudian menjadi Kompepar – Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata.  Snapling banyak mengenalkan pentingnya menjaga kelestarian Pasir Pawon dan Gua Pawon kepada masyarakat.  Memang Gua Pawonnya telah menjadi benda cagar budaya yang dilindungi Undang-undang no 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.  Tapi Pasir Pawonnya terancam musnah karena penggalian batu gamping yang tidak habis-habisnya.  Pak Budi mengusulkan kepada Eko – juru bicaranya Snapling saat itu – untuk aktif menulis di kolom surat pembaca pada surat kabar Jawa Barat.  Kalau perlu pada harian nasional.

 

Hari makin gelap.  Sudah waktunya kita pulang.  Meski enggan rasanya meninggalkan gua ini, tapi kan kita bukan Manusia Pawon yang menghuninya.  Jalan keluar gua, meniti jembatan bambu, kita lalu berdiri di depan gua untuk photo bersama terakhir kali.  Langit memerah senja.  Cantik pemandangan.  Setelah tadi sebelumnya langit kelabu karena mendung, hujan, mendung, hujan, berganti-ganti. 

 

Lagi photo bareng gitu tiba-tiba dari dalam ruang utama Gua Pawon keluarlah ...... kelelawar !  Bukan cuma satu, dua, tapi banyak !  Beriring-iringan mereka terbang pergi mencari makan.  It is bats’ feeding time !  Kita takjub melihatnya.  Lalu seseorang berseru, ‘Ituuuu … di sana lebih banyak lagi !’  Ternyata dari jendela lain beterbangan keluar kelelawar dari dalam gua.  Kita memperhatikan mereka hingga usai semua keluar dari Gua Pawon.  Eko Snapling bilang, kalau kita lihat dari atasnya Gua Pawon akan terlihat rombongan kelelawar itu seperti membentuk jalan atau alur.

 

Lanjut berjalan.  Kita jalan kaki ke bis.  Seperti biasa selalu irma yang terakhir karena irma masih asik potret-potret.  Sampai nggak bisa photo lagi karena langit makin gelap.  Eko Snapling tawarkan ikut boncengan motornya tapi irma bilang nggak pa-pa irma jalan kaki sampai ke bis.  Meski jalannya nanjak dan berlumpur.  Tapi kan kita rame-rame.  Ada Wahyudi dan dua orang wartawan responden Kompas di Bandung.  Ngosh-ngoshan kita sampai di bis.  Tapi semua merasa senang.

 

Duduk di dalam bis.  irma ketawa dengar percakapan dua orang di belakang irma.  Entah Tessi atau Mita yang bilang, ’Ini kaos kaki, cuci atau buang aja ?’  He eh, emang kita dekil banget.  Belepotan lumpur.  Bahkan kaos kaki dalam sepatu pun tetap kena lumpur.  Jadi nggak enak nih sama bapak supir bis.  Bisnya dia jadi kotor karena kita.

 

Lengkap semua sudah di dalam bis.  Bis pun berjalan.  Beberapa personal Snapling turut dalam bis.  Bersama Opa Felix dan Ute, mereka turun di markasnya di jalan raya Padalarang.  Nggak jauh dari Pasir Pawon.  Kemudian Ulu yang duduk di kursi depan cerita-cerita.  Sebelumnya Mahanagari juga udah pernah ngadain perjalanan ke Pasir Pawon dan Gua Pawon seperti ini.  Tapi baru kali ini melihat kelelawar pergi makan keluar gua.  Perjalanan sebelumnya mereka melihat pelangi.  Selalu ada keindahan dalam setiap perjalanan.  Pak Budi pun bilang meski udah berulang kali ke Pasir Pawon dan Gua Pawon tapi baru kali itu ia melihat bats feeding time.  Bagus ya.  Karena sulit memotretnya jadi tadi kebanyakan kita hanya terdiam memandangnya.  Merekam momen tersebut dalam ingatan.  Tapi Benben sempat merekamnya pake kamera.

 

Ada lagi ?’ tanya Ulu.  Haa, maksudnya apa nih ?  Oh maksudnya ada lagi nggak yang mau nyampein kesan-kesan perjalanan ke Pasir Pawon dan Gua Pawon tadi.  Tapi mungkin karena kita udah pada capek jadi nggak ada yang sanggup cerita.  ‘Ya udah kalau gitu saya mau duduk.  Saya … capek,’ Ulu tersipu-sipu.  Hahahahaha, ya istirahat aja.  Ngerti kok, kita yang peserta aja capek apalagi Ulu yang panitia.  Waktu Ulu duduk Wahyudi ketawa-ketawa melihat kakinya, ‘Hihihi, kakinya nggak kelihatan !’  Iya, kaki Ulu tertutup lumpur.  Coklat semuanya.  Antara tali sendal gunung dengan jari-jari kakinya nggak ada beda.

