Monday, April 23, 2007

ketika irma ke Inacraft

Inacraft. Tiap tahun pameran satu ini paliiiing ditunggu-tunggu. Karena aneka handicraft dari berbagai penjuru Indonesia tumplek bleg di sana. Kayaknya perlu dibudgetkan anggaran khusus untuk ke Inacraft tiap tahunnya, hehehe





Hari Sabtu lalu irma ke sana. Janjian sama Wahyudi. irma bilang irma berangkat pagi, biar jam sepuluh udah di sana. Wahyudi sempat nawar, berangkatnya agak siang aja. Tapi irma bilang irma justru pengen pagi-pagi karena kalau pagi gitu belum terlalu banyak orang. Pengalaman tahun lalu, ke Inacraft pagi-pagi. Enak banget. Masih sepi. Makin siang makin rame. Nggak enak banget buat jalan-jalan dan lihat-lihat. Jadi untung kan irma datang pagi-pagi J





Ya udah, kalau Wahyudi maunya berangkat siang – karena dia mau beres-beres kamarnya dulu – irma bilang kita langsung ketemu di pameran aja. irma berangkat duluan. Tetep irma mau berangkat pagi. Akhirnya Wahyudi ngalah. Jam setengah sembilan dia berangkat dari Bekasi. Jam sepuluh kurang seperempat sampai tempat kost irma. Langsung lanjut ke JCC dengan taksi yang sama. Jam setengah sebelas udah masuk Main Lobby. Kita mulai menjelajahi Inacraft 2007.





Pertama-tama lihat stand-stand exportir di Assembly Hall. Ada stand Malaysia, Singapore, dan negara-negara lain. Tapi irma kan pengen lihatnya handicraft Indonesia. Jadi cuma sebentar di sana. Kita lalu ke Plenary Hall, ruangan yang berbentuk auditorium. Di pintu masuknya ada stand pelukis Ryan. Wahyudi seneng banget ngeliatin lukisannya yang tentang sekumpulan orang main kartu. ‘Kelihatan banget ya tampangnya djadoel,’ komentarnya. He eh, iya. Bagus banget. Lukisan itu udah terjual. Kalau nggak salah yang beli Mooryati Soedibyo ??





Selain lukisan orang djadoel main kartu itu ada juga lukisan tentang kota tua Semarang. ‘Itu Gereja Blenduk. Itu gedung … apa, Murba ? Marba ? Ah, pokoknya gedungnya warna merah,’ irma menunjuk-nunjuk lukisan lain. Penjaga di sana berbisik-bisik nanya sama Wahyudi, ‘Mas, dari Semarang ya ??’ Nggak. Cuma kita pernah ke sana. Jalan-jalan seputar kota tua bareng Om Jongkie Tio.





Serombongan mahasiswa berjaket kuning melintas keluar Plenary Hall. Irma menepuk bahu Wahyudi yang masih melihat-lihat lukisan Ryan, ‘Rombongan jaket kuning Di.’ Wahyudi berbalik, merhatiin para mahasiswa UI itu sampai berlalu. ‘Tampangnya nggak kayak (mahasiswa) dulu,’ komentar Wahyudi, ‘mereka nggak kayak mahasiswa.’ Hehe, mahasiswa sekarang nggak dekil, kucel dan kere kayak kita dulu. Mahasiswa sekarang modis-modis. Dan stylish. ‘Nggak ada satupun di antara mereka yang bawa buku,’ Wahyudi geleng-geleng kepala. Hei hei, siapa bilang mahasiswa sekarang masih perlu buku tulis. Kan udah ada PDA …





Masuk Plenary Hall. Di sini irma ketemu stand Sumba Timur. Begitu lewat sana irma nggak mau beranjak pergi. Aduh itu kain bagus bener. Warna merah kecoklatan. Gambar kuda, khas kain Sumba. ‘Mari Mbak, masuk aja,’ ibu yang jaga di sana mengajak irma lihat kain dari dekat. ‘Ini dari Sumba. Sumba Waingapu.’




Ibu itu namanya Rambu May. Dia terangin arti simbol-simbol di kain Sumba. Tepatnya kain Kaliuda. Harus selalu ada gambar kuda karena kuda itu sangat penting di Sumba. Juga ayam karena tiap kali sembahyang orang Sumba harus potong ayam. Kepercayaan orang Sumba dulu namanya Marapu.




Ibu Rambu May minta temannya ambilkan satu perhiasan yang dipajang, ‘Orang laki-laki harus punya mamuli, dari emas. Bukan seperti ini. Ini hanya sepuhan. Juga ayam dan dua ekor kuda. Satu jantan, satu betina. Baru boleh dapat perempuan Sumba.’ Maksudnya nikah sama perempuan Sumba, gitu. Perhiasan yang dia pegang itu yang disebut mamuli. ‘Kalau dia nggak punya, gimana ? Disediain mertuanya ?’ tanya Wahyudi. Huh, enak banget ! Usaha dong !




