Thursday, November 15, 2007

Desa Lonthoir, Banda Besar

 

Dari dulu pusatnya pala di Banda tuh, ya di pulau Banda Besar.  Di sana banyak banget kebun Pala.  Pala (Myristica fragrans) adalah tanaman asli Banda.  Bunganya yang dikeringkan disebut ‘fuli’.  Bunga ini membungkus daging buah pala di balik kulitnya yang kuning pucat seperti warna kulit buah duku.  Sejak dulu pala dan fuli banyak dimanfaatkan untuk rempah-rempah.  Mereka inilah yang mengundang bangsa Eropa datang ke Indonesia lima ratus tahun yang lalu.  Pala bikin orang-orang Banda kaya, tapi Pala juga yang buat mereka merana. 

 

Setelah ‘pemusnahan’ rakyat Banda oleh JP Coen di tahun 1621, VOC mendatangkan orang-orang Belanda untuk mengelola kebun Pala.  Mereka mendapat jatah tanah yang harus mereka tanami pohon Pala.  Tanah tersebut tidak boleh mereka jual tapi boleh disewakan atau kalau tidak sanggup mengelola, dikembalikan ke VOC.  Hasil kebun Pala harus dijual kepada VOC.  Namanya juga monopoli.  Terpengaruh oleh bahasa Belanda, kebun Pala di Banda disebut Perk.  Sedangkan tuan tanah pengelolanya disebut Perkenier.

 

Di Desa Lonthoir di Pulau Banda Besar masih bisa kita temui satu rumah perkenier.  Sekarang rumah itu kosong.  Dipakai hanya untuk acara-acara desa.  irma sempat ke rumah tersebut di bulan Oktober lalu, menunaikan utang kunjungan ke Banda tahun lalu.  Utang ?  Yap, tahun kemarin irma cuma meniti 220 dari 350 anak tangga Desa Lonthoir.  Di anak tangga ke 220 kami berbelok ke Benteng Hollandia.  Sampai di hotel dan baca booklet ‘Banda Island’, baru tau kalau ternyata di ujung atau puncak dari 350 anak tangga itu terdapat rumah perkenier.  Nyesal karena nggak sempat ke sana, irma bilang kalau ke Banda lagi irma akan menyelesaikan pendakian 350 anak tangga sampai puncak dan berkunjung ke rumah perkenier.  Makanya irma bilang itu utang.

 

Rumah perkenier itu sederhana saja.  Ada teras di depan dan belakang.  Teras yang belakang lebih luas.  Mungkin dulu di situ tempat para pekerja menimbang Pala.  Zaman dulu satuan timbangan yang dipakai bukan kilogram.  Tapi ‘kati’, yaitu ukuran pikulan orang dewasa.  Di Rumah Budaya Banda Naira kita bisa melihat timbangan tersebut.

 

Di dalam rumah perkenier ada beberapa bilik.  Dua bilik yang paling depan bertuliskan ‘R. Raja’ dan ‘R. Adat’.  Mungkin rumah itu dipakai untuk acara-acara adat.  Dalam bukunya “Sejarah Maluku – Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon”, Pak Des Alwi terangkan bahwa Desa Lonthoir menganut adat Ulisiwa atau sembilan orang cakalele sebagai tentara adat.  Sedangkan desa-desa lain di Kepulauan Banda menganut adat Ulilima atau lima orang cakalele.

 

Cuma irma dan Wahyudi yang berminat melihat-lihat rumah perkenier.  Yang lain rehat di salah satu rumah penduduk, minum teh, kopi, dan makan kue babengka.  Ela yang memperkenalkan kue itu.  Enak banget.  Terbuat dari terigu, telur, gula merah, dan (kata Ela) kalau pembuat kuenya lagi baik ia akan menambahkan kenari ke dalam adonannya.  Harganya lima ratus rupiah sepotong.  Dianty terbengong-bengong tau harganya cuma segitu.  ‘Apa bisa dia jualan harga segitu ?  Kenari kan mahal,’ tanyanya.  Pertanyaan yang sama diajukan juga oleh Wahyudi.  ‘Ya bisalah, kenarinya kan tinggal petik dari belakang rumah,’ jawab Ela.  Memang di Banda Besar ini banyak sekali pohon kenari.  irma pernah baca di novel ‘Mirah dari Banda’ , pohon kenari itu fungsinya sebagai peneduh pohon pala.  Pohon pala tuh agak-agak manja.  Nggak boleh kena banyak sinar matahari.  Kalau nggak, hasil panennya nggak bagus.

