Friday, April 27, 2007

One eye Jack

 


Mungkin dulu ibuku pernah jatuh ketika aku di dalam kandungannya.  Sejak lahir mata kiriku cacat.  Tidak sampai buta.  Tapi penglihatanku buram.  Jika mata kanan kututup maka yang kulihat hanya bentuk-bentuk tanpa rupa yang jelas.


 


Meski cacat ibu dan bapak memperlakukanku seperti anak normal lainnya.  Kamu masih punya mata kanan, jangan manja.  Begitu selalu bapak bilang.  Banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dengan satu mata.  Waktu praktikum biologi di SMA aku yang paling dulu bisa melihat mikroba dengan mikroskop.  Karena aku sudah terbiasa melihat dengan mata satu.


 


Kata bapak lagi, di cerita-cerita klasik selalu digambarkan bajak laut itu bermata satu.  Biar matanya satu tapi dia tajam melihat kapal di kejauhan.  Tentu bapak tidak ingin aku menjadi bajak laut.  Aku juga tidak mungkin masuk sekolah kelautan.  Karena mataku yang cacat satu itu.


 


Aku beruntung bisa bersekolah di STM elektro.  Gratis.  Berkat surat keterangan keluarga miskin dari lurah dan camat.  Keluarga kami memang kurang mampu.  Bapak kerja sebagai tukang reparasi jam.  Kiosnya di pinggir jalan depan pasar.  Satu-satunya pasar di kota kami.  Berapa banyak orang datang betulkan jam ?  Orang lebih suka beli baru daripada betulkan yang rusak.


 


Sekali waktu ada orang datang bawa jam kuno.  Katanya itu jam peninggalan Belanda.  Sudah beberapa tukang jam ia datangi.  Tidak ada yang sanggup betulkan.  Bapak juga tidak janjikan jam itu bisa berfungsi lagi.  Tapi Bapak berusaha.  Dan Bapak berhasil.  Orang itu senang sekali.  Ia bayar Bapak cukup banyak.  Bulan depan ia datang lagi.  Ia cerita, jam itu dibeli seorang kolektor.  Harganya sampai jutaan.  Ia datang untuk membagi keuntungan yang ia peroleh kepada Bapak.  Tanpa bantuan Bapak, jam itu tidak mungkin laku dijual dengan harga begitu tinggi. 


 


Ketika orang itu pergi, Bapak bilang kepadaku bahwa rezeki itu tidak akan lari ke mana.  Sudah ada yang mengatur.  Asal kita bekerja rajin, jujur dan tidak loba.  Kata-kata Bapak itu aku camkan benar.  Ketika itu aku sudah kelas 3 STM.  Sebentar lagi aku praktek kerja industri.


 


Aku lulus STM sebagai lulusan terbaik.  Nilai-nilaiku bagus semua.  Pabrik tempatku praktek kerja juga memberikan penilaian bagus dan rekomendasi.  Tapi itu tidak menjamin aku mulus memperoleh pekerjaan.  Teman-teman seangkatanku sudah kerja semua.  Aku masih menganggur.  Selalu kuterima alasan penolakan yang sama dari pabrik-pabrik itu.  Mereka menginginkan karyawan dengan fisik sehat sempurna.  Bukan bermata cacat satu seperti aku.


 


Tentu saja aku kecewa.  Bapak hibur aku.  Ia bilang mungkin rezeki aku bukan di pabrik seperti teman-temanku.  Untuk mengisi waktu Bapak ajarkan aku membetulkan jam.  Siapa tahu, di kemudian hari keterampilan itu akan berguna.


 


Suatu hari ketika sedang di kios, Bapak menyuruh aku pulang duluan.  Sebelumnya Bapak kasih uang.  Tadi pagi ada orang bayar Bapak upah betulkan jam weker.  Belikan ibumu jeruk, begitu beliau bilang.  Aku menurut.  Ibu memang suka sekali makan jeruk.  Jeruk bulat warna jingga cerah.  Rasanya manis sekali.  Kata orang itu jeruk sunkist.  Mahal harganya.  Dengan uang yang Bapak kasih aku hanya bisa beli dua butir jeruk.


