Thursday, November 15, 2007

Semalam di Naira

 

ir, kayaknya asik juga ya semalam di Banda Naira ...’

 

Itu yang Ela bilang waktu kita mau terbang ke Banda Naira.  Gara-gara Merpati pesawatnya rusak dan pesawat lainnya dipakai untuk rute lain, keberangkatan kita ke Banda Naira tertunda sampai dua kali.  Jelas kecewa.  Tapi mau gimana lagi.  Lebih baik kesempatan yang cuma semalam itu digunakan sebaik-baiknya.

 

Lupakan melihat sunrise dari atas Gunung Api, lupakan snorkling, diving, acara jalan-jalan kita kemarin difokuskan untuk menangkap momen fotografi sebanyak-banyaknya.  Maklum, di rombongan kita banyak fotografer.  Dan banyak banci foto juga.  Nggak ada satu pun yang nggak bawa kamera.

 

Alhamdullilah penerbangan Ambon – Banda Naira berlangsung lancar dan tepat waktu.  Jam setengah tujuh kita bertolak dari Bandar Udara Pattimura dengan pesawat Cassa.  Saat check-in kita sempat ketawa-ketawa karena di setiap boarding pass tertulis nama penumpang ‘9770’.  Jadi ada kembar sembilan bernama ‘9770’.  Hehehehe.

 

Itu baru mengenai boarding pass.  Saat melihat jam di bandara kita ketawa lagi.  Jam di counter check-in menunjukkan waktu 4.41.  Jam menuju ruang tunggu keberangkatan menunjukkan 21.41.  Nggak ada yang benar karena waktu sesungguhnya adalah pukul 5.41.  ‘Gue nggak ngerti kenapa itu jam waktu Makassar dipasang di sini,’ Lenny geleng-geleng kepala lihat jam di counter check-in.  Huehehehe, kalau yang di situ menunjukkan waktu Indonesia bagian Tengah, yang menuju ruang keberangkatan mungkin waktu GMT ya ??  (GMT =  Greenwich Mean Time, acuan waktu internasional)

 

Ada sepuluh orang penumpang dan 3 orang crew penerbangan.  Sembilan dari sepuluh penumpang adalah rombongan kita.  Selama penerbangan mereka pada tidur.  Ya gimana nggak ngantuk, jam setengah empat tadi kita udah harus bangun untuk berangkat ke bandara.  Cuma Mas Fahmi yang tetap terjaga selama penerbangan.  Ia terus memperhatikan GPS.  ‘Catat ya ir, kecepatan kita 325 km/h, ketinggian 2266 m dpl,’ katanya kepada irma.

 

Beruntung banget irma duduk di sisi sebelah kanan jadi bisa lihat Gunung Api saat kita mendekati Banda Naira.  Hujan turun saat kita mendarat.  Cepat sekali awan menutupi langit.  Pantas penerbangan ke Banda Naira dibatasi tidak boleh lebih dari jam 10 pagi.

 

Kita dijemput Pak Umar.  Dari sana kita ke hotel Maulana.  Ketemu lagi dengan Pak Dede dan Bu Siti.  Hei, Bu Siti sedang mengandung anak pertama !  Sudah lumayan besar kandungannya.  Lagi hamil gitu, Bu Siti masih tetap berenang nggak ya ??  Waktu SMA dulu Bu Siti menang lomba berenang dari Naira ke Gunung Api.  Nggak heran badannya atletis begitu.

 

Sarapan.  Abis gitu kita naik boat ke Pulau Sjahrir.  Di sana duduk-duduk makan nasi kuning menikmati suasana pantai.  Sempat lihat kawanan Lumba-Lumba berenang melompat-lompat.  Lalu kita ke Pulau Banda Besar.  Melihat peternakan mutiara, perkebunan pala, mendaki 350 anak tangga, ke Benteng Hollandia, rumah perkenier, dan perigi keramat.  Makam Nona Lantzius tidak kita kunjungi.  irma pikir teman-teman tidak terlalu tertarik untuk melihatnya.  Hujan sempat turun saat kita Banda Besar.  Cuaca saat itu memang mudah berubah-ubah.  Sebentar hujan, sebentar kemudian panas.  Sebentar baju kita basah kehujanan, nggak berapa lama kemudian kering lagi kena panas.  Pas banget nih dengan satu lagu dangdut, ‘... baaaju satu, keriiiing di badaaaan ...’

 

Setelah itu kita berperahu mengelilingi Gunung Api.  Melewati Pulau Karaka, gugusan Batu Angus, dan masuk ke dalam gua kelelawar.  Hoa, nggak mau lagi irma masuk ke sana ! 

 

Jam setengah empat kita berlabuh di dermaga hotel Maulana.  irma bergegas mandi.  Dekil banget baju dan badan kena air hujan, kecipratan lumpur, belum lagi keringat menempel.  Jam empat kita udah harus siap-siap untuk keliling Banda Naira.