 

irma tidur dalam perjalanan ke Bandung.  Bangun saat bis melintas jalan layang Pasopati.  Bis turun, memasuki jalan Dago lalu berbelok ke Dipati Ukur dan berhenti di depan DU 21, tempat tokonya Mahanagari berada.  Udah hampir jam delapan malam.  Berloncatan kita turun dari bis.  Sebagian langsung pulang setelah saling melambaikan tangan.  Dadah, dadah, sampai ketemu lagi yaaa ......

 

Kebetulan di DU 21 ada tiga kamar mandi.  Letaknya berseberangan dengan mushola.  Tanpa lihat-lihat irma langsung masuk ke dalam salah satu kamar mandi.  Nggak betah banget nih pake baju basah belepotan lumpur gini.  Untung tadi baju ganti udah diamankan dibungkus plastik dalam tas.  Cuci muka, lalu irma berganti baju.  Baju, celana, pakaian dalam, bahkan kaus kaki pun irma ganti.  Enak rasanya pakai pakaian kering dan bersih gitu.  Tadinya pengen mandi juga.  Tapi nggak enak sama yang ngantri di luar nanti irma terlalu lama pake kamar mandinya.  Keluar kamar mandi, lhaaaa ...... baru ngeh ternyata di pintu kamar mandi tertulis ’Pria’.  Pantas tadi waktu irma buka pintu kamar mandi seorang pengunjung DU 21 yang baru keluar dari mushola mengerutkan kening menatap irma.

 

Wahyudi menunggu irma di depan toko Mahanagari.  ’Ini, udah aku beliin bukunya untuk kamu,’ Wahyudi serahkan dua buku kepada irma.  Tadi waktu di Museum Geologi Benben dan Pak Budi tunjukkan buku ‚Amanat Gua Pawon’ yang berisi tulisan-tulisan tentang Pasir Pawon, Gua Pawon, dan Manusia Pawon.  Menarik bukunya.  Makanya irma pengen beli.  Nggak disangka ternyata Wahyudi dah beliin duluan.  Dia juga beliin irma buku tentang Batik Pesisir.  He eh, tau aja kalau irma suka sekali batik.  Juga kain tradisional Indonesia lainnya.

 

Gantian Wahyudi ke kamar mandi untuk berganti baju.  Mudah-mudahan dia nggak salah masuk kamar mandi seperti irma, hahaha.  irma menunggu di dalam toko Mahanagari sambil melihat-lihat.  Wiraniaga yang jaga tokonya ramah sekali.  ’Seneng ya Teh, jalan-jalannya ?’ ia bertanya.  Iya, irma mengangguk.  Penuh semangat irma cerita perjalanan tadi.  Singkat aja.  Intinya sih kita pada main porosotan di Pasir Pawon, hehehe.  ’Ugh, sebenarnya pengen euy ikutan.  Tapi saya harus jaga toko,’ kata wiraniaga itu.  Yah mungkin lain kali bisa ikutan.  Tadi Benben dan Ulu bilang, nanti-nanti Mahanagari akan adakan lagi perjalanan ke Pasir Pawon dan Gua Pawon.  Iya, nggak pernah bosan main ke sana.  Kalau bisa pun irma pengen ikutan lagi.

 

Wah, dah jam setengah sembilan !  irma dan Wahyudi bergegas keluar dari DU 21.  Kita harus cepat-cepat ke tempat travel di jalan Sumbawa.  ‘Haiiii … ke mana ?’ beberapa peserta yang lagi duduk-duduk makan di kantin DU 21 menyapa.  ’Mau pulang.  Ke Jakarta.  Udah dulu ya, buru-buru nih ngejar travel,’ jawab kita.  Lalu kita saling melambaikan tangan.  Abis gitu irma dan Wahyudi lari-lari ke jalan Dipati Ukur.  Jalan dikit sampai ketemu angkot putih yang ke Riung Bandung.  Alhamdulillah.  Cepat dapat angkotnya.  Di angkot Wahyudi nanya sama pak supir, ’Pak, lewat Baraya ?’  Supirnya pun menjawab, ’Lewat.’  Jadilah ia menurunkan kita di ....... Café Baraya ! 