 


Ibu senang sekali melihat aku pulang bawa jeruk.  Ia kupas satu.  Dimakan berdua dengan aku.  Satu lagi nanti kami makan sama-sama setelah Bapak pulang.  Ibu selalu mengajarkan aku untuk berbagi.  Biarpun sedikit tapi harus dibagi.  Jangan simpan dan habiskan sendiri.


 


Tiba-tiba ada orang datang berlari-lari.  Ia bilang Bapak di rumah sakit.  Tadi ada motor ugal-ugalan melaju di depan pasar.  Kios Bapak ketabrak.  Bapak yang sedang menunduk betulkan jam di dalam kios jatuh terjengkang.   Bapak tidak sadarkan diri.


 


Kami bergegas ke rumah sakit.  Bapak sudah meninggal.  Dokter bilang leher Bapak patah.  Ada gangguan di pernapasannya.  Dan benturan di kepalanya cukup keras.  Waktu sampai di rumah sakit Bapak sudah almarhum.  Ibu pingsan.  Ketika sadar Ibu menangis meraung-raung.  Aku peluk Ibu erat-erat.  Aku tau, aku harus menjaga Ibu.  Pasti itu yang Bapak ingin aku lakukan.


 


Sepeninggal Bapak, Ibu muram.  Jeruk sebutir lagi yang sekiranya akan kami makan bersama ia pegang erat-erat.  Itu saja kerjanya tiap hari.  Sampai jeruk itu mengkerut.  Herannya, jeruk itu tidak membusuk.  Ia jadi kering.


 


Sebulan kemudian Ibu meninggal.  Malam terakhir bersamaku ia mengeluh dadanya sakit.  Mungkin masuk angin.  Aku memijat-mijat bahu Ibu.  Juga leher, kepala, lengan hingga telapak tangan.  Setelah dipijat Ibu minta aku tidur di sampingnya.  Aku ingat, tangannya mengelus-elus kepalaku.  Sebenarnya aku risih.  Tapi kubiarkan saja.  Kalau itu bisa membuat Ibu senang, aku tak apa.  Ibu bilang, Ibu kangen Bapak.  Sempat kudengar ia terisak.  Esok pagi waktu aku bangun, badan Ibu dingin.  Ibu meninggal dunia saat tidur.


 


Aku tidak punya siapa-siapa.  Sekarang aku sebatang kara.  Aku tidak tau apakah aku punya kerabat.  Paman, bibi, ua, atau kakek nenek.  Seingatku hanya Ibu Bapak saja keluargaku.  Dan para tetangga yang selama ini selalu membantu.  Mereka bantu dalam pemakaman Bapak, pemakaman Ibu.  Mereka hibur aku.  Tapi setelah mereka pulang ke rumah masing-masing, aku merasa sepi.  Aku putuskan merantau ke Jakarta.  Kata orang, di sana pusat pemerintahan.  Banyak lowongan kerja.


 


Berbekal ijazah STM, surat rekomendasi pabrik, dan surat keterangan dari lurah dan camat aku ke Jakarta.  Menumpang mobil pengangkut sayur ke pasar induk.  Bawaanku cuma satu ransel kecil.  Isinya dua stel baju, sarung Bapak dan Qur’an kecil yang biasa Ibu baca.  Juga beberapa perlengkapan elekronikku.  Solder dan test pen.  Kubawa pula perlengkapan Bapak membetulkan jam.


 


Di Jakarta susah mencari kerja.  Aku tidak kenal siapa-siapa.  Setiap hari aku berjalan.  Cari tempat yang menawarkan pekerjaan.  Tapi semua tempat yang kutuju selalu memasang tulisan yang sama.  Tidak ada lowongan kerja.


