Sunday, November 18, 2007

Benteng Amsterdam

 

 

 

 

Terletak di desa Hila, tahun lalu waktu irma ke benteng ini, atapnya bolong karena sedang direnovasi.  Oktober kemarin datang lagi, atapnya sudah terpasang rapi.  Warna merahnya kinclong banget.  Kontras dengan laut biru di belakang benteng.  Itu bukan atap asli.  Yang masih asli peninggalan Belanda dalam benteng ini adalah lantai batunya, tembok semen, dan kayu-kayu penopang beserta tangga menuju lantai atas.  Juga teras kayu di lantai dua.  Makanya waktu tahun lalu menjelajahi seluruh pelosok benteng Amsterdam hingga ke lantai paling atas tepat di bawah atap, bapak penjaga temani kita dan kasih tunjuk area-area mana yang aman untuk dipijak.  Batu dan semen tentu aman.  Tapi ia tidak merekomendasikan kita untuk berdiri di teras kayu.  ‘Teras itu jangan dipijak, kayunya sudah lapuk,’ begitu ia bilang.  Makanya waktu kemarin lihat Bing, Dianty, Lenny, dan Arini ramai-ramai mejeng di teras itu, irma khawatir teras itu ambruk.  Mana kemudian Mas Fahmi ikutan berdiri di sana lagi.

 

Sama seperti tahun lalu, bapak penjaga minta kita untuk mengisi buku tamu.  Senang sekali di buku tamu itu masih ada tulisan kita waktu ke sana di bulan Desember 2006.  Di buku itu pun masih terselip fotokopian gambar Benteng Amsterdam menurut Francois Valentijn dalam buku ‘Beschrijving van Amboina’ (Tulisan tentang Ambon).  Gambar inilah yang jadi acuan renovasi benteng.  Bagaimana dengan meriam, biasanya kan di benteng ada meriam.  ‘Dulu waktu saya masih kecil masih ada meriamnya, sekitar sepuluh.  Saya ingat itu.  Lalu meriam-meriamnya dibawa ke Ambon,’ cerita bapak penjaga.  Ke Ambon, apa disimpan di Benteng Victoria, yang sekarang jadi markas militer ?  ‘Bukan.  Bukan.  Yang di Benteng Victoria itu memang benar meriam Benteng Victoria,’ ujarnya kemudian.  Lalu beliau mengajak kita ke dalam kantor di sebelah benteng.  Di sana kita bisa lihat foto-foto renovasi benteng di tahun 1970an.

 

Sayang sekali kita tidak ketemu nara sumber yang bisa banyak bercerita tentang Benteng Amsterdam ini.  Selain nunjukin fotokopian tadi, bapak penjaga hanya bilang bahwa benteng ini dulu dibangun oleh Portugis pada tahun 1512 kemudian diambil alih oleh Belanda pada abad ke-17.  Tapi pada booklet ‘Ambon Island’ dari Kantor Pariwisata Propinsi Maluku, dikatakan bahwa benteng ini merupakan benteng kedua yang dibangun oleh Belanda, setelah benteng Kasteel Van Verre di dekat Seith hancur.  Benteng Amsterdam didirikan pada masa perdagangan rempah-rempah di awal abad ke – 17, setelah VOC – Vereenigde Oost Indische Compagnie – dibentuk oleh Heeren Zeventien di Belanda.  G.E. Rumphius pernah tinggal di benteng ini, menulis buku-buku tentang flora dan fauna Ambon. 

 

Georg Everhard Rumphius adalah seorang naturalis dan ahli sejarah dari Jerman (1627 – 1702).  Selain menulis tentang flora dan fauna Ambon, ia juga menulis tentang gempa dan tsunami yang melanda Maluku dalam bukunya yang berjudul ‘ Waerachtigh Verhael Van de Schrickelijcke Aerdbevinge’.  Gempa dan tsunami itu terjadi pada tanggal 17 Februari 1674, mengakibatkan kerusakan parah desa-desa di pesisir utara Pulau Ambon dan bagian selatan Pulau Seram.  Buku-buku karya G.E. Rumphius bisa kita lihat di Perpustakaan Rumphius yang dikelola oleh Andreas Petrus Cornelius Sol MSC di komplek Pastoran Paroki Santo Franciscus Xaverius, Ambon.

 

Memasuki benteng, di dekat pintu masuk kita akan menemui prasasti dengan lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.  Prasasti tersebut bertuliskan :

 

BENTENG AMSTERDAM

Mulai Dibangun Oleh :  GERARD DEMMER Pada Tahun 1642

Kemudian diperluas dan diperbesar oleh : ARNOLD De VLAMING Van OUDS HOORN

Pada Tahun 1649 hingga Tahun 1656

Dipugar Kembali Oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Kantor Wilayah Propinsi Maluku, mulai bulan Juli Tahun 1991 hingga bulan Maret Tahun 1994

Ambon, 16 Pebruari 1997

Kepala Bidang Permuseuman

 

Jadi sudah beberapa kali benteng ini direnovasi.  Tapi tidak banyak yang bisa kita lihat di dalamnya, selain satu bilik kecil di lantai dasar, jendela-jendela dan teras di lantai dua, tangga kayu ke lantai atas, dan kayu-kayu penopang.  Tangga dan kayu-kayunya berwarna merah, mengingatkan irma akan Menara Syahbandar di dekat Museum Bahari, di Kota, Jakarta.  Hebat ya, udah ratusan tahun umurnya tapi kayu itu masih kokoh menahan bobot kita yang menginjaknya.

 

Karena tahun lalu udah puas menjelajahi bagian dalam benteng hingga ke lantai paling atas, kemarin irma hanya jalan-jalan di pelatarannya saja.  Malas rasanya menghirup aroma lembab di dalam benteng.  Lebih enak duduk-duduk di tembok yang langsung berbatasan dengan laut, melihat ke laut dan pantai.  Anak-anak itu di pantai ngapain ya, berdiri membungkuk-bungkuk begitu.  Apakah mereka sedang mencari ikan yang terperangkap di antara batu karang ?

 

 

1 comment: