Thursday, April 19, 2007

Mimpi (3)

Aku di suatu rumah sakit.  Kata mereka aku harus masuk kamar 611.  Dua kali aku salah masuk kamar.  Padahal jelas-jelas di dinding luarnya tertulis 611.  tapi pada saat aku di dalam, di sana selalu ada orang lain.  Kamar terakhir yang kumasuki di dalamnya ada dua orang lelaki sedang tidur.  Bukan ini kamar yang harus kutempati, kataku.  Saat aku keluar, tertulis di pintu kamarnya : 523


 


Akhirnya aku temukan kamar itu.  Hanya ada satu tempat tidur.  Terbuat dari kayu.  Sepreinya putih licin.  Di sebelahnya ada lemari laci kayu, persis seperti yang biasa ada di rumah sakit.  Tempat tidur itu menempel dinding.  Di sebelahnya jendela.  Tertutup gorden.


 


Aku memasuki kamar dengan lega.  Di luar sana tadi aku banyak ketemu pemandangan yang bikin aku bergidik.  Pemandangan khas rumah sakit.  Wajah orang-orang sakit.  Di sini, aku sendiri.  begitu tenang.


 


Aku lihat layar handphone.  Tidak ada sinyal.  Akh, sial.  Sewaktu jalan ke jendela aku dengar ringtone ku.  Aku menelengkan kepala.  Tapi tadi kan nggak ada sinyal ?  dari dalam tas aku keluarkan handphone satu lagi.  Handphone yang jarang aku pake.  Ah, yang ini ada sinyal.  Aku merasa lega.


 


Aku telpon rumah.  kakakku yang nomor dua yang jawab.  ‘Kalo nanti ke sini, tolong bawakan …’ kataku.  Tiba-tiba di sana hening.  ‘Halo ?  Halo ?  Kalo nanti ke sini tolong bawakan … tolong bawakan …’  Di sana tetap hening.  Apa kakakku tidak bisa mendengar suaraku ?  Aku sedih.  Handphone aku matikan.


 


Aku duduk di pinggir tempat tidur.  Menunggu.  Biasanya kalau siang ibu dan kakakku datang.  Aku mengingat-ingat.  Rasanya sudah beberapa hari dokter tidak datang.  Seharusnya kan tiap hari ia memeriksaku.  Dokternya jarang datang.  Tapi sekali datang tiga orang.


 


Dokter masuk kamarku.  Satu laki-laki, dua perempuan.  Mereka bercakap-cakap di kursi tamu depan tempat tidurku.  Menganggap aku tak ada.  Aku memandang rekam medikku di dinding.  Tertulis di sana perutku harus dipompa untuk persiapan operasi.  Aku mengerutkan kening.  Bukannya aku baru dioperasi tiga bulan yang lalu ?  Setelah aku perhatikan lagi ternyata itu rekam medikku tiga bulan yang lalu waktu aku mau dioperasi.  Di bawahnya tertulis tindakan untukku sekarang.  Aku tidak tau itu apa.


 


Aku mengeluh.  Kemarin dokter mendiagnosa sakitku perut sebelah kanan.  Kenapa sekarang aku merasa sakit di pinggang kiri belakang ?


 


Dokter sudah pergi.  Di kamarku itu ada ruang penghubung dengan kamar sebelah.  Aku ke sana.  Di sana aku ketemu seorang perempuan.  Muda.  Rambutnya diikat ke belakang.  Ia pakai baju kaus dan celana selutut warna coklat.  Kenapa ia tidak pakai baju rumah sakit sepertiku ?  Baju putih yang ada tali-tali di belakangnya.


 


Aku kembali ke kamar.  Melihat dari jendela samping tempat tidur.  Seorang pria berjalan menuju jalan di samping kamarku.  Bajunya coklat bergaris-garis kuning.  Ia tidak mengenakan alas kaki.  Tampangnya seperti orang sakit jiwa yang sering kulihat di jalan-jalan.


 


Di belakang lelaki itu, sederet anjing labrador hitam berjalan.  Tidak, bukan hitam.  Agak kecoklatan.  Bulu mereka agak keriting.  Mereka tinggi.  Setinggi bahu lelaki di depannya.  Sama seperti lelaki itu, anjing-anjing labrador itu juga menatapku.  Aku menghitung mereka.  Satu, dua, ada enam semuanya.