 


Waktu itu hujan turun deras.  Aku berlari numpang teduh di emperan toko.  Saat itu uangku sudah habis sama sekali.  Uang yang kuperoleh dari tetangga saat orangtuaku meninggal.  Aku tidak tau besok aku makan apa.  Mungkin aku akan cari mesjid yang lumayan besar.  Siapa tahu penjaganya izinkan aku bantu-bantu di sana.  Selama ini aku numpang tidur di mushola-mushola.


 


Baru aku perhatikan.  Dekat emperan tempat aku numpang teduh itu ada bengkel dinamo.  Kecil bengkel itu.  Nyaris tidak terlihat dari jalan.  Dinamo !  Aku tau benar benda itu.  Kenapa selama ini tidak terpikir olehku untuk bekerja di bengkel seperti itu ?  Aku lalu berjalan ke sana.  Kulihat seorang bapak tua sedang mengutak-atik dinamo.  Ia mendongak waktu aku mengucapkan salam.  Dikiranya aku pelanggan yang akan masukkan dinamo untuk diservis.


 


Aku jelaskan kepadanya aku mencari kerja.  Ia mengerutkan kening.  Ia bilang ia tidak memerlukan asisten.  Bengkel ini sepi pelanggan.  Ia sarankan aku cari bengkel lain.  Lalu ia berbalik kembali ke meja kerjanya.


 


Entah dari mana datangnya keberanian itu, tiba-tiba saja aku cekal lengannya.  Bapak, tolong dengarkan saya dulu.  Sebentar saja.  Aku memohon kepadanya.  Ia terkejut.  Tanpa beri kesempatan ia pulih dari rasa terkejut aku bercerita tentang diriku.  Tentang pendidikanku yang lulusan STM.  Tentang pabrik-pabrik yang menolakku.  Tentang mata kiriku yang cacat.  Tentang orang tuaku yang baru meninggal.  Tentang diriku yang sebatang kara.


 


Aku sudah siap seandainya ia gusar dan mengusirku.  Tapi ternyata ia berubah sikap.  Ia ajak aku duduk di meja kerjanya.  Ia minta aku cerita tentang diriku sekali lagi.  Tapi dalam irama pelan dan suara agak keras karena pendengarannya agak kurang.  Sementara di luar hujan deras.


 


Aku cerita lagi.  Aku tunjukkan ijazah STM ku, surat keterangan dari lurah dan camat, juga rekomendasi pabrik.  Ia mengangguk-angguk melihatnya.  Ia katakan sayang sekali nilaiku bagus tapi tidak ada yang mau mempekerjakanku.  Tapi ia juga tidak bisa membantuku.


 


Aku minta izin bantu-bantu ia di bengkel.  Berapapun upah ia kasih aku terima.  Asal aku ada kerjaan, cukup untuk beli makan.  Aku tawarkan dinamo yang sedang ia perbaiki itu aku yang betulkan.  Biar ia bisa menilai sendiri kemampuanku.


 


Bapak itu terlihat ragu.  Tapi ia izinkan aku betulkan dinamo itu.  Sore pekerjaanku baru selesai.  Aku sangat asik memperbaikinya.  Sampai aku lupa makan.  Bahkan lapar pun tak terasa.  Aku tidak sadar kalau bapak pemilik bengkel belikan aku teh manis hangat dan dua potong pisang goreng.  Pisang goreng itu kami makan sama-sama.  Sepotong untuknya.  Sepotong lagi untukku. 


 


Sejak itu aku bekerja di bengkelnya.  Berapapun uang yang ia kasih aku terima.  Aku merasa sangat terbantu.  Bahkan ia tawarkan aku tinggal di rumahnya.  Aku tolak.  Aku memilih untuk tinggal di bengkel.  Malam hari aku gelar tikar di lantai.  Aku tidur di antara motor-motor dinamo.


 


Sepuluh tahun aku bekerja pada bapak itu.  Hingga beliau meninggal.  Selanjutnya bengkel itu dikelola kemenakannya yang dari Solo.  Bapak itu sama seperti aku.  Sebatang kara di Jakarta.  Tidak ada istri, tidak punya anak.  Tapi ia memperlakukan aku selayaknya anak ia sendiri.