 

Pertama kita ke Rumah Budaya Banda Naira.  Melihat benda-benda peninggalan Belanda ; lonceng perk, timbangan pala, baju senam kuno, uang logam VOC, pecahan keramik yang ditemukan di Banda, senjata kuno, perlengkapan tari cakalele, miniatur kora-kora.  Ada banyak lukisan di museum ini ; lukisan gubernur jenderal VOC, lukisan pembantaian 44 orang kaya Banda (syereeeemmm !!!), dan suasana Banda dulu.  Sama seperti tahun lalu, ibu penjaga museum memutar piringan hitam dengan gramophone kuno.

 

Lalu kita ke Rumah Sjahrir di sebelah Rumah Budaya.  Belanda mengasingkan Sjahrir dan Bung Hatta ke Banda Naira tahun 1936.  Sebelumnya mereka diasingkan ke Boven Digul, Papua.  Sebelum itu, mereka ditahan di penjara Cipinang, Jakarta.  Sebelumnya lagi, di penjara Sukamiskin, Bandung.

 

Sjahrir dan Hatta diasingkan di Banda Naira hingga tahun 1942.  Selama di sana mereka mengajar anak-anak Banda.  Saat itu cuma ada satu sekolah Belanda di Banda Naira, dan tidak semua anak-anak Banda boleh bersekolah di sana.  Sekolah Hatta dan Sjahrir ini diadakan di Rumah Hatta yang terletak di sebelah penjara.

 

Dari Rumah Sjahrir kita ke Rumah Hatta.  Kita melewati rumah Captain Christopher Cole, seorang kapten angkatan laut Inggris yang menaklukkan Benteng Belgica dan pulau Naira dari Belanda pada tanggal 10 Agustus 1810.  Sayang sekali, rumah ini kondisinya mulai rusak tak terurus.  Apakah pihak kedutaan Inggris nggak berkunjung ke sini ya ??  Biasanya kan kedutaan tuh perhatian banget sama peninggalan-peninggalan sejarahnya.  Seperti kedutaan Belanda yang tetap mengelola pemakaman Belanda dan kedutaan Australia yang memelihara Ambon War Cemetery.

 

Sampai di Rumah Hatta.  Tante Emy – penjaga Rumah Hatta yang irma temui tahun lalu – sedang ke Ambon.  Jadi Pak Umar yang membukakan rumah itu untuk kita.  Rumah tersebut dipugar pada tahun 1980 – 1983 mengikuti bentuk aslinya.  Ada foto-foto Bung Hatta dan istrinya saat berkunjung ke Banda Naira untuk memulai pemugaran.  Ternyata saat itu yang tinggal cuma tembok depannya saja.  Usai pemuugaran Rumah Hatta diresmikan Dirjen Kebudayaan dan Pendidikan pada tanggal 20 Oktober 1985.

 

Ela menemukan kursi yang enak untuk duduk bermalas-malasan di teras belakang Rumah Hatta.  Sementara teman-teman lain berpura-pura menjadi murid-murid Bung Hatta, duduk belajar di meja-meja kelas.  Hahaha, jadi ingat tahun lalu.  Waktu irma pura-pura jadi ibu guru dan Ela, Wahyudi dan Adep jadi muridnya.  Ibu guru yang tidak sukses.  Masa’ dua orang muridnya asik main dan seorang lagi tidur saat guru sedang mengajar ??

 

Kemudian kita ke rumah dr. Tjipto.  Dokter Tjipto Mangunkusumo diasingkan ke Banda Naira dari tahun 1928 hinggal 1940.  Sayang sekali, saat kita ke sana kemarin penjaganya sedang ke Ambon.  Lagi-lagi ke Ambon !  Kenapa ya para penjaga rumah sejarah itu pada ke Ambon ??  Padahal di dalam rumah itu kita bisa melihat-lihat peninggalan dr. Tjipto.  Hmm, yah tapi nggak sebagus yang di Rumah Sjahrir sih, apalagi yang di Rumah Hatta.  Koleksi Rumah Hatta tuh, rapiiii sekali.  Terawat.  Rumahnya pun terang dan bersih.  Sementara bagian dalam rumah dr. Tjipto itu gelap dan suram.

 

Selanjutnya kita ke Istana Mini.  Melihat tulisan seorang tawanan Prancis di kaca sebelum ia bunuh diri, cekungan di dinding yang nggak pernah bisa ditambal, patung Willem III, dan berfoto ala kabinet presiden di anak tangga depan istana.  Huehehehehe ...... kabinet apaan yang tampang anggotanya pada jahil gini ??

 

Trus kita ke Monumen Perigi Rante.  Di sini tertulis nama-nama tokoh perjuangan yang pernah diasingkan ke Banda.  Ternyata bukan cuma Bung Hatta, Sjahrir, dan dr. Tjipto.  Masih banyak lainnya.  Pada prasasti tertulis juga nama-nama Orang Kaya Banda yang dibunuh JP Coen di tahun 1621, beserta kepergian rakyat Banda yang tersisa.  Ada yang melarikan diri ke Pulau Kei, ada yang ke Pulau Banda Eli.