 

Dari rumah perkenier kita ke perigi keramat.  Ada dua perigi atau sumur.  Kedua sumur tersebut terhubung satu sama lain di dasarnya, tapi anehnya air kedua sumur tersebut beda.  Sumur yang satu hanya boleh dipakai untuk minum dan kebutuhan masak.  Juga cuci muka.  Sumur satu lagi boleh untuk mandi dan mencuci, tapi jangan di sekitar perigi mandi dan cucinya !  Kita ditawari untuk mencuci muka dengan air dari sumur yang pertama.  Konon, katanya akan membuat kita awet muda.  Entah betul entah tidak, tapi seger banget cuci muka di sana setelah setengah harian jalan-jalan keliling Banda Besar.  Sebelum ke Desa Lonthoir tadi kita ke Desa Walang, melihat peternakan mutiara dan kebun pala.  Kita ditunjukkan satu pohon pala yang katanya berumur 300 tahun.  Tapi darimana kita bisa tahu umurnya setua itu ?  Bing dan irma mengajukan pertanyaan yang sama.  Gini nih, kalau yang namanya auditor nggak mudah percaya kalau belum ketemu bukti objektif.

 

irma melongok melihat ke dalam perigi.  Sama seperti waktu tahun lalu ke sini, irma melihat capung merah terbang-terbang di dalamnya.  Sesekali ia hinggap di tumbuh-tumbuhan di dinding sumur.  Konon perigi ini ditemukan oleh tujuh orang bersaudara.  Satu di antara ketujuh orang ini adalah perempuan.  Pada suatu hari ketika mereka berjalan dari Selamon ke Lonthoir, perempuan ini melihat seekor kucing keluar dari semak-semak dengan bulu basah.  Ia memberitahukan saudara-saudaranya.  Mereka melakukan penyelidikan dan menemukan lubang sumber air.  Bersama-sama dengan penduduk lubang tersebut mereka jadikan sumur.

 

Di masa pendudukan Belanda perigi dipugar menjadi indah.  Dibuat lagi satu perigi di sebelahnya sehingga kini ada dua sumur di sana.  Perigi kedua ini nih, yang boleh untuk mandi dan mencuci.  Pemugaran tersebut dipimpin oleh Muhammad Saleh, pemimpin adat desa Lonthoir kala itu.  Untuk menjaga kesuciannya setiap tujuh sampai sepuluh tahun sekali dilaksanakan pencucian perigi.  Perigi yang besar berukuran 5 m x 8 m, sedangkan yang kecil 2 m x 2 m dengan kedalaman 4 m.

 

Di dalam booklet ‘Banda Islands’ diceritakan bahwa pencucian Perigi Keramat dilakukan untuk memperingati meninggalnya 33 orang imam umat Islam Desa Lonthoir.  Duluuuuu waktu zaman Belanda, sekelompok serdadu dan pedagang Belanda mabuk-mabukan bersama sekelompok penduduk desa.  Penduduk desa tersebut membawa serdadu dan pedagang Belanda ke atas batu, kemudian mendorong mereka ke laut.  Beberapa hari kemudian serdadu dan pedagang tersebut telah menjadi mayat.  Mengetahui hal tersebut penguasa Belanda di Naira menjadi berang dan menangkap 33 orang imam.  Ke-33 orang imam ini kemudian diceburkan ke dalam Perigi Keramat hingga meninggal.  Penduduk desa lalu mengangkat jenazah ke-33 orang imam tersebut dan memakamkannya secara layak.  Dengan menggunakan 99 depa kain kafan mereka membersihkan Perigi Keramat.  Batu tempat serdadu dan pedagang Belanda didorong ke laut disebut ‘Batu Belanda’.

 

Lagi rame-rame nyuci muka di perigi keramat irma baru ngeh ternyata cuma yang cewek-cewek aja yang cuci muka.  Pak Adhi ketinggalan di rumah penduduk tempat tadi kita ngopi-ngopi.  Mas Fahmi seperti biasa ngendon di perahu.  Sedangkan Wahyudi asik ngobrol dengan anak-anak kecil di sekitar perigi yang merhatiin kita.  Hahaha, Wahyudi ketemu teman ‘sebaya’ ya.  Abis, dia pake baju kaus putih dan celana pendek merah, persis seragam SD.  Weeeh ...... anak SD mana yang brewok dan kumisan gitu ??  Berapa kali nggak naik kelas tuh ??!!  hihihihihihiiii .........

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment