Thursday, April 19, 2007

cerpen

seorang teman komentar tulisan irma tentang mimpi yang irma alami seperti cerpen.Link  hehehe, kalau cerpen betulan irma nulisnya seperti ini nih,


 


Bertemu Ajie


 


Keesokan harinya Judy bangun siang.  Semalam ia tidak bisa tidur nyenyak.  Beberapa kali ia terbangun.  Ia tidak tau kenapa bisa begitu.  Selama ini ia tidak pernah punya masalah dengan tidur.  Tiap kali menyentuh bantal langsung leeeepp pulas sampai delapan jam kemudian.


 


Foto Andri lecek tertimpa badannya.  Tadi malam foto itu didekapnyaaaa terus seolah-olah dengan itu bisa mengembalikan Andri kepadanya.  Sekarang tatapan Andri di situ nggak teduh lagi.  Lebih pantas dibilang matanya terpicing. Bahkan fotonya pun tidak sudi memandang Judy.


 


Nomor yang anda tuju sedang berada di luar area.  Cobalah beberapa saat lagi.  Ituuuu terus yang dia dengar tiap kali mencoba menelpon Andri selepas Maghrib tadi malam.  Iih sebel banget.  Andri gitu deh.  Kalau lagi marahan handphone nya nggak diaktifin L


 


Judy enggan ngapa-ngapain.  Ia merasa dunianya habis sudah.  Dengan harapan terakhir ia meraih handphone dari samping tempat tidur.  Mudah-mudahan udah diaktifin lagi, kata hatinya ketika mendial no hp Andri.


 


Tuuutt … tuuttt … di bunyi tuuttt ke tujuh telponnya baru dijawab.


“Halo ?” suara renyah yang menjawab.


Hah, siapa nih ?  Kok suara cewek ??


“Umm … ini no telponnya Andri bukan ?” harap-harap cemas ia bertanya.  Mudah-mudahan aja salah sambung. 


“Iya. Mas Andri nya lagi di kamar mandi. Ini siapa ya ?”


 


Whatttt ???  Di kamar mandi ??  Abis ngapain dia sama cewek ini ?  Andri tuh nggak pernah izinin orang lain jawab telpon buat dia.  Dulu kalau nitip handphone ke Judy dia selalu wanti-wanti agar Judy biarinin aja walau handphonenya brisik berbunyi-bunyi.


 


Berbagai pikiran jelek melintas di benak Judy.  Aduh jangan-jangan tadi malam Andri tidur sama cewek ini makanya handphonenya dimatiin.  Semudah itu Andri mendapatkan penggantinya ?  Gileeee … kilat bener mentang-mentang tadi malam hujan.  Sehebat apa sih niy cewek sampai bisa menaklukkan hati Andri ?  Dulu sebelum jadian sama Judy kan Andri lamaaaa banget nggak punya pacar.  Kalau nggak salah sampai empat tahun.  Lha ini belum juga 24 jam kok ya udah dapat yang baru ??


 


“Haloooouuu … ???” si suara krispy itu nanya lagi.  Judy jadi senewen.  Handphone dia lempar ke tempat tidur.  Tapi karena lemparnya sembarangan jadi meleset nabrak dinding.  Handphone jatuh berderai mendarat di lantai samping tempat tidur.  Aduh … ini handphone kan baru lunas cicilannya bulan kemarin.  Sekarang rusak.  Bener-bener deh (di)putus cinta bikin hidup tulalit !


 


 


Judy memutuskan dia nggak boleh sedih berlarut-larut.  Ia pernah mengalami yang lebih berat dari kasus putus dengan Andri ini.  Kalau dulu ia bisa survive seharusnya sekarang pun ia bisa mengatasinya.  Sambil mandi Judy bernyanyi-nyanyi menghibur hati.  … obladi oblada life goes on … naa naa let the life goes on …  Tapi go on ke mana ?  Ia benar-benar merasa hatinya hampa.  Bukan hampa lagi.  Hancur lebur.  Atau malah dia udah nggak punya hati lagi ??


