Friday, April 20, 2007

rendang

 


Aku suka sekali rendang.  Bukan sembarang rendang.  Tapi rendang buatan ibu mertuaku.  Rasanya enak.  Lembut di lidah.  Dagingnya empuk.  Bumbunya pas.  Tidak terlalu pedas.  Tidak asin.  Tidak manis.  Tambah nasi berpiring-piring pun aku sanggup meski makan hanya berlauk rendang.


 


Aku kenal Linda waktu ke kampus untuk ambil legalisir ijazah.  Ia sedang berdiri di depan papan pengumuman bursa lowongan kerja samping ruang tata usaha.  Ia tersenyum waktu aku melihatnya.  Aku terperangah.  Kenapa selama ini aku tidak pernah melihatnya.  Padahal dia hanya dua angkatan di bawahku.


 


Setelah kenal lebih dekat aku tau kenapa aku tidak pernah melihat Linda beredar di kampus.  Dia anak tunggal.  Tinggal hanya berdua dengan ibunya.  Kalau tidak ada kegiatan yang penting, ia tidak akan keluar rumah.  Linda bukan aktifis kampus.  Tidak ikut kegiatan senat.  Hidupnya hanya seputar kuliah, perpus, dan rumah.


 


Linda belum pernah pacaran.  Aku tidak percaya.  Gadis semanis itu, masa’ tidak ada penggemar.  Linda bilang pernah ada beberapa pria mendekatinya.  Tapi waktu mereka ke rumah, mereka mental setelah berhadapan dengan ibunya.  Menurut Linda, ibunya tidak galak.  Hanya mukanya masam tiap kali bertemu anak laki yang mendekati putrinya.


 


Hal itu sempat membuatku khawatir.  Aku suka Linda.  Serius dengannya.  Tapi bagaimana jika ibunya tidak menyukaiku ?  Malam Minggu pertama ke rumahnya, aku berangkat dengan hati was-was.  Sepanjang jalan aku berpikir bagaimana caranya membuka hati ibunya.  Di jalan aku beli martabak kubang untuk Linda dan ibunya.  Orang bilang itu martabak paling enak.


 


Betul yang Linda bilang.  Ibunya bermuka masam ketika bertemu aku.  Linda berusaha memecah kekakuan di antara kami dengan mengobrol.  Ia bertanya-tanya tentang pekerjaanku, kantorku.  Semua pertanyaannya aku jawab apa adanya.  Aku bertanya-tanya tentang skripsinya, dan mau ke mana ia setelah lulus kuliah.  Ibunya tidak nimbrung pembicaraan kami sama sekali.  Wajahnya tetap tertekuk.  Ia hanya duduk diam.


 


Tiba-tiba perutku berbunyi.  Keras sekali.  Jelas-jelas Linda dan ibunya dengar.  Aku malu.  Terus terang aku bilang, aku belum makan sejak siang.  Boss di kantor menyuruhku masuk kerja di hari Sabtu.  Menjelang akhir tahun fiskal banyak laporan yang harus diselesaikan.  Aku kerja sampai jam tiga.  Tidak sempat makan siang karena aku paksakan terus bekerja agar kerjaan lekas selesai.  Jadi aku bisa pulang.  Sampai rumah jam setengah lima.  Mandi.  Lalu ke rumah Linda.  Jam tujuh aku mengetuk pintu rumahnya.  Pas dengan waktu yang kujanjikan.


 


Ibunya Linda tersenyum.  Dia bilang, aku belikan martabak untuk mereka tapi aku sendiri tidak sempat makan.  Aku tidak tau harus jawab apa.  Akhirnya aku bilang aku tidak mau terlambat datang ke rumah mereka. 


 


Dengar jawabanku, Ibu tertawa.  Aku terkejut.  Linda lebih terkejut lagi.  Ibu bilang, Linda tidak ke mana-mana.  Lagipula aku kan ke rumah mereka, bukan ke kantor.  Tidak ada aturan datang terlambat. 