 

Yeeee … ini sih bukan Baraya yang kita maksud.  Tanya-tanya sama tukang parkir di depan café yang di jalan Riau itu, dia bilang ke jalan Sumbawa pake becak aja.  Ia pun berbaik hati menyetop satu becak yang sedang melintas.  Sebenarnya tukang becak itu katanya dia mau pulang.  Tapi mau juga dia mengantar kita.

 

Dari jalan Riau belok masuk jalan Aceh.  Asik juga, dah lama nggak naik becak di Bandung.  Sepanjang perjalanan ke tempat travel itu irma berpikir jalan Sumbawa tuh di mana ya ?  Rasanya sering dengar.  Ternyata, itu jalan dekeeeeeetttt banget sama sekolah irma, SMA 5.  Hahahaha, ketahuan deh dulu irma kuper banget ya.  Nggak pernah jalan-jalan.  Sampai nama jalan di dekat sekolah sendiri aja nggak tau. 

 

Sepuluh menit menjelang jam sembilan malam kita sampai di travel.  Wahyudi mengurus pembayaran.  Sebenarnya semula kita booking untuk yang jam delapan malam.  Tapi tadi sore waktu di Gua Pawon kita pikir kayaknya nggak keburu deh pake yang jam delapan.  Jadi Wahyudi telpon travelnya dan minta digeser ke yang jam sembilan malam.  Alhamdulillah masih ada tempat.  Mungkin karena malam Minggu ya, nggak banyak orang yang ke Jakarta.  Sebaliknya malah banyak orang Jakarta yang ke Bandung.

 

Nggak berapa lama kita diminta naik ke dalam Elf warna biru.  ’Wah naik Elf.  Kalau mesinnya ada apa-apa, aku malah jadi stress sendiri.  Apalagi dulu travel ini pernah komplain mesinnya nggak ada tenaganya,’ komentar Wahyudi.  Doooh ...... sempat-sempatnya Wahyudi masih mikirin kerjaan setelah penat berjalan seharian ini.  Emang kerjaan dia bikin mesinnya Elf.  Tapi syukurlah, perjalanan ke Jakarta lancar-lancar aja.  Nggak ada macet, mesinnya nggak mogok, dan yang penting : selamat kita sampai di rumah.  Aaaah, senangnya.  Kapan-kapan kita jalan-jalan lagi ya ……

 

 

Jakarta, 16 September 2008

akhirnya selesai juga ceritanya setelah lama tertunda,

 dan panik karena filenya rusak

 

 

Referensi :

  • ‘Amanat Gua Pawon’ , Budi Brahmantyo dan T. Bachtiar, Kelompok Riset Cekungan Bandung, April 2004
  • ‘Geowisata Sejarah Bumi Bandung’ , Budi Brahmantyo, Dhian Damajani, Seruni Kusumawardhani, T. Bachtiar, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Badan Geologi Pusat Survey Geologi, 2006
  • ‘Felix Feitsma, Pemandu yang Gandrung Tradisionalisme’ , Amir Sodikin, artikel di harian Kompas tanggal 6 Juni 2008
  • Hands-out ’I have been to Pasir Pawon’ by Mahanagari
  • Penjelasan Pak Budi Brahmantyo dan Opa Felix selama acara jalan-jalan ke Pasir Pawon dan Gua Pawon

photo-photonya ada di : http://eskrim.multiply.com/photos/album/57/Pasir_Pawon_Gua_Pawon

 

 

 

 

6 comments:

  1. wah keren banget ceritanya,
    pengalaman yang mengasyikkan

    ReplyDelete
  2. he eh, kebiasaan abisnya kalau dah asik nulis nggak bisa brenti. kalau ceritanya kepanjangan ya bacanya dicicil aja dikit dikit :D

    ReplyDelete
  3. iya, baru dicicil sampai tengah....
    Daratan Sunda lebih tua dari Pulau Jawa?????
    besok kulanjut bacanya... hehehe

    ReplyDelete
  4. Seru bacanya...
    TFS Irma ya....
    Jadi kayak ikut langsung..
    :-D

    ReplyDelete
  5. hehehehe
    wadueee
    serunya ya
    tapi seram jg pas ada yg kemasukan
    eh, pak budi dosen pembimbing gw lo...
    dia jg nyaranin karstifikasi gua pawon gitu dan hubungannya dgn pencemaran....
    haaahaahaaa

    ReplyDelete