Seperti yang dibilang tadi, selalu ada gambar kuda pada kain Kaliuda. Ada gambar orang naik kuda di depan. Dua kuda lainnya di belakang. Itu cerita tentang pacuan kuda. Orang yang di depan itu menang. Yang di belakang kalah. Ada gambar orang naik kuda mengejar rusa. Tangannya memegang tombak, mengarah ke rusa. Itu cerita orang berburu rusa.




Selain kuda, ayam dan rusa, di kain Kaliuda juga ada gambar buaya dan penyu, lambang kerajaan. Gambar udang. Gambar kupu-kupu, pembawa rezeki. Gambar bouroq, kuda bersayap berkepala manusia. Katanya ini pengaruh kedatangan pedagang-pedagang muslim ke Sumba. Juga gambar burung. ‘Burung melihat ke belakang. Artinya dia tidak lupa teman,’ Ibu Rambu May menunjuk gambar dua ekor burung. Yang di belakang lebih kecil. Yang di depan lebih besar. Ia menoleh ke belakang.




irma senang dengan penjual yang mau cerita tentang barang dagangannya. Dan kain yang dipajang di sana cantik-cantik. Betah irma di sana. Pengen beli kainnya yang dipajang, harganya 5 juta ! Glek, cuma bisa melihat aja. Masih untung boleh ngelus-ngelus. Kain itu mahal karena bikinnya loaammaaaaaa banget. Benang dibentangkan pada bingkai kayu atau bambu. Lalu diikat membentuk gambar-gambar. Trus dikasih warna. Bagian yang diikat tadi tidak kena warna. Setelah warna kering, diikat lagi bagian lainnya yang mau dikasih warna lain. Diwarnain lagi. Terus gitu sampai selesai semua warna yang diinginkan. Karena bahan pewarna meresap sampai ke pinggiran benang maka nantinya pada motif ada garis pinggir yang membaur. Itulah ciri khas motif ikat.




Selesai pewarnaan baru ditenun menjadi sehelai kain. Pantas lama. Dan mahal
L Kapan ya, bisa kesampaian punya kain Kaliuda gitu ? Katanya nih, kain Kaliuda ini kain tenun ikat terbaik di Indonesia, dari segi motif dan pewarnaannya. Mereka pakai pewarna alam. Warna biru indigo yang membentuk hinggi kawuru, dan merah kecoklatan seperti karat membentuk hinggi kombu. Hinggi itu kain panjang untuk pria. Dipakai untuk selimut, syal, dililit di pinggang, jadi bawahan, juga membungkus jenazah. Banyaknya lembaran hinggi yang membungkus jenazah bergantung pada status sosial. Untuk raja jumlahnya lebih banyak daripada bangsawan biasa. Nantinya hinggi ini turut dimakamkan. Orang Sumba percaya kalau meninggal harus disertai dengan yang indah-indah, sebagai bekal untuk menemui leluhurnya. Yang indah-indah itu, ya hinggi.




Hinggi itu kain panjang (untuk pria), sedangkan sarung untuk wanita namanya Lau. Dulu, hanya kaum bangsawan yang boleh mengenakan kain tenun, baik itu hinggi maupun lau. Yang bisa menenun juga cuma perempuan bangsawan. Rakyat biasa pakainya baju dari kulit kayu. Belanda yang kemudian menguasai Sumba mengakibatkan ketentuan ini tidak berlaku lagi. Kain tenun mulai dipakai rakyat banyak. Bahkan beberapa kain tenun Sumba dibawa ke Eropa dan menjadi koleksi museum di sana. Eh, katanya nih dulu Belanda tuh nggak minat lho untuk menduduki Sumba. Karena secara ekonomis Sumba kurang menguntungkan. Alam Sumba yang kering dan gersang tidak menghasilkan komoditi cukup berarti. Tapi toh menjelang akhir abad ke 19 akhirnya Belanda menginvasi Sumba dan menempatkan perwakilan di sana. Sumba juga pernah di bawah pengaruh Jawa, tepatnya Majapahit pada abad ke empat belas.




Lumayan lama irma di stand Sumba Timur. Sampai akhirnya Wahyudi yang udah keliling-keliling Plenary Hall balik lagi ke sana dan ajak irma lihat stand-stand lain. Jadi kita lanjut berkeliling. Di stand Pemda NTT irma nyangkut lagi. Untuk mengagumi kain-kain tenun yang dipajang di sana. ‘Silakan Bu,’ kata penjaganya, seorang bapak-bapak. ‘Yang ibu pakai itu, tenun Maumere ?’ ia menunjuk syal yang irma pake. Umm, rasanya waktu irma beli yang jualnya bilang itu tenun Timor. Belinya dulu waktu Inacraft dua tahun yang lalu. Eh atau tiga ya ? Pokoknya udah lumayan lama.




Dari Plenary Hall kita ke Hall B. Lewat koridor yang dipenuhi stand media massa. Stand Tamasya lagi bagi-bagi majalah. irma dikasih yang edisi Intip Samarinda. Karena udah punya irma kasih majalah itu ke Wahyudi.