 


Karena tidak cocok dengan pemilik bengkel yang baru aku putuskan tidak lagi bekerja di sana.  Lagipula aku merasa sudah waktunya aku buka usaha sendiri.  Tabunganku sudah lumayan.  Selama ini aku selalu hidup berhemat.  Satu-satunya benda mahal yang aku beli hanya radio.  Untuk menemaniku bekerja di bengkel. 


 


Aku berpikir, jenis usaha apa yang bisa kulakukan.  Aku tidak tertarik untuk membuka bengkel dinamo.  Makin banyak bengkel semacam ini.  Padahal pelanggan tidak banyak.  Persaingan makin berat.


 


Suatu hari waktu jalan-jalan ke Senayan, aku lihat di sana sedang ada pameran kerajinan.  Aku masuk ke dalam satu gedung.  Gedungnya dingin sekali.  Dan luas.  Orang bilang itu JCC.  Banyak orang datang ke sana.  Kebanyakan orang-orang muda.


 


Pulang dari pameran aku berpikir-pikir.  Aku juga mau seperti itu.  Membuat sesuatu.  Lalu dijual.  Malah ada yang sampai eksport ke manca negara.  Tapi apa yang akan aku buat ?  Sepanjang jalan ke rumah kontrakan aku mencari-cari ide.  Aku tidak mau buat barang hanya sekedar untuk hiasan atau pajangan.  Harus ada kegunaannya.


 


Maghrib aku tiba di rumah kontrakan.  Seorang tetangga menungguku.  Sejak siang ia mencari-cariku.  Ia bilang pompa airnya rusak.  Seharian ini di rumahnya sulit air.  Ia minta tolong aku ke sana memeriksa pompa.  Aku memintanya menunggu sebentar.  Setelah sholat lalu sama-sama kami berjalan ke rumahnya.


 


Pompa itu letaknya jauh di belakang rumah.  Dekat pohon-pohon bambu.  Gelap.  Tidak ada lampu di sana.  Bulu kudukku merinding.  Aku merasa takut.  Ini Maghrib.  Kata orang, saat Maghrib banyak makhluk halus melintas jalan.  Apalagi di tempat rimbun dan gelap begini.  Aku takut menabrak mereka.  Dalam hati kuucapkan doa.  Aku bilang juga bahwa tujuan aku ke sana untuk memperbaiki pompa yang rusak.  Tidak ada maksud untuk mengusik mereka. 


 


Aku minta tetanggaku itu memegangkan senter sementara aku memeriksa pompa.  Aku perlu kedua tanganku untuk memeriksa.  Tapi satu tanganku harus memegang senter.  Aku butuh cahaya.  Saat itulah terlintas ide di benakku.  Kenapa tidak kubuat lampu senter kecil, tapi sinarnya terang, yang bisa dipasang kepala, tepat di atas dahi.  Jadi pemakainya bisa tetap pakai dua tangannya untuk melakukan hal lain.


 


Semula aku mencontoh lampu yang sering kulihat di cerita-cerita tentang penambang.  Tapi lampu itu terlalu besar.  Berat di kepala.  Lagipula tidak praktis karena pemakainya harus memakai semacam head band untuk menempatkan lampu.


 


Beberapa kali coba akhirnya aku berhasil membuat lampu yang kuinginkan.  Kuberi nama FORE LAMP karena diletakkan di depan dahi.  Bukankah dahi bahasa Inggrisnya forehead.  Lampu itu mungil.  Cahayanya terang.  Tapi yang aku suka lampu tersebut bisa diputar mengarah ke depan, atas, belakang, dan bawah.  Ada penjepitnya.  Bisa disemat di topi bahkan papan kertas.


 


Aku menjajakannya di bis dan kendaraan umum.  Sengaja aku berjualan malam hari agar orang bisa melihat jelas lampu tersebut memang terang.  Tidak mahal harganya.  Sepuluh ribu rupiah sudah termasuk batere cadangan.  Aku pilih batere jam yang pipih sebagai sumber tenaga listriknya.