 


Selesai mandi Judy pakai baju kesukaannya.  Kemeja batik motif kawung.  Kalau sedih ia selalu pakai baju itu, berharap suasana hatinya akan menjadi lebih baik.  Tapi ingat baju itu pemberian Andri sepulang menengok Mbah nya di Solo, ia lalu menggantinya dengan kaus putih polos.  Sejak sekarang ia tidak mau kenakan apapun pemberian Andri.


 


Dari tempat kostnya Judy naik angkot ke Stasiun Pasar Minggu.  Semula ia putuskan untuk ke kota, di sana ada tempat nongkrong kesukaannya yaitu halaman belakang Museum Fatahilah.  Meskipun nama resminya Museum Sejarah Jakarta, Judy selalu menyebut museum itu dengan namanya yang lama.  Judy tidak pernah bosan main ke sana.  Mengagumi bangunannya yang tetap kokoh berdiri di usianya yang lebih dari 100 tahun.


 


Eh tapi kan aku kalau ke sana selalu dengan Andri, kata hati Judy waktu antri beli tiket.  Akhirnya ia mengurungkan niat jalan ke Kota.  “Bogor Pak.  Satu,” Judy menyodorkan selembar uang lima ribuan.  Setelah menerima tiket dan uang kembalian Judy berjalan ke bordes dan menunggu kereta datang dari Utara.


 


Seperti biasa kalau hari Minggu banyak orang jalan-jalan ke Bogor.  KRL[1] penuuuh banget.  Judy menyimpan ransel di depan.  Cuma orang Jakarta yang taruh tas punggung di dada.  Biasaa, menghindari tangan-tangan jahil.  Sudah sering orang kecopetan di KRL.  Judy tidak mau menjadi salah satu dari mereka.


 


Lewat stasiun Depok baru Judy dapat tempat duduk.  Ia menghembuskan napas lega.  Lumayan pegel juga berdiri selama lima belas menit tadi.  Bukan cuma berdiri sih.  Tapi juga bergoyang-goyang mengikuti irama kereta.  Kalau kereta berbelok badannya turut condong ke kiri atau ke kanan tergantung kereta beloknya ke arah mana.


 


Dari gerbong sebelah seorang ibu jalan sambil menggendong bayi.  Tangannya memegang mike.  Ia bernyanyi diiringi musik minus one dari tape di bahu.  Tape itu disusun menyatu dengan speaker dan accu sebagai sumber listriknya.


 


“… patah hati ku jadinya …” tangannya yang memegang plastik bekas bungkus pewangi digerakkan ke kiri dan ke kanan, harapkan orang memberinya uang sebagai upah ngamen.  Anaknya dalam gendongan tetap tidur tidak terganggu dengan suara keras dari speaker.


 


Ih, kok lagunya kena banget sih.  Ngeledek aku ya.  Judy merengut kesal mendengar lagu lama yang pernah dipopulerkan Rahmat Kartolo itu.  bila aku teringat akan masa yang silam.  Air mata berlinang ahh … ooh begini rasanya, kasih memutus cinta


 


Huaaaaa …. rasanya Judy ingin nangis lagi.  Untung ibu pengamen itu segera berlalu ke gerbong berikutnya.  Kalau nggak mungkin Judy akan histeris menggebukinya[2].  Apa jadinya coba kalau besok wajahnya tampil di headline news dengan judul berita ditulis besar-besar, “PUTUS CINTA, SEORANG WANITA MEMUKULI PENGAMEN DI KRL .”  Wuahhh … bisa geger keluarganya !  Ngutip istilahnya Naga Bonar, “… apa kata dunia ??!!”


 


Turun di Stasiun Bogor.  Keluar stasiun Judy berjalan ke arah taman topi.  Orang-orang Bogor menyebutnya seperti itu karena di sana banyak bangunan berbentuk topi.  Padahal nama resminya adalah Plaza Kapten Muslihat, sesuai dengan nama jalan yang terbentang dihadapannya.