Di Hall B kita lihat-lihat stand yang di lobby nya dulu. ‘Ini dari mana ya ?’ tanya Wahyudi waktu kita lihat stand penuh hiasan manik-manik. irma lihat manik-manik itu membentuk ornamen gajah dan siger berbentuk perahu khas Lampung. ‘Lampung,’ kata irma, ‘lihat aja itu bentuk perahunya.’ ‘Bukan, lihat aja ini,’ penjaga standnya menepuk patung gajah di meja dekat ia berdiri. Oh iya ya, Lampung kan identik dengan gajah. Jadi ingat di koran beberapa waktu lalu ada bahas tentang Taman Nasional Way Kambas yang juga pusat penampungan dan pelatihan gajah. Karena kekurangan dana pemeliharaan gajah-gajah di sana pada sakit cacingan. Ada yang sampai mati. Kasihan banget
L




Wahyudi kelaperan. Pas banget di ujung lobby Hall B ini ada snack bar. Kita lalu ke sana. Tiba-tiba seseorang menyapa irma dari arah berlawanan, ‘Hai. Lupa ya ?’ Nggak. Mbak Fitri kan ? Mbak Fitri ketawa. Mas Agung mana ? ‘Lagi ke toilet. Ini sama Ibu,’ Mbak Fitri tersenyum sama seorang ibu di sebelahnya. irma ikutan senyum juga. ‘Jalan dulu ya. Daaagh,’ Mbak Fitri lanjut jalan lagi. Irma dadah-dadah juga. ‘Sapa tuh ?’ tanya Wahyudi. JEBLAKK. Itu kan Mbak Fitri nya Mas Agung, kita ketemu waktu PTD ke Cepu dan Tana Toraja. Dengar nama Mas Agung, Wahyudi baru ngeh. He eh, kalau sesama tukang foto aja, pasti dia ingat.




Snack bar masih agak sepi waktu kita ke sana. Tapi begitu kita duduk dan makan, mulai deh satu per satu pengunjung berdatangan. Ada yang nggak dapat meja jadi berdiri mengantri di luar. Hehe untung juga ke situ sebelum jam dua belas. Kenapa ya, secara otomatis tepat tengah hari orang mencari makan ? ‘Karena udah dibiasain begitu,’ Wahyudi bilang. Wahyudi makan nasi goreng. Tadinya irma belum pengen makan. Tapi lihat Wahyudi makan lahap gitu irma jadi lapar juga. Padahal niat semula irma ke snack bar cuma buat ngeteh-ngeteh. Jadinya, makan tom yam. Baru kali ini irma makan tom yam kuahnya bening. Tapi enak juga kok.




Abis makan kita jalan ke ujung lobby satu lagi buat sholat Dzuhur. Di sana dibangun mushola darurat. Sayang karpetnya agar kotor. Abis sholat mulai deh kita keliling Hall B. Lihat stand Bali, Paviliun Jawa Tengah, Solo Raya. Hehe, irma sempat geli lihat maskot stand Solo Raya. Gambar kodok. Seperti digambarkan pada stiker yang ditempel di lantai. Stiker itu menunjukkan arah ke stand Solo Raya. Kenapa ya dipilihnya gambar kodok ? Karena kodok ngorek ?? ... kodok ngorek, kodok ngorek, teot teot teblung ...




Lagi di Hall B ini pas banget kelompok musik de’ Lacoustic mulai manggung. Nyanyi lagu Betawi, lagu Sunda yang, ‘… akang hajiii, sorban palit …’ , lagu keroncong ‘Getuk’, bahkan lagu Batak ‘San Anju Ma Au,’ juga dinyanyiin versi keroncong. irma tercengang dengarnya. ‘Emang keroncong punya orang Jawa ?’ Wahyudi mencibir. Iya deh, tauuuuu ………. keroncong itu kan peninggalan Portugis.




Dari Hall B kita pindah ke Hall A. Di sini spesialis area batik. Rameee banget. Tuh kan, makin siang makin banyak pengunjungnya. Mulai deh jadi pasar senggol
L Entah karena lagi nggak tertarik sama batik, entah karena suntuk ngeliat banyak orang, di sini irma nggak gitu tertarik untuk lihat-lihat. Wahyudi sempat masuk ke satu stand batik. Nyoba-nyoba satu kemeja batik lengan panjang warna hitam yang haluuuss banget. Pas ditanya harganya, 750 ribu ! Wahyudi jadi urung beli. ‘Bisa pake kartu kredit kok Mas,’ penjualnya merayu. Kartu kredit sih kartu kredit. Tapi kan tetap aja, maaahal ! Kita lalu pamit dan menyingkir dari sana.




‘Denny Malik itu siapa sih ?’ tanya seorang anak sama ibunya. Nggak sengaja irma dengar percakapan mereka. Rupanya dekat situ ada stand Gallery Denny Malik. Jualan seprei dan bantal lucu-lucu. Denny Malik nya juga ada. Dia menyapa langsung para pembeli. Hueeee … gimana tuh anak kok bisa-bisa nya nggak tau Denny Malik ? Kan dia seorang koreografer tari terkenal. Dulu sering nari gabung kelompok Guruh Soekarno Putra. Denny juga ngetop dengan lagunya yang tentang jalan-jalan sore. Itu lho, yang ‘… sore-sore, dunia ke sana ke mari …’




Udah masuk Ashar nih. Kita balik lagi ke Plenary Hall, karena di sana ada mushola yang lebih gede. Lebih bersih juga. Abis sholat gantian irma yang kelaparan. Jadi kita belok masuk snack bar temporary di belakang Assembly Hall. Irma makan spagheti dan minum teh manis panas (lagi !) sementara Wahyudi minum es cappucino aja. Plus air mineral.




Sebenarnya jam lima kita udah mau pulang. Udah sampai di depan pintu keluar. Terus baru sadar ternyata justru kita belum lihat-lihat yang di Main Lobby ! Yang di Cendrawasih Room juga belum ! Jadi kita balik lagi. Menyusuri gang-gang di Main Lobby. Wahyudi seneng banget di sini karena banyak yang jualan produk dari kayu. Ia mengelus-elus rocking horse dari kayu jati seharga … 17 setengah juta ! Yah, kita cuma bisa ngelus-ngelus aja. Dan mengaguminya tentu.




Masuk Cendrawasih Room. Di sini banyak stand binaan BUMN. ‘Ngapain sih perusahaan-perusahaan ini ngurusin perusahaan-perusahaan kecil yang nggak ada hubungannya dengan dia ?’ komentar Wahyudi. Nggak enak banget komennya. ‘Itu kan bagian dari social community development. Memang ada ketentuannya, perusahaan yang besar membina perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Menjadi sponsor untuk mengajukan pinjaman ke bank, memberikan pelatihan tentang manajemen, bagaimana mengendalikan cash flow, dan ilmu lainnya yang nggak dimiliki pengusaha kecil atau tradisional,’ papar irma. ‘Ya tapi kan aneh aja. Seperti macan. Macan kan makan daging. Ini ngapain dia ngurusin kebun rumput ?’ keukeuh Wahyudi dengan pendiriannya. Sebel ! Tau nggak sih, nggak ada rumput, nggak ada rusa. Nggak ada rusa, macan mati. Sebesar-besarnya perusahaan, dia tetap butuh perusahaan lain meski lebih kecil atau mungkin nggak berhubungan langsung dengan kepentingannya …




Ya udah, daripada bersitegang dengan Wahyudi yang lagi kumat pemikirian business man nya, mending irma lihat-lihat pameran aja. Di stand binaan Angkasa Pura bandara El Tari Kupang, irma ketemu tante yang dulu jual syal yang irma pake hari itu. Kayaknya dia senang banget lihat jualannya masih dipake. ‘Sekarang udah nggak ada lagi yang bikin tenun macam ini,’ katanya sedih sambil memegang syal irma. ‘Disimpan ya.’ Tentu. irma selalu menyimpan kain-kain kesukaan irma
J




Lalu di stand binaan Pertamina Geothermal Energy Sibayak, irma ketemu kain Uis Karo. Baru dengar irma jenis kain ini. Bapak yang jualannya sabar banget nerangin ke irma tentang kain adat Karo ini. irma kira Karo tuh pake kain ulos juga, seperti Batak Toba, Simalungun, dan Mandailing. Ternyata mereka punya nama sendiri untuk kain adatnya. Kainnya sederhana aja, warna merah hati dengan motif garis-garis seperti halnya ulos Batak. Tapi di pinggirannya ada motif regret. Motif ini selalu ada di rumah adat Karo. ‘Oh ya, yang artinya Boras Pati itu ya,’ kata irma. Boras pati adalah hewan sejenis serangga yang dipercaya oleh orang Batak (dan juga Karo) sebagai pelindung dan pembawa keberuntungan. Jika mereka bertemu Boras Pati di jalan, mereka percaya mereka akan selamat sampai ke tujuan.




Bapak itu tercengang dengar komentar irma. ‘Mbak dari mana ? Dari Sumatra ?’ tanyanya. Nggak. Tapi irma pernah ke desa Lingga di Sumatra Utara, desa asal muasal suku Karo. Bapak itu mengangguk-angguk. Lalu ia tunjukkan motif greten di tengah-tengah kain uis. Itu adalah modifikasi dari motif tradisional. Dibikin karena banyak yang minta. Greten adalah bagian dari rumah adat Karo. Fungsinya untuk menyimpan tulang belulang leluhur yang sudah meninggal. Tapi di kota Brastagi dan Kabanjahe banyak dibangun greten di tepi jalan sebagai tempat istirahat.




Di Cendrawasih Room ini kita ketemu Yanti dan mamanya, ibu Aryati. Hehe, ibu dan anak ini kompak banget. Kita selalu ketemu mereka berdua. Ya di Ambarawa, ya di Cepu, ya di Tana Toraja. ‘Wah, Wahyudi ngeborong ya,’ Bu Aryati melihat kantong belanjaan Wahyudi. Hehe, emang dari tadi Wahyudi mulu yang belanja.  Wahyudi sampai heran, 'Kok jadi aku yang belanja ya ??' 




Kita juga ketemu Erni, asli Kalimantan tapi kita ketemunya waktu di Tana Toraja. ‘Gue lihatnya Wahyudi duluan, baru lihat irma nya,’ Erni ketawa-tawa. Erni sendirian aja. Sebelumnya Erni ketemu ama Ninta dan Vira. Cuma beberapa langkah di depan irma. Tapi bener lho irma nggak lihat mereka. Erni jalan sendiri aja. Sebelum lanjut jalan lagi Erni dadah-dadah sama irma. Juga ke Wahyudi yang lagi nyobain gitar buatan Solo.