 


Ternyata tidak mudah berjualan lampu tersebut.  Dalam sehari belum tentu aku berhasil menjual satu pun.  Malam hari para penumpang bis itu lebih sering tidur.  Mana sempat mereka perhatikan aku berjualan. 


 


Sekali waktu di bis yang aku naiki ada seorang penumpang perempuan remaja.  Ia duduk di bawah lampu penerang dalam bis.  Ia asik membaca.  Tidak terpengaruh dengan berisik suara mesin bis dan klakson kendaraan saat macet.  Baru kali ini aku lihat ada penumpang membaca dalam bis. 


 


Perempuan remaja itu perhatikan aku mendemonstrasikan penggunaan fore lamp.  Kelihatannya ia tertarik.  Aku tunjukkan juga bahwa lampu itu bisa disemat di halaman buku.  Sengaja kuucapkan keras-keras bahwa cahaya lampu yang kurang saat membaca akan merusak mata.


 


Kukira ia akan membeli lampuku.  Tapi saat aku lewat kursinya ia menunduk.  Tandanya ia tidak berminat.  Aku turun dari bis dengan perasaan kecewa.  Padahal sebelumnya aku begitu berharap.  Kelihatannya anak itu suka membaca.  Kelihatannya lagi ia anak orang berada.  Sepuluh ribu rupiah baginya tentu bukan suatu nilai yang tinggi.


 


Aku terus berusaha menjual fore lamp.  Ku percantik kemasannya.  Aku juga berjualan di mal-mal.  Tapi sejak diusir satpam aku tidak lagi berani berjualan di sana.  Aku kemudian fokus berjualan di Istora Senayan saban Minggu pagi, saat orang ramai berolahraga.  Jualan di bis-bis juga tetap kujalani.


 


Suatu siang aku duduk tertunduk lesu di halte dekat Pancoran.  Tadi aku terjatuh saat turun dari bis.  Penumpang di belakang terburu-buru turun.  Tanpa sengaja ia mendorongku.  Aku jatuh.  Tas sandang berisi fore lamp terlempar.  Satu sepeda motor melintas.  Aku dengar suara kaca pecah ketika rodanya melindas tas.  Saat tas aku buka, sekitar sepuluh fore lamp hancur.


 


Kepada siapa aku minta ganti ?  Penumpang yang mendorongku hanya berkata singkat, ‘Maaf.’  Ia berlari-lari naik jembatan penyeberangan.  Pengendara motor itu juga tidak peduli.  Ia sama sekali tidak berhenti.


 


Saat sedih di halte itulah aku dengar suara anak perempuan menyapaku.  ‘Bapak yang jual lampu itu ya ?  Masih ada ?’


 


Aku mendongak.  Di depanku ada seorang perempuan remaja.  Rasanya aku pernah melihat wajahnya.  Tapi di mana ?  Aku berusaha mengingat-ingat.  Ah ya, ia anak perempuan di bis tempo malam itu.  Yang duduk membaca di bawah cahaya lampu penerang dalam bis.


 


Ia bilang ia ingin beli lampuku.  Dua.  Sebenarnya malam waktu aku menawarkan lampu kepadanya itu, ia ingin beli.  Tapi dompetnya terletak di dalam tas.  Sedangkan ia tidak berani mengeluarkan dompet di kendaraan umum.  Takut diincar copet.


 


Aku mengangguk maklum.  Sudah kuduga.  Sebenarnya memang ia ingin beli lampuku.  Aku ajarkan apa yang bisa ia lakukan dengan lampu itu.  Tertawa dia bilang dia hanya pakai untuk membaca di kendaraan dalam perjalanan malam hari.  Sementara aku bilang lampu itu juga bisa dipakai saat mancing.


 


‘Bapak, ini lampu buat sendiri ya ?’ ia perhatikan lampu buatanku.  Dengan penuh kebanggaan kujawab, iya.  ‘Bagus,’ katanya lagi, ‘Bapak mau nggak buatkan lagi untuk saya ?  Nanti saya tunjukin lampunya seperti apa.’