 


Lalu Ibu mengajakku makan.  Menunya sederhana.  Rendang, sayur buncis, telur ceplok, kerupuk kampung.  Aku makan lahap sekali.  Bukan cuma karena aku lapar.  Tapi rendangnya enak sekali.  Terus terang aku bilang pada Ibu, itu rendang paling enak yang pernah ku makan.  Beda dengan rendang dari satu rumah makan Padang terkenal, yang jadi langganan kantor tiap kali acara meeting.


 


Waktu aku pulang, Ibu bungkuskan aku sepiring kecil rendang.  Linda tersenyum melihatnya.  Sejak itu tiap kali aku ke rumahnya, selalu terhidang rendang di meja.  Kami makan bertiga.  Aku sudah tidak malu-malu untuk nambah nasi berpiring-piring.  Setahun pacaran dengan Linda beratku nambah 5 kg.  Setahun menikah dengan Linda beratku nambah lagi 10 kg.


 


Aku menikahi Linda setelah ia wisuda dan bekerja, sesuai harapan Ibu.  Setelah menikah Linda dan Ibu aku boyong dari rumah kontrakan mereka ke rumah kecil di pinggir Jakarta.  Rumah itu aku cicil 15 tahun.  Uang mukanya pinjam dari kantor.  Pembayarannya dipotong dari gajiku tiap bulan.


 


Rumah kecil kami itu yang selalu Ibu banggakan kepada saudara-saudaranya.  ‘Anak lelaki lain berpikir beli mobil, motor, handphone.  Cuma Lukman yang berpikir untuk beli rumah,’ katanya kepada mereka.  Kata-kata yang membuat aku merasa malu di hadapan mereka.  Tapi aku mengerti, ibu mana yang tidak ingin putrinya aman terlindungi.


 


Linda tidak pernah mengenal ayahnya.  Beliau meninggal ketika Linda umur 3 tahun.  Ibu memanfaatkan keahliannya memasak untuk mencari uang.  Bukan catering.  Hanya masak masakan Padang sesuai pesanan.  Spesialisasinya rendang dan dendeng balado.  Tapi aku lebih suka rendangnya.


 


Setelah menikah Linda tetap bekerja.  Tiap pagi kami berangkat sama-sama naik omprengan ke Komdak.  Kantor Linda di SCBD, aku di Kuningan.  Sore kami janjian ketemu di Plaza Semanggi.  Pulang naik omprengan lagi.  Aku tidak ambil cicilan mobil meski kantor menawari.  Bukan karena aku masih ada cicilan rumah.  Tapi karena mataku agak cacat.  Aku tidak mungkin mengendarai mobil.  Terlalu berbahaya.


 


Sabtu dan Minggu kami habiskan waktu bertiga dengan Ibu.  Aku senang menemani ibu dan anak itu ke pasar tradisional pagi-pagi.  Linda biasanya agak kurang sabaran mendampingi Ibu memilih-milih bahan makanan.  ‘Sudahlah Bu, apa bedanya kelapa yang ini dengan yang di sana ?  Sama-sama kelapa juga,’ keluhnya.  Ibu akan menjawab, ‘Lain Lin.  Kau tau, yang buat masakan Padang enak adalah santannya.  Jadi harus hati-hati memilih kelapa.’  Itu baru kelapa.  Waktu memilih daging sapi, Ibu lebih cerewet lagi.  Untung para pedagang itu sabar menghadapinya.


 


Pulangnya kami mampir ke toko benang.  Gantian di sini Ibu yang berkeluh kesah,  ‘Apalagi sih Lin, ini kan benangnya merah juga.  Di rumah sudah banyak benang merah.  Sampai satu karung.  Masih kurang apa lagi ?’   Linda pun menjawab, ‘Beda Bu.  Ini merahnya agak kekuningan.  Yang di rumah itu merah cabe.  Nggak cocok dengan kainnya.’  Ibu pun bersungut-sungut.  Tapi ia tidak beranjak dari sisi Linda.


 


Aku geli melihat mereka berdua.  Beda sekali kesukaannya.  Ibu suka masak memasak.  Linda sebaliknya.  Linda paling benci di dapur lama-lama.  Panas, katanya.  Ia lebih suka memasak yang simpel.  Tumis-tumisan.  Bukan masakan Padang yang lama masaknya.  ‘Ngapain sih, masaknya berjam-jam, makannya cuma sepuluh menit !’ pernah kudengar ia menggerutu begitu.