 


Dari taman topi Judy berbelok kiri.  Menyusuri Jl. Kapten Muslihat, melewati Katedral hingga sampai pertigaan jalan.  Ia menyeberang lalu menyusuri trotoar di depan Istana Bogor.  Beberapa ekor Rusa Kashmir peliharaan istana mengendus-endus dari balik pagar.  Judy berhenti sebentar memperhatikan mereka.  Dalam hati ia menyesal kali itu ia tidak bawa wortel seperti biasa kalau ia ke sana.


 


Ada kenangan sendiri bagi Judy tentang rusa-rusa itu.  Waktu ia kecil Papa sering tugas ke Bogor untuk mengunjungi satu kampus perguruan tinggi negeri di kota hujan itu.  Sebagai seorang dosen dan juga peneliti, Papa sering bekerja sama dengan kampus-kampus lain.  Terutama dengan kampus di Bogor ini.  Selain karena kampus itu merupakan almamaternya, fasilitas laboratorium di sana juga lebih lengkap daripada di Bandung.


 


Pertama kali ikut Papa ke Bogor, Judy dan Mama menunggu di Kebun Raya Bogor sambil piknik  sementara Papa menemui rekan sesama peneliti di kampus seberang Kebun Raya.  Selesai makan Mama tidur-tiduran di atas tikar membaca novel.  Judy yang bosan berdiam di satu tempat mulai gatal kakinya ingin keluyuran.  Akhirnya Mama mengalah.  Ibu dan anak itu lalu jalan-jalan menyusuri Kebun Raya.  Melihat koleksi anggrek, melewati jembatan merah yang berayun-ayun kalau diseberangi, juga monumen yang didirikan Raffles untuk mengenang istrinya tercinta yang meninggal karena malaria.  Akhirnya mereka sampai ke tepi telaga dengan daun-daun teratai lebar menutupi permukaannya.  Bunga teratai warna lila mekar di antara dedaunan.  Di balik telaga teratai itu satu bangunan putih tegak berdiri.


 


“Itu istananya Presiden.  Di sana banyak rusa,” Mama menunjuk gedung putih itu.


“Mana rusanya ?” Judy kecil menjulurkan kepalanya sejauh yang ia bisa.  Tidak ada apa-apa di seberang telaga.  Hanya orang sedang duduk bersimpuh di atas batu.  Setelah besar Judy baru tau yang ia sangka orang itu ternyata patung perempuan cantik.


 


Mama mengajak Judy keluar dari Kebun Raya.  Dari gerbangnya mereka berbelok kanan.  Teruuus berjalan sampai ketemu pagar dengan lapangan rumput hijau terbentang luas di baliknya.  Sekumpulan hewan bertanduk dengan totol-totol putih di atas kulit coklat tampak bergerombol berlarian.


 


“Itu rusanya.  Mereka dari Kashmir, Pakistan,” Mama menunjuk kumpulan hewan itu.


Mata Judy kecil membesar.  Itulah hewan tercantik yang pernah dilihatnya.  Kaki-kaki mereka ramping.  Kepalanya mendongak sewaktu berlari, membuat leher mereka terlihat begitu jenjang.  Sepertinya mereka tidak sedikitpun merasa berat dengan tanduk di atas kepala. 


 


Seekor rusa memisahkan diri dari kelompok.  Ia berjalan ke arah pagar.  Matanya menatap Judy lekat-lekat.  Sampai di pagar ia menjulurkan kepala hingga sebagian keluar dari halaman.  Hidungnya bergerak kembang-kempis.


 


“Seperti Bambi !” pekik Judy kecil.  Ia teringat tokoh kartun yang pernah dilihatnya di layar tv.


“Kalau gitu panggil ia Bambi,” usul Mama.


 


Judy kecil mengulurkan tangan.  Ia bisa merasakan hidung Bambi yang basah di ujung jari-jarinya.  Rasanya aneh dan lucu.  Bambi biarkan Judy mengelus hidungnya.  Tapi hanya sebentar karena kemudian ia mundur, berbalik dan kembali bergabung dengan teman-temannya.


 


Judy kecil kecewa.  Mama menghiburnya, “Mungkin Bambi malu. Kan dia baru kenal. Judy juga kalau baru kenal orang lain kan suka malu.”