 


 


Dua hari kemudian aku ke rumah Kania, perempuan remaja itu.  Semula aku ragu memencet bel di pintu pagarnya.  Rumah itu di kawasan perumahan mewah.  Tadi saja waktu masuk ke dalam kawasan aku diminta meninggalkan KTP di pos satpam.


 


Terdengar suara salakan anjing.  Terus terang aku paling takut dengan hewan itu.  Katanya kalau digigit orang bisa jadi gila.  Di bangku SMP aku baru tau bukan orang yang digigit anjing yang jadi gila.  Tapi memang anjingnya yang gila.  Namanya penyakit rabies.  Jika tidak segera diobati orang yang digigit anjing gila bisa meninggal.


 


Pintu kecil di samping pintu gerbang terbuka.  Seorang perempuan muda menanyakan maksud kedatanganku.  Sepertinya ia pembantu di rumah itu.  Tapi berbeda dengan para pembantu yang sering kulihat di rumah-rumah mewah, pembantu yang ini sangat sopan kepada orang miskin sepertiku.  Pembantu rumah mewah yang sering kutemui biasanya bersikap sombong.  Serasa dia yang jadi orang kaya.


 


Aku bilang aku mau menjumpai Neng Kania untuk urusan lampu.  Sengaja kusebut ia dengan ‘Neng’, untuk menunjukkan perasaan hormatku kepadanya.  Pembantu tadi meminta aku menunggu sementara ia bertanya kepada Kania.  Pintu kecil ia tutup. 


 


Tidak berapa lama pembantu itu kembali.  Ia persilakan aku masuk ke dalam rumah.  Dengan takut-takut aku berjalan di belakangnya.  Aku was-was, takut tiba-tiba anjing yang tadi menyalak itu menyergapku.  Mataku melihat penjuru halaman.  Mencari-cari anjing itu.  Aku temukan ia sedang tiduran di rumput dekat air mancur.  Tiduran, tapi kelihatannya ia tetap siaga.


 


Kusangka aku disuruh menunggu di garasi.  Tapi ternyata pembantu itu menyuruhku masuk ke ruang tamu.  Aku terkejut.  Aku tidak menyangka kalau penghuni rumah ini begitu percaya kepadaku.  Aku sudah sering dicurigai oleh orang-orang kaya.  Terutama kalau mereka melihat mata kiriku yang cacat.


 


Kursi tamu yang kududuki empuk sekali.  Aku duduk di ujung.  Aku tidak berani duduk memenuhi seluruh kursi.  Bajuku yang lusuh rasanya tidak pantas duduk di sana.  Pembantu tadi tersenyum-senyum melihatku salah tingkah.  Ia pergi ke ruang belakang.  Saat kembali ia bawakan aku minuman dingin.  Aku makin terkejut.


 


Aku menunggu dengan gelisah.  Rasanya waktu berjalan lambat sekali.  Mungkin ada sekitar lima belas menit aku menunggu sampai Kania muncul di ruang tamu.  Mengenakan baju kaus dan rok pendek, ia kelihatan begitu mungil.  Rambutnya ditutupi scarf kembang-kembang merah.  Ia memegang kertas dan pensil.


 


Kania menyapaku.  Setelah berbasa-basi sebentar ia memintaku pergi dengannya.  Lampu yang ingin ia tunjukkan ada di gallery ibunya di Kemang.  Kami berangkat diantar sopir.  Pakai mobil mewah.  Di ujung kap mobil ada patung kecil berbentuk macan melompat.


 


Ternyata ibunya Kania seorang desainer.  Ia tersenyum melihat kami datang.  Aku menunduk-nunduk saat berjalan melewatinya.  Rasanya aku begitu kecil di hadapannya.  Kania dan ibunya sama.  Mereka tampak agung di mataku.