 


Linda tidak suka memasak.  Tapi dia suka sekali bekerja dengan jarum dan benang.  Seprei, taplak meja, sarung bantal, semua pernik kain yang menghiasi rumah kami Linda yang buat.  Menjelang pernikahan kami Linda membuat 500 helai saputangan untuk souvenir para tamu.  Satu per satu ia sulam sendiri inisial di salah satu sudutnya.  Sulaman halus bertulis LL.  Linda dan Lukman.  Seorang temanku berseloroh, ‘LL ?  Kesannya Luntang Lantung.  Hahaha.’  Mengejek.  Tapi aku tau sebenarnya ia iri padaku.


 


Linda jahit sendiri baju-bajunya.  Termasuk kebaya putih berbahan halus yang dipakainya saat akad nikah.  Selendang tipis di atas kepalanya, juga ia yang buat.  Demikian pula bordirannya.  Bawahannya ia pakai kain batik ibuku.  Kain itu dulu dipakai ibuku ketika menikah.  Hampir empat puluh tahun yang lalu.  Baunya apak waktu dikeluarkan dari lemari.  Aku tidak tau apa yang Linda perbuat hingga kain itu jadi wangi dan bercahaya.  Warnanya sama sekali tidak terlihat kusam.


 


Untuk resepsi Linda mengenakan baju adat daerahnya.  Dibawa Mamak dan Mintuo dari kampung mereka di Kotogadang.  Lengkap beserta songket pusaka keluarga.  Baru kali itu aku tau ternyata tidak semua pengantin perempuan Padang pakai sunting bersusun yang berat itu.  Sehelai selendang lebar berhias benang emas disampirkan menutupi kepala Linda.  Ia begitu cantik.  Malam harinya aku tau di balik kain-kain itu Linda lebih cantik lagi.


 


Katanya Linda mewarisi bakat sulam-menyulam dari neneknya yang ia panggil Uo.  ‘Tapi Uo bisa semuanya.  Masak, jahit.  Linda hanya bisa jahit,’ katanya.  Terdengar nada rendah diri.  ‘Tapi Uo kan tidak bisa membaca,’ hibur Ibu.  ‘Itu karena Uo orang zaman dulu.  Belum ada sekolah.’


 


Linda pandai menjahit, Ibu pandai memasak.  Keahlian Uo terbagi adil antara ibu dan anak.  Satu waktu saat Linda tak ada, Ibu bercerita kepadaku, ‘Sulaman Linda lebih bagus daripada Uo.  Lebih halus.  Rapi.  Tapi Ibu tidak pernah bilang kepadanya.  Biar ia tidak besar kepala.’  Aku mengangguk-angguk.  Kepandaian memang kadang membuat orang tinggi hati.


 


Enam bulan yang lalu Ibu meninggal dunia.  Ketika Linda membangunkan Ibu untuk sholat Subuh, ia dapati tubuh Ibu sudah dingin.  Ibu pergi saat tidur.  Begitu damai.  Begitu tenang.  Tidak ada tanda-tanda.  Malam sebelumnya Linda dan Ibu asik mengobrol sampai larut malam.  Linda tidur-tiduran di kasur Ibu.  Ibu menggulung songket yang habis diangin-anginkan.  Beberapa hari sebelumnya mereka habis menghadiri baralek.


 


Sejak Ibu meninggal, tidak ada lagi rendang terhidang di rumah.  Tepatnya, tidak ada masakan Padang lagi.  Linda tidak suka masakan Padang.  Katanya karena ia tidak suka santan.  Mungkin karena sejak kecil sering diminta Ibu parut kelapa dan peras santan.  Karena itu ia jadi benci. 


 


Linda menyukai masakan Sunda yang praktis.  Lalap-lalapan, ia suka sekali.  Timun, terong bulat, kemangi, selada air, lalu satu lagi … apa itu yang namanya seperti nama lain tenis meja ?  Ah ya, tespong.  Ia senang menyantapnya dengan sambal.  Aku malah tidak suka.  Makan daun-daunan mentah begitu, aku serasa jadi kambing.


