buku yang menyatukan kami

 

Akhir bulan Agustus tahun 2003, irma ditugaskan mendampingi boss besar audit di satu pabrik mesin mobil.  Usai opening meeting seorang manajer bertanya pada irma, “Bu Irma putranya berapa ?”

 

Sekarang baru ngerti kalau pertanyaan itu bentuk halus untuk mengetahui status pernikahan seseorang.

 

Dan irma pun menjawab, “Belum ada.”

“Kenapa belum ada ?” tanya manajer itu lagi.

“Karena saya belum menikah.”

“Oooh … Pak Wahyudi juga belum menikah,” ia melirik seorang lelaki di sampingnya.

 

Sejak saat itu selama audit dua hari tersebut sang manajer dan seorang temannya selalu mendekatkan irma dengan Wahyudi.  Tiap kali berganti session audit Wahyudi yang ditugaskan mengantarkan irma ke bagian yang akan diaudit.  Makan siang kita ditempatkan bersebelahan.  Lalu usai audit manajer itu memberikan irma disket berisi photo-photo irma bersama Wahyudi selama dua hari tersebut.

 

Seminggu kemudian Wahyudi sms irma.  Tanya apakah ia boleh berkunjung ke tempat kost.  Kebetulan ia sedang di rumah orang tuanya di dekat tempat kost irma.

 

Irma bilang irma lagi mau pergi nonton.  Kalau mau ketemu, di bioskop aja. 

 

Wahyudi menemui irma di bioskop.  Kita beli tiket lalu nonton sama-sama.  Lupa judul filmnya apa tapi itu film action full tembak-tembakan dan kebut-kebutan.  Bukan tipe film kesukaan irma sih.  Cuma karena irma lagi suntuk jadi pengen nonton.  Saat itu film yang paling mendingan, ya film itu.  Lainnya film-film horor serem.

 

Abis nonton Wahyudi antar irma ke tempat kost.  Setelah itu kita berpisah.

 

Saat itu Wahyudi nggak ada komentar apa-apa tentang irma.  Belakangan setelah kita jadian baru Wahyudi cerita kalau pendapat dia tentang irma waktu itu adalah, “Doohh ni cewek.  Tomboy banget sihh.  Dah rambutnya pendek cepak, nontonnya pun film jedar jeder kayak gini.  Nggak bangett deh.”

 

Mungkin sebenarnya dia males ketemu irma lagi.  Tapi karena dia dah janji minggu depannya mo jemput irma sepulang dari Bandung, jadi ia tetap menemui irma.  Hari Minggu sore menjelang Maghrib ia sudah menunggu di peron satu Stasiun Gambir. 

 

Waktunya sholat Maghrib.  Tapi mushola di Stasiun Gambir sedang direnovasi.  Irma ajak Wahyudi jalan kaki ke Mesjid Istiqlal.  Selayaknya seorang gentleman, Wahyudi bawakan ransel irma.

 

Karena irma lagi nggak sholat jadi irma duduk menunggu di pelataran mesjid.  Sambil baca buku “Ronggeng Dukuh Paruk” karangan Ahmad Tohari. 

 

Waktu Wahyudi menemui irma seusai sholat ia terkejut.  “Kamu baca buku ini ?” ia memegang buku bersampul jingga di tangan irma.

 

Iya.  Memang kenapa ?

 

“Aku juga lagi baca buku ini.  Bagus ya,” kata Wahyudi kemudian.

 

Sepanjang perjalanan pulang ke tempat kost irma kita membahas buku.  Buku karangan Ahmad Tohari itu, dan buku-buku lainnya.  Malam itu saat pulang ke rumah pendapat Wahyudi mengenai irma pun berubah.

 

Menurut dia cewek yang suka baca – apalagi baca bacaan yang bagus bukan tabloid gossip atau bacaan nggak mutu lainnya – adalah cewek yang menarik.  Dan dia nggak nyangka kalau ternyata irma tuh suka baca.  Suka banget malah.  Karena banyak buku yang udah pernah irma baca ternyata dia malah nggak tau. 

 

Sejak saat itu setiap weekend ia selalu menemui irma.  Ngajak jalan, nonton, ke toko buku, atau sekedar makan bareng sambil ngobrolin buku.  Atau hal menarik lainnya.  Kalau seandainya irma nggak membaca saat menungguinya sholat waktu itu, mungkin kita nggak kan pernah barengan sampai seperti sekarang ini.

 

So girls, don’t be afraid being bookworms.  Nggak semua cowok menilai cewek dari penampilan aja.  Jadi mo item, gendut, keriting, ya cuek aja.  Emang penting ya cewek itu harus putih, langsing, dan berambut lurus ???  Nggak kan.  Jangan mau jadi korban iklan.  Be yourself.  Be proud of your originality.