Sama seperti Bu Aryati, tadi Erni pun komentar, ‘Wahyudi belanja nih.’ Wahyudi jadi malu. Hihihi. ‘Tapi memang kamu nggak punya bukti nyata ya kalau kamu juga belanja,’ Wahyudi bilang. He eh, irma emang sempat beli sarung tenun sabu dan syal Kaliuda. Tapi belanjaan itu irma masukin dalam ransel. Sementara Wahyudi nenteng-nenteng dua kantong plastik gede. Itu pun udah digabung. Kalau belanjaannya masih pake kantong plastik sendiri-sendiri, lebih banyak lagi tentengannya.




Pas Cendrawasih Room kita selesai kita puterin, masuk waktu Maghrib. Kita balik lagi ke mushola di Plenary Hall buat sholat. Selesai sholat, ‘Ke mana lagi nih ?’ tanya Wahyudi. irma mengangkat bahu. Terserah. Kalo irma sih udah selesai. Udah semua irma lihat.



‘Aku mau nyari keramik ikan yang mulutnya …’ Wahyudi nggak selesaikan omongannya karena nggak bisa ngejelasinnya. Wahyudi juga lupa di mana dia lihat tadi. Ya sudahlah, kita kelilingin sekali lagi aja. Keliling Plenary Hall, Cendrawasih Room, Main Lobby, Hall A, Hall B, pokoknya semua kita putarin lagi. ‘Sekarang kamu ya yang ngintil aku,’ Wahyudi bilang. He eh, iya. Tadi Wahyudi yang ngintilin irma J




Akhirnya ketemu yang dicari. Ternyata di Hall B paliiiinnng belakang. Di stand Banjarnegara. Rupanya yang Wahyudi cari tuh keramik bentuk ikan yang mulutnya lagi monyong. Emang lucu bentuknya. Kata yang jualnya itu keramik klampok. Dibuat dari tanah pilihan dan dibakar pada oven temperatur seribu derajat selama dua belas jam. Keramik klampok lain biasanya perlu dibakar minimal 24 jam. ‘Tapi oven saya sudah saya modifikasi jadi bakarnya cukup dua belas jam saja,’ papar penjualnya. Oh, berarti panas yang hilang atau terbuang percuma berhasil diperkecil ya. Penjual itu juga menginjak keramiknya, untuk menunjukkan jaminannya bahwa keramik itu memang kuat.




Keramik ikannya tinggal dua. Wahyudi ambil dua-duanya. Waktu penjualnya bungkusin, irma baru ngeh dari tadi penjual itu ngomong bahasa Jawa sama Wahyudi. Padahal Wahyudi selalu ngomong bahasa Indonesia. ‘Tampangku Jawa banget kali ya,’ komentar Wahyudi. Hahaha, kalo kata Om Eman – om nya irma yang di Bekasi, adik Papa – wajah Wahyudi itu emang tipe Mangkunegaranan …


 


Ok, udah dapat semua yang dicari.  Ceritanya mo pulang.  irma ajak lewat Plenary Hall.  Bukan apa-apa, tapi karena irma pengen lihat ... kain Sumba itu lagi !  Waktu kita lewat sana Ibu Rambu May udah nggak ada.  Sekarang yang jaga orangnya pada cuek-cuek.  Nggak semangat nerangin.  Mungkin udah capek dari pagi jaga pameran.


 


'ir, itu Timor juga,' Wahyudi menunjuk satu stand.  Rasanya tadi kita nggak lihat.  Di Plenary Hall ini stand-stand berdiri memutar.  Jadi agak susah mengingat-ingat jalan mana yang belum dimasuki.  Pantas aja tadi nggak lewat stand itu.


 


Itu stand Kabupaten Timor Tengah.  Heee ... jadi ingat pelajaran geografi dengan Pak Amran tiap kali irma ke rumahnya,  'Kabupaten Timor Tengah.  Ibukotanya Soe.  Dibacanya : Soe.  Bukan Su.'  Kakak yang jaga stand itu menyentuh syal irma dengan senang.  Tau dia, itu kain dari Timor.  Biar bukan dari daerahnya tapi kan masih satu pulau. 


 


Kakak itu bilang, syal yang irma pake itu dibuat oleh orang-orang yang masih menganut animisme.  Belum beragama.  Mereka tinggal di pegunungan.  Agak terisolir dengan daerah luar.  Terisolir, tapi bisa ya mereka bikin kain cantik begitu.  Lalu kakak tersebut tawarkan syal lain.  Bahannya lemes banget.  Tapi sayang irma kurang suka dengan motif dan warnanya.  Jadi di sana irma cuma lihat-lihat aja.  Sambil provokasi seorang ibu yang kepengen beli sehelai selendang, tapi masih belum setuju dengan harganya.  Kakak itu - dan temannya, seorang bapak penjaga yang lain - nggak bisa kasih harga lebih murah lagi.  Mereka bilang itu harga sudah murah.  Harga pengrajin.  Katanya mereka nggak ambil untung.  Katanya ...