 


Lama-lama aku tidak tahan.  Aku kangeeen sekali makan rendang.  Aku minta Linda buatkan.  Bukan, bukan beli dari rumah makan Padang.  Harus ia buat sendiri.  Linda menatapku heran,  ‘Abang ini gimana, Linda sendiri yang orang Padang nggak suka makan rendang.  Abang malah sampai ngidam begitu.’ 


 


Toh Linda turuti juga keinginanku.  Ia buat rendang sesuai resep Ibu.  Tapi rasanya aneh.  Tak selera aku memakannya.  Daripada terbuang percuma rendang itu kami cuci, lalu kami berikan kepada kucing-kucing yang sering berkeliaran di komplek kami.  Tapi mereka hanya mengendus sebentar.  Lalu pergi.  Linda shock.  ‘Bahkan kucing pun tak sudi makan rendang buatanku,’ katanya sedih.


 


Aku menghiburnya.  Aku katakan mungkin karena ia tidak biasa.  Harus banyak latihan.  Linda coba masak rendang lagi.  Masih aneh.  Sekali lagi.  Gagal.  Lagi.  Tetap tak enak.  Yang keempat kalinya, Linda menatapku dengan takut-takut saat aku mencicip rendang buatannya.  ‘Gimana Bang ?  Nggak enak ya ?’ tanyanya cemas.  Aku tidak tega mengatakan yang sebenarnya.  Rendang itu jauuuuuh dari yang kuharapkan.


 


Sejak itu Linda sering murung.  Ia tetap berusaha membuat rendang seperti ibunya.  Tapi hasilnya selalu mengecewakannya.   Meski aku tidak pernah memberitahunya, apa yang kurasa saat rendang itu kugigit.  Kadang-kadang rendang itu aku bungkus dalam kotak makananku.  Pura-puranya aku bawa untuk bekal makan siang.  Padahal begitu sampai kantor langsung aku buang.


 


Suatu hari aku pulang cepat.  Aku minta izin pada boss untuk kerja hanya setengah hari.  Hari itu Linda tidak masuk kantor.  Ia bilang tidak enak badan.  Selama di kantor aku merasa gelisah.  Tidak biasanya Linda begitu.  Meski sakit Linda selalu memaksakan diri tetap ke kantor.  Kecuali jika dokter memberinya surat keterangan istirahat, baru ia tidak kerja.


 


Linda tidak tau aku pulang cepat.  Saat aku cari ia sedang di kamar Ibu.  Duduk bersimpuh melipat kain-kain peninggalan ibunya.  Punggungnya menghadap ke pintu.  Aku sudah bersiap melangkah masuk saat aku dengar ia berkata-kata.


 


‘Linda sudah berusaha, Bu.  Linda ikuti semua yang Ibu ajarkan.  Bumbunya, persis yang ibu buat.  Cabai keriting.  Kelapanya, tidak terlalu tua.  Tidak juga muda.  Daging gandik.  Santannya juga Linda jaga benar-benar.  Pakai api kecil.  Linda teruuus aduk pelan-pelan.  Nggak ada Linda tinggal.  Biar nggak pecah santan.  Semua Linda lakukan seperti Ibu bilang.  Tapi, rendang buatan Linda tetap nggak enak.  Nggak seperti yang Ibu buat.’


 


Terdengar suara hidung menahan ingus tumpah.  Tidak biasanya Linda menangis. 


 


‘Abang itu Bu, nggak pernah minta apa-apa.  Nggak pernah.  Malah semua ingin Linda ia turuti.  Mesin jahit.  Microwave.  Laptop.  Semua ia belikan.  Untuk Linda,’ suara Linda bergetar.  ‘Tapi sekali ini ia punya keinginan, Linda nggak bisa penuhi.  Cuma Rendang, Bu.  Rendang.  Abang cuma ingin Linda buatkan rendang.  Rendang yang biasa Ibu buat.’


 


Bahu Linda berguncang.  Ia tidak lagi melipat kain.  Tangannya terdiam di atas satu songket.  Itu songket yang terakhir dipakai Ibu.


 


‘Tapi Linda nggak bisa Bu.  Rendang buatan Linda nggak enak.  Abang nggak pernah bilang.  Tapi Linda tau,’ serak suara Linda.  Ketara sekali ia berusaha menahan tangis.  ‘Bu, Linda takut Abang kecewa dengan Linda.  Linda nggak bisa kasih yang dia mau.’