 


Mama mengajak Judy kecil kembali ke parkiran mobil.  Di sana Papa sudah menunggu.  Bersandar pada mobil sambil makan kacang rebus.  Di atas kap penutup mesin ada segelas bajigur.  Uap panas mengepul di atas bajigur.  Kelihatannya enak.


 


“Tadi aku ketemu Bambi !” teriak Judy, berlari meninggalkan Mama biar duluan sampai ke Papa.


“Oh ya ? Bambi bilang apa ?” Papa menaikkan Judy kecil duduk di atas kap mobil, di samping gelas bajigur.


“Dia nggak bilang apa-apa.”


“Oh, itu pasti karena kamu juga diam saja.”


 


Mata Judy kecil terbelalak.  Bagaimana bisa orang tua tau semua yang dilakukan anaknya ?


“Aku harus bilang apa kalau ketemu dia ?” tanyanya kemudian.


“Bilang, ‘Hai, saya Judy.’  Lebih bagus lagi kalau kamu bawakan dia wortel,” Papa tersenyum.


“Wortel ?”


“Iya. Pasti Bambi bosan makan rumput terus-terusan.”


 


Sejak itu setiap kali ke Bogor mereka selalu singgah di Cipanas untuk membeli wortel.  Bukan untuk Mama masak jadi sop tapi untuk Judy berikan kepada para Bambi di halaman Istana Bogor.


 


 


Suara gemersik rumput kering diinjak kawanan rusa menyadarkan Judy dari kenangan masa lalu.  Ia jadi kangen Mama.  Kangen Papa juga.  Aku ke Bandung aja kali ya ???  Tapi nanti apa kata Mama.  Kemarin diajakin ke Bandung aku nolak.  Sekarang malah ujug-ujug[3] ke sana.


 


Judy lanjut berjalan hingga sampai pintu masuk Kebun Raya.  Di sekitar loket banyak pedagang menawarkan dagangannya.  Jual minuman, makanan, mainan anak-anak, dan plastik hitam untuk duduk-duduk di lapangan rumput dalam Kebun Raya.


 


Setelah membeli tiket Judy masuk ke dalam Kebun Raya.  Papan informasi dan peta Kebun Raya terbentang di hadapannya.  Judy tidak miliki tujuan khusus jadi ia biarkan kakinya melangkah mengikuti orang lain.  Melewati Treub Laboratory, jembatan hingga akhirnya sampai di tanah lapang dengan bangunan café di tengah-tengah. 


 


Ada kolam kecil di satu sudut lapangan.  Daun-daun teratai lebar menutupi permukaannya.  Pelan-pelan Judy duduk bersimpuh di tepi kolam.  Dalam hati ia berharap tidak ada katak tiba-tiba melompat ke arahnya.  Judy paling takut katak.


 


Lapangan rumput yang terhampar di depan dipenuhi banyak orang.  Anak-anak bermain bola, layang-layang atau sekedar berlari-lari.  Seorang pedagang air sabun membuat gelembung-gelembung sabun di udara.  Anak-anak kecil mengerubunginya, berusaha memecah gelembung dengan ujung jari.


 


Orang-orang dewasa duduk-duduk di atas rumput.  Ada yang memang sudah niat mau piknik, bawa tikar lebar dan bekal makanan.  Ada yang duduk beralaskan plastik hitam yang banyak ditawarkan penjual baik di dalam maupun di luar Kebun Raya.  Sepasang laki-perempuan asik bermesra di hadapan Judy.  Yang cowok tidur-tiduran, berbaring dengan kepala di pangkuan ceweknya.  Sepertinya ia sedang menceritakan sesuatu yang lucu.  Ceweknya sejak tadi senyum terus.  Tangannya membelai-belai kepala cowoknya.  Sesekali tangan si cowok memainkan rambut si cewek yang tergerai sampai bahu. 