 


Bagus emang kain yang si ibu pengen.  Warnanya biru muda lembut keabu-abuan.  Benang pakannya juga warna lembut.  Pink, coklat muda.  irma bilang kalau ibu itu nggak jadi beli, irma yang ambil deh.  Denger irma komentar gitu langsung si ibu bayar sesuai permintaan kakak penjual.  Huehehehe ... tapi irma nggak dapat komisi lho dari stand kabupaten Timor Tengah itu.  Abis gitu irma nguping pembicaraan seorang bapak pengunjung.  Dia pengen beli ke Soe, untuk beli kain-kain tenun.  Bapak penjaga bilang, di Soe bisa dapat kain harganya cuma 1,2 juta.  Tapi kalau udah sampai Kupang harganya jadi 2 jutaan.  Kupang - Soe, berapa lama ?  Pakai apa ?  Itu yang ditanya bapak yang kepengen ke Soe itu.  Karena stand ini nggak menyediakan kartu nama jadi bapak penjaga kasih dia kantong kresek mereka.  Di kantong itu tertulis alamat dan nomor telpon mereka di Soe.  Mereka nggak punya perwakilan di Kupang.




Jam setengah sembilan kita keluar JCC. Suit ! Suit ! Suara orang iseng niru bunyi siulan, ngegodain kita. Waktu irma noleh, haiii … itu Ninta sama Vira. Lagi duduk di tembok tempat tanaman depan lobby luar JCC. ‘Waah, borong nih !’ seru mereka. irma menunjuk-nunjuk Wahyudi, ‘Wahyudi yang belanja !’ Eh Wahyudi bela diri. ‘Nggak, gue cuma bawain aja. Ini belanjaannya irma !’ Wahyudi mengacungkan dua, oh bukan, tiga kantong kresek di tangan. Enak aja. irma menggampar Wahyudi pake ujung syal irma. ‘Ya nggak apa-apa, buat dipake berdua,’ Ninta ketawa lihat kelakuan irma dan Wahyudi. Kita dadah-dadah sama Ninta dan Vira. ‘Jadi udah aja nih ?’ tanyanya. Udah lah, nggak tau apa kita udah sepuluh jam di pameran …





Besok paginya, irma telpon Wahyudi. Hihihi, irma pengen ke Inacraft lagi. Cuma untuk melihat kain Sumba lagi. ‘Lha, pegelnya aja belum hilang mau ke sana lagi ?’ Wahyudi terkejut. Hehe, Wahyudi sih masih capek. Tapi kalau irma udah segeran. Malah tadi malam irma tidur tanpa mimpi. Enak banget. Setelah berhari-hari tidur dihiasi mimpi aneh-aneh. Kalau nggak mimpi kan berarti tidur irma nyenyak.




Ya udah deh, kalau gitu irma jalan sendiri aja ke pamerannya. Selain pengen lihat kain Sumba itu, irma juga mo beli hiasan dinding manik-manik bentuk gajah di stand Lampung. Kemarin ragu-ragu mo beli. Eh sampai rumah malah kebayang-bayang. ‘Iya bagus tuh. Kalo mo beli sekarang-sekarang aja, entar keduluan dibeli orang,’ kata Wahyudi. Iya siang ini irma mo ke sana. Abis sholat Dzuhur.




Jam dua irma ke JCC. Sampai sana, wuih rame banget ! Lebih rame dari kemarin. Bener-bener pasar senggol. Irma sampai ketabrak-tabrak waktu jalan menuju lobby Hall B. Pas sampai sana, seneeeeng banget gajahnya masih ada. Masih bercokol di papan pajangan paling atas.




Kata penjualnya, hiasan dinding itu harganya dua ratus ribu. Hoaaaa … mahal banget
L Boleh kurang dong. ‘Ini bikinnya susah. Manik-maniknya dijahit satu per satu. Coba kamu belajar bikin,’ papar penjualnya. Ngg … kebayang deh susahnya. Tapi boleh dong harganya turun lagi. irma suka sekali sama hiasan dinding itu. Ada gajahnya. Lagi berdiri di atas perahu. Dinaungi siger, hiasan kepala raja-raja. Di kiri kanannya ada relief simbol orang. Sekeliling gambar ada rangkaian kerang. Dibingkai kayu jati tua. ‘Ini manik-maniknya kuat. Abis dijahit terus dikasih obat. Jadi nggak bakalan lepas. Nggak seperti yang Kalimantan itu. Yang ini diinjak-injak juga kuat. Kamu nggak sadar kan kalo tadi kamu udah nginjek-nginjek,’ dia menunjuk hiasan di pintu masuk stand. Oh maaf. Mana irma tau kalau itu nggak boleh diinjek L Lagipula dari tadi penjaga stand yang lain hilir mudik nginjekin hiasan itu.