 

Setelah itu kita ke Gereja Tua.  Abis gitu mengejar sunset ke Benteng Belgica.  Malamnya kita makan enak di hotel Maulana.  Enak buangetttt dan berlimpah.  Dianty sampai komentar, ‘Tiga hari saja kita begini terus, bisa jadi hippo kita.  Kerjaannya nanti hanya berendam di air dan naik ke permukaan untuk makan !’  Hahahaha, Dianty bisa aja bikin perumpamaan J

 

‘Gimana, enak makanannya ?’ seseorang bertanya kepada kita seusai makan.  Ternyata itu putra Pak Des Alwi.  Kalau nggak salah namanya Pak Reymon.  Ramah sekali dia ngobrol dengan kita.  Nanya siang tadi kita ke mana aja.  Waktu tau kita ke Banda Besar, ia bertanya, ‘Kalian ke kuburan sejengkal ?’

 

Haa, kuburan sejengkal ?  Apaan tuh ?  Baru kali ini irma dengar.  Ternyata itu kuburan peninggalan orang Belanda.  Konon, katanya kita bisa tanya kepada kuburan itu apakah keinginan kita bisa terkabul.  Tapi ingat, pertanyaannya harus yang jawabannya ‘Ya’ atau ‘Tidak’.  Kalau nggak gitu, gimana ?  ‘Mungkin kuburannya akan berasap.  Pusing dia,’ celetuk Dianty.  Hahahahahahaha ............. kita ketawa makin keras.

 

Puas duduk dan mengobrol kita jalan ke souvenir shop dekat pelabuhan.  Di sana irma beli t-shirt bergambar serdadu kompeni.  Wahyudi beli buku tentang Banda.  Sedangkan Dianty beli botol kuno terbuat dari tembikar.  Pemilik toko bilang, botol itu ia dapatkan dari orang-orang yang menyelam dan menemukannya di laut.  Banyak botol sejenis itu berserakan di dasar laut.  ‘Ini kan botol anggur.  Setelah minum, orang-orang Belanda itu buang botol ini ke laut begitu saja,’ cerita pemilik toko. 

 

Balik ke hotel.  Lewat depan pelabuhan.  Ramai suasana di sana.  Orang-orang mulai menggelar dagangan.  Selalu begitu tiap kali menjelang kapal datang.  Wahyudi bilang, kehidupan di Naira baru terasa saat kedatangan kapal.  Nggak ada kapal datang, nggak kelihatan orang banyak berkeliaran.

 

Nggak terasa udah lebih dari jam sepuluh.  Yang lain pada masuk kamar.  Tidur.  Jam dua dini hari nanti kita harus siap-siap naik KM Bukit Siguntang untuk balik ke Ambon.  irma, Ela, dan Dianty "Ibu Kasir" masih ngumpul untuk bereskan pembayaran hotel dengan Pak Dede.  Waks, irma sempat meloncat kaget di kantor Pak Dede saat tau ada tikus kecil di dekat kaki irma !  Ela yang tadinya mau memperingatkan irma juga turut terkejut.

 

Beres urusan bayar-bayar, kita balik ke kamar di lantai 2.  Yang lain udah pada tepar.  Bertiga kita duduk mengobrol di depan kamar.  Ngomongin pengalaman kita hari itu.  Padat banget.  Betul yang Ela bilang, meski hanya semalam di Banda Naira namun begitu berkesan J

 

'...... tapi sayang, hanya semalam.  berat rasa perpisahan ......'

 

 

6 comments:

  1. irma...mana foto kabinet-nya..??? ^_^
    Yaapp...wlp cuma semalam, tapi sangaaaat berkesan....sampai bikin janji utk kembali lagi ke banda-neira....masih penasaran sama gunung api-nya...^_^

    ReplyDelete
  2. hehehe, kabinet presidium jalan-jalan en ngelencer ;)

    ReplyDelete
  3. seneng bgt ada yang cinta mati sama banda. boleh kenalan? aku putra asli Run. punya rasa yg sama persis dgn kamu. kalo ada sumur di Banda, knp gak maen ke www.bandaeducation.blogspot.com. cee u!

    ReplyDelete
  4. hmm... nice banget ceritanya..
    entar lagi ada 'sail banda' tuh.. ga ke Banda lagi?

    ReplyDelete
  5. nggak. lagi nggak bisa bepergian jauh-jauh, lagian tabunganku lagi menipis nih ;)

    ReplyDelete
  6. Jadi sudah ketemu buku-buku Hatta yang berjumlah 16 peti itu? sekarang masih di Naira atau sudah dibawa ke Jakarta. #SeriusTanya

    ReplyDelete