 


Huaaa … tega-teganya mereka berlaku begitu di depan aku.  Hikk hikk, Judy mulai nangis dalam hati.  Ingat dia juga pernah bersikap seperti pasangan mesra itu.  Tahun lalu ia ngintil Andri hunting foto ke Kebun Raya.  Setelah capek memotret terutama menahan napas agar kodok yang nangkring di atas daun Teratai tidak terusik, Andri datang menghampirinya yang sedang baca novel.  Brukk, Andri menjatuhkan diri.  Sama seperti pemandangan yang sekarang di hadapannya, Andri juga meletakkan kepala di pangkuan Judy.  Hanya beberapa detik kemudian ia sudah tertidur.  Judy lanjut membaca.  Dengkuran Andri tidak membuyarkan keasikannya.


 


Orang bilang kalau pacaran di Kebun Raya malah jadi bubar.  Judy tercenung.  Dulu ia tidak percaya dengan mitos itu.  Namun sekarang dengan statusnya yang balik jomblo, Judy jadi kepikiran.  Tapi … kalau orang bilang begitu, kenapa juga Kebun Raya disebut Kebun Jodo ??  Apa orang-orang yang putus cinta seperti dia akan menemukan jodoh di sini ??


 


Judy mengangkat bahu.  Ia sedang tidak ingin memikirkan cinta, jodoh dan hal-hal seputar itu.  Daripada mupeng ngeliatin pasangan mesra di Kebun Raya – bukan cuma satu, tapi banyak ! – lebih baik ia melihat koleksi hewan yang dikeringkan.  Judy bangkit lalu berjalan menuju Museum Zoologi.


 


Ternyata jalan ke Kebun Raya tidak membuat hati Judy jadi lebih baik.  Setiap sudut di sana mengingatkan ia akan Andri.  Di telaga Teratai, ia pernah memekik dan reflek memeluk Andri ketika seekor kodok melompat ke arahnya.  Di monumen Lady Raffless, Andri pernah menerangkan arti puisi dalam bahasa Inggris kuno persembahan Raffless kepada istrinya tercinta yang tertulis di sana.  Di jembatan merah, Andri menggenggam erat tangannya ketika Judy takut-takut menyeberang karena melihat sungai mengalir deras di bawah jembatan.  Dan di Museum Zoologi Andri menatapnya penuh kagum sehingga berkata, “Kamu tau banyak banget ya tentang binatang.”  Waktu kecil Judy pernah bercita-cita menjadi dokter hewan.  Fauna adalah salah satu objek bacaan yang paling diminatinya.  Bercerita tentang isi Museum Zoologi buat dia adalah hal sepele.


 


Keluar dari Museum Zoologi Judy memutuskan untuk pulang.  Jalan kaki ia ke stasiun Bogor.  Sambil menunggu kereta datang ia mampir ke Toko Donat di pojok stasiun.  Hhhh, ingat Andri lagi.  Kalau jalan-jalan ke mana-mana sama Andri meeting point nya selalu di Toko Donat.  Pemilik Toko Donat ini sukses banget mengembangkan bisnis.  Hampir di setiap mal dan fasilitas publik tokonya dapat ditemukan.  Tempatnya emang enak sih buat nongkrong.  Donat dan minumannya juga nggak mahal.


 


Sambil menikmati donat dan minuman coklat hangatnya Judy mengenang setahun yang lalu duduk di tempat yang sama bersama Andri.  Waktu itu mereka pergi ke Bogor bertujuh dengan teman-teman kantor Judy.  Ternyata tujuan mereka ke sana untuk belanja.  Satu FO[4], dua FO, Judy masih mau jalanin.  Tapi begitu mereka masuk ke FO ketiga dan yang dicari barang yang itu-itu juga, Judy mulai jenuh.  Ia bukan orang yang suka belanja.  Ia juga bukan seorang penggemar fashion.  Pakaiannya sederhana saja : celana panjang katun dan kemeja.  Kalau sudah menemukan pakaian yang disukainya dan nyaman dikenakan, maka ia tidak akan beranjak ke tempat lain.  Paling males ia survey ke tempat lain hanya untuk mencari harga yang lebih murah.


 


Jadi sewaktu kelima temannya ngubrek-ngubrek FO ketiga, Judy memutuskan untuk memisahkan diri dari rombongan.  Andri yang juga nggak telaten nemenin orang belanja dengan senang hati mendukung keputusannya.  Dengan angkot mereka ke situs Batutulis.  Ternyata prasastinya disimpan di Museum Gajah.  Jadi mereka kembali ke pusat kota, makan toge goreng, minum cincau hijau, dan akhirnya rehat di Toko Donat di pojok stasiun Bogor.  Sebelum akhirnya kembali ke Jakarta naik kereta Pakuan Ekspress yang terakhir.


 


Dari speaker diberitahukan bahwa KRL dari Jakarta memasuki stasiun Bogor.  Judy bergegas masuk ke dalam stasiun.  Begitu penumpang turun dari KRL Judy bergegas naik.  Ia harus bergerak sigap kalau ingin dapat tempat duduk di dalam kereta.  Satu tempat yang disukainya adalah di samping pintu.  Karena di sana banyak angin berseliweran sehingga asap rokok penumpang akan terbawa angin.  Jangan harap kereta bebas asap rokok.  Bahkan di bulan puasa pun masih ada penumpang yang santai merokok dalam KRL.


 


Judy berhasil mendapatkan tempat duduk yang diinginkannya.  Nggak berapa lama KRL bergerak menuju Jakarta.  Makin lama makin cepat.  Sebentar saja mereka sudah sampai di stasiun Depok.  Banyak penumpang yang turun sehingga KRL tidak terlalu padat.  Bahkan di gerbong tempat Judy tidak ada penumpang yang berdiri sama sekali.


 


Serombongan pengamen masuk dari gerbong sebelah.  Mereka terdiri dari dua orang yang main gitar, seorang pemain biola dan satu orang lagi pegang kecrekan.  Mungkin maksudnya yang terakhir itu sebagai perkusi.


 


Mereka berdiri di tengah-tengah gerbong, menghadap ke arah yang sama dengan KRL menuju.  Seorang pemain gitarnya memberikan salam sebelum mereka mulai ngamen.


 


Judy tertegun mendengar lagu yang dimainkan.  Itu adalah lagu Melayu lama yang dulu sering dinyanyikan Mama.  Sudah lama Judy tidak mendengarnya.  Ternyata masih ada anak muda sekarang yang menyukai tembang lawas negeri sendiri.


 


Alunan suara biola sebagai pengganti suara penyanyi membuat Judy terpekur.  Ia ingat salah satu kalimat dari lagu itu.  Kalimat yang dulu dianggapnya angin lalu tapi sekarang boleh jadi benar maksudnya.  Janganlah engkau percaya dengan asmara … [5]


 


Di akhir lagu pemain kecrekan ngider keliling gerbong.  Topinya ia buka dan ditadahkan untuk menampung uang saweran.  Judy memasukkan selembar uang ke dalam topi.  Sempat dilihatnya ekspresi terkejut dari wajah pemain kecrekan.  Pemain itu tersenyum dan mengangguk kecil padanya.  Judy balas dengan senyum samar.


 


Rombongan pengamen lalu pindah ke gerbong berikutnya.  KRL baru melewati Universitas Pancasila, kampus yang pernah dipakai shooting sinetron tentang perjuangan anak Betawi menjadi lebih baik daripada orangtuanya dalam hal pekerjaan dan penghasilan.  Judy tersenyum mengingat sinetron itu.  Perjuangan ?  Perasaan sinetron itu lebih banyak nunjukin si anak Betawi bingung memilih antara dua orang cewek yang suka padanya.


 


“Hai,” seseorang menyapa Judy.


Judy mendongak.  Si pemain biola tegak berdiri di hadapannya.  Ada apa nih ?


“Lu kayaknya lagi sedih.”


Judy mendengus.  Siapa bilang ?  Aku bukan sedih.  Aku hancur berkeping-keping.


 


Penumpang di sebelah Judy berdiri untuk bersiap-siap turun di stasiun berikutnya.  Si pemain biola duduk di samping Judy.  Setelah memindahkan biola ke tangan kiri ia mengulurkan tangan kanannya kepada Judy, ngajak salaman.


“Kenalin, gue Ajie.”


Judy biarkan tangan Ajie menggantung di udara.  Ia udah sering dengar berita orang dihipnotis dengan cara disentuh, baik itu salaman atau hanya sekedar tepukan di bahu.  Karena itu bawaannya curigaaa melulu kalau ada orang yang baru dikenalnya ngajak salaman.