Akhirnya setelah melas-melas minta turun harga, dia kasih harga seratus lima puluh ribu. Horeee … irma bersorak dalam hati waktu dia bungkusin. Akhirnya dikasih juga. Abis itu irma sms Wahyudi, kasih tau hiasan dindingnya udah dapat. Tadi Wahyudi bilang dia mau nyusul irma ke pameran. Pagi tadi Wahyudi mau selesaiin baca novel Nathaniel's Nutmeg, tentang kolonisasi Inggris pertama kali ke Pulau Run dan Pulau Ai di kepulauan Banda.  Sekarang irma mo ke snack bar buat makan. Laperrr. Seharian ini baru makan roti keju yang kemarin pagi Wahyudi bawain dari Bekasi.




Snack bar yang di lobby Hall B penuh banget. Padahal udah lewat jam makan siang tuh. Jadi irma jalan ke Assembly Hall. Pas lewat Plenary Hall, eh udah masuk waktu Ashar. Irma pun belok ke mushola. Selesai sholat handphone bunyi-bunyi. ‘Kamu di snack bar yang mana ?’ tanya Wahyudi. Lha … irmanya baru juga pake sepatu, belum jalan ke snack bar.




Wahyudi di bawah tangga Main Lobby. Karena dia (lagi) buta arah, irma suruh Wahyudi tunggu irma di sana. Tadi irma berusaha nerangin posisi irma. Tapi nggak kebayang sama Wahyudi. Daripada dia kesasar makin jauh, makin susah ketemu, mending irma yang ke tempat dia. Waktu irma sampai di bawah tangga itu Wahyudi lagi lihat-lihat hasil peserta lomba gambar anak-anak.




Di luar hujan. Kita keliling Plenary Hall sebentar. Lalu irma ke snack bar belakang Assembly Hall, makan sambil nunggu Wahyudi sholat Ashar. Sampai Wahyudi datang menyusul ke snack bar, irma masih ngantri nunggu teh manis panas. Hoa, teh panas kali ini nggak seenak kemarin. Terlalu encer. Tapi spagheti dan pizza nya enak. Eh tapi kalau pizza nya hangat pasti lebih enak lagi
J




Jam lima jalan ke pintu keluar. Yah masih hujan juga. Ya udah kita keliling lagi. ‘Ke Solo yuk,’ ajak Wahyudi. Maksudnya lihat stand Solo Raya. Berarti ke Hall B. Kita jalan ke sana. Eh, kok sekarang di sana nggak terlalu padat ya. Jalan-jalan di antara jajaran stand lumayan lengang. Tapi sayang kotor. ‘Cleaning service nya nggak sempat ngebersihin,’ Wahyudi bilang. Oh iya ya, tadi kan rameee banget. Mana bisa petugas cleaning service sapu-sapu.




Kita nggak nyari apa-apa. Cuma el-el aja nunggu hujan berhenti. Jam enam Wahyudi ngajak balik lagi ke Plenary Hall buat sholat Maghrib. Sebenarnya kita lebih dekat ke mushola di lobby Hall B. Tapi pengalaman kemarin aja mushola nya kotor banget. Apalagi hari ini waktu pengunjung membludak gitu.




Abis sholat Maghrib irma ajak Wahyudi balik lagi ke Hall B. Tadi waktu menuju mushola selintas irma lihat kain bagus di stand NTT. Daripada nyesel sampai rumah kebayang-bayang mulu, mending irma datangi aja stand itu. Untung Wahyudi nggak protes.




Sampai di stand NTT itu, naaa … tu dia kainnya menggantung di samping pintu masuk. Ibu penjaga di sana ketawa lihat irma, ‘Cantik sekali kain tenun sabu nya.’ irma jadi malu. Hari itu irma pakai kain tenun rote yang irma beli di pameran SMESCO awal April lalu. Beli di stand binaan Angkasa Pura bandara El Tari Kupang. Kalau nggak salah yang jualnya kelompok tenun ikat rote Loekeli. Mana irma tau kalau ternyata itu sebenarnya motif sabu. Eh tapi Pulau Sabu dan Rote emang deketan kok.




Ibu itu bilang kain yang irma pakai cantik. Tadi waktu irma lewat stand pemda NTT di Plenary Hall pun bapak penjaga di sana perhatiin. ‘Hei, pake tenun ikat,’ serunya. Kelihatannya dia senang. irma perhatiin emang dari tadi banyak yang ngeliatin irma (huuu … ge er ! ). Mungkin penampilan irma nggak biasa. Tapi masa’ Wahyudi komentar, ‘Kamu pakai apa ? Kayak seniman gitu …’




irma bilang sama ibu itu kalau irma mau lihat kain yang dipajang. ‘Ini dari Biboki. Pakai pewarna alam,’ ia menerangkan. Oh pantas warnanya lembut gitu. Biasanya kalau pakai bahan pewarna sintetik atau kimia, warnanya lebih terang. Ibu itu lalu tunjukkan kain di pojok yang pakai pewarna buatan. Warnanya ngejreng. Tapi pembuatannya sama, ditenun manual.