 


Kania menunjukkan lampu yang dipakai menerangi kain tenun di gallery.  ‘Lampunya seperti ini, tapi …’ ia menjelaskan modifikasi yang diinginkan.  Tangannya mencoret-coret pensil di atas kertas, membuat sketsa lampu rancangannya.


 


Sejak saat itu aku membuat lampu pesanan Kania.  Idenya tak pernah habis.  Tiap kali melihat lampu yang menarik ia selalu ajak aku melihatnya.  Lama kelamaan aku memberanikan diri memberikan masukan terhadap rancangannya.  Kania tidak pernah mengabaikan saranku.  Menurutnya aku lebih tau dalam hal kelistrikan dan pembuatan.  Ia hanya bisa merancang.


 


Padahal Kania tidak mempunyai latar belakang desain.   Ia mahasiswa Antropologi.  Tapi rancangannya bagus.  Mungkin sense itu menurun dari ibunya.  Tidak pernah Kania membuat desain lampu yang sama.  Dan sama seperti aku, Kania juga menekankan ke fungsinya daripada sekedar pajangan.


 


Lampu-lampu buatanku dipajang di gallery ibunya Kania.  Aku tau lampu-lampu itu dijual dengan harga tinggi.  Tapi aku tak pernah berharap dibayar mahal.  Aku cukup senang orang menghargai buatanku.  Semula kukira Kania hanya akan membayar upah kerjaku saja.  Tapi ternyata ia membagi dua hasil penjualan lampu.  Setengahnya untuk dia selaku perancang.  Setengah lagi untukku sebagai pengrajinnya.  Aku terharu.  


 


Semakin lama lampu rancangan Kania makin dikenal.  Aku kian sibuk membuat lampu pesanannya.  Suatu hari dia beritahu aku kalau lampu buatan kami mendapat penghargaan Best Design Award.  Ia selalu menyebut lampu itu buatan kami berdua.  Tidak pernah ia katakan itu lampu karya dia sendiri.  Aku seringkali merasa malu.  Rasanya ia terlalu menyanjungku.


 


Maka hari itu berdirilah aku di podium, bersama Kania menerima penghargaan dari Pak Menteri.  Hari itu pembukaan pameran kerajinan nasional.  Seluruh ruang JCC penuh terisi stand peserta pameran.  Aku tidak menyangka, dua tahun yang lalu aku hanya menjadi pengunjung.  Kini aku menjadi peserta.  Hasil pekerjaanku dipajang bersama karya desainer lain.


 


Kania tersenyum lebar saat Pak Menteri memberinya plakat.  Saat menyalamiku, Pak Menteri menjabat tanganku erat.  ‘Terus berkarya ya,’ katanya.  Beliau menepuk bahuku sebelum beranjak ke penerima penghargaan kategori lain. 


 


Tenggorokanku tercekat.  Rasanya aku ingin menangis.  Aku ingat almarhumah Ibu.  Aku ingat almarhum Bapak.  Andai mereka bisa lihat aku berdiri di sini.  Andai mereka bisa lihat aku berhasil begini.  Benar yang Bapak bilang.  Rezekiku bukan di pabrik seperti teman-temanku.


 


 


 


... terinspirasi dari cerita seorang pedagang lampu yang kutemui di metro mini 604 sepulang kerja ...


 


 

6 comments:

  1. irmaaaaaaaaaaaaaaa...wiken mo kemana??

    ReplyDelete
  2. besok sih agendanya baru nyuci en beres-beres kamar aja. mo bantuin ??

    ReplyDelete
  3. hmmmm sekalian kamar gw dong ma *ting*
    kalo loe masak, gw mo bantuin makan dech...nyengir cantik ;p

    ReplyDelete
  4. kayak di headshot lu ini ya, hehehe.
    masak ? dooh, gw paling menghindar dapur !

    ReplyDelete
  5. wakakakaakkaakk.....khusus buat irma ;P
    sama dong gw ga doyan masak, makan mah hajarrr bleh ;)))

    ReplyDelete
  6. buset ! babak belur tuh yang jaga kantin dihajarin mulu ...

    ReplyDelete