 


Tiba-tiba anjing itu berbalik.  Mereka berlari ke arah sebaliknya.  Di belakang mereka seorang pria berjalan dengan arah yang sama.  Aku tau dia pemilik rumah sakit ini.  Ia bicara dengan seorang pria.  Teman kantorku.  Mereka berpisah di pertigaan.  Temanku ke kanan.  Lelaki pemilik rumah sakit berjalan lurus mengikuti anjing-anjing labrador.


 


Masih di depan jendela, aku melihat ke sebelah kanan.  Ternyata di samping kamarku ada teras.  Lengkap dengan meja dan kursi tamu.  Kenapa aku tidak ke sana ?


 


Aku di lobby depan rumah sakit.  Seorang pria berjalan masuk.  Ia terkejut melihatku.  Aku ingat, ia perawat yang dulu beberapa kali masuk ke kamarku.  Waktu aku dirawat tiga bulan yang lalu.  Ia orang Cina.  Rambutnya sebahu.  Pakai baju seperti pesilat.  Warna biru muda, bagian lehernya warna kuning terang.  Celana panjang putih.  Bersamanya seorang lelaki berbaju putih.  Perawat itu menunjukkan kertas putih tebal kepada temannya.  Ada gambar-gambar berwarna.  ‘Aku pakai sarung tangan panjang kalau memandikan pasien.  Yang ini aku pakai untuk menopang pasien saat ia didudukkan,’ katanya kepada temannya.


 


Aku di atas perahu.  Bukan perahu besar.  Perahu yang sering aku lihat di Sunda Kelapa.  Orang-orang berseru-seru.  Mereka menurunkan kayu.  Aku lihat seekor anak kucing.  Kecil.  Seperti yang aku lihat di pantai waktu ke Padang bulan lalu.  Bulunya coklat kusam.  Matanya kotor.  Tanda ia sakit.  Kenapa aku selalu tertarik dengan hewan yang tidak sehat ?


 


Cepat, cepat, ia harus aku selamatkan.  Sebelum kayu menghantamnya.  Aku melompat.  Anak kucing itu tidak meronta waktu aku pegang.  Matanya menatap kosong.  Apakah ia buta ?


 


Dari bawah tumpukan kayu aku lihat kucing-kucing lain.  Satu di antaranya keluar dari tumpukan.  Kucing jantan belang tiga.  Aku heran.  Mana ada kucing jantan belang tiga ?  Kucing belang tiga selalu betina. 


 


Si jantan belang tiga itu menatapku.  Matanya terpicing.  Sepertinya ia pemimpin di sana.  Badannya besar.  Ekornya tebal.  Bulu-bulunya bersih.  Tidak seperti kucing yang biasa berkeliaran di jalan.  Ia membungkuk, masuk ke bawah tumpukan kayu.  Masih kulihat kelebat ekornya sebelum menghilang.


 


Perahu sudah sepi.  Aku membungkuk.  Masih ada beberapa anak kucing lagi.  Aku masukkan ke dalam kotak plastik.  Satu, dua.  Yang kedua ini badannya gemuk.  Bulunya licin.  Bersih.  Ekornya tipis.  Oh ia begitu tampan.  Anak kucing ketiga ada dalam kotak bekas nasi.  Ia aku tumpuk bersama yang dua dalam kotak plastik.  Mudah-mudahan mereka tidak berkelahi.   Kotak bekas nasi aku tumpuk di atas kotak plastik.


 


Aku melompat.  Turun dari perahu.  Sesuatu menggayut saku bajuku.  Apakah anak-anak kucing itu berpindah ke sana ?


 


 


Jegleg.  Suara anak kunci diputar.  Aku membuka mata.  Di luar langit mulai terang.  Aku berdiri.  Terhuyung-huyung.  Rasa sakit kepala yang kerap mendera jika aku kurang tidur mulai terasa.  Kopi.  Aku perlu kopi.


 


 

2 comments:

  1. hhhhhh .... tau. heran cerita mimpi kayak gini kok ya elo demen :p

    ReplyDelete