 


Linda menunduk.  Kelihatan tengkuk di antara rambut tergerainya.  Begitu putih.  Menggodaku untuk mencium.


 


‘Bu,’ tangan Linda mengelus songket ibunya.  Lirih ia berkata, ‘Linda kangen Ibu.’


 


Aku tak tahan lagi.  Aku membalikkan badan, berjalan ke ruang tamu.  Duduk memeluk bantal hias.  Bantal yang Linda buat.  Tanganku mengelusnya.  Halus.  Tapi lebih halus lagi perasaan pembuatnya.  Perasaan istriku.


 


Aku hanya kehilangan rendang tapi Linda kehilangan Ibu, tempatnya bermanja dan keluh kesah.  Rasa kehilangannya makin berat karena tuntutanku membuat masakan kesukaanku.  Bukan salah Linda jika ia tidak bisa memasak seenak ibunya.  Resep boleh sama.  Tapi beda orang yang masak, beda lagi cita rasanya.


 


Mungkin Linda tidak berbakat jadi koki.  Tapi ia miliki bakat lain.  Semua kain jadi bernilai tambah lebih di tangannya.  Ia hiasi rumah kami dengan pernik cantik.  Tiap minggu seprei, taplak meja, sarung bantal ia ganti.  Tidak pernah ia buat dekorasi interior yang sama.  Rumah kami tidak pernah suram.  Linda buat rumah kami berseri.


 


Jari lentik Linda sangat ajaib.  Ia betulkan kemeja kesayanganku yang koyak, jatuh saat dibonceng ojek motor.  Tisikan Linda begitu rapi.  Tidak ketara bekas robekannya.  Kenapa kupaksa jari itu membuat sesuatu yang tidak sanggup diciptakannya.


 


Sejak itu aku tak pernah lagi menyinggung tentang rendang di hadapan Linda.  Aku temani ia makan lalap-lalapan.  Tomat, selada air, kemangi, timun, terong bulat, ku makan semua.  Tapi harus dengan sambal yang Linda buat.  Sambal buatannya enak sekali.


 


 


... terinspirasi pengalaman seorang teman.  aku bilang kalau dia kangen rendang, ke rumah Bu Wisda aja.  di sana selalu terhidang rendang.  gratis.  nggak perlu bayar.  paling disuruh ikutan PTD, hehehe ...


 


 

9 comments:

  1. Kalo Irma bisa bikin rendang ga ? :D

    ReplyDelete
  2. aku jg suka rendang.. sama gule otak..

    ReplyDelete
  3. haduh hampir sedih tadi..
    nice story..

    ReplyDelete
  4. nggak. dulu tiap kali disuruh mama jagain santan biar nggak pecah irma selalu kabur, huehehehe ...

    ReplyDelete
  5. Hmm.. Cerita sederhana sangat bagus dan berkesan

    ReplyDelete
  6. Wah,,,, cerita dr pendekatan samapai ke rendang.... Pengen deh kenal sama Mbk Linda... Bertukar ilmu mungkin... atau kalo Mbk Linda ada MP, sy bisa link..
    Web yang menarik..
    Silahkan berkunjung "kerumahku" www.amilia25.multiply.com
    Jangan malu2 :)

    ReplyDelete
  7. hai ... linda dan lukman adalah tokoh khayalan. cerita ini kubuat terinspirasi dari seorang teman yang sukaaaa sekali makan rendang bikinan ibu pacarnya. eh pacarnya sendiri nggak bisa bikin rendang sama sekali malah benci banget sama masakan padang. tapi kan setiap orang ada kelebihan dan kekurangan ya, jadi kuceritakanlah si linda ini pandai menjahit, sulam-menyulam, pokoknya berkarya dengan jarum dan benang. biar orang ngeh kalau karya apapun entah itu masakan, jahitan, tulisan, gambar, foto, dll semuanya memiliki nilai tinggi. lagipula konon katanya anak gadis minang tuh pandai menyulam. tapi ini katanya lho ...

    anyway, aku udah lihat MP nya. cantik-cantik ya karyanya amilia :)

    ReplyDelete