 


Sepertinya Ajie paham kecurigaan Judy.  Ia tidak memaksa untuk bersalaman.  Tangannya kembali memegang biola.  “Gue orang baik-baik kok. Gue cuma mau bilang makasih. Lu kan yang tadi kasih noban ?”


Judy menatap Ajie heran.  “Noban ?”


 


“Iya. Dua puluh ribu. Itu elu kan ?”


Judy baru sadar tadi ia masukkan uang yang salah ke dalam topi pemain kecrekan.  Niatnya kasih seribu ternyata yang terambil dari dompet selembar dua puluh ribuan.  Dia juga nggak ngecek lagi.  Terang aja tadi si pemain kecrekan itu kaget.   


 


“Oh itu. Anggap aja itu penghargaan dari gue buat kalian,” Judy ngeles.  Nggak mungkin dia kasih tau alasan yang sebenarnya.  Masa’ mau minta uangnya dibalikin ? Jadi ya sudah direlakan saja.  Inilah akibatnya kalau jalan-jalan sewaktu hati lagi kalut.  Adaaa aja kejadian.  Untung nggak sampai membahayakan.


 


“Penghargaan ?”


“Iya, penghargaaan.  Gue suka sama lagu yang kalian mainin tadi.”


“Seroja ?”


Judy mengangguk.  “Kok lu tau lagu itu ?”


“Gue dari Medan. Nggak ada orang Medan yang nggak tau lagu Melayu.”


Mulut Judy membentuk huruf O.  Oh orang Medan toh, pantas.


 


“Gue boleh tau nama lu ? Tadi kan gue udah bilang nama gue Ajie. Wisnuaji.”


“Gue Judy.”


“Judi ?”


“Iya bacanya ‘Judi’. Tapi nulisnya pake ‘Y’, J-U-D-Y.”


Ajie tergelak.  “Nama lu aneh banget.”


 


Judy mendelik.  Ia sudah terbiasa menghadapi ekspresi aneh dari orang yang baru pertama kali mengetahui namanya.  Malah ada yang langsung mengutip bagian dari satu lagu ngetop seorang penyanyi dangdut.  Judi !  Judi ![6]


 


Akhirnya Ajie berhenti tertawa.  “Sorry ya, abis nama lu nggak kayak nama orang biasa.”


“Iya tau. Gue kan orang luar biasa.”


“Haa, berarti lu keluaran SLB[7] dong ?”


Candaan Ajie membuat Judy tertawa.  Ia merasa lebih santai.


 


“Lu sendiri, tau lagu Seroja dari mana ?”  Ajie menyelipkan sebatang rokok di bibirnya.  Ia udah bersiap menyulut korek tapi melihat dahi Judy berkerut-kerut ia urung merokok.  Kayaknya ni’ cewek anti asep rokok.


 


“Nyokap gue suka nyanyi lagu itu.”


“Pasti nyokap lu dari Sumatra.”


“He eh.”


Ajie mengantongi rokoknya.  Judy menghembus napas lega.  Paling males dia ngobrol dengan orang yang merokok.  Selain asep, bau mulut perokok juga nggak enak banget.


 


“Tadi gue tanya, lu kayaknya lagi sedih ?”


Judy menghela napas.  Hhhh …  


Dengkul Ajie menyenggol lututnya, “Putus cinta ya ?”


“Heh, kok tau ??”  ups, kenapa sih ni mulut nggak bisa kontrol omongannya ?  Ajie ini kan masih asing !  Baru aja kenal.


Ajie ketawa.  “Kelihatan lagi. Ketara banget.”


 


Judy tercenung.  Ia tau ia paling nggak bisa menutupi perasaan.  Tapi ia nggak nyangka orang yang baru kenal pun bisa baca perasaannya.


 


“Udah deh, nggak usah dipikirin. Daripada bengong mikirin cinta mending lu denger gue main biola.  Ini gue mainin khusus buat nghibur lu, ok ? Nggak usah bayar. Dengan uang yang tadi lu kasih lu boleh denger gue ngamen tiap hari selama sebulan, hehe.”