‘Sepertinya senang dengan kain,’ ibu itu merhatiin irma mengelus-elus kain di sana. Wuahhhh … suka banget ! ‘Bagus. Biasanya kalau dari muda sudah suka koleksi kain, nantinya bisnis kain. Atau bisa jadi designer,’ katanya lagi. Designer ? I wish …




‘Kalau yang ini dari Manalea. Ini juga pakai pewarna alam,’ ibu penjaga stand NTT ambil kain lain. Begitu lihat kain itu irma pengen lompat menerkamnya. Kain itu bagus banget ! Warnanya lembut pink kecoklatan. Garis-garis hijau muda. Ah nggak ada komentar lagi selain, cakep banget deh !




Lalu ibu itu terangkan perbedaan kain Biboki dan Manalea itu. Selintas motifnya hampir sama. Tapi kalau diperhatikan benar-benar, ternyata beda. Yang Biboki itu dalam sehelai kain ada dua motif. Saling simetris satu sama lain. Sedangkan yang Manalea itu hanya ada satu motif. Bahannya pun lebih halus. Lemes.




irma bilang kain yang Biboki itu seperti kain Belu yang irma punya di rumah. ‘Oh justru ini yang lebih dekat ke Belu,’ ibu itu menunjuk kain Manalea. ‘Ini dekat perbatasan Indonesia – Timor Timur.’ Oh gitu. Beda kabupaten, beda lagi motif tenunnya.





'Perbatasan ? Atambua ?' tanya Wahyudi.  'Bukan.  Tapi dekat sana.  Manalea,' ibu itu menegaskan.  'Manalea.  Barangkali dulu ada orang nanya : mana dia ?  Jadinya Manalea,' Wahyudi meletakkan tangan di atas mata, berpura-pura sedang melihat jauh.  'Iya kalau orang Timor bilang, itu dekat saja.  Jangan percaya.  Karena dekat itu berarti di balik gunung,' bilang ibu itu.  Wadugh.



Tiba-tiba datang kakak-kakak masuk ke stand. Dia terkejut lihat irma. irma ingat, dia anak ibu yang kelompok tenun Rote Loekeli itu. ‘Hai,’ irma bilang, ‘ini kainnya aku pake.’ Kakak itu melihat ke bawah. ‘Dibikin rok ya ?’ tanyanya. irma menggeleng. Nggak. irma cuma lilitkan di pinggang aja. Disemat dengan ikat pinggang elastis biar nggak melorot. Sayang kalau dibikin rok. Kalau tetap kain utuh gini kan bisa irma bikin jadi macam-macam.




‘Ih, aku jadi malu. Aku yang orang sana aja jarang pake kain tenun,’ kata kakak itu. Hahaha, mungkin karena udah bosan. Atau mungkin karena jauh dari akarnya. Seperti orang-orang Jawa di sini juga kan belum tentu sering pake batik …




‘Rupanya kalian sudah akrab ya,’ sapa ibu penjaga stand NTT. ‘Ini sepupu saya.’ Oh gitu. Ternyata bisnis keluarganya memang seputar kain tenun ya. Ia lalu menyuruh sepupunya itu ke stand majalah. Sapa tau masih dapat majalah gratisan. Tadi dia lihat irma bawa-bawa Femina. Dikiranya beli. Padahal irma dapat dari stand Femina Group. Waktu irma lewat sana lagi ada bagi-bagi majalah.  Gratis.




‘Sepertinya senang. Kalau memang mau, nanti Tante kasih diskon,’ katanya. Senang ? Gue dah jatuh hati lagiiii, kata irma dalam hati. Susah emang kalau udah jatuh cinta. Susah berpaling ke lain hati. Meskipun ditawarin yang lain, teteeep aja baliknya ke yang disuka.




Jadilah irma pulang bawa sehelai kain Manalea. Padahal niat semula cuma mo beli hiasan dinding manik-manik gambar gajah. Sebelum berpisah, Tante itu kasih kartu nama. Tertulis namanya Dorce Lussi, dari Sentra Tenun Ikat Ina Ndao. Tante Lussi juga kasih pamflet tentang sentra tersebut. Waktu makan di Bakso Lapangan Tembak Senayan di sebelah JCC sepulang lihat pameran, baru ngeh ternyata foto perempuan di pamflet itu, perempuan yang lagi terima penghargaan Paramakarya dari Presiden SBY di bulan Desember 2005 itu ternyata … ya Tante Lussi sendiri.





mo tau tentang Tenun Ikat ? coba baca buku ini ... Link



6 comments:

  1. Seru amat ceritanya di Inacraft. Isinya pasti bagus-bagus ya, Ma. Gak ketemu Sesi??

    ReplyDelete
  2. Ir, kok gak ketemu ya? aku masuk jcc jam 10:05............ sampai jam 3:30pm....

    ReplyDelete
  3. Nggak. Ketemu Sesi malah waktu pameran Deep Indonesia di Semanggi Expo. Kalau di pameran gitu Sesi nggak tidur ya. Nggak kayak waktu di bis. Padahal sama-sama adem kena AC, hehehehe ...

    ReplyDelete
  4. wah, ma oen datang lebih pagi lagi. jam segitu irma masih di jalan. terang aja nggak ketemu

    ReplyDelete
  5. wah, sampe ke inacraft nya 2 kali,ga pegel tuh?

    ReplyDelete
  6. nggak. malah malamnya irma tidur enak banget :D

    ReplyDelete