 


Ajie menjepit biola di antara bahu kiri dan dagunya.  Tak lama kemudian sebuah lagu Melayu berirama riang mengalun.  Tanpa sadar kaki Judy mengetuk-ketuk lantai gerbong mengikuti irama lagu.  Layang-layang, selayang pandang … hati dipandang, rasa bergoncang … Jangan ragu dan jangan bimbang, ini lagu Selayang Pandang [8]


 








[1] KRL = Kereta api listrik, yang dinaiki Judy ini jurusan Kota-Bogor.



[2] Hihihi … kartun banget ya.  Sebenarnya sih cuma ingin menunjukkan Judy kesindir banget sama lagu “Patah Hati” itu



[3] Ujug-ujug = tiba-tiba, bahasa Sunda



[4] FO = Factory Outlet, konon harga pakaian di sini lebih murah daripada pertokoan lain macem Mall apalagi butik



[5] dari lagu ‘Seroja’



[6] dari lagunya Rhoma Irama, “Judi”



[7] SLB = Sekolah Luar Biasa, sekolah untuk para difabel (different-abled people, orang-orang dengan kemampuan berbeda.  Dulu kita menyebutnya para penyandang cacat).



[8] ‘Selayang Pandang’ , satu lagu Melayu yang terkenal

24 comments:

  1. itu gw ya yg suka komentar 'kaya cerpen' :))

    ReplyDelete
  2. yang ini gondrong banget ma, gw lebih suka cerpen mimpi elu hehehehe...

    ReplyDelete
  3. hahaha, ok deh kalau mimpi lagi ntar ku ceritain. selama bukan nightmare sih asik-asik aja :D

    btw, lu sukanya yang cepak ya, nggak suka yang gondrong, hihihi

    ReplyDelete
  4. iyeee nich tau aja lu, gw sukanya yg klimis daripada jenggotan hihihihi apa coba :P

    ReplyDelete
  5. laku deh pisau cukur, hahaha ... apa sih, makin ngaco aja omongan gw

    ReplyDelete
  6. irmaa masak endingnya gitu ajaaa???
    gak seruuuu...
    cowoknya beneran selingkuh gak siy?

    ReplyDelete
  7. husssshhhh.... ntar malem ngimpi lagi yeee :P

    ReplyDelete
  8. dear nuky, cerita ini cuma satu bagian dari novel yang gue tulis sejak dua tahun yang lalu. jadi kalo lo mau tau endingnya kudu baca lengkap ... di komputer gw, hehehe

    ReplyDelete
  9. @ irma : gw maooo bacaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....gw suka baca2 chicklit macam gini
    chicklit indonesia favorit gw tuw : CINTAPUCINO..huhuhuhu bagus bgt

    ReplyDelete
  10. ^_^ kmaren chicklitnya kena banjir hihihihi jadi agak2 mekar kertasnya...tapi teteb bs dibaca kok
    mao?

    ReplyDelete
  11. hmmm nunggu layu aja deh kertasnya gimana?? hihihihi

    ReplyDelete
  12. jjjjjjjjjjjejjejejejjejeje.....udah gw jemur kok....* malah makin mekar dan kriting *

    ReplyDelete
  13. well well well..rambut aja baru sekali di rebonding jeng...^_^

    ReplyDelete
  14. iyaaaaaaa .......... kalau rebonding lagi, ajak-ajak bukunya. biar direbonding juga :p

    ReplyDelete
  15. yaaaaa ......... sapa tau ada sisa obatnya. pakein aja ke bukunya. biar dia lurus juga.

    ReplyDelete
  16. bhauhauhauhau cukup n eng..time to lunch..brb

    ReplyDelete
  17. hah, lu jam segini baru makan ?? gw udah. sekarang lagi nikmati dessert. ada yang bagi-bagi tiramisu di kantor :D

    ReplyDelete
  18. telat lo, udah habis bis bis bis bis ;p

    ReplyDelete
  19. yehh abis baru di reply jam 2.18 jelas aja dah abis... :(

    ReplyDelete